Bab 42: Kunjungan Tak Terduga
Dua hari setelah mengirimkan suratnya kepada Alaric, Elea sedang menikmati pagi yang tenang di taman kediaman Grand Duke Marre. Matahari pagi menyinari hamparan bunga, menciptakan suasana damai yang menenangkan. Namun, suasana itu berubah ketika Daisy tiba-tiba berlari ke arahnya dengan wajah panik."Yang Mulia Elea! Anda harus datang ke depan, sekarang!" seru Daisy dengan suara terburu-buru.Elea yang tengah duduk di bangku taman menoleh dengan alis terangkat. "Ada apa, Daisy? Kenapa kau begitu gelisah?"Daisy berusaha mengatur napas sebelum menjawab, "Raja Alaric... beliau ada di gerbang! Dia datang tanpa pemberitahuan!"Mata Elea membelalak. "Apa? Alaric di sini?"Daisy mengangguk cepat. "Ya, Yang Mulia. Kereta kerajaan dan para pengawalnya sudah tiba di gerbang utama. Grand Duke dan Duchess Lenora sedang menyambutnya sekarang."Elea segera bBab 43: Keputusan yang Mengubah Segalanya Tiga hari berlalu sejak kedatangan Raja Alaric di kediaman Grand Duke Marre. Selama waktu itu, pembicaraan tentang masa depan Elea dan Alaric terus menjadi topik hangat di dalam keluarga. Grand Duke, Duchess Lenora, dan bahkan para pelayan setia mereka tampak antusias mendiskusikan berbagai persiapan. Di ruang kerja Grand Duke, akhirnya keputusan besar diambil. Dengan Alaric, Grand Duke Marre, dan Duchess Lenora duduk di meja panjang, mereka sepakat untuk menentukan tanggal pernikahan Elea dan Alaric. "Saya pikir, semakin cepat pernikahan ini dilakukan, semakin baik," ujar Grand Duke Marre dengan nada serius. "Kita tidak ingin memberi celah bagi pihak-pihak yang mungkin mencoba mengganggu." Duchess Lenora mengangguk setuju. "Benar. Selain itu, pernikahan di sini akan lebih aman daripada di Veridion, mengingat situasi politik di sana yang cukup memanas." Alaric mem
Bab 44: Hari PernikahanHari yang dinantikan pun tiba. Pagi itu, langit cerah membentang di atas kediaman Grand Duke Marre, seolah menyambut perayaan yang akan menjadi sejarah besar bagi dua kerajaan. Para tamu mulai berdatangan, mengenakan pakaian terbaik mereka. Gaun-gaun mewah dengan desain rumit, jas yang dipadukan dengan perhiasan, dan aksesoris berkilauan memadati aula besar yang telah dihias dengan warna emas dan putih, simbol kebersamaan dan kemurnian. Di tengah kemegahan itu, perhatian banyak orang tertuju pada pasangan yang baru saja memasuki aula Raja Flynn dan Ratu Beatrice. Beatrice mengenakan gaun berwarna emas mewah yang dirancang dengan detail payet berkilau dan hiasan renda yang membentuk pola rumit. Mahkota kecil bertabur berlian menghiasi kepalanya, membuatnya terlihat seperti patung dewi. Flynn, di sisi lain, mengenakan jas resmi kerajaan yang senada dengan warna gaun Beatrice, menonjolkan aura kebangsawanan mereka. K
