Di ruangan yang tampak gelap, seorang pria paruh baya bertubuh besar dan kekar terlihat duduk disebuah kursi kayu dengan kedua tangan terikat. Wajahnya berlumuran darah, tanda banyaknya hantaman yang mendarat diwajahnya. Sekujur tubuhnya dari punggung, bagian atas paha hingga lengan dipenuhi tato. Tato bergambar ikan koi yang berenang melawan arus yang menyimbolkan tekad kuat dan kekuatan menaklukan sesuatu.
"Bunuh aku brengsek!" Tuan Heng masih menyeringai dengan wajah yang sudah babak belur."Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau tak mau berubah pikiran!" Tuan Rengo sudah dibutakan amarah."Hahaha meski aku mati, perusahaan ku tak akan hancur di tanganmu!" Tuan Heng terkekeh dengan sisa tenaganya.Dulunya Tuan Heng dan Tuan Rengo adalah partner bisnis di bidang yang sama. Mereka terkenal sebagai ketua gengster terkaya yang menghasilkan milyaran dollar dari bisnis perjudian, pemerasan, industri seks, penjualan senjata dan obat-obatan t"Hentikan mereka!" suara teriakan Tuan Rengo terdengar hingga luar rumah, membuat semua anggotanya bergerak untuk mencegah kepergian Baro beserta anggotanya.Baro pun menghentikan langkahnya seraya menyeringai, ia sudah tau hal itu pasti akan terjadi. Data yang ia bawa adalah aib terbesar Tuan Rengo. Bahkan dengan data itu, Baro dapat dengan mudah menghancurkan perusahaan miliknya."Berikan semua salinan yang kau miliki! atau aku akan membuatmu menghilang dari muka bumi seperti yang terjadi pada Heng." kemarahan dan ketakutan terlihat jelas di wajah garang Tuan Rengo."Kau pikir kami adalah lawan yang mudah?" dengan banyaknya anggota yang ia bawa, Baro menghadapi ancaman Tuan Rengo dengan sangat tenang."Lepaskan Tuan Heng! lalu aku akan memberikan semua salinan ini padamu." Baro masih bernegosiasi pada Tuan Rengo dengan keadaan yang sudah sangat tegang itu."Kau pikir siapa dirimu? hah? berani bernegosiasi denganku?" rupanya ha
Di kediaman Tuan Rengo."Sialan! bocah itu berani mengingkari kesepakatan yang sudah dibuat." Tuan Rengo marah besar setelah melihat seluruh aibnya tersebar diberbagai media. Ternyata flashdisk yang Baro berikan padanya belumlah semuanya, ia masih memiliki banyak salinannya. Kini bisnis kotornya pun juga berhasil dibeberkan oleh Baro.Tuan Rengo menghancurkan semua barang yang ada didalam rumahnya dengan membabi buta. Ia bahkan memukul beberapa anggotanya tanpa alasan, hanya untuk melampiaskan kemarahannya."Bunuh dia! bawakan mayatnya padaku! pergilah! apa lagi yang kalian tunggu? hah?" suara kemarahan Tuan Rengo sangat menggelegar hingga membuat semua anggotanya bergidik ngeri.***Di kediaman Tuan Heng."Ayah, kami akan pergi ke makam. Setelah itu kami akan segera kembali ke Indonesia." Baro dan Hans sudah terlihat rapi lengkap dengan bucket bunga ditangannya."Biarkan Hans tinggal disini lebih lama. Aku masih
Baro melangkahkan kakinya dengan penuh semangat untuk memasuki pesawat. Sepanjang perjalanannya tampak sepi tidak seperti biasanya yang ada beberapa petugas berjaga, namun ia tak begitu menghiraukannya. Ia terus tersenyum karena sudah tak sabar akan bertemu dengan kekasih hatinya yang sudah beberapa waktu ia tinggalkan.Saat asik hendak melangkahkan kakinya lebih dekat dengan pesawat. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya dengan kuat membuat dirinya segera memutar kepalanya."Tuan Kayota?" ia membulatkan kedua bola matanya dengan sempurna saat melihat Tuan Kayota menggenggam tangannya dengan sangat kuat."Menjauh lah dari pesawat itu!" Tuan Kayota menekankan suaranya, berharap agar Baro mau mendengarkannya."Apa yang kau lakukan?" Baro berusaha keras melepaskan genggaman tangan Tuan Kayota.Duarrr!Belum sempat keduanya menjauh, pesawat itu sudah terlebih dahulu meledak dengan sangat dahsyat membuat keduanya terpental
"Permisi Nona, apa nama bayinya sudah siap? kami akan melakukan pencatatan untuk surat kelahirannya." seorang perawat datang ke ruangan Shiya saat kedua pria itu masih sibuk dengan bayinya."Sudah, namanya Lusiana Arabelle." ucapan Shiya berhasil membuat kedua pria itu terdiam sejenak. Mereka saling pandang kemudian membulatkan kedua matanya dan menatap tajam kearah Shiya bersamaan."Baik, terima kasih." perawat itu pun berlalu pergi dari ruangan itu setelah mencatat nama yang Shiya ucapkan. Kedua pria itu pun segera menghujam pertanyaan padanya."Kenapa namanya Lucy?" Ben dan Andrew seakan tak terima."Aku dan Frans sudah berjanji untuk memberinya nama Lucy, kami sudah sepakat. Bagaimanapun juga bayi ini adalah anaknya. Aku berharap dia bisa mencintai anak ini seperti dia mencintai Lucy. Karena hanya Lucy yang Frans cintai di dunia ini." air mata Shiya pun keluar dari kedua pelupuk matanya membuat kedua pria itu mendekatinya."
