76"Ini salah saya Tuan, saya yang memaksa ke sini melihat keadaan Tuan muda. Pak Johan tidak tahu apa-apa." Aira coba menjelaskan dengan suara terbata. "Tidak! Ini salah saya! Saya yang meminta Aira datang untuk menjenguk Tuan Muda! Pak Johan dan Aira tidak bersalah!" Dita menimpali dengan perasaan bersalah yang meraja. Semua salah dirinya yang meminta Aira datang. Bahkan Jo tidak tahu apa-apa. Lelaki itu hanya ingin melindungi mereka. "Siapa yang meminta kalian bicara, hah?" Suara Alexander tertahan. Lelaki itu sadar ini rumah sakit. Dan sang anak terbaring lemah di sana. Ia tak ingin mengganggunya. Namun, emosinya tak dapat dikendalikan. Ia merasa telah dipermainkan pekerjanya sendiri yang meminta Aira datang, padahal semua orang tahu kalau dirinya tidak suka wanita itu mendatangi lagi sang anak. "Kau!" tunjuknya ke arah wajah Dita. "Enyah dari hadapanku, sekarang! Aku memecatmu!"Pundak Dita meluruh. Wajahnya tertunduk dalam. Inilah puncak dari semuanya. Tidak pernah terpikir, k
77“Kalian tidak apa-apa?” Randi merengkuh pundak Aira. Kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Aira tidak menjawab. Ia memeluk erat Raka yang kaget karena ada adegan kekerasan di depan mata. “Apa dia melecehkanmu?” tanya Randi lagi yang tidak terima melihat Alexander menyentuh wanitanya. Aira menggeleng, setelah sebelumnya melirik Alexander yang memegangi rahangnya. “Syukurlah kalau kalian tidak apa-apa. Aku sangat mengkhawatirkan kalian.” Randi bernapas lega, setelah itu mengambil alih Raka yang masih menangis. Ditenangkannya bayi itu hingga tangisnya reda. Aira melirik lagi ke arah Alexander yang masih memegangi rahangnya. Sepertinya kesakitan, karena ia yakin Randi melakukannya dengan tenaga penuh. Dua orang pengawal yang melihat boss mereka dipukul, terlihat ingin menyerang Randi dari belakang, hingga membuat Aira hampir menjerit. Namun, cepat Alexander menahan keduanya. Sesuatu yang membuat Aira heran. Bahkan hingga Randi mengajaknya pergi dari sana, Alexander diam saja.
78Di rumah Alexander, malam ini semua orang sedang sibuk mempersiapkan sesuatu. Nina dan seorang babysitter baru sedang memasukkan baju-baju dan perlengkapan Alister ke dalam koper besar. Sementara Hasna menggendong bayi itu dengan terus memeluknya erat seolah mereka akan berpisah, saat Alexander masuk. Hasna menoleh dan mendekat ke arah boss-nya. “Tuan, apa Anda sudah yakin?” tanya wanita paruh baya dengan serius. Raut sedih tergambar jelas di sana. “Sudah berapa kali kau bertanya hal yang sama, Hasna? Seperti jawabanku sebelumnya, ya, aku yakin.” Alexander menjawab seraya memeriksa pekerjaan Nina. “Berapa lama Anda dan Tuan muda di sana, Tuan?” Hasna menatap sang boss tidak rela. “Belum tahu, kalau ternyata Alister betah dan lebih baik di sana. Kami akan menetap di sana.”“Apa itu artinya aku tidak akan bertemu Anda dan Tuan muda lagi?”Alexander menatap Hasna. Ia tahu Hasna berat berpisah dengan dirinya dan Alister. Selain Jo, Hasna adalah orang pertama yang bekerja denganny
79Aira menjerit seraya meraih tubuh mungil yang terkapar dan menangis semakin keras itu. Lalu membawanya keluar kamar mandi tanpa membilasnya lagi. “Raka, kamu tidak apa-apa, Nak?” Aira memeriksa tubuh dan kepala bagian belakang Raka sambil membawa sang anak duduk di ruang tamu. Ada memar yang membuat anak itu semakin menangis kencang saat disentuh. Aira panik. Raka semakin rewel. Apalagi sekarang pasti merasakan tubuhnya sakit. Tidak biasanya Raka seperti ini. Anak itu biasanya anteng bila dimandikan. Bahkan terkadang tidak mau beranjak dari kamar mandi karena main air dengan seru. Namun, hari ini Raka benar-benar aneh. Semua tingkahnya tidak seperti biasanya. Sekarang, ruangan itu bukan hanya penuh dengan tangisan Raka, tetapi juga ada isakan Aira yang terdengar. Wanita itu panik melihat sang anak nangis kejer tidak seperti biasa. Sang tetangga yang mendengar keributan itu mengetuk pintu, lalu mendorong pintu yang tidak dikunci. “Kenapa Raka, Mbak? Kenapa makin kejer begini?”
