"Shi-Shiya, anu Tante..." Shiya yang tengah menundukkan kepala tiba-tiba terkejut dengan pertanyaan Nyonya Dimejo yang sama sekali tak ia sangka. Ia mendongakkan kepalanya dan menjawab pertanyaan Nyonya Dimejo dengan terbata kemudian menatap ke arah bundanya.
"Silahkan makanannya Nyonya. Jika ada lagi yang anda butuhkan, anda bisa memanggil saya." Belum sempat menyelesaikan jawabannya, tiba-tiba seorang pelayan datang membawakan makanan yang telah mereka pesan membuyarkan perbincangan antara Nyonya Dimejo dan Shiya.
"Baik terima kasih." sahutnya bersamaan.
"Jadi, Cantik. Apa kamu sudah mempunyai kekasih?" tanya Nyonya Dimejo mengulangi karena belum mendapat jawaban dari Shiya.
"Anak ini sibuk membantuku sehingga tak ada waktu untuk memikirkan hal seperti itu." tutur Nyonya Shalim.
"Ah, kau sungguh anak yang berbakti. Tante sangat menyukaimu, Nak." ucap Nyonya Dimejo sambil tersenyum ke arah Shiya.
Shiya hanya terdiam malu seraya membalas senyuman Nyonya Dimejo. Ditengah-tengah perbincangan mereka, Shiya yang sudah merasa tidak nyaman dengan perutnya meminta ijin untuk pergi ke toilet.
"Bun, Tante. Shiya permisi ke toilet sebentar ya?" ucapnya seraya beranjak berdiri dari tempat duduknya.
"Pergilah, Sayang!" ucap Nyonya Shalim dan diikuti oleh senyuman dari Nyonya Dimejo.
Setelah mendapatkan ijin dari kedua wanita itu, Shiya segera berlalu pergi menuju toilet.
Tak lama kemudian, Shiya terlihat keluar dari toilet sambil menundukkan kepala untuk merapikan lengan bajunya yang sedikit berantakan.
Bruk!
"Aduh!"
Tiba-tiba seseorang menabraknya hingga membuatnya jatuh ke lantai. Shiya menundukkan kepala memegang pergelangan kakinya yang sakit.
"Kalau jalan pakai matamu!" Suara seorang pria mengejutkannya, sontak ia segera mendongakkan kepalanya menatap tajam ke arah sumber suara.
Terlihat 2 orang pria tampan tengah berdiri di depannya. Shiya hanya terdiam tak bergeming dari posisinya tanpa menjawab perkataan pria tersebut. Ia hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca karena pergelangan kakinya yang terasa sangat sakit.
"Bangunlah!" Salah satu pria yang berdiri di depannya mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Ia mencoba membantu Shiya berdiri. Sedangkan pria satunya yang menabraknya berlalu pergi begitu saja.
"Maafkan temanku tadi. Apa kau tak bisa berdiri?" tanyanya dengan nada pelan.
Shiya hanya menggelengkan kepalanya tanpa menjawab pertanyaan pria itu. Ia mengusap air matanya yang tengah mengalir di pipinya.
Akhirnya pria itu menurunkan badannya, berlutut agar sejajar dengan Shiya. Ia kemudian menggendong Shiya ala bridal style untuk kemudian ia bawa ke tempat duduk yang ada di dekat toilet itu dan mendudukkan tubuh Shiya pelan. Ia bersimpuh di depan kaki Shiya seraya memberikan pijatan.
"Bagaimana? Apa masih sakit?" tanyanya.
"Sudah lebih baik, terima kasih. Maafkan aku telah merepotkanmu." ucapnya seraya menggerakkan kakinya.
"Kenalkan, namaku Baro." ucap pria tersebut. Ia mengulurkan tangannya ke arah Shiya dan terus memandangnya tanpa berkedip.
"Namaku Shiya." jawabnya, ia tersenyum dan membalas uluran tangan Baro.
"Maaf aku harus segera pergi. Lain kali aku akan membalas kebaikanmu!" ucap Shiya seraya beranjak berdiri meninggalkan Baro. Namun, ketika akan melangkahkan kakinya. Seketika Baro menarik tangan Shiya hingga membuat ia mengurungkan niat kakinya untuk melangkah.
