IBUKU BUKAN BABUMU 1
"Bu, itu botol susunya dicuci yang bersih, ya. Jangan sampai ada bekas susu yang tertinggal. Jangan lupa setelah itu masukin ke sterilizer. Pastikan airnya pas. Jangan sampai rusak alatnya. Satu lagi, baju Alesha dan Fikri jangan cuci pake mesin. Pake tangan saja. Nanti, baju anak-anak rusak!" Seru Mbak Ulya sambil merapikan dandanannya yang sebenarnya sudah rapi. Tanpa menoleh pada Ibu.
Mas Damar takut takut menatap Ibu. Bapak tertunduk. Hanya aku yang mengangkat kepala menahan kesal. Semenjak Mas Damar di PHK dari perusahaan, wibawanya sebagai seorang suami seakan hilang. Mbak Ulya kini seolah berperan sebagai kepala keluarga. Mengatur dan memerintah semaunya.
"Mas, nanti kamu ga usah jemput. Dan nanti-nanti kalau jemput jangan pakai jaket ojol. Aku malu!"
"Iya ..." Cicit Mas Damar dengan wajah masih ditekuk.
"Ini uang tiga ratus ribu untuk belanja. Sekalian beli susu dan diapers Alesha. Hemat-hemat! Aku ini lelah nyari uang," ujarnya lagi seraya melempar tiga lembar uang ratusan ribu ke atas meja. Aku hendak berdiri memprotes kelakuannya yang tak sopan. Namun, ibu menahan tanganku sambil menggelengkan kepala.
Tanpa pamit perempuan itu bergegas berjalan keluar. Bunyi high heelsnya masih tercetak jelas di lantai. Tak lama sebuah mobil berhenti di depan rumah. Lalu Mbak Ulya naik dengan wajah mengulas senyum. Dia lebih memilih naik mobil bersama teman-temannya dari pada diantar Mas Damar memakai motor. Mas damar membuang nafas kasar.
"Maafkan Ulya ya, Bu, Pak. Damar gagal mendidiknya, hingga jadi seperti itu," tutur Mas Damar dengan suara berat.
"Tak masalah, Mar. Asal rumah tangga kalian tetap utuh, Ibu sudah bahagia."
Suara ibu bergetar, jelas jiwa ibu tak ikhlas diperlakukan seperti b@bu. Aku memeluk Ibu. Pasti sangat lelah merawat dua anak Mbak Ulya dan Mas damar itu. Fikri berusia empat tahun dan si kecil Alesha masih berusia enam bulan.
"Kalau Dinara sudah kerja, nanti Dinara yang akan menggaji pembantu biar Ibu tak kecapekan," lirihku.
Ibu menatap sayu. Dan membingkai wajahku tanpa kata. Kasian sekali Ibu. Memang kalau bukan dari Mbak Ulya, aku mungkin saat ini tak bisa melanjutkan kuliah. Karena bantuan Mas damar dulu aku bisa melanjutkan pendidikan. Namun, setelah Mas Damar tidak bekerja lagi, otomatis Mbak Ulya yang membantu. Ibu dan Bapak tak punya penghasilan tetap untuk itu. Ibu hanya penjual nasi uduk di depan rumah setiap pagi. Dengan dibantu Bapak. Dari sanalah kami bisa tetap makan. Namun, sejak Mbak Ulya minta tinggal dirumah ini, otomatis Ibu tak bisa jualan lagi.
"Itung-itung imbalan atas uang yang aku keluarkan." Begitu katanya. Ibu dan Bapak harus menjaga anak-anaknya dengan baik. Tak boleh ada kekurangan atau luka sedikitpun. Pelik memang urusan dengan perempuan itu. Setelah kepergian Mbak Ulya, kami melanjutkan sarapan meski suasana sudah tak lagi nyaman.
Obrolan kami terhenti ketika tangis Alesha terdengar dari dalam kamar. Ibu tergopoh-gopoh berlari ke asal suara.
"Ya Allah, Alesha...!"
Mendengar teriakan Ibu. Aku, Mas damar juga bapak menyusul ke sana.
"Kenapa Bu?" Tanyaku kaget. Alesha sudah ada dalam gendongan Ibu. Wajah Ibu pias. Bayi itu masih terus menangis kencang. Di atas kasur ada Fikri yang menunjuk-nunjuk adiknya sambil tertawa-tawa.