Beberapa hari kemudian, Shiya sudah mulai pulih. Kondisinya sudah membaik dari sebelumnya. Bi Asih terus setia mendampinginya, sedangkan Ben, John dan juga Andrew selalu datang setiap hari."Hari ini anda sudah boleh pulang Nona." seorang perawat datang menghampirinya."Baiklah. Terima kasih." Shiya menjawabnya dengan anggukan kepala, Bi Asih pun segera membantunya untuk bersiap setelah sang perawat pergi dari ruangan itu.Tak lama kemudian, ketiga pria itu kembali datang untuk menjemputnya. John sudah membawa kursi roda ditangannya saat memasuki ruangannya. Kursi itu akan ia gunakan untuk membawa Shiya keluar."Apa kalian sudah siap?" Andrew melemparkan pertanyaan pada kedua wanita yang ada di ruangan itu."Sudah Tuan." Bi Asih menjawab pertanyaannya, sedangkan Shiya hanya menganggukkan kepalanya."Ben, kau bawa Nona Shiya keluar! aku akan menyelesaikan biaya administrasi." John memberikan kursi roda itu pada Ben yan
Hari beranjak gelap, pertanda malam hendak mengambil alih terangnya cahaya pada siang hari. Tapi Shiya masih melangkahkan kakinya menyusuri terowongan gelap yang berada didekat makam kedua orang tuanya.Ada sisi yang tidak pernah ingin Shiya tunjukkan kepada orang lain, entah sedekat apa dirinya dengan mereka. Terkadang, keluarga pun bisa menjadi orang yang paling tidak dekat dengannya.Ketika Shiya memutuskan untuk mewujudkan keinginan orang tuanya untuk menikahi Frans, ia kira hidupnya akan seperti berjalan melalui terowongan gelap yang sedang ia lalui ini. Tapi tak ia sangka akan segelap saat ini. Tak ia sangka akan menjadi sehampa ini.***Di kediaman keluarga Shalim.Bi Asih sedang sibuk menggendong bayi kecil saat ketiga pria itu datang kerumah. Shiya menitipkannya sebentar karena hendak pergi ke makam orang tuanya."Halo Bi Asih? dimana Nona Shiya?" pintu rumah yang terbuka begitu saja membuat ketiga pria itu langsun
"Aku ingin hidupku kembali! haaaaaaaa." Frans terus menangis dan berteriak didepan makam kedua orang tuanya. Saat itu area pemakaman yang luas itu tampak sepi, hanya ada dirinya seorang."Kenapa aku tak bisa kembali? kenapa tidak bisa?" ia bersimpuh disana dengan air mata yang terus keluar dari kedua pelupuk matanya."Haaaaaaaa... kumohon." bagaimanapun ia memohon, tetap saja tak akan bisa merubah apapun.***Di kediaman keluarga Shalim.Shiya dan Bi Asih sedang duduk berdua memperhatikan bayi kecil yang sedang tertidur lelap ditempat tidurnya."Lihatlah Nona! wajahnya mirip sekali denganmu saat masih kecil." Bi Asih terus tersenyum menatap bayi itu, mengingat masa kecil Shiya.Shiya pun ikut tersenyum, ia menarik nafas dalam dengan tatapan mata yang terus menatap bayinya. "Sekarang aku merasa bahwa diriku adalah pecundang Bi. Aku tak pandai melakukan apapun. Dulu, aku adalah orang yang kompeten dan ceria. Tapi s
Suasana rumah jelas terasa berbeda tatkala penghuni didalam rumah itu pun sudah tak lagi sama. Hati Frans selalu terluka setiap kali mengingat kedua orang tuanya yang dulu selalu ia lihat didalam rumah yang besar itu. Rumah dimana dulu dirinya tumbuh.Namun, saat ini yang selalu ia lihat hanyalah Lucy. Wanita yang kini telah menjadi istrinya, yang dulu selalu ia inginkan."Dulu aku sangat menginginkannya, tapi mengapa sekarang aku sama sekali tak merasa bahagia saat bersamanya." Frans bergumam seorang diri di balcon kamarnya. Tanpa ia sadari, Lucy tengah berdiri diambang pintu dan mendengar semua ucapannya. Wanita itu kemudian melangkahkan kakinya dan berdiri disampingnya sambil melipat kedua tangannya didepan dada."Perasaanku padamu pasti sudah tak sama lagi." Frans yang sedang menikmati terpaan angin malam itu, seketika memutar kepalanya saat melihat kedatangan Lucy disampingnya."Kita sudah bersama hampir 10 tahun. Perasaanku padamu ti