Dan seketika semua menoleh ke asal suara.Tampak Slamet tergopoh-gopoh mendatangi tempat kejadian. "Ada apa ini?" ulang Slamet. Lalu pandangan matanya terarah pada Yana. Lelaki itu langsung tercengang. Karena Yana menjadi begitu cantik. "Yana? Kamu Yana kan?" tanya Slamet dengan mata membulat tidak percaya. "Iya.""Apa kabar?" tanya Slamet parau sambil mengulurkan tangannya.Yana mematung dan hanya memandang tangan Slamet. "Heh, bukan saatnya kamu terpesona dengan mantan istri kamu!" seru Eva kesal pada sang adik. "Yang paling penting, siapa yang sekarang bertanggung jawab terhadap karung beras ku?!" seru Ibu-ibu gendut. "Sudah saya bilang kan, Bu. Kalau minta tanggung jawab pada dia. Dia yang jelas-jelas nabrak saya saat saya menyebrang jalan!" seru Eva berusaha memprovokasi sambil menuding Yana."Itu fitnah. Saya mengendarai motor saya dengan lambat, dan mendadak ada dia yang menyebrang kearah saya. Logika saja lah. Kalau memang mau menyebrang dengan selamat, kenapa harus saa
"Tunggu! Jangan lari kalian!" seru satpam pasar. Lelaki itu segera mengejar tiga orang tersebut dengan dibantu oleh beberapa karyawan toko kelontong."Cepet lari, Met!""Ayo lari, Tita!""Ya Tuhan, ada apa sih ini? Kenapa aku juga harus berlari?" tanya Slamet bingung. "Nanti kami jelaskan di rumah!""Tapi bentor ku masih tertinggal di pasar!""Sudahlah. Bentor kamu diambil nanti. Kan kuncinya kamu bawa!""Jangan banyak omong! Ayo kita berpencar saja!" "Woy, jangan kabur!""Jangan lari kalian!""Tanggung jawab kalian!"Seruan-seruan antara orang yang dikejar dengan orang yang mengejar saling bersahutan. Sedangkan Tita, Eva, dan Slamet berlari kian kencang. Ketiga nya berpencar dan berlari secepat mungkin. Namun, secepat-cepatnya mereka berlari, mereka tetap tertangkap karena semakin banyak orang yang mengejar. "Kamu mau kemana, Bu? Jangan lari setelah membuat gaduh dan rusuh!" seru satpam itu sambil menggelandang Eva dibantu oleh seorang lelaki berbadan kekar. Eva terdiam dan tamp
"Dulu, mereka adalah suami dan iparku," sahut Yana akhirnya dan membuat semua yang ada di toko tersebut terkejut. "Apa?""Tapi kalau mantan mertua dan mantan suami kamu, kenapa mereka tega sama kamu? Seharusnya kan tetap bisa saling menghormati?"Mulai terdengar gumaman-gumaman dari orang-orang yang berkerumun di sekitar Yana. "Wah, mana saya tahu alasan tentang mengapa mereka mengusik saya. Coba tanyakan langsung pada mereka kenapa mereka menjahili saya," sahut Yana dengan tenang. Terdengar gumaman dan gemuruh bersahut-sahutan."Untung saja keluarga suami saya tidak jahat.""Waduh, kalau sudah jadi mantan keluarga, jangan jahat-jahat dong sama mantan adik ipar.""Aduh, aku enggak akan mau deh jadi keluarga mereka. Hiii."Wajah Eva, Tita, dan Slamet memerah. "Ayo kita pulang, Mbak," bisik Slamet mendadak. "Ayo, Met," sahut Tita. Sedangkan Eva tidak menyahut dan tetap terdiam tapi melihat Yana dengan penuh dendam. "Ya Tuhan, masih ada yang dendam sepertinya!""Hei, Bu! Jangan ke