"Tunggu sebentar!" ujarnya.
"Ya?" sahutnya. Shiya menatap ke arah Baro yang masih duduk di tempat semula.
"Kau bilang akan membalas kebaikanku kan? Hubungi aku di sini!" ucap Baro. Ia pun memberikan kartu namanya pada Shiya.
Shiya hanya menganggukan kepala lalu meraih kartu nama yang Baro berikan. Ia tersenyum ke arahnya dan berlalu pergi meninggalkannya.
***
"Jeng, jika ada waktu bisakah kita adakan acara makan malam bersama lagi seperti waktu itu?" tanya Nyonya Dimejo."Tentu saja, Jeng. Aku senang sekali." sahut Nyonya Shalim dengan senyuman yang sangat lebar.
"Aku ingin sekali mengenalkan putraku pada Shiya, putrimu yang cantik. Entah mengapa aku sangat menyukai putrimu, Jeng." tuturnya sembari tersenyum penuh harap.
"Ah terima kasih, Jeng. Shiya putriku tak secantik itu." jawabnya malu-malu.
"Jika mereka sudah saling mengenal dan saling suka, bolehkan aku jodohkan anakku dengan putrimu, Jeng?" ucap Nyonya Dimejo dengan raut wajah serius.
"Apa kau yakin, Jeng? Kami hanya keluarga biasa. Anakku Shiya juga aku besarkan dengan sederhana. Apa putramu akan mau dijodohkan dengan putriku?" jawabnya jujur.
"Aku menginginkan yang terbaik untuk putraku, Jeng. Menurutku Shiya adalah gadis yang sangat baik. Jangan katakan rencana kita pada Shiya dulu! Kita akan melihatnya setelah mereka saling bertemu." ucap Nyonya Dimejo. Ia menggenggam erat tangan Nyonya Shalim.
"Baiklah, Jeng. Nanti aku akan bicara pada suamiku tentang rencana kita." jawabnya.
"Aku juga akan bicara pada suamiku agar kita bisa cepat menentukan hari yang tepat untuk mengadakan makan malam bersamanya." Mereka pun tersenyum bahagia dengan rencana yang akan mereka jalankan.
Keduanya sontak mengalihkan pembicaraan setelah menyadari kedatangan Shiya.
"Kau sudah kembali, Cantik? Kenapa begitu lama?" tanya Nyonya Dimejo.
"Maaf, Tante. Tadi ada sesuatu yang harus Shiya lihat di salah satu Tenant yang ada di dekat toilet." ucapnya beralasan karena merasa sungkan.
Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama bersama, akhirnya Nyonya Shalim dan Shiya memutuskan untuk pamit pulang kepada Nyonya Dimejo.
"Kenapa buru-buru, Jeng? Aku masih ingin bersama kalian." tutur Nyonya Dimejo dengan raut wajah sedikit kecewa sambil memeluk Nyonya Shalim dan Shiya bersamaan. Ia merasa sangat bahagia ketika sedang berkumpul bersama dua wanita itu.
"Maaf, Jeng. Lain kali aku akan mengganggumu bekerja lagi. Sekarang aku harus kembali ke tokoku karena ada banyak pembeli. Hehehe." ucapnya jujur sambil tertawa ke arah Nyonya Dimejo.
"Baiklah, aku akan mengantarkan kalian sampai ke Lobby." Ketiganya berjalan menuju Lobby yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Setelah kepergian Shiya dan Nyonya Shalim, Nyonya Dimejo terlihat masih berdiri di depan Lobby tak bergeming menatap kepergian dua wanita itu. Saat sedang mematung, tiba-tiba seseorang memeluk dan menciumnya dari belakang. Sontak Nyonya Dimejo terkejut dan menoleh ke belakang bermaksud mencari tahu siapa sosok yang ada di belakangnya. Ternyata orang itu tak lain adalah Frans, putra tunggalnya.
"Dasar anak kurang ajar! Untung Mamamu masih muda dan tak memiliki penyakit jantung." ucapnya dengan wajah yang masih terlihat tegang.
Frans hanya terkekeh melihat raut wajah mamanya yang terkejut.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Nyonya Dimejo ingin tahu.
