“Orang tidak akan pernah mensyukuri apa yang dimiliki sebelum Tuhan mengambilnya kembali,” ucap Gama setelah menyelesaikan ceritanya. Ia menoleh Maha yang masih terlelap di pangkuan Sabrina, lalu meraih tisu dari dashboard untuk diberikan ke gadis itu. Sabrina memalingkan muka, dia sesenggukkan. Gadis itu membayangkan jika sampai saat itu Maha tidak selamat, pasti dia tidak akan bisa bertemu dengan bocah imut dan banyak bicara ini. “Untuk kebersamaan yang sudah aku lewati bersama Maha berdua, aku tidak ingin Naura dengan seenaknya menghancurkan itu. Aku percaya pada Pak Rudi, dan aku yakin jika pun sampai pengadilan kita pasti akan menang, Pak Rudi pasti memiliki ide untuk mengalahkan istrinya,” ucap Gama. “Jangan terlalu percaya diri! bukankah pria tak berkutik kalau diancam tidak diberi jatah hahahihi,” ucap Sabrina sambil berusaha menahan perasaan sedihnya, dia mengusap sisa air mata kemudian cemberut karena Gama malah tertawa terbahak-bahak. “Memang ada? Pria macam apa itu?” so
Kediaman Gama hari itu nampak berbeda, beberapa orang dari event organizer sibuk mendekor halaman samping rumah untuk digunakan sebagai lokasi acara ulang tahun Maha. Semua keluarga juga sudah datang ke sana, mulai dari Tama dan Felisya sampai Olla dan maminya. Wajah mereka terlihat ceria, terutama Maha sang birthday boy. Anak itu sangat antusias, wajahnya nampak semringah lebih dari hari biasa.“Lihat Maha! dia sepertinya sangat menunggu pesta ini,” kata Felisya. Wanita yang masih nampak ayu meski usianya tak lagi muda itu tersenyum, sambil mengalihkan pandangan dari Maha ke putranya. “Sabrina datang jam berapa?” tanya Felisya kemudian. “Hem … paling nanti Ma saat mau mendekati acara,”jawab Gama. Seperti biasa dia memilih tak banyak bicara.Sementara itu, Gadis yang ditanyakan oleh Felisya ternyata sedang sibuk di dapur bersama ibunya. Bukan kado mainan yang ingin Sabrina berikan ke Maha, melainkan sebuah tumpeng yang dia masak sendiri bersama Mirna.“Kamu benar-benar merepotkan Sab
Dengan menggunakan mobil Alpansa yang dia beli dan kredit dari dealer tempat mas Dodot bekerja, Sabrina dan Mirna datang ke rumah Gama sore hari beberapa jam sebelum pesta ulang tahun Maha. Ia agak minder juga melihat banyaknya sedan dan SUV mewah berjajar di luar pagar rumah. Sabrina sudah bisa menebak bahwa keluarga besar Gama pasti berkumpul, hingga dia mendekat dan mengucapkan salam.Felisya yang melihat kedatangan Sabrina pun nampak menyambut dengan antusias, apa lagi Maha yang langsung berlari dan memeluk gadis itu.“Bik Mun, bantu angkat tumpeng dari mobil yuk,” ajak Sabrina.Bik Mun pun mengangguk. Wanita itu sudah mendekat tapi Rain – papinya Olla berdiri lebih dulu menawarkan bantuan. Sabrina mengucapkan terima kasih, tapi dia tetap menyusul Rain karena yakin akan sedikit sudah jika membawanya seorang diri.“Biar aku saja!” Gama mendahului langkah kaki Sabrina, dia bahkan menoleh lalu melempar senyuman maut yang membuat Sabrina hampir pingsan dibuatnya. “Kenapa repot-repot?
