“Aku tidak mungkin jujur perihal siapa Naura sekarang. Aku takut orangtuaku ikut campur dan berujung mempengaruhiku dalam mengambil keputusan.”Gama dan Sabrina duduk di samping sebuah danau buatan siang itu, keduanya terlihat santai tanpa takut kotor meski duduk beralaskan rumput. Masing-masing dari mereka memegang satu kaleng minuman soda dingin di tangan. Sementara Gama menatap jauh ke danau, Sabrina menunduk menekuri tanah.“Kamu pasti sangat mencintai Maha, mungkin lebih dari mencintai anakmu sendiri nanti,” ucap Sabrina. Ia menegakkan punggung lantas menoleh, begitu juga dengan Gama. Mereka pun saling tatap untuk beberapa detik, sebelum Gama menggeleng.“Entah, tapi menurutku cinta dan apapun jenis perasaan itu tidak bisa ditakar. Karena cinta tidak mungkin memilih dan tidak mungkin pilih kasih. Mungkin karena aku anak tunggal jadi pikiranku seperti itu, tapi tetap saja pandanganku tentang cinta akan selalu kunilai benar,” kata Gama. Ia tersenyum tipis lalu menoleh ke arah dana
Hari berikutnya, Felisya mengajak sang calon besan dan Sabrina ke butik untuk memilih kebaya dan gaun yang akan digunakan untuk pernikahan Gama dan gadis itu. Karena Sabrina harus menjemput Maha dulu, maka Felisya bersama Mirna memilih berbincang di ruang khusus pelanggan yang ada di butik sambil menunggu. Felisya tertawa terpingkal-pingkal saat Mirna baru saja bercerita, wanita itu memaksa Sabrina menggunakan tespek.“Bagaimana tidak takut? Tetangga sudah bergosip ini itu dan Sabrina tiba-tiba saja bilang ingin nikah minggu depan, astaga Bu Feli saya gemeteran,” ucap Mirna. “Mana saat saya nanya apa kamu udah dicheck out sama Gama? Dia jawab COD aja.”Felisya semakin terbahak bahkan memukul pelan paha wanita yang duduk di sebelahnya ini, dia sampai menyambar tisu di meja karena sudut matanya berair. “Astaga Bu Mirna kenapa Sabrina lucu sekali,” ucapnya sambil mencoba meredam tawa.Mirna dan Felisya masih bercengkerama saat Maha berlari masuk. Dengan penuh sopan santun anak itu menya
“Anda tidak boleh membohongi saya. Pengacara Pak Gama adalah suami saya sendiri, Anda mengerti ‘kan maksud saya? penting bagi Anda untuk jujur meski kejujuran itu negatif dan menjadi nilai minus untuk Anda. Sebagai pengacara saya akan membantu sebaik mungkin,” ucap Dora. Ia terus mengamati wajah Naura dan melihat perubahan ekspresinya.“Saya tidak bohong Bu Dora,” jawab Naura setelahnya menatap Dora dengan kesedihan yang sangat kentara di sana. “Saya menginginkan anak itu,”imbuhnya ambigu.Dora mengangguk, meski bisa membaca ada ketidakjujuran di wajah Naura, tapi pengacara itu memilih untuk tetap membantu, apalagi lawannya sang suami sendiri._Sama seperti apa yang dilakukan Naura kemarin, hari itu Gama juga menemui Rudi Tabuti. Selain untuk memberikan undangan pernikahannya dan Sabrina, dia juga ingin membicarakan alasan yang mungkin dipakai Naura untuk melaporkan atau menuntutnya.“Sudah sangat jelas