"Frans baru saja bertemu client di Caffee yang ada di lantai paling atas, Ma." jawabnya sambil menggandeng tangan mamanya.
"Client dari mana? Kenapa tak memberitahuku kalau kau akan datang?" tanyanya.
"Dia pemilik BARO CORP, Ma. Proyek yang akan aku dapatkan cukup besar kali ini." jawabnya dengan senyuman yang lebar.
"Wah kau memang hebat. Luar biasa bisa bekerja sama dengan perusahaan besar itu." Nyonya Dimejo menepukkan kedua tangannya pelan di bahu Frans.
"Semua ini tentu berkat didikan Mama dan Papa." ucap Frans.
Nyonya Dimejo tersenyum bangga pada putranya sambil mengusap puncak kepala putranya lembut.
"Tunggulah di sini! Mama akan ambil tas di kantor dan pulang bersamamu." ucapnya.
Frans hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ke arah Mamanya. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya di tembok yang tak jauh dari ruangan Mamanya.
Drrrrt
Drrrrrt
Drrrrt
Saat sedang terdiam melamun menunggu Mamanya, tiba-tiba suara getaran ponsel membuyarkan lamunannya. Seketika ia meraih ponsel yang ia selipkan di dalam saku celananya dan melihat dari siapa panggilan tersebut.
"Lucy." Ia bergumam dan terlihat ragu untuk menjawab panggilan dari kekasihnya itu. Saat hendak menggulirkan layar hijau yang ada diponselnya tiba-tiba.
Ceklek....
Nyonya Dimejo terlihat keluar dari ruangannya membuat Frans mengurungkan niatnya untuk menjawab panggilan telepon dari kekasihnya. "Siapa yang menelponmu? Kenapa tidak kau jawab?" tanyanya penuh selidik. "Ah bukan siapa-siapa, Ma. Ayo kita pulang!" ujarnya mengalihkan topik pembicaraan sembari menggandeng tangan sang mama menuju mobilnya. Frans memarkirkan mobil mewahnya di parkiran vvip yang terletak di depan Lobby utama LULA CITY MALL. Sesampainya di tempat parkir, keduanya segera masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya. "Mama sudah memberi kabar pada papa dan sopir kalau pulang bersamaku?" tanya Frans memecah keheningan. "Sudah, kau tenang saja. Bisakah kau mengantarku ke suatu tempat sebelum kembali ke rumah?" pintanya dengan penuh penekanan. "Kemana, Ma?" tanyanya ingin tahu. "Nanti akan Mama beritahu saat kita sampai, tempatnya searah dengan arah menuju rumah kita." ucapnya. "Baiklah" Frans kembali fokus menge
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya yang tadi sempat tertunda sebentar karena kunjungannya ke toko Nyonya Shalim, Nyonya Dimejo terlihat tersenyum senang memperhatikan parfume-parfume yang ia bawa sambil menyelipkan beberapa obrolan kepada Frans. "Mama suka sekali dengan aroma parfume ini, kemasannya juga sangat cantik." Ia tersenyum senang sambil memandangi kantung yang ia bawa. Frans hanya terdiam dan tersenyum ke arah mamanya seraya sibuk mengemudikan mobilnya. "Apa yang kau bicarakan dengan Shiya tadi?" tanyanya tiba-tiba. "Tidak ada, Ma. Aku hanya bertanya tentang parfume yang ia jual saja." Frans tak berani memberitahu mamanya jika ia membeli parfume untuk Lucy. "Ah, begitu rupanya. Apakah Shiya cantik menurutmu?" tanya nyonya Dimejo pada Frans. "Kenapa mama menanyakannya padaku?" Frans menoleh ke arah mamanya heran. "Mama hanya ingin tahu pendapatmu, karena menurut Mama dia sangat cantik." "Bukankah semua perempu