"Alesha sudah ada di lantai. Sepertinya di dorong oleh Fikri," jelas Ibu gemetaran.
"Sini Bu, biar Nara gendong."
Aku mengambil alih Alesha dari tangan Ibu.
"Adek jatuh. Guling-guling," ciloteh Fikri
Mas Damar mendekati anaknya itu.
"Fikri mendorong adik?" Bocah laki-laki itu mengangguk dengan wajah tanpa dosa.
"Lain kali ga boleh ya, kasian adik kesakitan."
"Alesha seneng kok, Pa."
Mas Damar menggelengkan kepala. "Adik kesakitan, karena itu dia menangis," jelas Mas Damar. Tapi, Fikri cuek saja. Masih terlalu kecil untuk Fikri memahami hal itu, meski sudah setiap saat dijelaskan agar dia tak menyakiti adiknya.
Karena tragedi itu aku telat ke kampus. Beruntung Pak Khalif, dosen yang terkenal killer dan tak pandang bulu memarahi siapa saja mahasiswanya yang telat atau tidak mengerjakan tugas, sedang ada urusan, jadi digantikan oleh dosen lain.
"Wajah kamu kenapa murung gitu, Ra?" Tanya Cheryl sahabatku sejak masih duduk di bangku SMA.
"Aku mau nyari kerja, Cher. Kira-kira apaan, ya?"
Cheryl malah tertawa. "Mahasiswa seperti kita yang belum tamat dan tak punya ijazah begini mau kerja apa, Ra? Kamu ini! Tapi, kalau kamu mau, di tempat Papa aku ada lowongan."
Mataku langsung berbinar.
"Jadi office girl!" Serunya sambil tertawa sebelum aku sempat melontarkan tanya.
Aku memukul pelan lengan Cheryl. Bisa-bisanya dia becanda seperti itu.
Sore, setelah semua mata kuliah selesai aku segera pulang. Baru saja motor matic-ku berhenti didepan rumah, suara bentakan terdengar nyaring.
"Ga becus memang Ibu ini! Lihat pakaian Fikri penuh coklat! Saya kan sudah bilang. Jangan kasih anak-anak coklat! Dan ini Alesha, apa tak bisa ibu diamkan. Saya itu capek seharian kerja! Ibu ngerti ga sih! Kalau bukan saya siapa yang akan memberi makan keluarga ini!' bentaknya.
Aku bergegas melepas helm dan berlari ke dalam.
"Mbak Ulya! Begitu caramu memperlakukan mertuamu!" Teriakku kencang. Dia menoleh begitu juga dengan Ibu.
"Oh, sudah pintar melawan kamu, ya?" Sahutnya dengan nada meremehkan.
Darahku mendidih. Aku tak ingat lagi berkat siapa aku bisa kuliah.
"Kau itu perempuan tak punya hati, Ulya!" Pekikku. Mata Mbak Ulya membeliak tajam.
"DINARA!" seru Ibu.
Aku terdiam menatap Ibu yang kini menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada air yang mengambang disana.
"Lihat Bu. Masih jadi ben alu aja udah belagu! Nyesel aku nguliahin," ucapnya yang terdengar seperti gumaman.
Baiklah, jika hanya karena diberi biaya untuk kuliah dia menghinaku. Lebih baik aku tak melanjutkan pendidikanku lagi.
"Aku tak butuh uangmu! Mulai saat ini kau tak perlu repot-repot untuk membiayai kuliahku lagi. Namun, kau hari pergi dari sini, Ulya!" seruku sambil menahan gemuruh di dada yang meledak-ledak.
BERSAMBUNG.
