Wanita itu masih menunduk. Bibirnya terkatup rapat tak berani menjawab pertanyaan dari ayahnya.
Saat ini Alanair masih bersimpuh di depan ayahnya. Alexander yang masih enggan menatap putrinya dengan tangan saling tertaut di belakang punggungnya. Dia hanyalah seorang ayah yang berharap memiliki seorang anak yang mampu dia banggakan, menjadi penerus kerajaan bisnis Smitt yang merajai perindustrian di Amerika. Tetapi apa, puteri yang ia banggakan kini merusak nama baiknya sendiri.
"Papa, kumohon terimalah aku kembali di dalam keluarga ini," ujarnya. Ia rendahkan harga dirinya. Ia tepis rasa malunya agar kembali mendapat pengakuan dari sosok yang berdiri angkuh tepat di hadapannya.
"Alasan apa aku harus menerimamu kembali, bahkan kau sudah mencoreng nama keluarga Smitt, haruskah aku masih berbaik hati untuk menerimamu kembali. Setelah apa yang kau perbuat selama ini, Alana!" seru Alexander. Tangan pria itu mengepal. Jujur, rasa kecewa itu masihlah besar unt
"Dari mana saja kau!" teriak Gavin pada sosok istrinya yang kini berjalan mengendap-endap seperti pencuri masuk ke dalam kamarnya. Dia pikir, Gavin telah terlelap. Namun, ternyata pria itu masih terjaga dengan tatapan mata tajam dan tangan yang terlipat di depan dada di bawah temaramnya lampu kamar tepat di sisi kiri jendela yang menghubungkannya pada balkon. "Gav, aku pikir kau sudah tidur," ucapnya begitu santai seolah tak ada rasa takut di dalamnya. Ia melenggang masuk ke dalam tanpa ada beban sedikitpun. "Jika aku tidur, kau akan bebas berkeliaran di luaran sana, huh!" serunya. Wajahnya yang datar terlihat menyeramkan dengan mata sipitnya yang menatap nyalang. "Aku hanya mencari hiburan. Kau pikir terkurung di rumah ini akan sangat menyenangkan begitu, omong kosong!" Dia balas berteriak. Luna berjalan santai dan memilih menghempaskan tubuhnya di atas sofa, lalu melempar tas miliknya ke sembarang tempat. "Tidak bisakah kau diam di rumah. Kau istrik
Zenaya meniup gelas berisi coklat panas yang baru saja ia pesan dari kantin rumah sakit. Udara pagi ini cukup dingin, jadi dia memilih memesan secangkir coklat panas untuk menghangatkan tubuhnya dan sepotong wafle untuk sarapan paginya. Di sampingnya duduk seorang Lucas yang juga tengah menyesap kopi hitam. Bibirnya menguap berkali-kali menahan kantuk. Semalaman mata sipit pria tampan itu tak terpejam sedikitpun. Ia terus menemani Nay, mencari sosok kakak iparnya. Bahkan kini mereka terdampar di rumah sakit, di daerah Edlen, yang berjarak 200 mill dari kota Brigston. Zenaya memaksanya mencari Alanair di rumah sakit di beberapa kota di negara bagian ini. Helaan napas berat yang Nay hembuskan, membuat tatapan pemuda Marques itu beralih padanya. Matanya yang sipit dengan segera menangkap tubuh Nay yang terlihat g
Lucas memang tak akan mampu membohongi Zenaya yang serba ingin tahu. Tatapan matanya mengarah ke arah jendela di mana butiran salju turun begitu lebat pagi ini hingga jalanan tertimbun salju dan pemandangan serba putih yang tergambar di sana. Dia mendesah berkali-kali. Haruskah dia bercerita, masa lalu yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam. Kini harus kembali ia bongkar paksa. Saat kedua pasang mata itu saling beradu pandang, ada harapan yang tersirat di kedua mata biru Nay agar Lucas mau bercerita padanya. Rasanya semua keingintahuannya tak mampu ia simpan lebih lama lagi. "Aku tidak bisa menceritakannya sekarang, Nay. Nanti jika waktunya tiba. Aku pasti akan memberitahukannya padamu." "Apa kau akan merahasiakannya terus, sampai kapan?" Nay terlihat sangat kesal. "Aku hanya tak bisa menceritakannya sekarang, Zenaya Wildberg!" seru Lucas mengundang decakan sebal dari bibir gadis itu. Nay terlihat mendengus, lalu mengalihkan atensiny