Frans masih tak bergeming dari posisinya semula. Ia menatap wanita itu menutup pintu rumahnya. Pikiran dan hatinya benar-benar kacau. Ia samasekali tak menyangka jika bentuk kasih sayangnya pada kekasihnya menyebabkan dampak buruk yang tidak dia sadari. Ia merasa semua yang telah dilakukannya sudah benar. Ia kemudian memutuskan untuk meninggalkan rumah itu dan kembali masuk ke dalam mobilnya untuk segera pulang ke rumah. "Ternyata semua salahku. Aku yang keras kepala, tidak mau mendengarkan nasihat orangtuaku, aaaarrrghhh!" Ia mengeraskan rahangnya sambil mengumpat dan memukul kemudi mobilnya dengan keras. Sepanjang perjalanan ke rumahnya ia hanya menyalahkan dirinya sendiri. ***Pagi harinya setelah selesai sarapan, Nyonya Dimejo memberi pesan pada para pelayannya untuk menyiapkan makan malam lebih banyak dari biasanya karena akan ada tamu yang datang. Para pelayan pun mengangguk paham dengan pesan majikannya, selesai memberi pesan ia sege
Setelah kepulangan keluarga Shalim, Frans masih bersi keras protes dengan rencana orang tuanya. Ia memang keras kepala, tapi sebenarnya Frans adalah anak yang berbakti dan sayang pada orang tuanya. Dari kecil hingga saat ini hanya satu hal yang membuat orang tuanya kecewa, yaitu hubungannya dengan Lucy. Itu pun masih sebatas pacaran dan belum berani menikah. Pikirannya sangat kacau karena sampai sekarang tidak juga mendapatkan restu dari kedua orang tuanya. Bahkan ibu Lucy ternyata juga tak menyetujui hubungan mereka. "Papa dan Mama tidak memberikanmu waktu terlalu lama untuk menyetujui keputusan kami!" ucap Tuan Dimejo tegas. "Bagaimana bisa kalian melakukan ini padaku? Bagaimana dengan hubunganku dan Lucy? Aku tak bisa meninggalkannya Pa, Ma. Bukankah selama ini Frans sudah menuruti semua kemauan kalian? Tolong kabulkanlah permintaan Frans yang satu ini." Ia mengatupkan kedua tangannya membentuk salam namaste di depan orang tuanya. "Bukankah kau sud
Sesampainya di toko, Shiya disambut oleh beberapa karyawannya yang sudah bersiap dengan pekerjaan mereka masing-masing. Bangunan toko yang lebih kecil dari toko pusat milik bundanya itu berhasil Shiya desain menjadi bangunan yang sangat menakjubkan bagi siapa saja yang melihatnya. Dari awal didirikannya, bundanya mempercayakan segalanya pada Shiya. Dari konsep bangunannya hingga konsep racikan parfume yang juga dipakai di toko pusat karena peminatnya semakin banyak. Tidak setiap hari Shiya mendatangi toko cabang tersebut, ia lebih memilih sering menghabiskan waktu di toko pusat bersama bundanya karena tak tega membiarkan bundanya menangani pelanggan sendirian. ***The Treville Lounge and Kitchen Hari ini Frans dan Baro kembali bertemu di sebuah Lounge yang cukup mewah dan nyaman untuk membahas kerja sama bisnis mereka. Karena kerja sama yang akan mereka jalankan bukanlah hal yang mudah untuk dijalankan, membuat kedua pria itu hampir setiap
Setelah kepergian Baro dan Shiya, Frans masih duduk disamping kekasihnya. Ia melanjutkan makannya."Sayang ada yang ingin kukatakan padamu." Frans menatap kearah Lucy ragu-ragu. Ia bermaksud ingin mengutarakan rencana pernikahannya dengan Shiya pada Lucy."Ada apa sayang? katakanlah!" Lucy menyahuti sambil tersenyum kearah Frans seakan kekasihnya itu akan mengatakan hal yang membuatnya gembira."Sebelumnya aku minta maaf padamu, tapi sepertinya aku tak bisa melanjutkan hubungan kita." raut wajah Frans berubah menjadi lemah tak berdaya. Ia nyaris tak mampu menatap mata Lucy."Ahh kenapa kau tiba-tiba bercanda sayang?" Lucy menelan minuman yang ia pegang ditangannya, ia tertawa lebar kearah Frans. Ia masih tak ambil serius perkataan kekasihnya itu."Aku mengatakan hal yang sebenarnya." raut wajahnya berubah sangat serius.Lucy yang tadinya tertawa tiba-tiba menghentikan tawanya dan menatap tajam kearah Frans. Ia masih tak mengerti dengan apa y