IBUKU BUKAN BABUMU 2"Oh, sungguh? Kebetulan sekali kalau begitu! Aku memang sudah muak menjadi sapi perah di keluarga ini. Biaya hidup kalian aku yang tanggung. Listrik, beras, uang kuliah bahkan beli sab ...""Stop! Kau tak perlu mengungkit dan melebih-lebihkan, Mbak! kau jangan pura-pura amnesia. Sewaktu, Mas Damar masih bekerja. Dia memenuhi semua kebutuhanmu dan sekarang pun sekuat tenaga dia bekerja agar tidak melulu meminta padamu. Jadi, jangan merasa paling berjasa. Jika tidak mengasuh anak-anakmu, Ibu sama Bapak masih tetap bisa berjualan. Sekarang urusi diri kita masing-masing. Kau pergi dari sini. Bawa anak-anakmu. Kau kira mudah mencari pembantu yang amanah dijaman sekarang!"Dengan bebas bibirku mengeluarkan kata-kata yang selama ini mendesak didalam dada. "Dinara, kamu ini apa-apaan, Nduk. Jangan musuhi Mbak-mu seperti itu. Jika bukan Ibu siapa yang akan merawat Alesha dan Fikri." Suara ibu bergetar menahan tangis. Rasa sayangnya pada cucu membuat Ibu betah didurhakai m
IBUKU BUKAN BABUMU 3"Damar! Kalau kamu apa apakan Dinara! Bapak tak akan mengampunimu!" Teriak Bapak kencang. Tangan Mas Damar yang terangkat kembali dia turunkan. "Hah!" Dia menghembuskan napas kasar.Perlahan aku membuka mata. Mas Damar sudah duduk di sofa dengan bahu turun naik. Kedua tangan saling memilin."Kamu itu! Seharusnya berterima kasih pada adikmu. Dia peduli sama Ibunya. Ga seperti kamu! Ibumu dijadikan babu sama Ulya. Kau diam saja!" Bapak mendekat dengan kaki yang digeret."Seharusnya dia berkata baik-baik, Pak. Sekarang Ulya tak mau lagi mengeluarkan dana untuk kuliah Dinara! Dia malah akan menggugat cerai jika Damar tetap membantu." Suara Mas damar serak. Sungguh ja hat perempuan itu. Tega dia membuat suaminya berada dalam dilema."Tak apa, Mas. Nara akan berhenti sementara kuliah. Selamatkan saja rumah tangga Mas. Tak perlu hiraukan kami," lirihku.Mas Damar menyugar rambutnya dengan kasar lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Laki-laki yang masih mengenakan
IBUKU BUKAN BABUMU (4)"lepaaaas! Lepas!" Mbak Ulya berteriak histeris karena rambutnya kutarik kencang."Dinara! Ya Allah, Nara! Lepaskan Mbak-mu, Nduk." Ibu berusaha menarik tanganku agar terlepas dari rambut Mbak Ulya. Namun, sakit hatiku masih belum lah reda. Sekuat tenaga aku buat perempuan itu kapok. Hingga kepalanya ketarik juga ke bawah."Kau selalu menghinaku, Mbak! Seolah-olah hidupku kau yang menanggung. Padahal, apa yang kau berikan pada kami adalah timbal balik atas apa yang telah kami lakukan untuk kamu dan anakmu!" Nafasku memburu. Seiring tangan yang masih mencengkeram rambut perempuan itu erat."Iya, Ra. Iya! Mbak minta maaf. Tapi, lepaskan dulu, Ra. Lepaskan, mbak sakit, Ra!" Aku tak menggubris."Apa yang Mbak katakan pada Mas Damar? Sehingga dia hampir menamparku!" Gigiku masih gemeretuk menahan emosi."Ga ada, Ra. Mbak ga bilang apa-apa.""Bohong! Tak mungkin Mas Damar sebegitu marahnya jika mbak tidak mengatakan macam-macam." Suaraku makin meninggi."Ampun, Ra. A