Alan terus termenung di kamarnya. Sudut matanya memerah. Sudah dua pekan sejak kembalinya ia ke mansion Smitt, dan berkali-kali ia mendapat amarah dan bentakan dari ayahnya karena dirinya masih saja cengeng.Jika teringat kehidupannya yang dulu, Alan memang sulit untuk meninggalkan kebiasaannya. Dia memang diperlakukan seperti seorang pelayan di rumah keluarga Welington maupun keluarga Wildberg, tetapi Alan terima dengan lapang dada. Dia pikir itulah balasan karena keluarga itu sudah mau menampugnya yang terlunta-lunta hidup di jalanan selama berhari-hari karena penolakan ayahnya yang saat itu dirinya tengah hamil tanpa ikatan pernikahan.TokTokTokSuara ketukan pintu tertangkap telinga Alan. Wanita itu langsung menoleh dan mendapati seorang pelayan wanita yang usianya masih muda berdiri di ambang pintu kamarnya yang memang tidak tertutup.Ia mengusap matanya yang sembab dengan kasar lantas berjalan ke arah pintu."Helena, ada
Alexander seperti orang bodoh saat ini. Berjalan tak tentu arah ke kanan dan ke kiri di depan pintu kamar puterinya yang tertutup. Menunggu kepastian dari dokter pribadi keluarga Smitt yang ia datangkan untuk memeriksa Alan yang jatuh tak sadarkan diri di kamar mandi siang tadi.Ia beberapa kali melihat jam di tangannya sudah 30 menit dokter pribadi itu berada di dalam dan belum ada tanda-tanda akan keluar. Alexander tak sabar rasanya ia ingin mendobrak pintu itu saja. Ia benar-benar khawatir dengan keadaan Alana. Trauma akan kematian istrinya masih membekas di kepala Alexander.Saat tubuhnya berbalik dengan deru napas memburu, terdengar suara pintu kamar milik Alan terbuka, dan tubuh Alexander langsung kembali berbalik dan mendapati dokter pria berusia setengah baya muncul dari dalam kamar Alan."Apa yang terjadi dengan puteriku, dokter Wasburn?" tanyanya. Ada raut gelisah tertangkap kedua mata dokter Wasburn dari wajah Alexander."Saya ingin berta
Hampir 30 menit Alexander dirajam rasa takut. Pria kaya raya itu berjalan mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan puterinya. Jika kenyataan memang puterinya hamil ia akan terima dan tak akan mengusir Alanair kembali. Sudah cukup kebodohannya di masa lalu hingga ia harus kehilangan istri dan cucunya. Ia akan menanggung segala lara milik Alana.Begitu ruangan itu terbuka, seorang dokter wanita berambut pirang dengan mata birunya yang cantik keluar dengan senyum teduhnya menyambut Alexander yang panik."Dokter, bagaimana dengan puteriku?" tanyanya tak sabaran.Wanita berjas putih itu kembali tersenyum. "Mari ikut saya ke ruangan, saya akan menjelaskan semuanya."Alexander mengangguk lalu melirik dua orang pelayan wanita yang ikut bersamanya tengah berdiri di belakang pria kaya itu dengan seragam yang sama."Maria, Helena!" panggilnya membuat kedua pelayan yang masih berusia muda itu lantas mengangguk dan berjalan mendekat pada Alexander.