Bab 45- Pertaruhan tak TerucapkanSetelah pesta berakhir, suasana di istana Flynn terasa suram. Raja yang biasanya terlihat tenang dan terkontrol kini berjalan dengan langkah berat menuju ruang kerjanya. Sesampainya di sana, ia langsung membanting berkas-berkas yang ada di meja, suara kertas yang berhamburan memenuhi ruangannya. Perasaan frustrasi dan amarah yang telah terpendam sepanjang acara pernikahan kini meledak. Flynn merasa seolah-olah seluruh dunia memihak Elea dan Alaric, dan dia tak bisa melakukan apa-apa untuk mengubahnya.Matanya yang tajam menatap kosong ke arah meja kerjanya, seolah mencari jalan keluar dari kekesalannya. Bayangan Alaric yang tersenyum bahagia di pesta pernikahan kembali terbayang jelas dalam pikirannya. Flynn merasa seolah senyuman itu adalah ejekan langsung kepadanya, seolah Alaric sedang memperlihatkan bahwa ia sudah memenangkan semuanya bahkan sebelum mereka benar-benar memulai hidup baru.Pesta yang sehar
Bab 46: Langkah Pertama di Veridion Pagi yang cerah menyambut perjalanan Elea dan Alaric menuju kerajaan Veridion. Rombongan mereka melintasi gerbang besar kerajaan yang megah, diiringi iring-iringan pengawal dan rakyat yang berdiri di pinggir jalan, beberapa menyambut dengan sorakan, sementara yang lain hanya menatap tanpa ekspresi. Elea, yang duduk di dalam kereta bersama Alaric, menatap pemandangan itu dengan tenang, meski dalam hatinya ia tahu bahwa ujian sesungguhnya baru akan dimulai. Setibanya di istana Veridion, Elea disambut dengan formalitas kerajaan. Para bangsawan Veridion yang tidak hadir di pesta pernikahan di Landbird berbaris untuk memberikan salam. Namun, Elea dapat merasakan hawa dingin dari beberapa tatapan mereka. Senyum sopan yang mereka tunjukkan tidak bisa menyembunyikan rasa skeptis di baliknya. Di ruang resepsi, seorang Lady tua dengan gaun ungu yang mencolok Lady Calista, salah satu penasihat lama keluarga ker
Bab 47: Kehangatan dan Kepalsuan Di tengah pesta megah itu, Elea akhirnya menemukan adiknya, Laurent Marre, yang berdiri gagah di tengah para tamu. Elea mendekatinya dengan senyum lebar dan langsung memeluknya dengan hangat. "Laurent! Sudah lama sekali," katanya penuh kerinduan. Laurent membalas pelukan kakaknya sambil tersenyum. "Kak Elea. Aku senang akhirnya bisa melihatmu bahagia. Bagaimana kabarmu?" "Aku baik-baik saja," jawab Elea lembut, lalu ia memandang Laurent dengan tatapan penuh perhatian. "Bagaimana denganmu? Apakah tugas di perbatasan sudah selesai?" Laurent mengangguk. "Sudah, untuk sementara. Keamanan di sana lebih stabil sekarang, jadi Ayah mengizinkanku untuk datang ke sini. Aku tidak mau melewatkan hari besarmu, Kak." Elea tersenyum bangga. "Kamu melakukan pekerjaan yang hebat, Laurent. Aku tahu Ayah juga bangga padamu." Setelah berbincang sebentar, Elea m
Bab 48: Standar MasalaluHari-hari awal Elea di Veridion tidak berjalan semulus yang ia harapkan. Sebagai seorang mantan ratu dari kerajaan lain, Elea terbiasa dengan tugas-tugas kenegaraan, tetapi di Veridion, ada tantangan lain yang menantinya.Lady Calista, seorang wanita paruh baya dengan wibawa yang kuat, telah lama menjadi pelayan utama istana Veridion dan menganggap dirinya sebagai sosok yang paling mengerti kebutuhan raja Alaric. Meskipun tidak memiliki gelar bangsawan, Lady Calista berperilaku seolah-olah ia adalah ibu angkat Alaric. "Yang Mulia Ratu," ujar Lady Calista suatu pagi saat Elea sedang menikmati teh di taman istana. "Saya rasa alangkah baiknya jika Anda lebih memperhatikan jadwal harian Raja Alaric. Raja memiliki kebiasaan membaca laporan pagi-pagi, dan sebaiknya Anda berada di sana untuk mendampinginya." Elea mengangkat pandangannya dari cangkir teh dan tersenyum tipis. "Terima kasih atas sarannya, Lad