IBUKU BUKAN BABUMU (5)Hari pertama begitu melelahkan. Apalagi Pak Joshua, atasan yang banyak maunya. Padahal, masih banyak karyawan lain yang lebih paham seluk beluk kantor itu. Tapi, dia sengaja menyuruhku yang bahkan belum hafal ruangan-ruangan disini. Apalagi aku hanya seorang cleaning service, apa iya jobdesk-ku mengantar-antarkan dokumen? Mau nolak tapi dia bos."Capek ya, Nduk?" Ibu memijit bahuku. Aku lekas meraih tangan Ibu lalu menciumnya."Ga Bu. Ga capek, hanya saja Dinara ngantuk,"kilahku. Ibu menjatuhkan bobot tubuh di samping. "Maafkan Ibu ya, Nduk. Kamu jadi capek begini," tatapan ibu begitu sayu."Ibu, Ibu ga perlu minta maaf. Justru Dinara bahagia melihat ibu yang sekarang. ga dibentak bentak mulu sama si Pa'ul. Mentang-mentang dia punya gaji. Sebentar lagi Dinara kan juga bakal punya gaji. Nanti kita makan makan di luar ya, Bu." Ibu menggeleng sambil mengusap pipiku."Ndak, Nduk. Uangnya harus kamu simpan untuk biaya kuliah. Jangan lama-lama cutinya. Entar tua send
IBUKU BUKAN BABUMU (6)"Bapak sudah bilang sama Ibumu. Katanya kasian. Badan udah tua masih ngurus cucu, sholat suka telat, makan juga ga sempat. Ibumu susah dibilangin!" sungut Bapak. Aku terdiam tak tau lagi harus berkata apa. Selama beberapa Minggu ini Ibu ternyata masih mengasuh anaknya Mbak Ulya. Pantas tak lagi jualan. Mengaku capek, padahal dijadikan babu lagi sama mbak Ulya. "Ulya mau membiayai kuliahmu, Nduk. Ga usah kerja lagi. Nanti saja kalau sudah selesai kuliah kamu kerja di tempat yang pantas," potong Ibu. Aku menarik napas panjang. Tak ingin menyalahkan Ibu. Mungkin hati kecil Ibu juga tak mau berlelah-letih mengasuh cucu. Tapi, keadaan memaksa untuk melakukan hal itu. Selain Alesha yang tak mau dengan orang lain. Orang tuanya juga ga be cus menjadi pendidik.Aku merebahkan diri di sandaran sofa. Hari ini aku terpaksa bolos. Pikiranku tak tenang. Melihat Mbak Ulya melenggang pergi dengan wajah tanpa dosa membuatku tak sanggup berangkat hari ini. Geram betul rasanya ha
IBUKU BUKAN BABUMU 7"Dinara! Awas kalau kamu ngadu!" Teriaknya dari dalam. Aku tersenyum kecut sambil berjalan ke arah motor. Aneh laki-laki itu. Udah susah bukannya berusaha agar bangkit kembali malah makin menenggelamkan diri. Aku terus melaju meski mendengar Mas Damar memanggil-manggil, walau motor mulai menjauh. Dari kaca spion aku dapat melihat Abangku itu keluar dengan baju yang sudah rapi. Tapi, aku tak peduli. Dia sudah cukup umur untuk membedakan mana dosa yang harusnya dia jauhi.Sesampainya dirumah ada Cherryl yang sedang duduk. Gadis bermata sipit itu mengendong Alesha."Hei! Kamu dari mana, Dinara? Kenapa ga kerja hari ini?"sapanya."Dari rumah Mas Damar. Kesel aku sama dia. Btw, kamu tau dari mana kalau aku ga masuk?""Dari Mas Joshua. Maksudku Pak Joshua. Dia yang mengadu kalau kamu ga masuk. Mungkin karena aku yang merekomendasikan kamu padanya jadi dia laporan deh.""Maafkan aku ya, Cher. Kinerjaku membuat kamu malu.""Gapapa. Aku udah bilang Papa kok. Kamu itu seben
IBUKU BUKAN BABUMU 8"Kamu mau minjam uang? Ga salah? Kamu baru sebulan kerja disini. Dan hari ini meminjam uang dua puluh juta? Hahaha!" Tawa Pak Joshua menggema. Aku menunduk sambil mengigit bibir. Memang tak ada pantas pantasnya permintaanku."Kembali lah bekerja. Oh ya, kamu di panggil Pak Edward ke ruangannya. Sana cepat temui. Kalau tak ingin gaji kedua kamu di potong karena terlalu lelet," ketusnya. Hatiku terserak. Harapan untuk memulai usaha dengan Bapak hancur sudah. Apa yang harus aku katakan pada Bapak nanti? Dengan berat aku melangkah keluar. Setelah ini entah apa lagi yang akan aku dapatkan. Apa teguran lagi atau nasehat agar aku bekerja lebih rajin."Dinara! Kamu kenapa? Kok lemes banget?" Tanya Mbak Lisa yang berpapasan denganku."Gapapa, Mbak. Aku hanya sedang tak enak badan," kilahku."Kamu kena marah Pak Jo, ya? Sabar ya. Dia emang galak. tapi, baik hati kok." Aku hanya tersenyum tipis. Baik apanya? Minjam duit aja ga dapat malah dapat kabar mengerikan. Jaman sekar
