IBUKU BUKAN BABUMU 8"Kamu mau minjam uang? Ga salah? Kamu baru sebulan kerja disini. Dan hari ini meminjam uang dua puluh juta? Hahaha!" Tawa Pak Joshua menggema. Aku menunduk sambil mengigit bibir. Memang tak ada pantas pantasnya permintaanku."Kembali lah bekerja. Oh ya, kamu di panggil Pak Edward ke ruangannya. Sana cepat temui. Kalau tak ingin gaji kedua kamu di potong karena terlalu lelet," ketusnya. Hatiku terserak. Harapan untuk memulai usaha dengan Bapak hancur sudah. Apa yang harus aku katakan pada Bapak nanti? Dengan berat aku melangkah keluar. Setelah ini entah apa lagi yang akan aku dapatkan. Apa teguran lagi atau nasehat agar aku bekerja lebih rajin."Dinara! Kamu kenapa? Kok lemes banget?" Tanya Mbak Lisa yang berpapasan denganku."Gapapa, Mbak. Aku hanya sedang tak enak badan," kilahku."Kamu kena marah Pak Jo, ya? Sabar ya. Dia emang galak. tapi, baik hati kok." Aku hanya tersenyum tipis. Baik apanya? Minjam duit aja ga dapat malah dapat kabar mengerikan. Jaman sekar
IBUKU BUKAN BABUMU 9"Mau kemana, Nduk?" Tanya ibu khawatir. Aku mengusap air mata dengan punggung tangan."Dinara mau ngekost, Bu. Bukan karena Dinara mau ngelawan sama Ibu, atau karena ngiri Ibu lebih sayang sama cucu dan menantu Ibu. Bukan! Tapi, Nara rasa, Nara butuh tempat untuk menyendiri. Nara ... Nara tak tega melihat Ibu kecapekan. Melihat ibu repot dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. Tapi, Nara tak berdaya. Nara tak seperti mbak Ulya yang punya uang banyak untuk membayar jasa orang lain. Atau memberi upah pada mertuanya sendiri. Maafkan Nara, Bu. Kalau ibu menerima upah untuk membayar uang kuliah Nara, Nara tak bisa terima," sakit sekali dada ini saat berkata seperti itu.Apa ibu tak paham juga jika aku sangat mengkhawatirkannya. Ibu punya darah tinggi, dan punya riwayat masalah pada jantung. Selama ini jualan lebih banyak bapak yang bekerja karena Bapak juga mengerti ibu tak boleh banyak aktivitas. Sekarang justru ibu dengan santai mengijinkan Mas Damar dan istrinya tin
HENING DALAM LUKA 10Aku mengusap-usap mata memastikan jika apa yang aku lihat bukanlah ilusi karena aku terlalu memikirkan Hening. Namun, perempuan itu sudah berdiri membelakangi dan masuk ke dalam rumah. Rasa penasaran begitu menggebu. Aku menginjak pedal gas dan melaju masuk ke halaman rumah Hening. Pintu itu terbuka lagi. Kali ini wajah Mas Hanan muncul disana. Dengan kedua tangan ditopang ke pinggang."Mas Hanan. Sa--saya kebetulan lewat." Gugup. itu lah yang kurasakan. Meski setahun berlalu tapi aku masih merasakan sakitnya pukulan Mas Hanan."Buat apa kau kesini lagi!" Suaranya meninggi terdengar bukan seperti sebuah pertanyaan."Sa--saya melihat Hening," ucapku ragu-ragu.Mas Hanan tertawa terbahak-bahak. Jelas rahangnya mengeras menahan emosi. Segila ini kah aku?"Pulanglah! Sebelum aku mematahkan batang lehermu!"Pintu terbuka. Bu Husni muncul dengan wajah cemas. Lalu memegang pundak anak lelakinya itu."Hanan! Belajarlah mengontrol emosi. Ingat apa yang Rasullullah pesankan
