Home / Romansa / I'm Sorry Laras / Ruang keluarga yang memanas

Share

Ruang keluarga yang memanas

Author: mangpurna
last update Last Updated: 2025-03-15 06:54:57

Di kediaman Doni yang mewah, suasana malam itu tiba-tiba berubah mencekam. Teriakan nyaring Sofia menggema di ruang tamu, mengagetkan semua penghuni rumah. “Doni! Apa yang terjadi padamu?!” jeritnya, suaranya penuh kepanikan bercampur amarah, memecah keheningan rumah bergaya modern itu.

Ratna dan Raka, yang sedang berada di ruang keluarga, segera berlari mendekati Sofia. Mereka terpaku melihat pemandangan di depan mereka. Sofia berdiri dengan wajah pucat, tangannya menunjuk Doni yang tampak sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Anak kesayangan Sofia itu kini berdiri dengan wajah babak belur—mata kirinya memar keunguan, hidungnya berdarah kering, dan bibirnya pecah. Bajunya yang tadi pagi masih rapi kini penuh kotoran tanah, robek di beberapa bagian, membuatnya tampak seperti habis bertarung di lumpur.

“Ada apa

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • I'm Sorry Laras   Terjebak

    Cahaya lampu tua di ruang tamu berkedip pelan, memantulkan bayangan samar di dinding kayu yang sudah mulai mengelupas. Bau kopi dingin dari cangkir yang ditinggalkan di meja kecil masih tercium samar, bercampur dengan aroma tanah basah yang menyelinap dari jendela terbuka. Di sudut ruangan, Ratna Kartika berdiri dengan tangan gemetar, jari-jarinya mencengkeram lengan Damar erat-erat seolah takut kehilangan pegangan. “Damar, syukurlah kamu sudah datang,” suaranya mendesak, penuh getaran yang sulit disembunyikan, matanya berkilat tajam di bawah alis yang mengerut. “Kamu harus lihat bagaimana kelakuan istrimu saat kamu tidak ada di rumah.” Damar mengerutkan kening, napasnya masih tersengal setelah perjalanan panjang dari luar kota. Ia menarik lengannya perlahan dari genggaman ibunya, gerakannya kaku namun tegas. Jaket lusuhnya masih menempel di pundak, membawa aroma debu jalanan yang melekat. “Ada apa sih, Bu? Aku ini baru saja pulang, dan masih capek…” Ia menghela napas panjang, suaran

    Last Updated : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Fitnah Raka

    Laras hanya bisa menangis, terisak-isak di hadapan suaminya, mencoba memeluk erat hatinya sendiri agar tak pecah berkeping-keping. Dalam kepalanya, ia berulang kali berkata bahwa ini hanyalah mimpi buruk—bayangan kelam yang akan sirna begitu mentari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela. Tapi pandangan Damar, yang kini membeku seperti es di musim dingin, menamparnya dengan kenyataan pahit. Kepercayaan yang dulu hangat dan penuh cinta itu kini terguncang hebat, bahkan mungkin telah runtuh menjadi puing-puing yang tak lagi bisa disatukan.Cahaya lampu gantung di ruang tamu memantulkan kilau redup di wajah Laras, menyoroti air mata yang mengalir tanpa henti, membentuk aliran kecil di pipinya yang pucat. Ia jatuh berlutut, lututnya menghantam lantai kayu dengan bunyi pelan yang memilukan, seolah tubuhnya tak lagi mampu menahan beban jiwa yang remuk. Tangan-tangannya yang gemetar meraih jemari Damar, mencengkeramnya erat seakan itu adalah tali terakhir yang bisa menyelamatkannya dari

    Last Updated : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Hukuman Laras

    “Dan untukmu, Laras…” suaranya rendah, bergetar halus namun tajam seperti pisau yang baru diasah, “aku tidak akan mengusirmu atau menceraikanmu. Tapi jangan salah sangka dulu. Ini bukan berarti aku memaafkan kesalahanmu.”Laras tercekat, napasnya tertahan di antara kelegaan dan kehancuran. Setidaknya, bayang-bayang kehilangan suami dan rumah tangganya tak akan segera menelannya. Ia menunduk, air matanya menetes ke lantai, membentuk lingkaran kecil yang mencerminkan wajahnya yang remuk. “Terima kasih, Mas… terima kasih,” gumamnya pelan, suaranya penuh harap yang rapuh, seolah angin sepoi pun bisa mematahkannya.Damar tertawa kecil, suara itu pendek dan sinis, mengiris udara seperti cambuk. “Jangan terlalu senang, Laras. Jangan kira aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan padaku.” Ia melangkah mundur, pundaknya tegak namun matanya penuh bayangan gelap. “Aku tidak menceraikanmu atau mengusirmu karena aku ingin melihatmu menderita langsung. Mulai sekarang, jangan harap aku akan b