Ibu dan Yana segera keluar dari ruang makan menuju ke ruang depan. Tampak dua orang berdiri di depan pintu rumah yang memang terbuka karena kedatangan Yana. "Astaghfirullah! Kok bisa suami saya mendadak pingsan?" tanya Ibu Yana dengan cemas. "Saya kurang tahu. Yang jelas tadi saat kami sedang mencangkul sawah dan pak Purnomo mengawasi kami dari pinggir sawah, mendadak kami melihat pak Purnomo pingsan.""Lalu sekarang dimana Bapak saya?""Sudah diantar ke puskesmas.""Baiklah, saya kesana sekarang. Ayo Bu, kita berangkat. Ibu saya bonceng saja."Ibu Yana mengangguk. "Iya sebentar. Ibu ambil uang dulu.""Tidak usah Bu, Yana bawa duit lumayan di dompet Yana. Ibu tidak perlu membawa uang lagi.""Tapi Ibu cuma pake daster nih sekarang. Sepertinya harus ganti dulu dengan gamis."Yana menggeleng lagi. "Tidak usah, Bu. Ayo kita berangkat sekarang."Ibu Yana berpikir sejenak lalu langsung mengunci pintu dan mengikuti Yana naik motornya. Yana melajukan motornya mengikuti kedua lelaki yang t
"Yana memang sekarang menjadi sangat cantik. Ah, gimana kalau aku mencoba meminta maaf dengan tulus padanya? Siapa tahu dia akan kembali padaku. Apalagi sudah ada Fajar diantara kita berdua," gumam Slamet."Tapi gimana kalau Yana menolakku? Dia kan sudah punya suami? Aduh, pening aku!" bisik Slamet sambil menarik kailnya ke atas karena sudah ditarik oleh ikan. Slamet membawa ikan tersebut dan memasukkannya ke dalam kantung yang terbuat dari bambu. Lalu mengaitkan umpan ke tali pancing dan melemparkannya ke sungai sekali lagi. "Ah nggak tahu lah. Aku akan mencoba untuk menjenguk Fajar saja nanti. Sekalian bisa lirik-lirik si Yana," gumam Slamet bersemangat. Lelaki itu bersiul-siul dan semakin bersemangat saat memancing. Sehingga mendapatkan ikan yang banyak. Kemudian Slamet pun masuk ke dalam sungai dengan membawa pengki yang terbuat dari bambu dan yang biasa digunakan untuk menampung sampah saat menyapu, tapi kali ini dia gunakan untuk menjaring ikan kecil. "Hm, sudah cukup banyak
Bagas menyalami Ayah dan Bunda Yana dengan takzim. Lalu setelah itu menyalami Dina dan Ali. Kedua kakak Yana tampak sangat bahagia melihat Bagas. "Mas Ali, kenapa senyum-senyum?" tanya Bagas heran. "Aku cuma merasa bahagia melihat kamu dan Yana."Bagas mengerutkan keningnya. "Kok bisa?""Karena suaminya yang dahulu sangat jahat dan tidak perhatian pada Yana. Tapi sekarang kamu sangat perhatian bahkan pada ayah kami."Bagas tersenyum. "Saya sangat mencintai Yana, keluarga Yana adalah keluarga saya juga. Jadi Ayah adalah Ayah saya juga."Semua yang ada di ruangan itu tersenyum bahagia mendengar ucapan Bagas. Sedangkan Yana tersipu. Pipinya bersemu merah. "Semoga kalian langgeng dan bahagia selamanya.""Aamiin. Terimakasih untuk doanya. Doa yang sama untuk mbak Dina dan mas Ali."Ayah Yana tersenyum mendengar perkataan Bagas. "Ayah juga lega karena Yana sudah menemukan suami yang baik. Kalaupun Ayah harus meninggal, Ayah ikhlas," sahut Ayah Yana tersenyum."Ayah bilang apa sih? Ayah
"Ma-malam Yan. Aku kesini karena ingin menjenguk Fajar. Apa boleh?" tanya Slamet dengan ragu-ragu. Yana menoleh pada Bagas. Bagas menganggukkan kepalanya. "Boleh saja. Masuk saja dulu ke dalam," sahut Yana.Slamet mengangguk. Sejenak ragu untuk menyalami Yana dan Bagas atau tidak. Namun akhirnya, Slamet pun mengulurkan tangannya ke arah Bagas dan Yana.Bagas tetap terdiam dan masuk ke rumahnya dengan kaku, sementara itu Slamet mengikuti langkah kedua pasutri itu dengan canggung. "Duduk, Mas," tukas Yana basa basi. "Sebentar ya, aku bawa Fajar kesini."Slamet mengangguk dan segera duduk di sofa empuk di rumah Bagas. Sedangkan sang empunya langsung berlalu menuju kamar. Slamet memandang ke sekeliling ruang tamu rumah Bagas. Tampak besar dan indah. 'Kamu kayaknya hidup enak sekarang, Yan. Jauh daripada dibandingkan denganku,' batin Slamet minder.Rumah Bagas memang besar. Berbentuk L dan terdapat dua pintu depan. Bangunan yang menghadap utara digunakan untuk rumah Bagas dan Yana. S