Bab 49: Bayang-Bayang Ratu LianaDi kamar pribadinya yang dihias mewah, Lady Calista duduk di depan meja rias. Cermin besar memantulkan wajahnya yang terlihat tegas dengan sedikit kerutan di dahinya. Di atas meja, tergeletak sulaman setengah jadi yang mencerminkan pola-pola elegan, sesuatu yang dulu menjadi favorit mendiang Ratu Liana. Sambil merapikan jarum dan benang, Calista bergumam pelan namun penuh emosi, "Ratu Veridion seharusnya memancarkan keanggunan seperti Ratu Liana. Dia harus tahu bagaimana memikat hati Raja dan seluruh bangsawan. Tapi Elea..." Ia mendesah panjang. "Dia bahkan tidak memiliki keanggunan yang sama, tidak memiliki kebiasaan yang menunjukkan tradisi Veridion. Bagaimana bisa dia menjadi Ratu?" Lady Calista menggelengkan kepala, merasa semakin yakin bahwa Elea tidak pantas menyandang gelar tersebut. "Jika Ratu Liana masih hidup, semuanya akan berbeda. Dia tahu bagaimana menjalankan istana ini. Elea terlalu keras k
Bab 50: Ketegasan Raja VeridionDi ruang kerjanya, Raja Alaric duduk dengan tenang, namun sorot matanya penuh ketegasan saat Lennox selesai memberikan laporan. Lennox, dengan nada hati-hati, menyampaikan kejadian di antara pelayan Landbird dan Veridion. "Saya sudah menyelidiki, Yang Mulia. Tampaknya, penghinaan dan olokan terhadap pelayan Landbird bukan sekadar masalah kecil. Beberapa pelayan Veridion, yang mendapat pengaruh dari Lady Calista, menjadi dalang di balik ini." Wajah Alaric mengeras mendengar laporan itu. "Mereka menghina pelayan istriku berarti mereka menghina aku. Perilaku semacam ini tidak bisa dibiarkan," katanya tegas. Ia berdiri dan berkata, "Panggil semua pelayan, baik dari Veridion maupun Landbird, ke aula. Termasuk Ratu Elea dan Lady Calista." Tak lama kemudian, aula istana penuh oleh para pelayan yang berdiri berjajar. Di sisi lain, Lady Calista berdiri dengan tatapan angkuh, sementar
Elea menatap suaminya dengan penuh selidik. Ia mengenal Alaric dengan baik, terlalu baik. Dan ekspresi yang baru saja melintas di wajah pria itu bukanlah sesuatu yang bisa ia abaikan begitu saja. "Alaric," ucap Elea pelan, suaranya lembut, tetapi penuh tekanan. "Apa yang dikatakan Grand Duke kepadamu sebelum pergi?" Alaric tetap diam sejenak, lalu beranjak dari kursinya dan berjalan ke arah jendela. Ia menatap ke luar, seolah mencari jawaban di balik langit Veridion yang mulai meredup. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan," jawabnya akhirnya. Elea menyipitkan mata. "Jangan meremehkanku." Alaric menghela napas, lalu berbalik menghadapi istrinya. "Grand Duke hanya mengingatkanku tentang beberapa hal di masa lalu. Tidak ada yang penting." "Jika tidak penting, kau tidak akan bereaksi seperti tadi," sahut Elea cepat. Raja Veridion itu menatap Elea beberapa saat sebelum akhirnya mengusap wajahnya dengan lelah. "Grand Duke mengungkit sesuatu yang seharusnya tetap terkubur."