"Jangan banyak bengong! Tadi saya hanya becanda! Kamu jangan ge er," celetuk Pak Joshua setelah kini kami berada dalam ruangan yang sama. "Iya, Pak. Saya juga paham," jawabku. Siapa juga yang mau jadi istri laki-laki kaku seperti dia."Saya akan memindahkan ruangan sekretaris kesini. Biar saya gampang memanggil jika butuh." Aku mengangkat wajah, seruangan dengannya? Apa itu tidak berbahaya? Takut ketularan garingnya dia aku nanti."Kenapa? kamu keberatan?" Tanyanya menatapku tajam."Ti-tidak Pak, sama sekali tidak." Mau jawab apalagi 'kan.Benar saja sekitar jam satu siang, meja dan kursi baru sudah tiba. Mbak Mila yang merupakan mantan sekretaris Pak Joshua diminta datang untuk serah terima jabatan. Perempuan yang beberapa waktu lalu habis melahirkan itu begitu sopan dan baik. Dengan lembut dia mengajarkan apa saja yang menjadi tugas dan tanggung jawabku."Makasih, ya, Mbak." Ucapku sambil mengantarkan mbak Mila keluar ruangan."Semangat ya, Dinara. Pak Joshua itu orangnya memang te
"Saya mau modalin Bapak saya buka toko ATK, Pak," jawabku pelan. Malu rasanya. Apa Pak Jo akan mengungkit lagi kejadian waktu itu? Kalau untuk meminjamkan aku rasa tak mungkin. Karena aku baru sebulan bekerja sebagai sekretarisnya."Saya akan meminjamkan kamu. Tapi, bukan uang perusahaan. Melainkan udah pribadi saya. Nanti akan dikirim bersamaan dengan gaji. Kamu bisa pakai dulu." Tanpa menatapku laki-laki itu terus memainkan jemarinya di atas keyboard. Namun apa yang dia sampaikan membuatku membulatkan mata."Bapak serius?" Ada rasa haru yang menyeruak."Iya! Apa pernah saya becanda!"ketusnya.Tak tau lagi apa yang harus aku katakan. Yang jelas aku sangat senang, kalau dia perempuan sudah kupeluk erat dirinya."Apa lihat lihat! Kamu berniat memeluk saya! Sudah sana kembali ke mejamu!" Wajahku memerah. Pak Jo kenapa bisa berpikiran seperti itu. Setelah mengucapkan terima kasih aku kembali ke meja. Ingin jingkrak-jingkrak tapi tak mungkin. Aku hanya mengusap wajah berkali-kali berucap
Mas Damar berjalan ke arahku, aku pun siaga. Saat jarak kami tinggal selangkah aku memutar kaki yang menjadi tumpuan dengan cepat. Dan melancarkan serangan tepat pada tangan Mas Damar yang sedang terangkat. Kakiku mengha ntam keras, hingga Mas Damar terhuyung, lalu secepat kilat tangan kananku bergerak ke arah mukanya. Wajah sok baik itu pun mencicipi bogem mentah dariku.Mas Damar jatuh tersungkur. Retna terpekik melihat kejadian itu. Aku menarik napas dalam-dalam lalu melepaskan perlahan. Ternyata aku masih belum lupa gerakan yang pernah kupelajari dulu. Lumayan untuk memberi pelajaran pada bua ya bu ntung ini."Nara! Kur ang aja r kamu!" Mas Damar meringis sambil memegang hidungnya yang mengeluarkan darah. Ujung bibirnya juga pecah."Makanya jangan remehkan aku, Mas!" Aku melipat tangan di dada."Sekarang kita pulang. Kamu harus mengakui semuanya pada Ibu dan Bapak juga Mbak Ulya. Semua yang kau lakukan ada konsekuensinya, Mas!""Nara ... Plis, Mas mohon. Mas hanya khilaf, Ra. Kamu
"Damar? Kamu kenapa, Nak? Astaghfirullah siapa yang memukulmu seperti ini, Nak? Ya Allah, Bapak ...!"Ibu benar-benar cemas. "Retna! Damar kenapa? Siapa yang mengh ajarnya sampai babak belur begini?" Retna diam menunduk takut."Bu ..." Tangis Mas damar pecah membuat Ibu terdiam bingung. Bapak kemudian datang."Kenapa kamu, Damar? Kamu ini dari dulu selalu bikin ulah. Udah nikah pun masih membuat susah," bentak Bapak geram."Pak! Jangan gitu! Dia anakmu," bela Ibu."Dia anakmu, bukan anakku!" Sentak Bapak lalu membuang pandang. Ibu menatap Bapak dengan mata berkaca-kaca. Aku juga bingung mau bagaimana. Apa maksud Bapak jika Mas Damar anak Ibu, bukan anak Bapak? Aku penasaran, tapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Suasana makin panas. Aku tak tau apa yang akan terjadi jika Ibu dan Bapak tau Mas Damar berzina dengan baby sitter anaknya yang merupakan sepupu Mbak Ulya."Mas Damar jatuh tadi, Bu. Ada tukang rongsokan yang lewat ga lihat-lihat. Mas Damar tak sengaja menabra