"Berhenti! Fajar tidak akan kemana-mana!"Yana dan Slamet menoleh. Terlihat Bagas dengan langkah tegak melangkah ke arah Slamet. "Jangan bawa Fajar kemana-mana!" seru Bagas tegas. Slamet berdiri dari posisi jongkoknya dan memandang nyalang ke arah Bagas. Keduanya berhadapan. Wajah Ani tampak ketakutan. "Mbak, ayo kita pindahkan anak-anak ke kamar," pinta Yana. Ani mengangguk. Kedua perempuan itu lalu menggendong Fajar dan si kembar kembali ke kamarnya. "Tunggu. Mau dibawa kemana anakku? Aku masih ingin menggendongnya."Slamet berlari ke arah Yana untuk merebut Fajar. "Tunggu! Kamu sedang emosi. Tidak baik menggendong anak kecil saat hati sedang emosi," tukas Bagas sambil menahan bahu Slamet. Slamet menoleh. "Lepaskan! Tahu apa kamu tentang anakku? Akulah ayah kandungnya. Aku lebih berhak padanya. Kamu ayah sambung, nggak akan bisa menyayangi Fajar."Bagas tersenyum."Oke. Aku lepas."Bagas melepaskan cekalan tangannya dari bahu Slamet. "Apa kamu sadar kalau kamu telah melakuk
Tita berdiri sambil menyeringai di depan restoran milik Bagas. Kondisi restoran Bagas yang menurun dari bulan ke bulan menyebabkan dia harus memberhentikan beberapa karyawan termasuk satpam yang biasanya berjaga di pintu keluar.Tita segera menyalakan korek api dan melemparkannya ke arah restoran milik Bagas. Api menjalar dengan cepat membakar bagian depan restoran Bagas. Tita dengan rasa puas pun masuk lagi ke dalam mobilnya. "Mampus kamu, Yana. Aku baru bisa mati dengan tenang kalau kalian bangkrut. Aku tidak peduli lagi jika aku harus ditangkap polisi setelah ini. Yang penting aku bisa melihatmu apes," tukas Tita sambil melaju ke arah rumah sakit. ***Bagas terjaga dari tidur saat mendengar dering ponselnya berbunyi nyaring. Tanpa melihat nama penelepon, Bagas mendekatkan benda itu ke telinga."Halo.""Halo, Pak. Restoran Bapak kebakaran!"Mata Bagas langsung terbelalak. "Hah, tidak mungkin! Kamu siapa, jangan mengajak bercanda saya!""Demi Tuhan, Pak. Saya Doni, pemilik fotoko
Tiiin!"Aaarghhh!"Slamet menjerit saat motor itu menabraknya. Lelaki itu terjatuh dan mengerang kesakitan. Sementara itu, pengendara motor yang menabraknya juga terjatuh. "Aaargh, tolong!"Slamet berteriak kesakitan sementara pengendara motor yang ikut terjatuh, sudah tidak sadarkan diri. Darah bercucuran dari kepala pengendara motor tersebut. Beberapa orang yang mendengar suara tabrakan motor dan suara erangan Slamet mengerumuninya. "Astaga, Slamet! Tulang kamu sampai terlihat!" jerit Tita kaget seraya menuding siku Slamet. "Aduh Mbak, sakit banget! Rasanya kayak mau mati! Bawa aku ke rumah sakit atau panggil ambulance mbak!!!" seru Slamet di tengah erangan kesakitan nya. "O-oke. Baiklah. Kamu tenang dulu. Aku akan segera menelepon ambulance."Slamet dan kedua kakak nya terkejut saat mendengar dokter mengatakan vonis yang begitu meruntuhkan hatinya. "Bapak mengalami patah tulang luar. Jadi harus operasi hari ini. Masalah utamanya adalah Bapak mengalami positif HIV."Slamet me