Bab 84 – Api yang BerkobarDi mansion Grand Duke Elvenhart, Aveline duduk di ruang pribadinya, jemarinya mencengkeram surat dari Baron Reynard dengan kuat. Matanya membara penuh kemarahan saat membaca isi laporan yang ia terima. Putra Mahkota Kaelen membela Edith. Dan yang lebih buruk lagi, ia mengaku bahwa Edith adalah kekasihnya. Aveline tidak bisa menerima ini. Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Dengan langkah cepat, ia keluar dari kamarnya dan langsung menuju ruang kerja ayahnya. Tanpa ragu, ia mengetuk pintu keras sebelum masuk. Grand Duke Elvenhart, yang tengah membaca dokumen di mejanya, menoleh dengan alis berkerut. Melihat ekspresi putrinya yang tegang, ia meletakkan penanya dan menatapnya dengan tajam. "Aveline," katanya dengan nada dalam. "Ada apa?" Aveline menegakkan tubuhnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap terkendali. "Ayah, saya baru saja menerima kabar dari Baron Reynard," katanya dengan tenang, meskipun ada ketegangan dalam suaranya. "Putra Mahkota Ka
Edith tahu keputusan Grand Duke Elvenhart akan membawa dampak besar, tetapi ia tidak menduga seberapa cepat situasi akan berubah. Dua hari setelah pengumuman bahwa Kota Velfenne menjadi tanggung jawabnya, Edith menerima surat dari salah satu pejabat di kota tersebut. Isinya bukanlah ucapan selamat, melainkan peringatan. "Ada gerakan yang mencurigakan di antara beberapa bangsawan lokal. Mereka tidak secara terang-terangan menentang keputusan ini, tetapi banyak yang meragukan legitimasi Anda. Saya khawatir ada sesuatu yang direncanakan di balik layar."Edith membaca surat itu dengan dahi berkerut. Ia sudah menduga bahwa tidak semua orang akan menerima posisinya, tetapi jika ada sesuatu yang direncanakan di balik layar, itu berarti masalah lebih besar akan datang. Sementara itu, di sisi lain mansion, Aveline duduk di ruang pribadinya dengan tenang. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan wajah kaku dan pakaian bangsawan sederhana. Ia adalah Baron Reynard, salah satu pemilik tanah
Bab 82 – Hadiah yang Membakar DendamDi dalam mansion Grand Duke Elvenhart, ketegangan terasa semakin pekat. Edith berusaha untuk tetap tenang, tetapi rumor yang terus berkembang membuatnya semakin sulit bernapas. Malam itu, ia berjalan melewati koridor yang diterangi cahaya lilin, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Saat ia sampai di depan pintu kamarnya, langkahnya terhenti. Di ujung lorong, seseorang berdiri menunggunya. Gaun ungu lembut yang membalut tubuh wanita itu tampak begitu anggun di bawah cahaya lilin, tetapi sorot matanya yang tajam mengisyaratkan sesuatu yang lain. "Akhirnya kau pulang juga," suara Aveline terdengar lembut, tetapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Edith meremang. Edith menghela napas. "Apa yang kau inginkan, Lady Aveline?" Aveline tersenyum kecil, melangkah mendekat. "Kau terdengar begitu kaku, Edith. Aku hanya ingin berbicara." Edith menegang, tetapi tetap berdiri tegak. "Jika kau ingin membicarakan rumor itu, aku tidak tertarik." Av
Hari-hari setelah perburuan itu tidak berjalan seperti yang diharapkan Edith. Sejak kepulangannya dari hutan bersama Roderic, namanya tiba-tiba memenuhi setiap bisikan dan percakapan para bangsawan. Di setiap perjamuan teh, di lorong-lorong istana, di antara tawa para lady yang mengenakan gaun-gaun indah, hanya ada satu topik yang mereka bahas. "Lady Edith sudah tidak suci lagi."Rumor itu menyebar seperti api yang melahap hutan kering. Tidak ada yang tahu pasti dari mana asalnya, tetapi bisikan-bisikan itu menjadi semakin liar setiap harinya. Di Ruang Teh Para LadyDi sebuah taman indah di dalam istana, para lady tengah menikmati perjamuan sore. Teh harum memenuhi udara, diiringi suara-suara lembut yang penuh kepalsuan. "Benar-benar mengejutkan," kata Lady Vivienne dengan nada dramatis. "Aku mendengar bahwa Lady Edith menghabiskan malam di hutan bersama Lord Roderic. Berdua saja!" Lady Marielle, yang duduk di sampingnya, menutup mulutnya seolah terkejut. "Astaga, kalau itu