Mas Damar berjalan ke arahku, aku pun siaga. Saat jarak kami tinggal selangkah aku memutar kaki yang menjadi tumpuan dengan cepat. Dan melancarkan serangan tepat pada tangan Mas Damar yang sedang terangkat. Kakiku mengha ntam keras, hingga Mas Damar terhuyung, lalu secepat kilat tangan kananku bergerak ke arah mukanya. Wajah sok baik itu pun mencicipi bogem mentah dariku.Mas Damar jatuh tersungkur. Retna terpekik melihat kejadian itu. Aku menarik napas dalam-dalam lalu melepaskan perlahan. Ternyata aku masih belum lupa gerakan yang pernah kupelajari dulu. Lumayan untuk memberi pelajaran pada bua ya bu ntung ini."Nara! Kur ang aja r kamu!" Mas Damar meringis sambil memegang hidungnya yang mengeluarkan darah. Ujung bibirnya juga pecah."Makanya jangan remehkan aku, Mas!" Aku melipat tangan di dada."Sekarang kita pulang. Kamu harus mengakui semuanya pada Ibu dan Bapak juga Mbak Ulya. Semua yang kau lakukan ada konsekuensinya, Mas!""Nara ... Plis, Mas mohon. Mas hanya khilaf, Ra. Kamu
"Ma ..." "Saya bukan Mamamu!"sentaknya lalu masuk tanpa kupersilahkan. Bahunya bahkan sampai menyengol lenganku."Ini rupanya rumah yang dibelikan suamiku untukmu?" Mama mengitari ruang tamu dengan mata menatap lukisan lukisan alam yang sengaja dipajang Mas Yazid."Mana foto pernikahan kalian, kalau benar kamu sudah resmi menikah dengan anakku!" Mata itu kini mengarah tajam padaku."Kami memang tidak memajang foto, Ma. Tapi pernikahan kami tercatat resmi dalam catatan sipil.""Halah, kalian bisa saja membayar calo untuk mendapatkan itu.""Astaghfirullah, buat apa, Ma? Pernikahan tanpa ijab qobul, tidak disaksikan oleh para saksi sama saja batal. Apalagi pernikahan palsu. Itu hanya akan menambah dosa, merugikan diri sendiri. Tinggal berdua dengan pasangan yang belum sah menjadi suami, sama saja dengan berzina!" Suaraku sedikit meninggi. "Halah! sok ngomong dosa. Dalam agama kamu, memisahkan seorang anak dengan ibunya apakah tidak berdosa?" Wajah Bu harsanti memerah. Aku menunduk samb
Semua mata menatap ke arah Papa. Aku dan Zahra saling pandang. Sangat jelas jika Zahra tampak sangat kecewa dengan penolakan Papanya.Aku menepuk pundak sahabat sekaligus adik iparku itu pelan. Lalu memeluknya. Ada isak kecil yang terdengar sumbang."Saya tak bisa kalau saya tak diajak ikut ke dalam kebahagiaan yang anak saya dapatkan." Lanjut Papa lantang.Zahra melepas pagutannya dan langsung membalikkan badan menoleh ke arah Papa. Aku pun sama. Yang kulihat sungguh diluar dugaan. Papa meraih tangan Ustadz Hanif."Bantu saya untuk masuk dan mempelajari Islam."Mas Yazid yang berbeda disana bergegas mendekati Papa. Dan langsung memeluknya. Lelaki itu menangis haru. Bagaimana tidak, cukup berat perjuangannya meyakini papa akan kepercayaan barunya ini. Kalau akhirnya harus meninggalkan kedua orang tuanya. Dan kini tanpa diminta ataupun dipaksa. Papa Edward menyatakan ingin masuk Islam.Hari itu juga Papa mengikrarkan keislamannya dengan membaca dua kalimat syahadat. Suara haru menyelim