"Wah, mbak Eva berubah banyak ya sejak aku pergi!" seru Slamet sambil menenteng mobilnya. "Iya dong. Aku udah perawatan salon dan ke klub fitness. Bodiku sudah mulai oke. Aku tinggal cari mangsa," tukas Eva yakin. Tita dengan santainya memakan apel di depannya. "Aku juga semakin intens dengan pak Suryo. Tidak ada lagi keinginan ku untuk merayu Bagas lagi. Aku sudah menemukan sumber uang dan aku tidak ingin kehilangan nya.""Wah, bagus deh kalau begitu. Gimana kalau Mbak Eva juga dikenalkan pada teman-teman pak Suryo? Kali aja ada yang berminat?" usul Slamet."Nantilah. Baru dua minggu juga perawatan nya. Belum maksimal nih.""Ngomong-ngomong kamu apa kabar? Gila bener kamu udah nggak pulang dua minggu."Slamet hanya nyengir saja. Lalu menunjukkan layar ponsel nya. Kedua kakaknya mendelik. "Seratus juta? Gila, Met. Kita bisa bikin kafe mungil lalu dengan perlahan-lahan kita perluas kafenya," tukas Tita dengan mata berbinar. "Yah, itu dia. Awalnya arisan brondong nya hanya seminggu
Slamet baru saja menuntaskan hasratnya pada Sasa, saat mendadak ponsel Sasa berbunyi nyaring. Dengan setengah hati, Sasa meraih ponselnya. Sesaat setelah bercakap-cakap, Sasa mengakhiri panggilan dan memeluk erat tubuh Slamet. "Ada apa nih? Kamu kok kelihatan nya seneng banget, Yang?" tanya Slamet penasaran. Dibelainya rambut Sasa dan diciumnya kening Sasa dengan lembut. "Aku berhasil, Yang. Bisnisku deal!" tukas Salsa bangga dan bahagia."Hm, syukurlah kalau begitu. Kamu itu sebenarnya kerja apa sih?" tanya Slamet akhirnya. Sasa menatap wajah Slamet dengan serius. "Bisnis ku banyak. Apa benar kamu ingin tahu? Tapi ada syaratnya."Slamet mengerutkan keningnya. "Pakai syarat segala. Emang bisnis apa sih?" tanya Slamet. Rasa penasaran kini berbalut rasa curiga.'Jangan-jangan Sasa bisnis organ manusia atau narkoba? Dia kan kayak enggak kekurangan uang?' tanya Slamet dalam hati. Sasa menyeringai. "Jadi kuberitahu pekerjaan ku, tapi jika kamu menjauh, aku akan membunuhmu. Kalau ka
"Oke. Deal!"Tanpa berpikir panjang, Slamet mengiyakan ajakan Sasa. Sasa tersenyum penuh kemenangan. "Baiklah. Tapi aku juga ingin meminta tolong padamu."Slamet mengernyitkan dahinya. "Menolong apa? Aku nggak punya uang untuk menolong mu, Sa."Sasa tertawa. "Bukan uang yang kupinta. Tapi kesediaan kamu untuk keperkenalkan pada teman-teman ku.""Hm, oke. Tidak masalah kalau kamu butuh pencitraan, Sa. Aku bersedia diperkenalkan pada teman-teman kamu."Sasa pun mengangguk dan menggenggam telapak tangan Slamet. Ada senyum aneh terukir di bibir Sasa. "Apa kita harus melakukannya sekarang?" tanya Slamet saat mereka sudah berada di kamar hotel. Sasa mendekat ke arah Slamet tanpa ragu. Bahkan perempuan itu mulai membuka kaos hitam yang dikenakan Slamet. "Apa kamu tidak ingin melakukan nya? Saya sudah mengamati kamu di tempat fitnes beberapa minggu. Dan sekarang baru berani mengajakmu check in," tukas Sasa sambil berbisik di telinga Slamet.Slamet menelan ludah. Hatinya penuh keraguan, ta
"Ada apa, Dek?" tanya Ani panik. Takut terjadi sesuatu pada adik-adik di panti asuhan nya. Adik-adik dari panti asuhannya terengah-engah di hadapan Ani. "Ada apa, Dek? Apa ada yang terluka?" tanya Ani sekali lagi. Adik-adik pantinya menggeleng. "Justru tidak Mbak, kami membawa berita bagus. Tapi kami takut Mbak ini tidak dapat melakukan nya."Ani mengerutkan keningnya. "Ada apa sih?""Tujuh puluh lima bungkus keripik debog pisang abis, Mbak!"Mata Ani berbinar mendengarnya. "Wah benarkah? Alhamdulillah dong!""Bahkan ada yang pesan lagi. Ini sudah ada yang pesan sekitar 200 bungkus. Dan minta selesai dalam waktu dua hari."Ani mendelik tapi senyumnya terkembang. Bahagia walau kaget."Wah, kalau begitu kalian harus membantu Mbak dong!""Tentu saja, Mbak. Apapun akan kami lakukan demi kemajuan panti asuhan kita. Apalagi kalau nanti kita punya toko sendiri. Kita bisa memperkerjakan anak-anak yang sudah lulus SMA. Seperti aku, misalnya," sahut salah seorang adik panti asuhan Ani. Ani