Di dalam hutan yang gelap, cahaya bulan mengintip di antara celah dedaunan, memberikan sedikit penerangan bagi Edith dan Roderic yang masih terjebak. Suara jangkrik dan hembusan angin menjadi latar belakang keheningan di antara mereka. Edith menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan rasa dingin meskipun mantel Roderic sudah membalut tubuhnya. Ia melirik pria di sebelahnya, yang tampak santai bersandar pada batang pohon, seolah-olah keadaan ini bukan masalah besar. "Kau terlihat tenang," kata Edith akhirnya, suaranya lirih namun cukup jelas. Roderic menoleh dengan senyum kecil. "Harus ada yang tetap tenang, kan?" Edith menghela napas, lalu menatap langit yang terbuka di antara pepohonan. "Aku tidak menyangka perburuan akan berakhir seperti ini." Roderic terkekeh. "Sama. Biasanya aku hanya berburu sebentar, lalu kembali dengan kemenangan kecil. Kali ini... kurasa kita tidak bisa mengandalkan keberuntungan." Keheningan menyelimuti mereka lagi, hingga akhirnya Edith berbicara le
Langit cerah membentang luas di atas tanah perburuan kerajaan, udara dipenuhi dengan semangat dan obrolan para bangsawan yang berkumpul dalam festival tahunan ini. Bendera-bendera kerajaan berkibar di sepanjang jalur masuk, sementara para pelayan berlalu-lalang, menyiapkan segala keperluan untuk berburu. Di singgasana yang telah disediakan di tengah area utama, Raja Alaric duduk dengan penuh wibawa, didampingi oleh Ratu Elea yang tampak anggun dalam gaun biru langit. Putra Mahkota Kaelen berdiri di sisi mereka, mengenakan jubah ringan yang menunjukkan statusnya, matanya tajam mengamati kerumunan. Di antara para peserta, Grand Duke Elvenhart tiba bersama Lady Aveline, Edith, dan asistennya, Alex. Aveline mengenakan pakaian berkuda yang mewah, sementara Edith berdiri sedikit di belakangnya dengan pakaian sederhana yang tetap rapi. “Festival perburuan ini selalu ramai, ya?” gumam Alex sambil menatap sekeliling. “Memang. Ini bukan hanya soal berburu, tetapi juga ajang politik,” ja
Di dalam kediaman keluarga Marquis Laurent, Lord Roderic duduk di ruang kerjanya, menatap surat yang baru saja ia tulis untuk Edith. Ia menggulirkan pena di antara jarinya, berpikir apakah ia harus mengirimnya atau tidak. "Roderic," sebuah suara berat terdengar dari ambang pintu. Roderic menoleh dan mendapati kakak laki-lakinya, Lord Gilbert Laurent, berdiri dengan tangan bersedekap. Wajahnya seperti biasa, penuh dengan sikap superior seorang pewaris utama. "Kau masih sibuk dengan surat-surat itu?" tanya Gilbert, nada suaranya terdengar meremehkan. Roderic tersenyum tipis. "Hanya sekadar korespondensi pribadi." Gilbert mendekat, mengambil surat di atas meja tanpa meminta izin, dan membaca sekilas. Senyum miring muncul di wajahnya. "Edith Manesse? Gadis yang bekerja di bawah Grand Duke Elvenhart?" Roderic mengulurkan tangannya untuk mengambil kembali surat itu, tapi Gilbert menahannya lebih lama sebelum akhirnya menyerahkannya. "Kau benar-benar tidak tahu bagaimana memili
Di Kediaman Grand Duke ElvenhartEdith duduk di ruang baca dengan setumpuk dokumen di depannya, tetapi perhatiannya tidak sepenuhnya tertuju pada pekerjaannya. Di sampingnya, terdapat beberapa surat yang baru saja dikirim oleh seorang pelayan, semuanya dari Lord Roderic. Ia menghela napas sebelum mengambil salah satu surat dan membukanya. Tulisan tangan yang rapi dan sedikit miring menyambutnya. "Lady Edith, Aku harap hari ini menyapamu dengan baik. Aku tidak bisa berhenti memikirkan percakapan terakhir kita di kafe itu. Rasanya begitu menyenangkan bisa berbicara dengan seseorang yang tidak hanya berbasa-basi dalam sopan santun. Aku bertanya-tanya apakah aku bisa mengajakmu berjalan-jalan suatu hari nanti? Dengan hormat, Roderic Laurent"Edith menggeleng pelan. Sudah hampir seminggu sejak mereka pertama kali bertemu di kafe, dan sejak itu, surat-surat Roderic terus berdatangan. Ia tidak yakin apakah ini hanya cara pria itu bersikap sopan atau jika ada sesuatu yang lebih dala