10 Tahun Kemudian.Kyoto, JepangMentari pagi yang terlihat malu-malu kini memulai hari dengan begitu cepat. Angin dingin mulai berhembus di pertengahan musum gugur kali ini. Asap yang mengepul dari cangkir yang berisi penuh coklat yang baru diseduh menjadi pemandangan di atas meja yang terbuat dari kayu mahoni yang terletak di Gazebo sebuah mansion mewah bak istana raja di kota Kyoto, Jepang.Ada tawa yang menjadi penghangat di saat cuaca begitu mencekat hingga ketulang. Tawa hangat dari seorang bocah berusia 9 tahun yang kini duduk seorang diri sambil menikmati manisnya coklat berpadu caramel yang mengisi kerongkongannya sedikit demi sedikit. Di pangkuannya ada sebuah laptop bermerek terkenal yang tengah menyala, yang menjadi sumber tawa pemuda tinggi tersebut."Sepertinya kau sedang melihat hal yang menyenangkan."Pemuda itu menoleh saat suara orang yang begitu ia sayangi berada tepat d
Alexander Smitt duduk termenung di ruang kerjanya yang tepat berada di samping taman mansion bak istana yang tinggi menjulang. Melihat hamparan bunga lily putih yang ia tanam di lahan seluas setengah hektar tersebut. Sebenarnya, Minami Aoyama atau Alexander lebih suka memanggilnya Ryana, nama yang ia berikan agar ia bisa berbaur dengan kalangan bangsawan keturunan Eropa. Garis keturunan keluarga Smitt yang seorang Billioner di negeri ini sempat protes pria itu menanam lily putih untuk memenuhi taman mansion mereka. Wanita berkebangsaan Jepang itu tak begitu menyukai bunga tersebut, ia lebih suka menanam bunga mawar atau dandelion. Namun, suaminya tetap keras kepala untuk menanam bunga tersebut. Akan tetapi setelah kematian Ryana, Alexander juga membuatkan taman dandelion untuk mengenang wanita tersebut."Bahkan aku menyimpan sisa-sisa kenangan kita dengan menanam bunga kesukaanmu," gumamnya. Alexander Smitt, lelaki itu masih terjebak masa lalu, tentang kis
Gavin kembali ke rumah dengan hati hancur. Nyatanya ia tak bisa lagi memiliki kesempatan untuk bersama kembali dengan Alan.Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, matanya menerawang ke atas langit-langit apartemen kecil, yang ia sewa setelah rumah mewahnya ia jual untuk menutup hutang puluhan juta dollar di bank, akibat perusahaan milik sang ayah pailit."Apa yang kau lakukan di sini, huh!" seru Grifida. Wanita itu datang dengan pakaian berkabung, membuat Gavin langsung bangkit."Mama, kau dari mana? Kenapa memakai pakaian berkabung? Siapa yang meninggal?" tanyanya. Grifida tak menunjukkan raut sedih sama sekali. Justru binar bahagia terpancar di wajahnya yang mulai keriput,0 akibat tak pernah melakukan perawatan wajah."Kau tahu, beban hidupku kini telah menghilang. Akhirnya wanita ular itu mati bersama anaknya yang cacat."Mata biru Gavin langsung mendelik mendengar perkataan sang Ibu. "Apa maksud, Mama?""Kau tahu maksudku, Gavin. Wanita ular itu, alias mantan istrimu, Aluna Welingt
Gavin menarik lidah Alan untuk bergulat hanya sebentar. Sementara tangannya bergerak lihai memelintir pucuk dua bongkahan kembar milik Alan yang mencuat karena terangsang. Memaksa Alan untuk mendesah nikmat di bawah kungkungan sang mantan.Terdengar kecupan penuh nafsu, dan gairah malam yang mereka gumamkan. Sedotan akan bibir tipis yang mendominasi, membuat Alan tak berdaya. Tubuhnya seperti tersengat aliran listrik, setiap lelaki di atasnya memberikan sentuhan yang tak pernah ia dapatkan selama ini."Eung...," lenguh Alan mendongak. Merasakan perutnya tergelitik, saat lidah Gavin bermain di area tubuh atasnya. Mengulum secara lambat, yang membuat Alan meremas surai hitam sang mantan suami.Gavin yang sejak tadi menyentuh tubuhnya, merasakan sesuatu yang tak bisa ia gambarkan. Sebuah perasaan sakit akan apa yang telah ia lakukan sekarang."Kita pindah kamar, ya?" ucap Gavin sembari menarik diri, saat ia kembali mengecup bibir Alan yang terbuka, dan menatap kedua maniknya meminta pers