Beberapa menit kemudian, rombongan keluarga Gama datang. Semua nampak bahagia. Hantaran yang mereka bawa pun sepertinya tidak habis-habis diterima oleh keluarga Sabrina, bahkan hantaran itu sampai menggunung saat ditata.Dari balik jendela ruang tamu diam-diam Sabrina mengintip untuk melihat apa yang terjadi di luar, dia sedang bersama sepupu-sepupunya, hingga lagi-lagi mereka menggoda.“Kamu pakai pelet apa sih Sab sampai bisa dapat pria gantengnya kayak gitu?”“Dia punya teman jomlo nggak? Kenalin donk sama aku?”Sabrina tak menjawab, dia sibuk menatap wajah Gama yang sesekali tersenyum saat digoda oleh sang pembawa acara. Sepertinya pria itu tidak tertekan menikah dengannya, atau mungkin karena semua ini sandiwara sehingga Gama tidak merasa terbebani? Ah … Sabrina berselisih pikir dengan dirinya sendiri. Namun, satu yang pasti. Ia bertekad membuat pria itu jatuh hati padanya. Misi Sabrina adalah membuat Gama menyatakan cint
“Hah …. A-a-apa?”Sabrina gelagapan, dia tidak bisa menjawab langsung pertanyaan Maha karena bingung. Dia lebih memilih menoleh Gama, meminta bantuan pada pria itu dengan kode mata agar menjawab pertanyaan sang putra.“Iya nanti Papa berikan adik yang banyak untuk Maha, ya!”Tentu saja semua orang tertawa lebar mendengar ucapan Gama kecuali Sabrina. Gadis itu malah melebarkan bola mata. Pipinya merona menahan malu karena jawaban Gama barusan."Tenang saja Maha, Nenek dan Oma juga sudah tidak sabar kok gendong bayi," seloroh Mirna yang semakin membuat wajah Sabrina bak kepiting rebus.Sabrina pun melirik Gama, dia heran bagaimana bisa pria itu sangat tenang, sedangkan jantungnya saja hampir melompat keluar karena terus saja berdetak tak karuan.Acara akad pun selesai, resepsi akan digelar esok hari dan Sabrina diboyong ke B Hotel tempat berlangsungnya pesta.__"Maha mana?"Sabrina menoleh ke kiri dan kanan bingung mencari keberadaan putranya. Ia bahkan mendekat lagi ke arah pintu mel
Untuk yang kesekian kali Gama membuat Sabrina merasa malu. Gadis itu buru-buru mengusap matanya sendiri. Dasar Gama tukang baperin anak orang, dia malah beralih ke rambut Sabrina yang menutupi pipi. Pria itu membawanya ke belakang sampai Sabrina berhenti menggerakkan tangan.Sabrina memandangi Maha, bola mata anak itu bergerak memindai muka bantalnya, hal ini membuat dia yakin ada yang ingin dikatakan oleh Maha.“Ibu, apa ibu sayang Papa?”Sementara Sabrina terkejut, Gama malah tersenyum mendengar pertanyaan Maha. Semalam Sabrina sudah setuju berkencan dengannya, hal ini lah yang membuat Gama berani menyentuh kening dan menyibakkan rambut gadis itu, tapi bukankah Sabrina adalah istrinya, meski belum mencintai tapi rasa sayang pasti ada. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Gama saat ini. Ia pun percaya diri Sabrina akan menjawab pertanyaan Maha itu dengan kata ‘iya’.“Tidak!”Kata yang bertentangan dengan apa yang diharapkan Gama meluncur dari bibir Sabrina. Duo papa dan anak yang
Selama acara resepsi berlangsung, Semua mata tertuju pada raja dan ratu acara itu. Sabrina benar-benar dibuat tak percaya dengan banyaknya tamu undangan yang datang, dia benar-benar menyayangkan karena semua ini palsu dan hanya sandiwara. Tatapan mata Sabrina nampak kebingungan, dia tersenyum manis tapi hatinya terasa hampa. Hingga air mukanya berubah, Sabrina menolah kaget memandangi tangan Gama yang tiba-tiba menaut di jemarinya. Pria itu tersenyum melihat ke arah Rain dan Embun yang sedang menyayi untuk mereka.“Maha mana?” tanya Sabrina.Gama tak lantas menjawab, dia melihat sekeliling untuk mencari keberadaan putranya, di dalam hati pria itu lagi-lagi dibuat tak habis pikir, karena Sabrina sepertinya sangat menomorsatukan Maha.“Itu putramu di sana,” tunjuk Gama.Sabrina mengangguk, dia melihat Maha yang ternyata sedang bermain bersama Olla. Sabrina melihat Maha sedang bercanda sambil menyematkan bunga di rambut Olla.“Dasar anak-anak,” gumam Sabrina yang sempat cemas dengan ke
