"Kau benar-benar, Nona Smitt!" Peter nyaris saja menjatuhkan cangkir kopinya saat melihat gadis yang ia tolong berjalan ke arah ruang keluarga di mana dia dan istrinya tengah mengobrol diantar oleh Emma.
Peter bercerita pada istrinya jika dia bertemu dengan seorang gadis malang bernama Alanair. Elisa—istri Peter— sempat sedikit terkejut karena gadis itu memiliki nama yang sama dengan pewaris Smitt yang kaya raya itu. Tetapi, dia sadar jika orang yang memiliki nama Alanair bukan hanya seorang saja. Namun kini sesosok perempuan cantik berdiri di samping Emma, dia baru sadar jika wanita itu adalah Alanair Smitt.
"Kau benar-benar Nona Smitt, astaga!" Elisa membekap bibirnya tak percaya. Wanita itu hampir saja pingsan. Bukan apa-apa dari dulu Elisa sangat mengangumi sosok Alanair Smitt, gadis muda yang dermawan dan kerap menjadi donatur di beberapa panti asuhan. Akan tetapi, gadis itu begitu rendah diri dan tak pernah menyombongkan dirinya dengan sering tampil di depan pu
Air mata Alan berderai seiring bibirnya yang terus bergumam menceritakan semua kisah pilunya saat masih berada di mansion Wildberg. Ia mengalirkan semua yang membuat sesak di dadanya. Ia keluarkan semuanya. Semua kehancuran hidupnya. Elisa bahkan tak sanggup berkomentar apapun. Hidup Alan terlalu menyakitkan. Ia bahkan tak bisa membayangkan andai dirinya di posisi Alan. Tentu, ia sudah memilih mati sejak dulu. "Apa Tuan Smitt mengusir anda, Nona?" tanya Peter sembari memeluk tubuh Elisa yang bergetar akibat tangis. Istrinya itu orang yang begitu perasa dan sedikit cengeng. Apalagi mendengar kisah hidup Alan selama 2 tahun terakhir ini yang cukup menguras air mata. Kisah Alan bagai kisah drama telenovela yang kerap ibunya tonton dulu. Seorang gadis miskin yang selalu tertindas oleh ibu mertua kejam. Tetapi, di sini Alan jelas berbeda, gadis itu berpura-pura miskin dan menjadi bahan penind
Nay meniup gelas berisi coklat panas yang baru saja ia pesan dari Caffe yang terletak di seberang hotel tempat ia dan Lucas menginap. Udara pagi ini cukup dingin, jadi dia memilih memesan secangkir coklat panas untuk menghangatkan tubuhnya dan sepotong wafle untuk sarapan paginya. Di sampingnya duduk seorang Lucas Marques yang juga tengah menyesap kopi hitam. Bibirnya menguap berkali-kali menahan kantuk. Semalaman mata sipit Lucas tak terpejam sedikitpun, setelah mereka pulang tanpa hasil dan tanpa jejak sedikitpun tentang keberadaan Alanair Welington. Mereka akhirnya kembali ke hotel dengan kekecewaan. Helaan napas berat yang Nay hembuskan, membuat tatapan pemuda tampan itu beralih padanya. Matanya yang sewarna dengan milik gadis di hadapannya ini dengan segera menangkap tubuh Nay yang terlihat gelisah dalam duduknya.