Tak menyangka jika Bu harsanti telah menyiapkan preman-preman itu untuk membuatku menyerah. Itu tidak akan pernah terjadi. Meski nyawa harus kukorbankan. Bagiku pernikahan adalah ikatan suci yang dapat terpisah karena memang sudah tidak ada kecocokan di antara pasangan suami-isteri. Atau salah satunya menyerah dan melepaskan tanggung jawabnya dengan cara baik-baik. Tidak dengan cara seperti ini.Enam orang preman sudah kutaklukkan. Begitulah mereka hanya modal tampang seram dan tubuh besar menganggap remeh seorang perempuan.Tepat saat preman terakhir kujatuhkan. Perutku terasa kram. Aku meringis, menahan sakit. Lalu terduduk dilantai. "Lepas! Lepaskan!" Suara teriakan perempuan di belakang mengejutkanku. Aku menoleh seketika darahku terkesiap. Kini Pak Edward dan Mama Mas Yazid sedang bergelut memperebutkan sebuah stik golf yang ada di tangan Bu Santi. "Sudah cukup, Ma! Cukup! Papa tak pernah mengijinkan Mama sampai sejauh ini!""Iya! Ini kemauan Mama sendiri. Papa terlalu lemah. P
POV Yazid "Pulanglah, Josh. Kalau kamu pulang. Mama akan memberikan apa yang kamu mau."Entah dari mana datangnya, Mama sudah berada di samping mobilku."Mama? Mama kok tau josh disini?" Tanyaku agak khawatir. Namun, melihat mama yang memakai kerudung aku jadi ragu. Jangan-jangan Mama sadar setelah setahun ini ditinggalkan anak-anaknya."Josh, kamu sudah mendapatkan jalan kebenaran. Kenapa kamu tidak mengajak Mama?" Mata Mama sendu. Tak ada lagi sinar keangkuhan seperti dulu. Agaknya Mama sudah menyesali semuanya."Maksud Mama?" "Pulanglah Josh. Kita mulai lagi hidup seperti dulu. Mama tak akan memaksa apa yang tidak kamu suka. Kamu bebas memilih jalan hidupmu, Nak." Suara Mama begitu lembut. Menggetarkan hati yang memang selalu merindukannya. Aku mendekat dan memeluk Mama. Mama memelukku erat. Bahunya turun naik menahan isak. Kini aku sebenar yakin jika Mama memang sudah berubah."Joshua akan pulang bersama mama. Tapi, ijinkan Joshua untuk kerumah terlebih dahulu, Ma. Karena mama s
Hari ini Zahra memutuskan untuk pulang. "Za, kamu yakin?" Tanyaku lagi. Zahra menatap sejenak lalu menyunggingkan senyum. Perempuan itu masih terus berkaca membetulkan letak kerudungnya. Pembawaannya sangat tenang, berbeda sekali denganku. Aku khawatir, padahal Zahra mau bertemu dengan orang tuanya sendiri. Namun, mereka kan sudah berbeda. Orang tua mana yang rela melihat anak-anaknya berpindah haluan seperti itu."Wajah kamu tegang banget, Ra," cetusnya sambil tertawa kecil."Aku cuma mau bertemu Mama dan Papa, Ra. Bukan kawanan mafia," pungkasnya lagi."Tapi, aku takut, Za.""Kamu tenang aja. Aku tak akan mati karena bertemu mereka kok. Bagaimanapun mereka adalah orang tuaku 'kan, Ra. Yah, semoga saja Kak Yazid ada disana."Aku mengangguk lalu menunduk."Ra, jangan gitu dong. Mana Dinara yang kuat, tegar dan tangguh dulu. Masa kamu melepasku dengan wajah cemberut begitu."Aku masih bergeming. Pikiranku bercabang kemana-mana. Melihat ancaman dan sikap Bu Harsanti waktu itu, masih me
"Za, apa Mas Joshua bersamamu?" Tanyaku ketika telepon tersambung."Lho, tumben kamu panggil Kak Yazid, Mas Joshua?" Kekehnya. Aku tersenyum tipis, walau aku tau Zahra tak bisa melihat. Pikiranku sedang tidak enak."Eh, maksudnya Mas Yazid." Ralatku."Enggak, kan tadi ke kajian. Memang belum pulang?" Aku mendesah sambil menatap jam di dinding yang sudah menunjukkan angka sepuluh. Aku telah memberi udzur sampai dua jam atas keterlambatan Mas Yazid. Tapi, laki-laki itu tetap saja belum menampakkan diri."Belum, Ra. Tadi katanya lagi ngobrol sama Ustadz Hanif. Tapi, kok lama banget, ya? Menurut kamu Mas Yazid masih disana ga sih?""Hmm ... Aku juga kurang tau, Ra. Tapi, kan Mas Yazid bukan tipe orang yang suka mengobrol lama. Dan aku yakin Ustadz Hanif pun juga sama."Aku menghela napas panjang. Aku sepemikiran. Tapi, aku tak punya alasan lain untuk membenarkan keterlambatan ini."Apa kamu punya nomor telepon Ustadz Hanif?""Ga lah, Ra. Aku ga kuat menahan hati nanti." Dia cekikikan. Aku