“Mami!” Olla menoleh Embun dengan wajah takut, hingga wanita itu berjalan cepat mendekat dan Naura pun berdiri. Meski Embun memasang muka garang tapi tetap saja Naura masih memegang tangan Maha. Menyaksikan itu, secara impulsif Embun menarik dan melepaskan tangan Naura secara paksa dari tangan sang keponakan. Naluri keibuaannya membuat Embun merasa harus pasang badan dan melindungi dua anak itu. “Siapa kamu?” tanya Embun dengan nada suara bak petugas ronda ke maling jemuran. Naura hampir saja menjawab tapi Maha lebih dulu berkata bahwa dia adalah teman jahat ibunya. Naura pun menggeleng cepat, dia takut Embun salah paham dan memakinya di sana. Meski seharusnya dia sadar memang pantas untuk dimaki. “Aku bukan teman jahat, anak kecil pasti bicara seenaknya,” ucap Naura. Ia salah tingkah. Beberapa pasang mata sudah menatap ke arah mereka dengan raut bertanya-tanya. “Aku tidak bicara seenaknya, tante memang jahat!” ucap Maha dari belakang badan Embun, dia memang ditarik ibunda Olla i
Maha masih memeluk Sabrina, anak itu mengusap perut ibunya dengan lembut hingga tiba-tiba saja wanita itu mundur sambil mendorong Maha menjauh. Sabrina merasakan ada air yang merembes deras di antara pahanya.“Ibu!” panggil Sabrina ke Mirna.Wanita itu pun mendekat, dan Maha ditarik mundur oleh Gama. Suasana kamar sedikit kacau, beruntung perawat yang mengantar Maha dan Olla tadi belum terlalu jauh pergi. Embun buru-buru memanggilnya kembali.Sabrina seperti ketakutan, dia berusaha bernapas dengan mulut hingga tanpa sadar mengejan. Sabrina memasukkan tangan ke balik baju pasien yang dikenakan dan manarik pantiesnya ke bawah.“Ibu, kepala bayiku,” pekik Sabrina setelah sadar ada yang keluar dari jalan lahir.“Hah! kepala?”Mirna dan Felisya kalang kabut, mereka berteriak memanggil dokter atau pun perawat. Beruntung Perawat tadi langsung berjongkok di dekat Sabrina. Tanganya mengadah di antara dua kaki Sabrina. Ia memberikan instruksi agar Sabrina mendorong lagi. Sabrina membuka lebar k
Lima bulan kemudianGama bingung dan cemas, sejak tadi dia mondar-mandir kamar inap Sabrina. Istrinya itu sedang kesakitan menahan gelombang cinta dahsyat yang diberikan bayi mereka. Di sela kontraksi yang mendera tubuh, Sabrina dibuat pusing dengan kelakuan Gama.“Duduk lah, apa kamu tidak capek?” tanya Sabrina sambil berusaha mencari posisi yang nyaman, ini sudah delapan belas jam, dan bayi berjenis kelamin laki-laki buah cintanya dan Gama masih sibuk mencari jalan lahir.“Sab, aku panggil dokter ya, kita lakukan operasi saja,” kata Gama. Mungkin sudah yang ke sembilan kali dia mengatakan hal ini, tapi jawaban Sabrina tetap sama.“Tidak mau, aku sudah merasakan sakitnya berjam-jam, aku bisa menahannya lebih lama.”“Jangan berbohong! kamu kesakitan Sab. Lihat apa yang kamu tinggalkan di lenganku!” kata Gama sambil menunjuk bagian tubuhnya itu. Sabrina malah tertawa mengamati bekas lecet yang dia buat, lengan Gama beberapa kali dijadikannya pegangan saat kontraksi terjadi, hingga kuk