IBUKU BUKAN BABUMU 9"Mau kemana, Nduk?" Tanya ibu khawatir. Aku mengusap air mata dengan punggung tangan."Dinara mau ngekost, Bu. Bukan karena Dinara mau ngelawan sama Ibu, atau karena ngiri Ibu lebih sayang sama cucu dan menantu Ibu. Bukan! Tapi, Nara rasa, Nara butuh tempat untuk menyendiri. Nara ... Nara tak tega melihat Ibu kecapekan. Melihat ibu repot dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. Tapi, Nara tak berdaya. Nara tak seperti mbak Ulya yang punya uang banyak untuk membayar jasa orang lain. Atau memberi upah pada mertuanya sendiri. Maafkan Nara, Bu. Kalau ibu menerima upah untuk membayar uang kuliah Nara, Nara tak bisa terima," sakit sekali dada ini saat berkata seperti itu.Apa ibu tak paham juga jika aku sangat mengkhawatirkannya. Ibu punya darah tinggi, dan punya riwayat masalah pada jantung. Selama ini jualan lebih banyak bapak yang bekerja karena Bapak juga mengerti ibu tak boleh banyak aktivitas. Sekarang justru ibu dengan santai mengijinkan Mas Damar dan istrinya tin
"Ma ..." "Saya bukan Mamamu!"sentaknya lalu masuk tanpa kupersilahkan. Bahunya bahkan sampai menyengol lenganku."Ini rupanya rumah yang dibelikan suamiku untukmu?" Mama mengitari ruang tamu dengan mata menatap lukisan lukisan alam yang sengaja dipajang Mas Yazid."Mana foto pernikahan kalian, kalau benar kamu sudah resmi menikah dengan anakku!" Mata itu kini mengarah tajam padaku."Kami memang tidak memajang foto, Ma. Tapi pernikahan kami tercatat resmi dalam catatan sipil.""Halah, kalian bisa saja membayar calo untuk mendapatkan itu.""Astaghfirullah, buat apa, Ma? Pernikahan tanpa ijab qobul, tidak disaksikan oleh para saksi sama saja batal. Apalagi pernikahan palsu. Itu hanya akan menambah dosa, merugikan diri sendiri. Tinggal berdua dengan pasangan yang belum sah menjadi suami, sama saja dengan berzina!" Suaraku sedikit meninggi. "Halah! sok ngomong dosa. Dalam agama kamu, memisahkan seorang anak dengan ibunya apakah tidak berdosa?" Wajah Bu harsanti memerah. Aku menunduk samb
Semua mata menatap ke arah Papa. Aku dan Zahra saling pandang. Sangat jelas jika Zahra tampak sangat kecewa dengan penolakan Papanya.Aku menepuk pundak sahabat sekaligus adik iparku itu pelan. Lalu memeluknya. Ada isak kecil yang terdengar sumbang."Saya tak bisa kalau saya tak diajak ikut ke dalam kebahagiaan yang anak saya dapatkan." Lanjut Papa lantang.Zahra melepas pagutannya dan langsung membalikkan badan menoleh ke arah Papa. Aku pun sama. Yang kulihat sungguh diluar dugaan. Papa meraih tangan Ustadz Hanif."Bantu saya untuk masuk dan mempelajari Islam."Mas Yazid yang berbeda disana bergegas mendekati Papa. Dan langsung memeluknya. Lelaki itu menangis haru. Bagaimana tidak, cukup berat perjuangannya meyakini papa akan kepercayaan barunya ini. Kalau akhirnya harus meninggalkan kedua orang tuanya. Dan kini tanpa diminta ataupun dipaksa. Papa Edward menyatakan ingin masuk Islam.Hari itu juga Papa mengikrarkan keislamannya dengan membaca dua kalimat syahadat. Suara haru menyelim