"Alan apa yang kau lakukan?"Bukannya berhenti Alan justru melepas semua atribut yang menempel di tubuhnya. Hingga tubuh putih itu polos tanpa sehelai benang pun. "Kenapa kau diam saja, bukanlah kau menginginkan tubuhku, berengsek!" Alan berteriak. "Tidak."Alan tertawa nyaring, mengabaikan rasa malunya di depan Gavin. Ia melangkah maju mendekati sang mantan suami yang duduk dia tas sofa. "Apa kau sekarang telah berubah menjadi pria baik-baik, oh astaga. Ini mencengangkan sekali. Tapi mana mungkin kau bisa menolakku."Gavin susah payah menelan ludahnya gugup. Segala pikiran kotor ingin ia singkirkan, namun ia kalah dengan tubuh Alan yang menggoda. "Shit!" umpatnya, kala miliknya di bawah sana mengaum ingin dibebaskan. "Lakukan dengan cepat, dan aku tak ingin membuang waktu berhargaku, sialan!" umpat Alan tak kalah sarkas."Kenapa kau melakukan ini, Alan?""Kau tidak perlu bertanya."Bukannya langsung memenuhi keinginan Alan, Gavin justru menarik tubuh polos sang istri dalam pelu
Lelaki itu turun dari dalam mobil tepat di depan hotel yang Alan tunjuk untuk pertemuan mereka malam ini. Dia mengamati hotel berbintang lima yang begitu mewah di pusat kota Edlen. Gavin lalu buru-buru kembali masuk ke dalam mobil, dan mengendari kendaraan roda empat tersebut menuju basemen."Apa benar ini tempatnya, ya?" gumam Gavin seorang diri. Ia berjalan masuk ke dalam lobi hotel setelahnya. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya sang resepsionis. "Nyonya Alanair Smitt, saya ingin bertemu dengannya."Resepsionis bernama Alexa itu tersenyum, ia meminta Gavin untuk menunggu, mencari data Alan di layar monitor."Nyonya Smitt menginap di kamar tiga ratus tujuh."Gavin mengangguk, lalu bergegas menuju lift yang akan mengantarkan dia ke lantai 3 tempat Alan menginap.Hatinya berdebar tak karuan, padahal hanya 10 menit ketika ia turun di lantai 3, namun rasanya sudah berabad-abad. Ia berharap malam ini Alan memberinya maaf, ia tak berharap banyak untuk kembali pada wa
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ayahmu, Gav." Greg menepuk pundaknya dengan pelan, dan lelaki bermarga Wildberg itu hanya mengangguk lesu."Aku tahu itu berat bagimu, Gav. Tetapi cobalah relakan Ayahmu. Dengan begini, Tuan Wildberg tak lagi merasakan sakit. Dia sudah bahagia di atas sana."Gavin menghembuskan napas pelan, sebelum mengalihkan atensinya pada sosok Greg Martin yang berdiri di belakang tubuhnya. Ia memutar kursi, hingga kini ia tepat menghadap lelaki bermata biru tersebut. "Ini bukan soal Ayahku, Greg.""Lalu.""Ibuku tahu jika Alanair Smitt adalah mantan istriku, kau tahu apa yang Ibuku katakan?"Greg menaikan satu alisnya. Tetapi ia sudah tahu jawabannya, bahkan ketika ia tak perlu bertanya pada sahabatnya itu. "Ibumu menyuruh kau kembali pada Nona Smitt, right."Gavin mengangguk pelan. "Bahkan, tanpa aku menjawabnya kau sudah tahu apa jawabannya.""Maaf, tapi karena itu mudah sekali tertebak ketika kau sering menceritakan sikap Ibumu. Sekarang terserah kau s