    Last Updated : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Meragukan Indira

    “Dan untukmu, Laras…” suaranya rendah, bergetar halus namun tajam seperti pisau yang baru diasah, “aku tidak akan mengusirmu atau menceraikanmu. Tapi jangan salah sangka dulu. Ini bukan berarti aku memaafkan kesalahanmu.”Laras tercekat, napasnya tertahan di antara kelegaan dan kehancuran. Setidaknya, bayang-bayang kehilangan suami dan rumah tangganya tak akan segera menelannya. Ia menunduk, air matanya menetes ke lantai, membentuk lingkaran kecil yang mencerminkan wajahnya yang remuk. “Terima kasih, Mas… terima kasih,” gumamnya pelan, suaranya penuh harap yang rapuh, seolah angin sepoi pun bisa mematahkannya.Damar tertawa kecil, suara itu pendek dan sinis, mengiris udara seperti cambuk. “Jangan terlalu senang, Laras. Jangan kira aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan padaku.” Ia melangkah mundur, pundaknya tegak namun matanya penuh bayangan gelap. “Aku tidak menceraikanmu atau mengusirmu karena aku ingin melihatmu menderita langsung. Mulai sekarang, jangan harap aku akan b

    Last Updated : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Tes DNA

    Laras terdiam, jantungnya seperti berhenti berdetak saat pertanyaan polos Indira menggantung di udara. Cahaya lampu dapur yang redup memantulkan bayangan wajahnya di meja kayu tua, dan untuk sesaat, ia merasa dunia di sekitarnya menyusut menjadi ruang kecil yang penuh tekanan. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang begitu rumit pada anaknya yang masih polos, tanpa menggores luka di hati kecil itu? Ia menarik napas dalam, mengumpulkan serpihan kekuatannya yang tersisa, lalu menatap Indira dengan senyum lembut yang ia paksa muncul.“Tes DNA itu…” ucapnya pelan, suaranya lembut seperti angin yang menyapu daun kering, “semacam cara untuk memastikan hubungan antara satu orang dengan orang lainnya, sayang. Untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar keluarga.” Ia menjaga nada suaranya tetap tenang, meski di dalam dadanya, badai sedang mengamuk.Indira mengerutkan dahi, matanya yang jernih memandang ibunya dengan kebingungan yang lugu. “Berarti… buat bukti kalau aku benar anak Ayah, ya?”L

    Last Updated : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Kekecewaan Damar

    Damar menatap hasil tes yang tergeletak di tangan Dokter Surya, deretan huruf dan angka di kertas itu seperti belati yang perlahan merobek-robek jantungnya. Setiap kata yang tercetak terasa hidup, menusuk jauh ke dalam kepercayaan yang selama ini ia junjung. Matanya terpaku, tak berkedip, seolah mencoba menemukan celah—sesuatu yang bisa membuktikan bahwa ini semua hanyalah kekeliruan. Perlahan, gumamannya pecah di antara keheningan ruangan, hampir tak terdengar, “Jadi… benar? Indira… bukan anakku?”Laras, yang duduk di sampingnya, merasa lantai di bawahnya runtuh. Dunia yang ia bangun dengan cinta dan air mata kini ambruk, meninggalkan puing-puing harapan yang tercerai-berai. Ia menoleh ke Damar, matanya membelalak penuh ketidakpercayaan. “Tidak, Mas… ini pasti ada kesalahan,” ucapnya, suaranya bergetar namun dipenuhi keyakinan terakhir yang ia genggam erat. “Aku yakin ada yang menukar hasil tesnya—ini nggak mungkin benar!”Dokter Surya menggelengkan kepala, kerutan di dahinya memperli