80Jo segera menghubungi nomor Alexander begitu selesai menerima panggilan dari seseorang. Namun, nomor sang boss sudah tidak aktif. Bahkan saat nomor yang lainnya coba dihubungi, tetap tidak aktif. Lelaki kepercayaan Alexander itu mulai panik. Dari gestur tubuhnya terlihat kalau ia mengkhawatirkan sesuatu. Kegundahan Jo mengundang perhatian Hasna yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik lelaki usia awal empat puluhan yang sudah setia mengabdi pada keluarga Ferdinand, bahkan sebelum Alexander bertemu ayahnya. “Ada apa, Jo? Kenapa gelisah?” tanya Hasna menatap lelaki tinggi berwajah kaku itu. Jo menoleh, lalu memperlihatkan berita tentang kecelakaan proyek yang menewaskan beberapa pekerja. “Apa ini?” Alis Hasna bertaut. “Suami, oh mantan suami Aira meninggal dalam kecelakaan proyek. Baru saja.”Mata Hasna melebar karenanya. Kekagetan campur sebuah harapan tersirat di sana. “Kau sudah menghubungi Tuan Alex? Cepat, sebelum terlambat!”“Nomornya tidak aktif semua! Aku sudah berusah
81“Kalian masih di sini?” tanya seseorang yang tiada lain adalah Alexander. Boss mereka yang sejak tadi berusaha dihubungi. “Kami coba menghubungimu sejak tadi, Boss.”Alexander hanya mengangguk penuh arti. Ia sangat tahu kenapa orang-orang itu menghubunginya.“Bagaimana Anda bisa ....”“Sudahlah, kita harus buru-buru!” Alexander memotong pertanyaan Hasna. Kemudian lelaki itu memberi perintah. “Jo, dan kau!” Alexander menunjuk pengawal yang sejak tadi bersama Jo dan Hasna. “Ikut aku ke rumah duka!”“Hasna dan kalian semua kembali ke rumah!” lanjut lelaki itu mengedarkan pandangan ke semua orang yang ia bawa. Binar yang sama langsung tersirat dari mata semua orang. Mereka hampir saja berteriak senang atas batalnya keberangkatan ke Kanada ini. Sejatinya semua orang tidak ada yang bahagia dengan keberangkatan ini, karena tahu kalau Alexander hanya ingin menjauhkan Alister dari ibu susunya. Mereka tahu kalau Alexander hanya ingin menghindar. Bukan, untuk berlibur seperti yang selalu
82Semilir angin sore mengembus lembut dedaunan. Bunga-bunga kamboja yang sengaja ditanam di sekitar pemakaman ikut bergoyang mengikuti irama angin. Cuaca yang berubah mendung setelah panas menyengat tadi, seolah ikut berduka atas berpulangnya seorang anak manusia tanpa tanda-tanda apa pun. Suasana duka sangat terasa saat seorang ustaz membacakan doa untuk mengantar kepergian jasad yang perlahan tertutup tanah. Jasad yang menurut berita hancur tak berbentuk, karena tertimpa material berat dari lantai atas. Namun, Aira memilih tidak melihatnya, dan langsung meminta dikebumikan saja agar kedukaannya tidak semakin bertambah. Semua orang yang ikut mengantar hingga peristirahatan terakhir Randi, tertunduk dan larut dalam lantunan doa khidmat sang ustaz. Aira yang tulang-tulangnya bagai dilolosi dari persendian, berusaha berdiri kuat di barisan terdepan, mengikuti rangkaian acara untuk mengantarkan Randi beristirahat dengan tenang. Matanya tak henti mengalirkan hujan dari sana. Di sampi
83Alexander terus melangkah tanpa menoleh lagi ke belakang. Lagi-lagi ia kalah. Wanita itu terlalu sulit untuk dikendalikan. Sepertinya, keputusannya membatalkan kepergian ke luar negeri, sia-sia belaka. Alexander mendesah resah. Beberapa meter menuju mobil, kaki-kaki panjang itu mendadak berhenti melangkah. Ia menengadah, lalu menadahkan kedua telapak tangan ke atas untuk meyakinkan kalau sesuatu yang mengenai wajahnya adalah titik-titik air dari langit.Benar. Hujan sudah turun, dan Aira masih juga di sana. Seorang diri. Hampir magrib pula. Alexander mencemaskan wanita Itu. Walaupun pada kenyataannya, wanita itu tetap acuh padanya. Beberapa saat lelaki itu terdiam. Hatinya bimbang antara meneruskan langkah, atau kembali mengajak Aira. Namun, tak lama lelaki itu kembali melanjutkan langkah menuju mobil, tanpa menoleh ke belakang. Kembali dan mengajak Aira pergi? Sepertinya hal yang tidak mungkin. Wanita itu keras pendirian. Seorang pengawal berlari tergopoh-gopoh menghampiri A
Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k
524“Sakit ….” Aldo merengek manja dengan wajah menengadah. Tangannya memeluk erat pinggang Anyelir yang pangkuannya ia jadikan bantal.Wajah lelaki itu terlihat berkeringat. Ringisan masih sesekali menghiasi wajahnya. Pemuda itu baru saja berteriak-teriak merasakan sakit akibat pijatan bapak tua penjaga villa.Akibat terlalu bersemangat dan terlampau bahagia karena melihat wanita yang dirindukannya selama ini ada di depan mata, ia berlari hingga tak memperhatikan apa pun lagi. Tangannya menyenggol keranjang buah di atas meja, hingga isinya jatuh ke lantai dan terinjak. Aldo terpeleset karena menginjak buah apel yang jatuh menggelinding, hingga tak terelakkan tubuhnya melayang jatuh. Namun, sebelumnya pinggangnya terbentur tepian meja hingga sakitnya menjadi berlipat-lipat.Beruntunglah bapak penjaga villa bisa memijat urat keseleo. Hingga ia langsung mendapat penanganan.Anyelir yang tengah memasak dibantu istri penjaga villa, kaget karena suara benturan keras. Wanita itu langsung me
524Aldo mengeratkan pelukan demi mendengar nasihat Aira. Kalau boleh memilih, ia ingin pernikahannya lanjut. Tak ingin tercerai berai karena anak yang akan menjadi korban. Kalau boleh ia ingin bertemu Anyelir dulu agar bisa bicara dari hati ke hati. Sayangnya, bahkan di mana keberadaan wanita itu, ia tidak tahu. “Jika Tuhan masih memberimu kesempatan, ingat gunakan sebaik-baiknya. Namun, jika semuanya hanya sampai di sini karena manusia hanya punya keinginan dan usaha, kau tetap harus bisa mengambil hikmahnya, Nak. Mungkin ini takdir kalian. Takdirmu. Jangan menyalahkan Tuhan. Apa yang terjadi sudah digariskan. Jika kalian harus bercerai, itu pasti takdir karena kau sudah berusaha memperbaiki semuanya. Yakin akan ada pelangi setelah hujan, Nak. Jika Tuhan memberi ujian ini, pasti disertai jalan keluar dan hikmah di baliknya.”Aldo hanya diam meresapi setiap kalimat sang ibu. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Anyelir. Namun, jika wanita itu tetap memaksa, ia bisa
523“Anye, kamu di mana?” Aldo duduk lesu di lobi hotel. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya meremas rambut dengan kuat. Berkali-kali mengembus napas kasar. Beban di dadanya terasa ingin meledak. Setelah menunggu berminggu-minggu dengan setumpuk rindu dan penyesalan, kini hanya mendapati Anyelir yang sudah tidak berada di tempat.Aldo menyandar lemah seraya merogoh ponsel dalam saku. Mencoba keberuntungan. Menghubungi lagi Anyelir. Namun hingga berkali-kali dilakukannya, tetap hanya dijawab operator.Pemuda itu memejam sebelum bangkit dan berjalan keluar. Para pengawal berwajah datar sigap mengiringi.“Putari kota ini, Pak. Siapa tahu aku melihat keberadaan istriku,” titahnya kepada sopir setelah duduk di dalam mobil. Sang sopir hanya mengangguk sebelum menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mengitari kota Surabaya seperti perintah sang majikan.Hampir seharian Aldo dan rombongan berputar-putar di sana. Semua jalan disusuri bahkan hingga jalan-jalan kecil hanya agar mendapat keber