Tak menyangka jika Bu harsanti telah menyiapkan preman-preman itu untuk membuatku menyerah. Itu tidak akan pernah terjadi. Meski nyawa harus kukorbankan. Bagiku pernikahan adalah ikatan suci yang dapat terpisah karena memang sudah tidak ada kecocokan di antara pasangan suami-isteri. Atau salah satunya menyerah dan melepaskan tanggung jawabnya dengan cara baik-baik. Tidak dengan cara seperti ini.Enam orang preman sudah kutaklukkan. Begitulah mereka hanya modal tampang seram dan tubuh besar menganggap remeh seorang perempuan.Tepat saat preman terakhir kujatuhkan. Perutku terasa kram. Aku meringis, menahan sakit. Lalu terduduk dilantai. "Lepas! Lepaskan!" Suara teriakan perempuan di belakang mengejutkanku. Aku menoleh seketika darahku terkesiap. Kini Pak Edward dan Mama Mas Yazid sedang bergelut memperebutkan sebuah stik golf yang ada di tangan Bu Santi. "Sudah cukup, Ma! Cukup! Papa tak pernah mengijinkan Mama sampai sejauh ini!""Iya! Ini kemauan Mama sendiri. Papa terlalu lemah. P
POV Yazid "Pulanglah, Josh. Kalau kamu pulang. Mama akan memberikan apa yang kamu mau."Entah dari mana datangnya, Mama sudah berada di samping mobilku."Mama? Mama kok tau josh disini?" Tanyaku agak khawatir. Namun, melihat mama yang memakai kerudung aku jadi ragu. Jangan-jangan Mama sadar setelah setahun ini ditinggalkan anak-anaknya."Josh, kamu sudah mendapatkan jalan kebenaran. Kenapa kamu tidak mengajak Mama?" Mata Mama sendu. Tak ada lagi sinar keangkuhan seperti dulu. Agaknya Mama sudah menyesali semuanya."Maksud Mama?" "Pulanglah Josh. Kita mulai lagi hidup seperti dulu. Mama tak akan memaksa apa yang tidak kamu suka. Kamu bebas memilih jalan hidupmu, Nak." Suara Mama begitu lembut. Menggetarkan hati yang memang selalu merindukannya. Aku mendekat dan memeluk Mama. Mama memelukku erat. Bahunya turun naik menahan isak. Kini aku sebenar yakin jika Mama memang sudah berubah."Joshua akan pulang bersama mama. Tapi, ijinkan Joshua untuk kerumah terlebih dahulu, Ma. Karena mama s
Hari ini Zahra memutuskan untuk pulang. "Za, kamu yakin?" Tanyaku lagi. Zahra menatap sejenak lalu menyunggingkan senyum. Perempuan itu masih terus berkaca membetulkan letak kerudungnya. Pembawaannya sangat tenang, berbeda sekali denganku. Aku khawatir, padahal Zahra mau bertemu dengan orang tuanya sendiri. Namun, mereka kan sudah berbeda. Orang tua mana yang rela melihat anak-anaknya berpindah haluan seperti itu."Wajah kamu tegang banget, Ra," cetusnya sambil tertawa kecil."Aku cuma mau bertemu Mama dan Papa, Ra. Bukan kawanan mafia," pungkasnya lagi."Tapi, aku takut, Za.""Kamu tenang aja. Aku tak akan mati karena bertemu mereka kok. Bagaimanapun mereka adalah orang tuaku 'kan, Ra. Yah, semoga saja Kak Yazid ada disana."Aku mengangguk lalu menunduk."Ra, jangan gitu dong. Mana Dinara yang kuat, tegar dan tangguh dulu. Masa kamu melepasku dengan wajah cemberut begitu."Aku masih bergeming. Pikiranku bercabang kemana-mana. Melihat ancaman dan sikap Bu Harsanti waktu itu, masih me
"Za, apa Mas Joshua bersamamu?" Tanyaku ketika telepon tersambung."Lho, tumben kamu panggil Kak Yazid, Mas Joshua?" Kekehnya. Aku tersenyum tipis, walau aku tau Zahra tak bisa melihat. Pikiranku sedang tidak enak."Eh, maksudnya Mas Yazid." Ralatku."Enggak, kan tadi ke kajian. Memang belum pulang?" Aku mendesah sambil menatap jam di dinding yang sudah menunjukkan angka sepuluh. Aku telah memberi udzur sampai dua jam atas keterlambatan Mas Yazid. Tapi, laki-laki itu tetap saja belum menampakkan diri."Belum, Ra. Tadi katanya lagi ngobrol sama Ustadz Hanif. Tapi, kok lama banget, ya? Menurut kamu Mas Yazid masih disana ga sih?""Hmm ... Aku juga kurang tau, Ra. Tapi, kan Mas Yazid bukan tipe orang yang suka mengobrol lama. Dan aku yakin Ustadz Hanif pun juga sama."Aku menghela napas panjang. Aku sepemikiran. Tapi, aku tak punya alasan lain untuk membenarkan keterlambatan ini."Apa kamu punya nomor telepon Ustadz Hanif?""Ga lah, Ra. Aku ga kuat menahan hati nanti." Dia cekikikan. Aku