Peter sudah bersiap duduk di balik kemudi. Laki-laki itu menunggu sosok Alanair yang masih berkemas di dalam. Cukup sulit saat merayu wanita muda itu untuk ikut kembali pulang ke Norwig. Mungkin saja hatinya masih belum siap untuk kembali merasakan penolakan. Butuh waktu 30 menit, saat Peter melihat sosok Alan yang cantik bak putri raja di era modern keluar dari dalam rumahnya bersama Elisa yang berjalan di sampingnya. Wajahnya yang cantik natural tanpa sentuhan makeup dengan bibir pinknya. Raut wajahnya yang bagai nona muda abad pertengahan, namun tak terkesan arogan, membuat dirinya memiliki pesona keluarga bangsawan yang tak terbantahkan. "Jika Gavin Wildberg melihat penampilan anda seperti ini, saya yakin, pria itu akan mengemis cinta pada anda, Nona," ujar Peter. Alan hanya tersenyum tipis ke arah Peter, "Aku tidak mau dia mencintai karena aku adalah Alanair Smitt, Tuan Warsen. Tidak peduli dia berangkat dari keluarga biasa saja, aku hanya
"Ana!" Suara itu seolah meruntuhkan nyali yang telah Alan kumpulkan. Tubuhnya bergetar hebat, wajahnya sontak menunduk ketakutan. Dia takut pria itu akan melayangkan pukulan atau tamparan di wajahnya seperti dua tahun silam. Begitu pria dengan rambutnya yang telah berubah warna menjadi putih di beberapa bagian itu berjalan angkuh ke arah mereka. Semua orang membungkuk 90 derajat kepada laki-laki pemimpin perusahaan raksasa yang merajai kerjaan industri, di benua Amerika tersebut. "Ana!" Suara itu sekali lagi menyapa indera pendengaran Alan. Namun, wajahnya tak berani untuk sekedar mendongak menatap sosok yang adalah ayahnya. "Tuan Smitt, maaf saya datang tidak memberi kabar," ucap Peter yang merasa tidak enak karena dia tiba-tiba datang tanpa memberi tahu sebelumnya. Niatnya dia ingin memberi kejutan untuk pria berwajah dingin tersebut. Pria itu hanya melirik Peter sesaat, dan kembali mengalihkan atensinya pada sosok putrinya yang masih
Joseph sudah frustasi, ia tak bisa menemukan di mana keberadaan putri bungsunya, dan juga menantunya. Sial, bahkan dia telah menyewa detektif terbaik untuk mencari Zenaya, dan Alanair di seluruh daratan Amerika, tapi tak juga menemukan jejak kedua perempuan itu. Mereka seolah lenyap ditelan segitiga bermuda. Apalagi puterinya, dia sangat khawatir dengan Zenaya yang tak kunjung ada infomasi tentangnya. "Suamiku, apa orang suruhanmu belum mampu menemukan di mana Nay berada?" tanya Grifida yang setiap hari menekan suaminya itu. Wanita itu masuk tanpa permisi, dan sekarang memilih menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Joseph menatap nyalang sosok wanita yang ia nikahi 25 tahun silam. Ia mengeratkan kepalan tangannya. Sungguh, jika saja ia mampu menghubungi keponakannya, pasti dia telah mencecar pemuda itu. Dia
Wanita itu masih menunduk. Bibirnya terkatup rapat tak berani menjawab pertanyaan dari ayahnya. Saat ini Alanair masih bersimpuh di depan ayahnya. Alexander yang masih enggan menatap putrinya dengan tangan saling tertaut di belakang punggungnya. Dia hanyalah seorang ayah yang berharap memiliki seorang anak yang mampu dia banggakan, menjadi penerus kerajaan bisnis Smitt yang merajai perindustrian di Amerika. Tetapi apa, puteri yang ia banggakan kini merusak nama baiknya sendiri. "Papa, kumohon terimalah aku kembali di dalam keluarga ini," ujarnya. Ia rendahkan harga dirinya. Ia tepis rasa malunya agar kembali mendapat pengakuan dari sosok yang berdiri angkuh tepat di hadapannya. "Alasan apa aku harus menerimamu kembali, bahkan kau sudah mencoreng nama keluarga Smitt, haruskah aku masih berbaik hati untuk menerimamu kembali. Setelah apa yang kau perbuat selama ini, Alana!" seru Alexander. Tangan pria itu mengepal. Jujur, rasa kecewa itu masihlah besar unt