Darah mengucur dari perut ibu. Aku berteriak histeris. Mas Damar yang melihat tik*mannya yang salah sasaran berdiri mematung. Ibu mulai rebah tepat saat tanganku memegang tubuhnya.Mas Yazid yang baru datang terpaku melihat keadaan yang mengerikan itu."Mas, hayo bawa Ibu ke rumah sakit!" Pekikku memecah kebuntuan.Dengan sigap Mas Yazid menggendong ibu dan membawanya masuk ke dalam mobil. Dia tak peduli dengan bajunya yang terkena noda darah. "Aku tak sengaja, sungguh aku tidak ingin memb*nuh ibu."Aku mengabaikan raungan Mas Damar yang terlihat frustasi. Warga yang berdatangan sangat terkejut. Mereka langsung berinisiatif untuk meringkus Mas Damar. Sementara aku dan Mas Yazid segera meluncur ke rumah sakit. Semua berjalan begitu cepat. Maghrib yang syahdu, berubah menjadi sebuah tragedi yang menakutkan. Ternyata ada iblis di dalam hati lelaki itu. "Ibu bertahanlah, Bu." Aku memegang tangan Ibu erat. Tangannya terasa dingin. Air mataku tak henti mengalir. Jalanan yang mulai padat m
Suara tangis anak-anak terdengar ramai dari dalam. Bukankah hanya ada Dani--anaknya Retna. Aku terus mengetuk pintu, tak sabar ingin segera masuk. "Sabar, Sayang. Mungkin Ibu lagi di kamar mandi." Mas Yazid menyentuh bahuku."Aku khawatir, Mas." Mas Yazid yang memakai topi dan kaca mata hitam itu merangkul pundakku lalu ikut mengetuk pintu. Beberapa kali mencoba memutar kenopnya, tapi tak bisa sepertinya terkunci dari dalam."Assalamu'alaikum, Bu. Buka pintunya, Bu."Ceklek. Pintu terbuka. Bau busuk langsung menusuk hidung. Tiga anak kecil sedang bertangisan dilantai. Pakaian mereka kumuh. Bahkan, anak yang kukenali seperti Alesha sedang memegang pakaian penuh kotorannya."Astaghfirullah, Mas Damar?" Mataku membola melihat laki-laki dengan wajah kusut itu memegang sebuah pisau. Matanya tajam, menatapku."Kau baru kembali? Puas lihat semua ini?" Bentaknya penuh emosi. "Ada apa, Mas? Kenapa bisa seperti ini?" Mataku liar menatap kekacauan dirumah ini. Ruangan yang dulu selalu rapi dan
IBUKU BUKAN BABUMU 42 POV Damar 2 "Maaf, Mas Damar. Alesha dan Fikri kami antar ke sini. Kami pun bukan orang mampu. Kami tak sanggup untuk membiayai mereka. Mamanya Mbak Ulya juga sudah tua. Jadi kami kembalikan kesini." Nuri--saudara Ulya memulai kata. "Tapi, aku ..." "Aku pamit dulu, Mas. Takut ketinggalan, Bis." Perempuan memotong ucapanku lalu bangkit dan menyalami Ibu yang duduk lemas sambil memangku Alesha, di sampingku. "Nur ..." Panggilku. Namun, perempuan itu tak menoleh lagi. "Pa, Fikri lapar. Dari kemarin belum makan." Rengek Fikri. Helaan napas Ibu terdengar jelas. Kini ada 3 anak yang masih kecil-kecil dirumah ini. Astaga! Aku menyugar rambut. Kenapa perempuan yang aku nikahi tidak ada satupun yang beres. "Kasih Fikri makan dulu, Mar. Itu masih ada sisa nasi sama goreng telor dadar. Alesha mungkin juga lapar. Sekalian kamu suapin. Ibu lelah sekali, Mar." "Damar mana bisa, Bu." Aku mengeluh. Selama ini aku tak pernah ikut membantu menjaga anak-anak. Aku tak bi