Gama masih berhadap-hadapan dengan Naura saat Sabrina datang mendekat, gadis itu menatap sinis Naura lalu memberitahu Gama bahwa acara akan segera di mulai.“Kalau kamu butuh orang untuk menyeretnya, aku akan menyeretnya,” ucap Sabrina, dia bersedekap dan menatap tajam Naura seolah ingin menelan bulat-bulat wanita itu.“Tidak perlu! dia akan pergi sendiri,” jawab Gama. “Ayo kita kembali, kita harus mendampingi Maha meniup lilin dan memotong tumpeng buatan mamanya.”Netra Sabrina membeliak. Pertama, dia kaget karena Gama menyebut nama Maha di depan Naura dengan sangat jelas. Kedua, sambil berbicara dan menatap tajam Naura, Gama menautkan jemari mereka. Pria itu memutar badan meninggalkan Naura dan menggandengnya erat.“Kamu … tadi... I-itu, apa tidak apa-apa?” tanya Sabrina yang masih terkejut.“Pengacaranya adalah istri pak Rudi, jadi sudah jelas dia akan mengetahui banyak informasi tentang Maha. Aku yakin dia juga akan menyelidiki hubungan kita,” ujar Gama sambil berjalan dan semakin
Sabrina masih salah tingkah meski kejadian yang membuat dirinya terkesima dengan pesona Gama sudah lewat beberapa menit yang lalu, dia dan Gama saat ini sedang mengantar tamu terakhir pesta yang hendak pulang. Keduanya melambaikan tangan masih dengan senyuman di wajah, hingga perlahan menoleh untuk kembali masuk ke dalam rumah, tapi tanpa sengaja pandangan mata mereka bertemu. Sabrina sengaja menatap Gama, berharap pria itu akan salah tingkah. Namun, nahas dia gagal. Yang terjadi malah sebaliknya, Sabrina dibuat terpesona dan salah tingkah, dia terbawa perasaan hingga membuang muka ke arah lain sambil terbatuk-batuk karena tersedak ludahnya sendiri.“Apa kamu tidak apa-apa?” Gama menelengkan kepala agar bisa melihat wajah Sabrina yang menunduk. Ia seolah masih belum sadar sudah membuat anak perawan orang terbawa perasaan. “Sab, kenapa pipimu merah?”PLAKKarena ucapan Gama tadi, Sabrina reflek memukul lengan pria itu. Setelahnya dia kaget sambil memandangi telapak tangannya. Sabrina s
Naura menatap dalam manik mata Gama yang sengaja berdiri tepat di hadapannya, pria itu juga tak kalah tajam memandang Naura yang dulu pernah dia sukai. Gadis biasa yang dulu berhasil mencuri hatinya dengan sifat dan perilaku yang baik, kini tak lebih dari seorang wanita jahat baginya. Gama masih tidak percaya ada ibu yang dengan tega membuang darah dagingnya sendiri.“Aku tidak sudi membahas soal Maha denganmu. Jika kamu percaya diri bisa mengambilnya dariku, lanjutkan saja semua rencanamu!” ucap Gama.“Kamu tidak mau bicara atau sebenarnya kamu masih menyimpan perasaan padaku? kamu takut perasaan cintamu muncul lagi ‘kan?”Ucapan Naura menyentak hati Sabrina, seharusnya dia sudah menduga bahwa ada hubungan spesial di antara Gama dan wanita itu. Namun, tetap saja saat hal ini disebutkan hatinya merasa sakit. Ada api yang rasanya membakar dada. Apakah ini yang disebut dengan cemburu?“Hah … " Gama tergelak. "Jangan terlalu percaya diri, perasaanku sudah mati padamu saat kamu memutuska
Maha tak menggubris Naura, anak itu duduk di kursi hukuman lalu bersedekap dada. Ia baru saja menjambak rambut Kenzo karena berebut tempat duduk di kelas seni musik. Mendapati tingkah Maha yang cuek padanya, Naura pun merasa sedih. Apa lagi kepala sekolah meminta wanita itu untuk pergi saja dari sana. Kepala sekolah Maha berkata jika memang ingin menjemput anak itu, sebaiknya Naura berbicara dulu pada Gama. Pihak sekolah akan mengizinkan jika Gama menghubungi mereka.Ternyata Naura tak gampang menyerah, dia memilih menunggu sampai sekolah usai dan Maha keluar dari sana. Seperti biasa, hari itu Sabrina menjemput Maha. Gadis itu tidak tahu pasal keberadaan Naura. Dengan santai Sabrina berjalan manuju gerbang, dia melebarkan ke dua tangan saat melihat Maha berjalan mendekat. Namun, ada yang aneh dari raut wajah anak itu. Terlebih saat dia juga melihat Kenzo yang berlari kencang mendahului Maha lalu memeluk sang Mama. Sabrina pun menurunkan tangan, alisnya bergelombang, menduga sesuatu y