"Dari mana saja kau!" teriak Gavin pada sosok istrinya yang kini berjalan mengendap-endap seperti pencuri masuk ke dalam kamarnya. Dia pikir, Gavin telah terlelap. Namun, ternyata pria itu masih terjaga dengan tatapan mata tajam dan tangan yang terlipat di depan dada di bawah temaramnya lampu kamar tepat di sisi kiri jendela yang menghubungkannya pada balkon. "Gav, aku pikir kau sudah tidur," ucapnya begitu santai seolah tak ada rasa takut di dalamnya. Ia melenggang masuk ke dalam tanpa ada beban sedikitpun. "Jika aku tidur, kau akan bebas berkeliaran di luaran sana, huh!" serunya. Wajahnya yang datar terlihat menyeramkan dengan mata sipitnya yang menatap nyalang. "Aku hanya mencari hiburan. Kau pikir terkurung di rumah ini akan sangat menyenangkan begitu, omong kosong!" Dia balas berteriak. Luna berjalan santai dan memilih menghempaskan tubuhnya di atas sofa, lalu melempar tas miliknya ke sembarang tempat. "Tidak bisakah kau diam di rumah. Kau istrik
Zenaya meniup gelas berisi coklat panas yang baru saja ia pesan dari kantin rumah sakit. Udara pagi ini cukup dingin, jadi dia memilih memesan secangkir coklat panas untuk menghangatkan tubuhnya dan sepotong wafle untuk sarapan paginya. Di sampingnya duduk seorang Lucas yang juga tengah menyesap kopi hitam. Bibirnya menguap berkali-kali menahan kantuk. Semalaman mata sipit pria tampan itu tak terpejam sedikitpun. Ia terus menemani Nay, mencari sosok kakak iparnya. Bahkan kini mereka terdampar di rumah sakit, di daerah Edlen, yang berjarak 200 mill dari kota Brigston. Zenaya memaksanya mencari Alanair di rumah sakit di beberapa kota di negara bagian ini. Helaan napas berat yang Nay hembuskan, membuat tatapan pemuda Marques itu beralih padanya. Matanya yang sipit dengan segera menangkap tubuh Nay yang terlihat g
Gavin kembali ke rumah dengan hati hancur. Nyatanya ia tak bisa lagi memiliki kesempatan untuk bersama kembali dengan Alan.Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, matanya menerawang ke atas langit-langit apartemen kecil, yang ia sewa setelah rumah mewahnya ia jual untuk menutup hutang puluhan juta dollar di bank, akibat perusahaan milik sang ayah pailit."Apa yang kau lakukan di sini, huh!" seru Grifida. Wanita itu datang dengan pakaian berkabung, membuat Gavin langsung bangkit."Mama, kau dari mana? Kenapa memakai pakaian berkabung? Siapa yang meninggal?" tanyanya. Grifida tak menunjukkan raut sedih sama sekali. Justru binar bahagia terpancar di wajahnya yang mulai keriput,0 akibat tak pernah melakukan perawatan wajah."Kau tahu, beban hidupku kini telah menghilang. Akhirnya wanita ular itu mati bersama anaknya yang cacat."Mata biru Gavin langsung mendelik mendengar perkataan sang Ibu. "Apa maksud, Mama?""Kau tahu maksudku, Gavin. Wanita ular itu, alias mantan istrimu, Aluna Welingt
Gavin menarik lidah Alan untuk bergulat hanya sebentar. Sementara tangannya bergerak lihai memelintir pucuk dua bongkahan kembar milik Alan yang mencuat karena terangsang. Memaksa Alan untuk mendesah nikmat di bawah kungkungan sang mantan.Terdengar kecupan penuh nafsu, dan gairah malam yang mereka gumamkan. Sedotan akan bibir tipis yang mendominasi, membuat Alan tak berdaya. Tubuhnya seperti tersengat aliran listrik, setiap lelaki di atasnya memberikan sentuhan yang tak pernah ia dapatkan selama ini."Eung...," lenguh Alan mendongak. Merasakan perutnya tergelitik, saat lidah Gavin bermain di area tubuh atasnya. Mengulum secara lambat, yang membuat Alan meremas surai hitam sang mantan suami.Gavin yang sejak tadi menyentuh tubuhnya, merasakan sesuatu yang tak bisa ia gambarkan. Sebuah perasaan sakit akan apa yang telah ia lakukan sekarang."Kita pindah kamar, ya?" ucap Gavin sembari menarik diri, saat ia kembali mengecup bibir Alan yang terbuka, dan menatap kedua maniknya meminta pers