"Kita sama - sama tidak ingin mengecewakan orang tua kita, jadi bekerja samalah!" Frans berusaha keras agar perkataannya didengar oleh Shiya."Hmmm baiklah terserah kau saja." Shiya berlalu pergi meninggalkan Frans yang masih duduk begitu saja.***"Hey cantik!" suara itu membuyarkan lamunan Shiya. Shiya tengah berdiri melamun di tokonya hingga membuatnya tak menyadari kedatangan Baro. Sebelumnya Baro sudah memberitahunya bahwa dirinya akan menemui Shiya di tokonya. Namun, tetap saja hal itu tidak membuat Shiya tidak terkejut dibuatnya."Baro? kau mengagetkanku." Shiya memejamkan matanya, kedua tangannya reflek memegang dada."Kenapa kau melamun? sedang memikirkan apa? ku harap kau memikirkanku hahaha." perkataan Baro berhasil membuat Shiya tersenyum."Apa yang membawamu kemari?""Aku merindukanmu Shiya.""Rindu?" Shiya mengernyitkan kening heran."Iya, ayo temani aku sebentar!" Baro menarik tangan Shiya begitu saja dan me
Shiya terlihat cantik bak putri dengan gaun indah yang terbalut ditubuhnya. Ia memperhatikan dirinya didepan cermin dan tersenyum menyadari kecantikannya. Namun, dalam hatinya ia sangat kecewa lantaran kecantikannya ia berikan pada orang yang menurutnya tidak tepat.CeklekIa mengalihkan pandangannya kearah pintu dan terlihat seorang pria tampan berjalan menghampirinya. Baro membawakan bucket bunga untuk Shiya."Ka-kau cantik sekali." Baro menatap Shiya dengan sangat kagum karena melihat kecantikannya hingga membuat matanya tak berkedip."Kau pun terlihat sangat tampan. Aku pandai memilihkan pakaian untukmu kan?" Shiya melemparkan senyum manisnya."Apa gunanya ketampananku jika kau tak bisa jadi istriku?" Baro masih sempat melemparkan candaan pada Shiya yang sebentar lagi akan melaksanakan pernikahan dengan pria lain.Tap tap"Ahh ada pengunjung rupanya?" Frans sudah terlihat rapi menggunakan setelan pernikahannya. Ia melemparkan seny
Hari berikutnya, Hans dan John pun kembali ke Jepang setelah mereka mendapat informasi yang cukup tentang Lucy. Mereka terus berusaha mencari keberadaan Lucy hingga ke seluruh penjuru dunia. Namun, usahanya tak kunjung juga mendapatkan hasil.Selama berada di Jepang, Hans pun kembali memperdalam ilmu bisnisnya dengan bimbingan sang kakek dan juga John. Karena bagaimanapun juga, Hans adalah satu-satunya penerus keluarga Heng.Lima tahun kemudian.Tibalah saatnya untuk Hans kembali ke Indonesia untuk mengambil alih semua perusahaan Baro yang selama ini tidak terlalu terurus. John sendiri juga kuwalahan menangani semua perusahaan besar itu seorang diri.Kini dengan adanya Hans, pekerjaan John pun bisa lebih ringan. Ia hanya perlu mengurus beberapa anak perusahaan milik Baro yang ada diluar negeri."Uruslah perusahaan Ayahmu dengan baik. Jangan mengecewakannya!" Tuan Heng berdiri di teras rumahnya saat Hans hendak berangkat ke Indonesia meninggalkannya."Baiklah, Kek. Jagalah kesehatan Kak
Pintu itu mulai terbuka, seorang wanita terlihat muncul dari balik pintu itu."John? kau kah itu?" Shiya menyipitkan matanya menatap pria yang tengah berdiri dihadapannya itu."Katakan padaku Nona! dimana kau sembunyikan Nona Lucy?" John berteriak padanya, memaksa air mata Shiya untuk keluar begitu saja."A-aku... hiks hiks hiks." Shiya tak kuasa menahan tangisnya. Bahkan ia kesulitan untuk melanjutkan perkataannya."Ibu?" Hans melangkahkan kakinya pelan menatap Shiya yang sedang menangis diambang pintu itu.Suaranya pun berhasil membuat tangis Shiya terhenti sejenak, ia kemudian menatap pria yang sedang berjalan kearahnya itu dengan seksama."Si-siapa?" Shiya menatap Hans yang berjalan kearahnya dengan tatapan mata sendu."A-aku Hans Bu." Shiya pun berjalan mendekatinya, pelan ia memegang wajah tampan itu dengan kedua tangannya."Hans? benarkah itu kau?" Shiya pun memeluk tubuh tegap pria yang a