“Aku tidak mungkin jujur perihal siapa Naura sekarang. Aku takut orangtuaku ikut campur dan berujung mempengaruhiku dalam mengambil keputusan.”Gama dan Sabrina duduk di samping sebuah danau buatan siang itu, keduanya terlihat santai tanpa takut kotor meski duduk beralaskan rumput. Masing-masing dari mereka memegang satu kaleng minuman soda dingin di tangan. Sementara Gama menatap jauh ke danau, Sabrina menunduk menekuri tanah.“Kamu pasti sangat mencintai Maha, mungkin lebih dari mencintai anakmu sendiri nanti,” ucap Sabrina. Ia menegakkan punggung lantas menoleh, begitu juga dengan Gama. Mereka pun saling tatap untuk beberapa detik, sebelum Gama menggeleng.“Entah, tapi menurutku cinta dan apapun jenis perasaan itu tidak bisa ditakar. Karena cinta tidak mungkin memilih dan tidak mungkin pilih kasih. Mungkin karena aku anak tunggal jadi pikiranku seperti itu, tapi tetap saja pandanganku tentang cinta akan selalu kunilai benar,” kata Gama. Ia tersenyum tipis lalu menoleh ke arah dana
Maha masih memeluk Sabrina, anak itu mengusap perut ibunya dengan lembut hingga tiba-tiba saja wanita itu mundur sambil mendorong Maha menjauh. Sabrina merasakan ada air yang merembes deras di antara pahanya.“Ibu!” panggil Sabrina ke Mirna.Wanita itu pun mendekat, dan Maha ditarik mundur oleh Gama. Suasana kamar sedikit kacau, beruntung perawat yang mengantar Maha dan Olla tadi belum terlalu jauh pergi. Embun buru-buru memanggilnya kembali.Sabrina seperti ketakutan, dia berusaha bernapas dengan mulut hingga tanpa sadar mengejan. Sabrina memasukkan tangan ke balik baju pasien yang dikenakan dan manarik pantiesnya ke bawah.“Ibu, kepala bayiku,” pekik Sabrina setelah sadar ada yang keluar dari jalan lahir.“Hah! kepala?”Mirna dan Felisya kalang kabut, mereka berteriak memanggil dokter atau pun perawat. Beruntung Perawat tadi langsung berjongkok di dekat Sabrina. Tanganya mengadah di antara dua kaki Sabrina. Ia memberikan instruksi agar Sabrina mendorong lagi. Sabrina membuka lebar k
Lima bulan kemudianGama bingung dan cemas, sejak tadi dia mondar-mandir kamar inap Sabrina. Istrinya itu sedang kesakitan menahan gelombang cinta dahsyat yang diberikan bayi mereka. Di sela kontraksi yang mendera tubuh, Sabrina dibuat pusing dengan kelakuan Gama.“Duduk lah, apa kamu tidak capek?” tanya Sabrina sambil berusaha mencari posisi yang nyaman, ini sudah delapan belas jam, dan bayi berjenis kelamin laki-laki buah cintanya dan Gama masih sibuk mencari jalan lahir.“Sab, aku panggil dokter ya, kita lakukan operasi saja,” kata Gama. Mungkin sudah yang ke sembilan kali dia mengatakan hal ini, tapi jawaban Sabrina tetap sama.“Tidak mau, aku sudah merasakan sakitnya berjam-jam, aku bisa menahannya lebih lama.”“Jangan berbohong! kamu kesakitan Sab. Lihat apa yang kamu tinggalkan di lenganku!” kata Gama sambil menunjuk bagian tubuhnya itu. Sabrina malah tertawa mengamati bekas lecet yang dia buat, lengan Gama beberapa kali dijadikannya pegangan saat kontraksi terjadi, hingga kuk