Diwakili oleh pengacaranya, Bagaskara hari itu harus menelan rasa kecewa karena hakim pengadilan memutuskan bahwa hak asuh Maha jatuh ke tangan Gama. Menimbang segala bukti dan dikuatkan dengan surat permohonan Naura, membuat hakim yakin jika anak itu lebih baik berada di bawah pengasuhan Gama. "Maha, bilang terima kasih ke Pak hakim!" perintah Gama ke Maha yang hari itu ikut ke pengadilan bersamanya. Gurat bahagia terpatri jelas di wajah Gama juga Sabrina, akhirnya perjuangan untuk mendapatkan dokumen legal sebagai orangtua Maha sudah ada di tangan mereka. "Terima kasih," ucap Maha sambil memberikan hormat, kepalanya mengangguk kecil dan berhasil membuat hakim tersenyum. Hakim ketua mengusap kepala anak itu lembut, dia tahu Naura sudah meninggal. Agak teriris batinnya membayangkan anak sepolos Maha kehilangan ibu kandung dan bahkan tidak tahu siapa ayah kandungnya. Tak jauh dari tempat Sabrina dan Gama berdiri, Rudi berbincang dengan pengacara Bagaskara. Wajah pengacara itu
Duka masih menyelimuti hati Gama dan Sabrina, perasaan benci yang berubah menjadi simpati membuat ke duanya merasa sangat kehilangan Naura. Masih tak mereka sangka Naura harus pergi di saat hati Maha mulai terbuka, di saat semua orang bisa menerima kehadirannya dan memaafkan kesalahannya.Gama dan Sabrina menatap Maha yang terlelap tidur di ranjang mereka, belakangan anak itu seolah tahu bahwa wanita yang melahirkannya telah tiada, banyak yang Maha tanyakan salah satunya kenapa Naura pergi, ke mana dan akankah mereka bisa bertemu dengan wanita itu lagi suatu saat nanti.Awalnya Sabrina kebingungan. Menjelaskan secara rinci ke Maha jelas tidak mungkin dia lakukan, hingga sebuah kalimat paling mudah dia ucapkan. Bahwa Naura sakit, tapi kini sudah sembuh dan pergi ke surga bertemu dengan orang yang paling dikasihi.“Kemungkinan keputusan pengadilan akan dipercepat,” bisik Gama, dia peluk Sabrina dari belakang dan mengusap lengan istrinya yang terus menatap Maha.“Itu menjadi kabar baik d
Acara liburan di pantai menjadi hari terakhir Adam mendengar Naura bicara dan tersenyum. Setelah itu kondisi sang istri terus saja melemah hingga terbaring koma. Adam seorang diri menjaga Naura, bagaimana tidak? bahkan saat dikabari, Bagaskara acuh kepada kondisi putri kandungnya.“Aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi, setidaknya sebelum koma dia bahagia karena Maha mau berinteraksi dengannya, meski anak itu belum mau memanggilnya Mama.”Gama duduk bersisian dengan Adam. Mendengarkan setiap curahan hati pria itu. Gama tahu Adam pasti sangat hancur, baru saja dia menemani pria itu mendengar penjelasan dokter yang bertanggungjawab pada kondisi Naura. Gelang pasien di pergelangan tangan kiri Naura sudah diganti menjadi warna ungu yang artinya harapan hidup pasien sangat kecil. Jika semua alat penunjang kehidupan Naura dilepas, maka wanita itu akan pergi untuk selamanya.“Aku tidak ingin menyetujui saran dokter, jika harus pergi biarlah dia pergi saat jiwanya sudah ikhlas,” lirih
“Kamu memang anak tidak bisa diandalkan!”Kalimat kejam itu meluncur dari bibir Bagaskara, dia meminta Naura datang menemuinya dan hanya makian yang diperdengarkan. Ia sama sekali tidak menanyakan kondisi putrinya yang nampak begitu pucat.“Papa tidak akan bisa mengambil Maha dari Gama, dia akan menjadi putra Gama dan Sabrina selamanya,” kata Naura tanpa memandang Bagaskara.Tangan pria tua itu mengepal karena bantahan sang putri. Ia pun melempar vas bunga di dekatnya sampai hancur berkeping-keping.“Terserah! Lakukan sesukamu, aku bahkan tidak peduli kalau kamu mati sekalipun.”Bagaskara pergi meninggalkan Naura dan Adam di ruang tamu. Buliran kristal bening mengalir membasahi pipi Naura. Ia sangat menyesal karena sudah mengambil langkah yang keliru. Seharusnya dia tidak perlu datang ke Bagaskara karena meski bergelimang harta jiwanya terasa begitu hampa.Naura menoleh Adam, masih dengan air mata berlinang dan suara yang berat, dia mengajak suaminya pulang. Dari pada memikirkan tenta