Hari berikutnya, Hans dan John sudah bersiap-siap untuk pergi meninggalkan resort setelah selesai menikmati sarapan. Keduanya pun kini berdiri di lobby untuk menunggu kedatangan mobil yang menjemputnya.Saat sedang berdiri disana, seekor anjing tiba-tiba mendekatinya. Anjing itu terus menggonggong didekatnya seakan ia tahu bahwa Hans akan segera pergi."Kau datang untuk mengucapkan selamat tinggal padaku?" Hans mengusapnya dengan lembut. Sedangkan John hanya memperhatikannya."Dia mirip sekali dengan Coda." John memperhatikannya sejenak."Kau benar Paman." Hans mengedarkan pandangannya seperti sedang mencari seseorang."Mobil kita sudah tiba Tuan." tak lama setelah itu, mobil yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Hans pun mengucapkan selamat tinggal pada anjing itu dan masuk kedalam mobilnya."Codaaa! Codaaa!" saat mobil yang membawa mereka mulai berjalan. Lucy terlihat berlari menghampiri anjing itu sambil berte
Sore itu, seperti biasanya. Lucy berjalan-jalan disepanjang pantai bersama dengan anjingnya. Anjing itu terus setia berjalan didekat Lucy. Namun, tidak seperti biasanya tiba-tiba anjing itu berlari menjauh darinya. Sontak Lucy pun terkejut dibuatnya."Coda! Coda! kemarilah!" Lucy berteriak setengah berbisik karena anjing itu berlari mendekati seorang pria tampan yang tengah berdiri menikmati pemandangan indah pantai yang tak jauh darinya. Ia takut suaranya akan didengar oleh pria itu. Bukan apa-apa, hanya saja Lucy tak enak hati jika anjingnya mengganggu orang lain.Namun, sangat berbeda dari dugaannya. Pria itu malah menundukkan tubuhnya dan mengusap-usap bulu anjing itu dengan lembut. Rupanya, Coda mencium bau susu yang sedang Hans pegang ditangannya.Lucy pun segera berlari mendekatinya karena melihat anjing itu sudah bertindak keterlaluan pada orang asing."Maafkan saya Tuan. Anjing ini sedikit nakal. hehe." Shiya membawa anjing itu pa
Beberapa tahun kemudian.Lucy berjalan dipinggir pantai di depan resort nya menikmati pemandangan sore yang indah itu. Kegiatan itu sekarang telah menjadi kebiasaannya. Ia selalu berjalan-jalan dengan ditemani seekor anjing jenis German Sheperd yang ia temukan beberapa lalu dipinggir pantai.Karena anjing liar itu mengingatkannya pada Coda, jadi Lucy memutuskan untuk merawatnya. Ia membiarkan anjing itu berkeliaran di resort nya dan kini anjing itu sangat patuh padanya.Gadis kecil yang sebelumnya masih berumur 10 tahun itu kini sudah berumur 17 tahun. Lucy sudah tumbuh dengan sangat baik dan kuat. Ia pun juga sangat cantik, bahkan umurnya sudah memenuhi syarat untuk memiliki kartu tanda pengenal sendiri.Keahlian bela diri Lucy pun kini tak main-main, ia bahkan memenangkan banyak kompetisi muay thai diberbagai pertandingan yang ia ikuti. Namun, namanya terkenal sebagai Sangrawee Narong bukan dengan nama Lusiana Arabelle.Hal it