Diwakili oleh pengacaranya, Bagaskara hari itu harus menelan rasa kecewa karena hakim pengadilan memutuskan bahwa hak asuh Maha jatuh ke tangan Gama. Menimbang segala bukti dan dikuatkan dengan surat permohonan Naura, membuat hakim yakin jika anak itu lebih baik berada di bawah pengasuhan Gama. "Maha, bilang terima kasih ke Pak hakim!" perintah Gama ke Maha yang hari itu ikut ke pengadilan bersamanya. Gurat bahagia terpatri jelas di wajah Gama juga Sabrina, akhirnya perjuangan untuk mendapatkan dokumen legal sebagai orangtua Maha sudah ada di tangan mereka. "Terima kasih," ucap Maha sambil memberikan hormat, kepalanya mengangguk kecil dan berhasil membuat hakim tersenyum. Hakim ketua mengusap kepala anak itu lembut, dia tahu Naura sudah meninggal. Agak teriris batinnya membayangkan anak sepolos Maha kehilangan ibu kandung dan bahkan tidak tahu siapa ayah kandungnya. Tak jauh dari tempat Sabrina dan Gama berdiri, Rudi berbincang dengan pengacara Bagaskara. Wajah pengacara itu
Duka masih menyelimuti hati Gama dan Sabrina, perasaan benci yang berubah menjadi simpati membuat ke duanya merasa sangat kehilangan Naura. Masih tak mereka sangka Naura harus pergi di saat hati Maha mulai terbuka, di saat semua orang bisa menerima kehadirannya dan memaafkan kesalahannya.Gama dan Sabrina menatap Maha yang terlelap tidur di ranjang mereka, belakangan anak itu seolah tahu bahwa wanita yang melahirkannya telah tiada, banyak yang Maha tanyakan salah satunya kenapa Naura pergi, ke mana dan akankah mereka bisa bertemu dengan wanita itu lagi suatu saat nanti.Awalnya Sabrina kebingungan. Menjelaskan secara rinci ke Maha jelas tidak mungkin dia lakukan, hingga sebuah kalimat paling mudah dia ucapkan. Bahwa Naura sakit, tapi kini sudah sembuh dan pergi ke surga bertemu dengan orang yang paling dikasihi.“Kemungkinan keputusan pengadilan akan dipercepat,” bisik Gama, dia peluk Sabrina dari belakang dan mengusap lengan istrinya yang terus menatap Maha.“Itu menjadi kabar baik d
Acara liburan di pantai menjadi hari terakhir Adam mendengar Naura bicara dan tersenyum. Setelah itu kondisi sang istri terus saja melemah hingga terbaring koma. Adam seorang diri menjaga Naura, bagaimana tidak? bahkan saat dikabari, Bagaskara acuh kepada kondisi putri kandungnya.“Aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi, setidaknya sebelum koma dia bahagia karena Maha mau berinteraksi dengannya, meski anak itu belum mau memanggilnya Mama.”Gama duduk bersisian dengan Adam. Mendengarkan setiap curahan hati pria itu. Gama tahu Adam pasti sangat hancur, baru saja dia menemani pria itu mendengar penjelasan dokter yang bertanggungjawab pada kondisi Naura. Gelang pasien di pergelangan tangan kiri Naura sudah diganti menjadi warna ungu yang artinya harapan hidup pasien sangat kecil. Jika semua alat penunjang kehidupan Naura dilepas, maka wanita itu akan pergi untuk selamanya.“Aku tidak ingin menyetujui saran dokter, jika harus pergi biarlah dia pergi saat jiwanya sudah ikhlas,” lirih