"Alan apa yang kau lakukan?"Bukannya berhenti Alan justru melepas semua atribut yang menempel di tubuhnya. Hingga tubuh putih itu polos tanpa sehelai benang pun. "Kenapa kau diam saja, bukanlah kau menginginkan tubuhku, berengsek!" Alan berteriak. "Tidak."Alan tertawa nyaring, mengabaikan rasa malunya di depan Gavin. Ia melangkah maju mendekati sang mantan suami yang duduk dia tas sofa. "Apa kau sekarang telah berubah menjadi pria baik-baik, oh astaga. Ini mencengangkan sekali. Tapi mana mungkin kau bisa menolakku."Gavin susah payah menelan ludahnya gugup. Segala pikiran kotor ingin ia singkirkan, namun ia kalah dengan tubuh Alan yang menggoda. "Shit!" umpatnya, kala miliknya di bawah sana mengaum ingin dibebaskan. "Lakukan dengan cepat, dan aku tak ingin membuang waktu berhargaku, sialan!" umpat Alan tak kalah sarkas."Kenapa kau melakukan ini, Alan?""Kau tidak perlu bertanya."Bukannya langsung memenuhi keinginan Alan, Gavin justru menarik tubuh polos sang istri dalam pelu
Lelaki itu turun dari dalam mobil tepat di depan hotel yang Alan tunjuk untuk pertemuan mereka malam ini. Dia mengamati hotel berbintang lima yang begitu mewah di pusat kota Edlen. Gavin lalu buru-buru kembali masuk ke dalam mobil, dan mengendari kendaraan roda empat tersebut menuju basemen."Apa benar ini tempatnya, ya?" gumam Gavin seorang diri. Ia berjalan masuk ke dalam lobi hotel setelahnya. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya sang resepsionis. "Nyonya Alanair Smitt, saya ingin bertemu dengannya."Resepsionis bernama Alexa itu tersenyum, ia meminta Gavin untuk menunggu, mencari data Alan di layar monitor."Nyonya Smitt menginap di kamar tiga ratus tujuh."Gavin mengangguk, lalu bergegas menuju lift yang akan mengantarkan dia ke lantai 3 tempat Alan menginap.Hatinya berdebar tak karuan, padahal hanya 10 menit ketika ia turun di lantai 3, namun rasanya sudah berabad-abad. Ia berharap malam ini Alan memberinya maaf, ia tak berharap banyak untuk kembali pada wa
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ayahmu, Gav." Greg menepuk pundaknya dengan pelan, dan lelaki bermarga Wildberg itu hanya mengangguk lesu."Aku tahu itu berat bagimu, Gav. Tetapi cobalah relakan Ayahmu. Dengan begini, Tuan Wildberg tak lagi merasakan sakit. Dia sudah bahagia di atas sana."Gavin menghembuskan napas pelan, sebelum mengalihkan atensinya pada sosok Greg Martin yang berdiri di belakang tubuhnya. Ia memutar kursi, hingga kini ia tepat menghadap lelaki bermata biru tersebut. "Ini bukan soal Ayahku, Greg.""Lalu.""Ibuku tahu jika Alanair Smitt adalah mantan istriku, kau tahu apa yang Ibuku katakan?"Greg menaikan satu alisnya. Tetapi ia sudah tahu jawabannya, bahkan ketika ia tak perlu bertanya pada sahabatnya itu. "Ibumu menyuruh kau kembali pada Nona Smitt, right."Gavin mengangguk pelan. "Bahkan, tanpa aku menjawabnya kau sudah tahu apa jawabannya.""Maaf, tapi karena itu mudah sekali tertebak ketika kau sering menceritakan sikap Ibumu. Sekarang terserah kau s