Yana terdiam sambil meraih keripik pare lalu mencicipi nya. "Baik, ada dua hal yang harus saya sampaikan. Kabar bagus dan kabar buruk."Ani mendelik dan menatap wajah Yana dengan tegang. "Itu keripik homemade. Jadi tanpa bahan pengawet, Bu. Aman insyallah."Yana mengangguk. "Iya saya tahu. Makanya saya ingin menyampaikan kabar baik dan kabar buruk. Mana yang ingin kamu dengar dulu?""Kabar buruk dulu saja, Bu."Yana menghela nafas. "Secara pengemasan masih kurang rapi dan karena bahan alami, maka kamu perlu alat peniris minyak atau spinner agar keripik kamu tidak tengik alias bisa awet dalam waktu lama."Ani mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lalu kabar baiknya apa, Bu?""Rasanya enak, renyah, bumbunya pas. Saya suka dan saya setuju kalau mengadakan konsinyasi dengan kamu."Mata Ani berbinar. "Benarkah? Benar. Tapi dengan syarat kamu benahi kemasannya dan belilah spinner dulu untuk meniriskan minyak. Kalau kamu perlu modal, bilang saja. Bayar setiap bulan tanpa bunga."Ani menggeleng
Slamet tercengang dan memandangi Ani yang merentangkan kedua tangannya menghadang lelaki itu. "Menyingkirlah kamu! Kamu itu tidak penting bagi saya! Kamu tidak usah kepo dengan urusan pribadi rumah tangga saya!""Tidak! Saya tidak akan pernah mengijinkan Bapak untuk membuat Bu Yana sedih lagi!"Ani merengsek maju dan merebut Fajar dari tangan Slamet. Tubuh Ani yang tinggi besar dan gempal membuat posisinya dan Slamet seri.Sementara itu Yana bergegas berteriak di depan gerbang rumah nya menarik perhatian seluruh tetangga."Tolong! Tolong saya! Fajar hendak dibawa bapaknya!" seru Yana. Beberapa tetangga menghambur masuk ke dalam rumah. Beberapa orang pria langsung memegangi tangan Slamet. Slamet mendelik saat melihat anaknya yang tengah menangis berhasil berpindah tangan pada Ani. "Sial*n kalian semua! Ini urusan pribadi rumah tangga kami. Apa salah kalau saya ingin membawa anak saya pulang ke rumah saya?" tanya Slamet sambil memandang semua orang yang berkumpul di halaman depan r
Ani menatap ke arah pengacaranya dengan ragu. Pengacaranya berdiri dan menganggukkan kepalanya lalu berjalan terlebih dahulu ke dalam ruang sidang.Pengacaranya dengan langkah pasti menuju ke salah satu tempat duduk lalu Ani mengikuti. Tangan Ani berkeringat dingin dan memandang empat orang hakim dengan satu panitera di dalam ruangan sidang. Pengadilan itu menatap Ani. "Sudahlah, Bu. Jangan cerai saja. Kembali saja pada suami dan kasihan anak," tukas salah seorang dari hakim yang duduk di tengah. Ani menatap ke arah hakim dengan wajah serius lalu menjawab seperti yang diajarkan oleh pengacara Yana. "Maaf, Pak Hakim. Saya tidak kuat dengan temperamennya yang kasar dan tidak memberikan nafkah selama beberapa tahun pernikahan kami. Bahkan dia sering menyiksa saya dan anak saya. Saya sungguh tidak kuat hidup dengan suami seperti itu," tukas Ani dengan mantap. Hakim melihat berkas lembar yang telah ada di mejanya dengan teliti. Lalu memandang ke arah pengacara yang duduk di sebelah An