"Dia Alanair Wellington, istriku dan bocah kecil itu adalah putraku, putraku dengan Alan." Gavin mengatakan dengan gamblang. Alan melotot, begitupula dengan Grifida, wanita itu menatapnya tak percaya. Grifia membekap bibirnya dengan telapak tangan. Dia tertawa miris dengan apa yang ia dengar di telinganya saat ini. "Bohong, kau pasti bohong. Mana mungkin dia adalah si jelek Alanair Welington?"Alan mendengus malas. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Sejak dulu, kau tak pernah berubah, ya, Nyonya Wildberg?""Karena aku percaya kau bukan Alanair, mana mungkin." Grifida masih bersikukuh."Karena Anda takut, bukan begitu. Anda takut mengakui saya sebagai Alanair Welington, Anda takut dengan kesalahan dan dosa Anda di masa lalu, Nyonya." Alan tertawa sinis, membuat wajah Grifida pucat pasi.Wanita itu memundurkan langkah. Mungkin Alan benar, dia takut dengan dosa masa lalunya. Dosanya yang telah mencampakkan menantunya yang polos, dan bahkan berhati mulia. Justru dia memelihara
"Laporan apa yang kau buat ini? Apa kau tidak becus membuatnya, huh?" Sebuah kertas dilempar begitu saja oleh Alanair, begitu ia membaca laporan yang Gavin berikan padanya."Apanya yang salah?" tanyanya. "Apa matamu buta? Atau sudah rusak? Lihat saja sendiri, kau sama sekali tak becus membuatnya. Pantas saja WG hancur karena dipimpin oleh orang macam kau." Amarah Alan menggebu-nggebu saat ini.Sakit di hati Gavin semakin menjadi, bukan karena amarah wanita ini. Akan tetapi, status mereka yang seharusnya masihlah suami istri, namun ketika mereka sudah sedekat ini. Kenapa ego memisahkan masing-masing. Ia menyesal dengan perbuatannya, ia tahu ia salah. Namun, Alan tak memberinya sedikitpun kesempatan untuk memperbaiki dirinya sendiri. "Astaga, kamu kalau marah menggemaskan sekali." Gavin mencoba mencairkan suasana denagn menggoda sang istri, ah masihkah boleh Gavin menyebutnya seperti itu, sementara Alan sudah menganggap mereka bercerai. Lagipula, dia sudah tidak mau bersama pria ini.
Setelah Alan merasa jauh dan jauh dari jangkauan mantan suaminya. Wanita cantik itu segera menyembunyikan tubuhnya di balik tiang bangunan. Hanya berdiri di sana tanpa melakukan apapun, memperhatikan sepatu hells merahnya yang menggesek tanah. Matanya berkaca-kaca menahan emosi yang sedari tadi dirinya tahan. Hanya saja Alan kalah, hatinya sakit, dan dadanya terasa sangat sesak sekarang. Saat ini ia hanya bisa menepuk dadanya, berharap mengikis semua rasa sakit yang menumpuk di sana, namun semua sia-sia. Rasa sakit itu semakin menjadi, membuat tangisnya kini pecah tak mampu ia bendung lagi."Mama, Mama menjemputku?" Suara melengking di depannya membuat Alan mendongakkan wajah."Mama menjemputku?" ulangnya. Dia berlarian kecil saking senangnya, karena sang ibu menjemputnya di sekolah. "Iya, Mama menjemputmu, kau senang?""Tentu saja senang," ujarnya sembari memeluk kaki Alan, karena tinggi anak itu hanya sepinggang ibunya. Bibirnya terkembang senyum lebar seolah ia baru saja memenangk
"Kau yakin ini tempat sekolah dari putra Boss kita?" tanya Greg, ketika pria itu berhasil mengantarkan Gavin di depan salah satu sekolah swasta di kota Brigston. Greg melirik ke arah Gavin yang sudah lebih baik dari kemarin. "Ya, aku mencari info dari sekretaris pribadi Alan."Greg terkekeh. "Kau bahkan lebih leluasa dengan hanya memanggil namanya saja.""Karena dia istriku," ucapnya percaya diri. "Jika kau masih dianggap." ketika Gavin berdecak, Greg justru tertawa lantang."Sialan!" Gavin segera melepaskan sabuk pengamannya, dan keluar dari mobil. Meninggalkan sahabatnya yang memilih duduk di balik kemudi mengawasi pergerakan rekan kerjanya ini.Gavin melangkah ke arah area sekolah. Mengamati beberapa anak yang telah keluar dari dalam kelasnya masing-masing. "Kenan Yoshiro Smitt!"Langkah kaki Gavin terhenti saat itu juga. Ia menggerakan mata ke samping, saat seorang guru perempuan berambut pirang menyebut nama itu. Seperti ada bom atom yang melesak seisinya dan Gavin merasakan