"Dia Alanair Wellington, istriku dan bocah kecil itu adalah putraku, putraku dengan Alan." Gavin mengatakan dengan gamblang. Alan melotot, begitupula dengan Grifida, wanita itu menatapnya tak percaya. Grifia membekap bibirnya dengan telapak tangan. Dia tertawa miris dengan apa yang ia dengar di telinganya saat ini. "Bohong, kau pasti bohong. Mana mungkin dia adalah si jelek Alanair Welington?"Alan mendengus malas. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Sejak dulu, kau tak pernah berubah, ya, Nyonya Wildberg?""Karena aku percaya kau bukan Alanair, mana mungkin." Grifida masih bersikukuh."Karena Anda takut, bukan begitu. Anda takut mengakui saya sebagai Alanair Welington, Anda takut dengan kesalahan dan dosa Anda di masa lalu, Nyonya." Alan tertawa sinis, membuat wajah Grifida pucat pasi.Wanita itu memundurkan langkah. Mungkin Alan benar, dia takut dengan dosa masa lalunya. Dosanya yang telah mencampakkan menantunya yang polos, dan bahkan berhati mulia. Justru dia memelihara
"Laporan apa yang kau buat ini? Apa kau tidak becus membuatnya, huh?" Sebuah kertas dilempar begitu saja oleh Alanair, begitu ia membaca laporan yang Gavin berikan padanya."Apanya yang salah?" tanyanya. "Apa matamu buta? Atau sudah rusak? Lihat saja sendiri, kau sama sekali tak becus membuatnya. Pantas saja WG hancur karena dipimpin oleh orang macam kau." Amarah Alan menggebu-nggebu saat ini.Sakit di hati Gavin semakin menjadi, bukan karena amarah wanita ini. Akan tetapi, status mereka yang seharusnya masihlah suami istri, namun ketika mereka sudah sedekat ini. Kenapa ego memisahkan masing-masing. Ia menyesal dengan perbuatannya, ia tahu ia salah. Namun, Alan tak memberinya sedikitpun kesempatan untuk memperbaiki dirinya sendiri. "Astaga, kamu kalau marah menggemaskan sekali." Gavin mencoba mencairkan suasana denagn menggoda sang istri, ah masihkah boleh Gavin menyebutnya seperti itu, sementara Alan sudah menganggap mereka bercerai. Lagipula, dia sudah tidak mau bersama pria ini.
Setelah Alan merasa jauh dan jauh dari jangkauan mantan suaminya. Wanita cantik itu segera menyembunyikan tubuhnya di balik tiang bangunan. Hanya berdiri di sana tanpa melakukan apapun, memperhatikan sepatu hells merahnya yang menggesek tanah. Matanya berkaca-kaca menahan emosi yang sedari tadi dirinya tahan. Hanya saja Alan kalah, hatinya sakit, dan dadanya terasa sangat sesak sekarang. Saat ini ia hanya bisa menepuk dadanya, berharap mengikis semua rasa sakit yang menumpuk di sana, namun semua sia-sia. Rasa sakit itu semakin menjadi, membuat tangisnya kini pecah tak mampu ia bendung lagi."Mama, Mama menjemputku?" Suara melengking di depannya membuat Alan mendongakkan wajah."Mama menjemputku?" ulangnya. Dia berlarian kecil saking senangnya, karena sang ibu menjemputnya di sekolah. "Iya, Mama menjemputmu, kau senang?""Tentu saja senang," ujarnya sembari memeluk kaki Alan, karena tinggi anak itu hanya sepinggang ibunya. Bibirnya terkembang senyum lebar seolah ia baru saja memenangk
"Kau yakin ini tempat sekolah dari putra Boss kita?" tanya Greg, ketika pria itu berhasil mengantarkan Gavin di depan salah satu sekolah swasta di kota Brigston. Greg melirik ke arah Gavin yang sudah lebih baik dari kemarin. "Ya, aku mencari info dari sekretaris pribadi Alan."Greg terkekeh. "Kau bahkan lebih leluasa dengan hanya memanggil namanya saja.""Karena dia istriku," ucapnya percaya diri. "Jika kau masih dianggap." ketika Gavin berdecak, Greg justru tertawa lantang."Sialan!" Gavin segera melepaskan sabuk pengamannya, dan keluar dari mobil. Meninggalkan sahabatnya yang memilih duduk di balik kemudi mengawasi pergerakan rekan kerjanya ini.Gavin melangkah ke arah area sekolah. Mengamati beberapa anak yang telah keluar dari dalam kelasnya masing-masing. "Kenan Yoshiro Smitt!"Langkah kaki Gavin terhenti saat itu juga. Ia menggerakan mata ke samping, saat seorang guru perempuan berambut pirang menyebut nama itu. Seperti ada bom atom yang melesak seisinya dan Gavin merasakan