Butuh penjelasan yang agak memakan waktu saat Sabrina dan Gama menjemput Maha. Anak itu benar-benar takut mendengar nama Naura. Maha sampai memeluk erat Sabrina. Awalnya Maha senang karena akan diajak makan es krim bersama, tapi berubah takut kala Gama menyebut di sana sudah ada Naura yang menunggu.“Nggak mau, Maha nggak suka es krim,” ucap Maha. “Mau pulang aja.”Kebetulan di sana ada Embun yang juga menjemput Olla. Ia pun berusaha membantu Sabrina dan Gama dengan berkata, “Apa Olla mau ikut makan es krim? Nanti biar Mami jemput di rumah Maha.”Sabrina dan Gama menoleh Olla, harapannya kini bertumpu pada gadis kecil itu. Mereka merapal doa, berharap Olla mengangguk dan berkata iya.“Oke, aku mau ikut!”Embun tersenyum, dia menoleh ke Sabrina dan Gama yang nampak lega. Sabrina lantas bertanya lagi, jadi Maha mau ikut atau tidak.“Tenang saja Maha, ada aku!” kalimat menenangkan dari Olla seperti mantra bagi Maha. Bocah itu melepaskan pelukannya ke Sabrina dan berganti meraih tangan Ol
Duduk di dalam ruang sidang dan mendengarkan pihak lawan berbicara jelas sangat tidak mengenakkkan. Gama sudah ingin membantah semua ucapan dari pihak Bagaskara, sedangkan Sabrina beberapa kali menoleh ke arah pintu berharap Naura akan segera tiba. Wanita itu adalah satu-satunya kunci untuk membuat persidangan ini tak berlarut-larut. Persidangan kasus hak asuh seperti ini biasanya memakan waktu berbulan-bulan, bahkan sekitar sembilan sampai dua belas kali hingga putusan.Rudi Tabuti berkata, jika Naura sebagai ibu kandung langsung berkata tidak ingin memperebutkan Maha, maka jalan bagi Gama untuk memenangkan hak asuh sudah berada di depan mata.Pihak pengacara Bagaskara sudah selesai dengan gugatan, dan kini giliran Rudi untuk membela kliennya. Rudi menyampaikan semua bukti sejak awal, baik dari mulai Naura berbohong dan memberikan Maha ke Gama, sampai wanita itu yang berkata tidak ingin memperebutkan sang anak, karena tahu Maha akan jauh lebih bahagia bersama Gama dan Sabrina.“Ini a
“Ibu nggak sayang aku,” raung Maha.Bocah itu terduduk sambil menangis. Sontak saja Sabrina semakin kalut. Bik Mun yang ikut menyusul ke lantai atas pun heran dengan tingkah Maha.“Maha, kenapa? nggak sayang gimana?” tanya Sabrina lagi, dia saling pandang dengan bik Mun. Wanita itu mengedikkan bahu tanda tidak tahu juga, kenapa anak sang majikan seperti itu.“Aku tidak mau punya adik!”Sabrina tercengang, sepertinya baru kemarin Maha berkata sayang, tak sabar melihat adiknya lahir, tapi kenapa hari ini sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Sabrina memilih berjongkok, tapi Maha malah berdiri. Tanpa sengaja bocah itu menyenggolnya hingga dia jatuh dan pantatnya mendarat kasar ke lantai.“Mas Maha!” pekik bik Mun yang langsung mendekat ke Sabrina. Membantu wanita itu untuk berdiri. “Mas Maha, Ibu Sabsab sedang hamil, nggak boleh ka …. “Sabrina mencegah bik Mun melanjutkan kalimatnya dengan cara meremas tangan wanita itu. Ia menatap Maha yang duduk di kursi belajar dengan raut