    Last Updated : 2024-10-30
  • I'm Sorry Laras   Rencana Baru

    Damar akhirnya sampai di depan rumahnya, namun ia tak kunjung turun dari mobil. Mesin masih menyala pelan, dan tangannya tetap mencengkeram kemudi, seolah ia enggan melepaskan diri dari dunia kecil yang ia ciptakan di dalam kendaraan itu. Ratna, yang berdiri di samping pintu mobil, mengerutkan kening dengan rasa penasaran yang mulai menyelinap. “Loh, kenapa kamu nggak turun bareng Ibu, Damar? Memangnya kamu mau ke mana?” tanyanya, nada suaranya bercampur antara keheranan dan sindiran halus.Damar menoleh perlahan, matanya redup seperti lampu yang kehabisan minyak. “Aku mau menenangkan diri dulu, Bu,” ucapnya lemah, suaranya hampir tenggelam dalam desau angin malam yang dingin. “Aku butuh waktu sendiri.”Ratna mengangguk kecil, meski matanya menyipit penuh perhitungan. “Baik, Ibu mengerti,” katanya, nada suaranya dibuat lembut namun penuh tekanan terselubung. “Tapi Ibu minta, jangan bertindak bodoh, ya. Cepat pulang kalau kamu sudah merasa baikan.”“Baik, Bu. Ibu tenang saja, aku nggak

    Last Updated : 2024-12-13
  • I'm Sorry Laras   Rencana kejam

    Ratna mendengus kecil, ekspresinya sedikit kesal. “Bukan kita yang akan menghabisinya, Raka,” balasnya, suaranya tetap tenang namun penuh otoritas. “Binatang buas di hutan yang akan menyelesaikan tugas kita. Kita cuma menaruhnya di sana—itu beda.”“Tapi itu sama saja, Bu!” Raka memotong, nadanya naik dengan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. “Kalau kita yang membawanya ke sana, itu artinya kita yang bertanggung jawab!”Mendengar nada Raka yang penuh keraguan, Ratna memandangnya dengan tatapan tajam, alisnya berkerut penuh kejengkelan. “Kenapa? Kamu keberatan, Raka?” tanyanya, suaranya kini mengandung sedikit ancaman. “Atau takut? Ibu lakukan ini semua untukmu, supaya semua kekayaan Damar jadi milikmu. Apa kamu nggak ngerti?”Raka menggeleng cepat, tangannya terangkat seolah menenangkan ibunya. “Bukan begitu, Bu,” ucapnya, suaranya melunak meski masih ada gurat ketakutan di matanya. “Aku cuma takut nanti semua aksi kita ketahuan orang lain. Aku nggak mau masuk penjara, Bu!”Ratna

    Last Updated : 2024-12-14

Latest chapter

  • I'm Sorry Laras   Ruang keluarga yang memanas

    Di kediaman Doni yang mewah, suasana malam itu tiba-tiba berubah mencekam. Teriakan nyaring Sofia menggema di ruang tamu, mengagetkan semua penghuni rumah. “Doni! Apa yang terjadi padamu?!” jeritnya, suaranya penuh kepanikan bercampur amarah, memecah keheningan rumah bergaya modern itu.Ratna dan Raka, yang sedang berada di ruang keluarga, segera berlari mendekati Sofia. Mereka terpaku melihat pemandangan di depan mereka. Sofia berdiri dengan wajah pucat, tangannya menunjuk Doni yang tampak sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Anak kesayangan Sofia itu kini berdiri dengan wajah babak belur—mata kirinya memar keunguan, hidungnya berdarah kering, dan bibirnya pecah. Bajunya yang tadi pagi masih rapi kini penuh kotoran tanah, robek di beberapa bagian, membuatnya tampak seperti habis bertarung di lumpur.“Ada apa

  • I'm Sorry Laras   Ruang BK yang memanas

    Tiba-tiba, suara keras memecah suasana. “Berhenti! Apa yang kalian lakukan?!” Pak Siswanto, guru olahraga yang kebetulan lelet di dekat lapangan, berlari mendekat dengan wajah marah. Ia mendorong kerumunan murid yang menonton, lalu berdiri di tengah Dika dan Doni. “Kalian gila?! Ini sekolah, bukan tempat tarung jalanan!” bentaknya, suaranya menggema.Wisnu buru-buru maju, menarik Dika yang masih di atas Doni. “Dik, udah! Tenang!” serunya, berusaha menahan sahabatnya. Tenaga Dika begitu besar, Wisnu sempat kewalahan, pertama kali melihat Dika begitu hilang kendali. “Dik, stop! Guru dateng!” tambahnya, akhirnya berhasil menarik Dika mundur.Pak Siswanto menatap Doni yang terkapar, lalu Dika yang napasnya tersengal. “Kalian berdua, ke ruang BK sekarang!” perintahnya tegas, tangannya menunjuk ke gedung sek