Darah mengucur dari perut ibu. Aku berteriak histeris. Mas Damar yang melihat tik*mannya yang salah sasaran berdiri mematung. Ibu mulai rebah tepat saat tanganku memegang tubuhnya.Mas Yazid yang baru datang terpaku melihat keadaan yang mengerikan itu."Mas, hayo bawa Ibu ke rumah sakit!" Pekikku memecah kebuntuan.Dengan sigap Mas Yazid menggendong ibu dan membawanya masuk ke dalam mobil. Dia tak peduli dengan bajunya yang terkena noda darah. "Aku tak sengaja, sungguh aku tidak ingin memb*nuh ibu."Aku mengabaikan raungan Mas Damar yang terlihat frustasi. Warga yang berdatangan sangat terkejut. Mereka langsung berinisiatif untuk meringkus Mas Damar. Sementara aku dan Mas Yazid segera meluncur ke rumah sakit. Semua berjalan begitu cepat. Maghrib yang syahdu, berubah menjadi sebuah tragedi yang menakutkan. Ternyata ada iblis di dalam hati lelaki itu. "Ibu bertahanlah, Bu." Aku memegang tangan Ibu erat. Tangannya terasa dingin. Air mataku tak henti mengalir. Jalanan yang mulai padat m
Suara tangis anak-anak terdengar ramai dari dalam. Bukankah hanya ada Dani--anaknya Retna. Aku terus mengetuk pintu, tak sabar ingin segera masuk. "Sabar, Sayang. Mungkin Ibu lagi di kamar mandi." Mas Yazid menyentuh bahuku."Aku khawatir, Mas." Mas Yazid yang memakai topi dan kaca mata hitam itu merangkul pundakku lalu ikut mengetuk pintu. Beberapa kali mencoba memutar kenopnya, tapi tak bisa sepertinya terkunci dari dalam."Assalamu'alaikum, Bu. Buka pintunya, Bu."Ceklek. Pintu terbuka. Bau busuk langsung menusuk hidung. Tiga anak kecil sedang bertangisan dilantai. Pakaian mereka kumuh. Bahkan, anak yang kukenali seperti Alesha sedang memegang pakaian penuh kotorannya."Astaghfirullah, Mas Damar?" Mataku membola melihat laki-laki dengan wajah kusut itu memegang sebuah pisau. Matanya tajam, menatapku."Kau baru kembali? Puas lihat semua ini?" Bentaknya penuh emosi. "Ada apa, Mas? Kenapa bisa seperti ini?" Mataku liar menatap kekacauan dirumah ini. Ruangan yang dulu selalu rapi dan
IBUKU BUKAN BABUMU 42 POV Damar 2 "Maaf, Mas Damar. Alesha dan Fikri kami antar ke sini. Kami pun bukan orang mampu. Kami tak sanggup untuk membiayai mereka. Mamanya Mbak Ulya juga sudah tua. Jadi kami kembalikan kesini." Nuri--saudara Ulya memulai kata. "Tapi, aku ..." "Aku pamit dulu, Mas. Takut ketinggalan, Bis." Perempuan memotong ucapanku lalu bangkit dan menyalami Ibu yang duduk lemas sambil memangku Alesha, di sampingku. "Nur ..." Panggilku. Namun, perempuan itu tak menoleh lagi. "Pa, Fikri lapar. Dari kemarin belum makan." Rengek Fikri. Helaan napas Ibu terdengar jelas. Kini ada 3 anak yang masih kecil-kecil dirumah ini. Astaga! Aku menyugar rambut. Kenapa perempuan yang aku nikahi tidak ada satupun yang beres. "Kasih Fikri makan dulu, Mar. Itu masih ada sisa nasi sama goreng telor dadar. Alesha mungkin juga lapar. Sekalian kamu suapin. Ibu lelah sekali, Mar." "Damar mana bisa, Bu." Aku mengeluh. Selama ini aku tak pernah ikut membantu menjaga anak-anak. Aku tak bi