“Kamu memang anak tidak bisa diandalkan!”Kalimat kejam itu meluncur dari bibir Bagaskara, dia meminta Naura datang menemuinya dan hanya makian yang diperdengarkan. Ia sama sekali tidak menanyakan kondisi putrinya yang nampak begitu pucat.“Papa tidak akan bisa mengambil Maha dari Gama, dia akan menjadi putra Gama dan Sabrina selamanya,” kata Naura tanpa memandang Bagaskara.Tangan pria tua itu mengepal karena bantahan sang putri. Ia pun melempar vas bunga di dekatnya sampai hancur berkeping-keping.“Terserah! Lakukan sesukamu, aku bahkan tidak peduli kalau kamu mati sekalipun.”Bagaskara pergi meninggalkan Naura dan Adam di ruang tamu. Buliran kristal bening mengalir membasahi pipi Naura. Ia sangat menyesal karena sudah mengambil langkah yang keliru. Seharusnya dia tidak perlu datang ke Bagaskara karena meski bergelimang harta jiwanya terasa begitu hampa.Naura menoleh Adam, masih dengan air mata berlinang dan suara yang berat, dia mengajak suaminya pulang. Dari pada memikirkan tenta
Butuh penjelasan yang agak memakan waktu saat Sabrina dan Gama menjemput Maha. Anak itu benar-benar takut mendengar nama Naura. Maha sampai memeluk erat Sabrina. Awalnya Maha senang karena akan diajak makan es krim bersama, tapi berubah takut kala Gama menyebut di sana sudah ada Naura yang menunggu.“Nggak mau, Maha nggak suka es krim,” ucap Maha. “Mau pulang aja.”Kebetulan di sana ada Embun yang juga menjemput Olla. Ia pun berusaha membantu Sabrina dan Gama dengan berkata, “Apa Olla mau ikut makan es krim? Nanti biar Mami jemput di rumah Maha.”Sabrina dan Gama menoleh Olla, harapannya kini bertumpu pada gadis kecil itu. Mereka merapal doa, berharap Olla mengangguk dan berkata iya.“Oke, aku mau ikut!”Embun tersenyum, dia menoleh ke Sabrina dan Gama yang nampak lega. Sabrina lantas bertanya lagi, jadi Maha mau ikut atau tidak.“Tenang saja Maha, ada aku!” kalimat menenangkan dari Olla seperti mantra bagi Maha. Bocah itu melepaskan pelukannya ke Sabrina dan berganti meraih tangan Ol
Duduk di dalam ruang sidang dan mendengarkan pihak lawan berbicara jelas sangat tidak mengenakkkan. Gama sudah ingin membantah semua ucapan dari pihak Bagaskara, sedangkan Sabrina beberapa kali menoleh ke arah pintu berharap Naura akan segera tiba. Wanita itu adalah satu-satunya kunci untuk membuat persidangan ini tak berlarut-larut. Persidangan kasus hak asuh seperti ini biasanya memakan waktu berbulan-bulan, bahkan sekitar sembilan sampai dua belas kali hingga putusan.Rudi Tabuti berkata, jika Naura sebagai ibu kandung langsung berkata tidak ingin memperebutkan Maha, maka jalan bagi Gama untuk memenangkan hak asuh sudah berada di depan mata.Pihak pengacara Bagaskara sudah selesai dengan gugatan, dan kini giliran Rudi untuk membela kliennya. Rudi menyampaikan semua bukti sejak awal, baik dari mulai Naura berbohong dan memberikan Maha ke Gama, sampai wanita itu yang berkata tidak ingin memperebutkan sang anak, karena tahu Maha akan jauh lebih bahagia bersama Gama dan Sabrina.“Ini a
“Ibu nggak sayang aku,” raung Maha.Bocah itu terduduk sambil menangis. Sontak saja Sabrina semakin kalut. Bik Mun yang ikut menyusul ke lantai atas pun heran dengan tingkah Maha.“Maha, kenapa? nggak sayang gimana?” tanya Sabrina lagi, dia saling pandang dengan bik Mun. Wanita itu mengedikkan bahu tanda tidak tahu juga, kenapa anak sang majikan seperti itu.“Aku tidak mau punya adik!”Sabrina tercengang, sepertinya baru kemarin Maha berkata sayang, tak sabar melihat adiknya lahir, tapi kenapa hari ini sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Sabrina memilih berjongkok, tapi Maha malah berdiri. Tanpa sengaja bocah itu menyenggolnya hingga dia jatuh dan pantatnya mendarat kasar ke lantai.“Mas Maha!” pekik bik Mun yang langsung mendekat ke Sabrina. Membantu wanita itu untuk berdiri. “Mas Maha, Ibu Sabsab sedang hamil, nggak boleh ka …. “Sabrina mencegah bik Mun melanjutkan kalimatnya dengan cara meremas tangan wanita itu. Ia menatap Maha yang duduk di kursi belajar dengan raut