  • I'm Sorry Laras   Dika VS Doni

    Wisnu tertawa kecil, lalu berkata dengan nada ejekan, “Masa gitu aja lo nggak ngerti, Don? Pantas saja lo dibilang murid paling bego di sekolah ini!” Ucapan itu seperti petasan yang meledak di kantin. Tawa terbahak-bahak langsung menggema dari murid-murid lain yang menyaksikan. Mereka tahu benar, kalau bukan karena ayah Doni yang jadi donatur terbesar sekolah, Doni sudah lama jadi bulan-bulanan karena nilai-nilainya yang pas-pasan dan sikapnya yang arogan.Doni gusar, wajahnya memerah karena malu. Tawa itu seperti cambuk baginya. Dengan langkah cepat, ia mendekati Wisnu, tangannya terangkat hendak memukul. Namun, Wisnu dengan cekatan menangkap tangan Doni di udara, menahannya dengan kuat. “Eh, sabar dulu, bro!” ucap Wisnu, suaranya tetap santai meski tangannya menahan erat. “Maksud gue ‘secara laki-laki’ itu kita tarung di belakang sekolah nanti. Yang kalah harus minta maaf dan gak boleh ganggu lagi. Gimana, lo berani?”Doni menarik tangannya dari genggaman Wisnu, napasnya tersengal k

  • I'm Sorry Laras   Konfrontasi yang memanas

    Dika, yang merasa risih dengan sentuhan mendadak itu, segera menepis tangan Nadiadengan gerakan halus tapi tegas. “Tunggu dulu, Nad. Aku beresin meja dulu,” ucapnya, suaranya datar, tangannya kembali sibuk merapikan buku dan pena di atas meja.Nadine mengerutkan kening, tak sabar. “Kelamaan, Dik! Ayo cepet, kantinnya keburuan rame nanti!” sergahnya, nadanya sedikit memaksa, tangannya bahkan kembali mencoba menarik lengan Dika.Wisnu, yang dari tadi memperhatikan dari bangku sebelah, jadi geregetan melihat tingkah Nadine. “Yaelah, jadi anak kok gak sabaran amat!” sindirnya, suaranya penuh ejekan sambil tertawa kecil, tangannya melipat buku catatannya dengan santai.Nadia mendelik gusar ke arah Wisnu, matanya menyipit penuh kesal. “Diam, lo! Gak usah ikut campur!” bentaknya, lalu kembali menoleh ke Dika dengan senyum dipaksakan. “Dik, ayo dong!” ucapnya lagi, kali ini tangannya berhasil menarik lengan Dika lebih kuat.Dika menghela napas panjang, jelas tak nyaman dengan sikap Nadine yan

  • I'm Sorry Laras   Nadia

    Sesampai di kelas, Wisnu sudah tak sabar menunggu penjelasan Dika. Ia duduk di bangku sebelah Dika, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu, tangannya bahkan menepuk-nepuk meja dengan tidak sabar. “Ayo, Dik, ceritain sekarang! Gue sudah penasaran dari tadi!” serunya, suaranya penuh semangat.Dika, yang baru saja meletakkan tasnya di meja, menghela napas dan melirik Wisnu dengan ekspresi sedikit jengkel tapi juga geli. “Sabar dong, Wis. Gue juga baru duduk, kasih gue napas bentar, napa?,” ucapnya sambil menarik kursi dan duduk. Setelah merasa nyaman, ia akhirnya mulai bicara, suaranya rendah tapi penuh makna.Kemudian Dika menceritakan secara detail mengenai Kakanya Indira itu dari kenapa kakaknya terpisah sampai dengan kakanya yang tiba tiba muncul dirumahnya, semua ceritanya detail dia ceritakan pada sahabatnya itu, kecuali tentang masa kelam keluarganya dan hubungannya dengan keluarga Doni.Wisnu mendengarkan dengan mulut sedikit terbuka, takjub. “Terus?” desaknya, tak sabar mendengar

  • I'm Sorry Laras   Ancaman Indira

    “Apa yang kalian lakukan pada Ibuku?!” bentak Indira, suaranya menggelegar, menggetarkan udara di halaman rumah. Ia melangkah maju, berdiri di depan Laras seperti perisai, matanya menyala penuh kebencian ke arah Ratna. “Kalian pikir bisa seenaknya dateng ke sini, dan nyakitin orang sesuka hati?!”Dika menambahkan dengan suara rendah tapi penuh ancaman, “Kalian sudah keterlaluan. Jangan harap ini akan kami lupakan begitu saja.”Ratna tersentak, jantungnya berdegup kencang saat melihat Indira melangkah keluar dari mobil mewah itu. Dugaan yang selama ini menggelayuti pikirannya kini terbukti kalau wanita muda yang muncul di pesta Doni kemarin memang Indira, anak Laras yang hilang bertahun-tahun lalu. Matanya membelalak, wajahnya memucat, tapi ia berusaha menyembunyikan keguncangan itu di balik sikap angkuhnya.Indira, yang sudah membara amarahnya karena melihat ibunya ditampar, melangkah mendekati Ratna. Matanya menyala penuh kebencian, dan ia berteriak dengan suara yang menggetarkan udar

  • I'm Sorry Laras   Ketegangan di rumah Laras

    “Mas Raka, lepasin! Apa-apaan sih kamu? Kalau ada yang lihat bagaimana, apalagi Mas Damar lagi ada di rumah!” bisik Sofia dengan nada panik, tangannya mencoba mendorong dada Raka agar melepaskan pelukannya.Raka, dengan sikap santai yang kontras dengan kepanikan Sofia, tersenyum kecil. “Tenang saja, Sof. Ini sudah malem banget, aku yakin semua orang sudah pada tidur,” ucapnya, suaranya rendah dan penuh keyakinan, tangannya tetap memeluk pinggang Sofia tanpa berniat melepaskan.Sofia masih gelisah, napasnya tersengal karena cemas. “Mas Raka, jangan gila kamu!”Belum sempat Sofia menyelesaikan kalimatnya, Raka memotong dengan nada penuh hasrat. “Aku cuma pengen bersenang-senang sama kamu malem ini, Sof. Sudah seminggu lebih kita tidak melakukan itu, aku ingin jatahku malam ini,” ucapnya, matanya menatap Sofia dengan sorot penuh keinginan, tangannya kini merenggangkan pelukan tapi tetap memegang lengan Sofia agar ia tidak pergi.Sofia menggelengkan kepala dengan tegas, wajahnya memerah k

  • I'm Sorry Laras   Dugaan Ratna

    Sofia membela diri dengan penuh emosi. “Aku manjain Doni karena aku sayang sama dia, Mas! Dia anak kita satu-satunya! Apa salahnya aku memberikan yang terbaik untuk dia?!” ucapnya, suaranya bergetar karena campuran antara marah dan sedih.Damar menggelengkan kepala, ekspresinya penuh kekecewaan. “Justru itu yang tidak boleh kamu lakukan, Sofia. Kalau Doni terlalu dimanjain, dia tidak akan bisa menghadapi kerasnya hidup nanti pas kita semua sudah tidak ada. Kamu pikir ini baik untuk dia? Enggak!” jawabnya, nada suaranya meninggi karena frustrasi.Raka ikut menyela, mencoba mendukung Sofia. “Tapi, Mas Damar, anak kecil memang wajar kalau dimanjakan. Doni itu masih kecil, dia perlu kasih sayang keluarga. Kamu saja yang terlalu keras sama dia,” ucapnya, suaranya lebih tenang tapi tetap menunjukkan ketidaksetujuan.Damar menoleh ke Raka, matanya menyipit. “Kecil? Doni sudah 15 tahun, Raka! Dia harus belajar tanggung jawab, bukan cuma maunya sendiri. Kalian semua yang membuat dia tidak bisa

  • I'm Sorry Laras   Perdebatan antar keluarga

    Namun, Damar tidak menghiraukan Sofia. Ia malah melangkah mendekati Indira, wajahnya kini lebih lembut meskipun masih ada sisa kekesalan. “Indira, saya minta maaf atas kelakuan anak saya yang kurang ajar ini,” ucapnya, suaranya tulus. “Kalian berdua nikmati saja pesta ini, tidak usah mempedulikan Doni lagi.”Indira tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepala dengan sikap pura-pura rendah hati. “Tidak perlu, Pak. Lebih baik saya dan Dika pulang saja, agar suasana pesta kembali meriah seperti semula,” jawabnya, suaranya sengaja dibuat lembut untuk menunjukkan itikad baik, padahal ini bagian dari rencananya untuk memancing simpati Damar.Damar menggeleng tegas, menolak permintaan itu. “Tidak, saya tidak mengizinkan kalian pulang. Kalian tamu saya, ikut saya saja menikmati pesta ini,” ucapnya, tangannya mengisyaratkan agar Indira dan Dika mengikutinya. “Doni tidak punya hak untuk mengusir kalian.”Indira melirik Dika sekilas, lalu mengangguk dengan senyum tipis. “Baik, Pak. Terima kasih,” j

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status