Untuk pertama kalinya, Lucy menapaki negara yang terasa asing baginya. Negara yang sama sekali belum pernah ia kunjungi meski hanya didalam mimpi saja.Suara-suara orang yang berbicara dengan bahasa asing pun terus menyelimuti telinganya. Suasana yang sangatlah berbeda dari sebelumnya.Sebuah mobil mewah pun sudah terparkir didepan pintu masuk bandara Internasional Phuket untuk menjemput mereka. Beberapa pria terlihat segera menghampiri mereka untuk membawakan koper yang sedang mereka bawa."Ma?" Lucy menggenggam erat lengan Nyonya Aom karena merasa takut melihat pria-pria asing bertubuh kekar yang mengambil alih kopernya itu."Jangan takut, mereka adalah orang-orang yang bekerja untuk Papamu." Nyonya Aom pun memeluknya agar gadis kecil itu tak merasa takut."Kemarilah! Paman ini baik hati. hahaha" Tuan Narong terkekeh di samping mobilnya saat melihat Lucy yang ketakutan. Ia juga menepuk-nepuk bahu salah satu pria bertubuh kekar
Beberapa minggu kemudian."Ini semua dokumen Nona Muda yang anda minta Tuan." seorang pria memberikan map berwarna coklat berukuran besar kepada Tuan Narong."Baiklah." Tuan Narong membuka isi map itu dan membacanya satu persatu."Saya juga sudah merubah nama Nona Muda seperti yang anda minta Tuan." pria itu memberikan satu buah map lagi kepadanya."Baguslah. Sangrawee Narong, nama ini cocok untuknya." Tuan Narong mengangguk-anggukan kepalanya seraya membaca dokumen yang ada ditangannya."Apa kali ini anda akan tinggal disana dalam waktu lama Tuan?" pria itu mencoba memberi asupan pada rasa penasarannya."Entahlah, aku ingin menikmati waktu di Phuket bersama keluargaku." raut wajah Tuan Narong terlihat bahagia kali ini. Ia merasa senang karena kini memiliki keluarga yang lengkap."Semoga waktu anda menyenangkan Tuan." selama bertahun-tahun, Tuan Narong selalu sibuk bekerja keras hingga tak memperhatikan ist
Kini Shiya dan Lucy sudah berdiri didepan sebuah bangunan dengan interior ala bangunan tua. Bangunan itu adalah panti asuhan. Ya, Shiya memang berniat memasukkan Lucy ke panti asuhan karena dia tidak tahu lagi harus membawanya kemana. Jika terus membiarkan Lucy berada didekatnya ia akan terus merasakan sakit akibat siksaan darinya."Lucy tinggal lah disini! semua orang disini baik. Jangan menunggu ibu untuk datang lagi." Shiya meletakkan tas berukuran besar di teras bangunan itu. Ia mengusap-usap ujung kepala Lucy dengan lembut."Tapi Bu, kenapa Ibu meninggalkanku? aku janji akan menjadi anak yang baik." Lucy menangis, ia sangat ketakutan ibunya akan meninggalkannya."Kau anak yang baik Nak, bahkan sangat baik. Itulah sebabnya kau harus tinggal bersama orang-orang baik, bukan bersama orang jahat seperti Ibu." Shiya tak kuasa menahan air matanya."Tapi bagiku Ibu adalah orang yang paling baik didunia ini." Lucy memegang erat lengan Ibunya,
"Nona, hari ini bolehkah aku membawa Nona Lucy sepulang sekolah?" pagi itu, John menjemput Lucy dan meminta ijin pada Shiya untuk membawa Lucy. Shiya pun mengiyakan permintaan John dan membiarkan Lucy pergi ke sekolah bersamanya."Tolong jaga dia baik-baik." Shiya menundukkan tubuhnya untuk berbicara pada John yang sudah duduk didalam mobilnya."Jangan khawatir Nona." John pun melajukan mobilnya meninggalkan rumah Shiya. Sedangkan Lucy yang diduduk disamping John itu, terus melambaikan tangannya pada sang ibu.Shiya masih berdiri tak bergeming dari tempatnya, menatap kepergian mobil itu sambil membalas lambaian tangan dari anaknya.Siang harinya.John sudah berada didepan sekolah saat Lucy keluar dari taman kanak-kanak itu. Gadis kecil itu pun menghampirinya begitu saja, keduanya pun terlihat sangat akrab selayaknya Paman dan keponakan yang sesungguhnya."Kita akan pergi kemana Paman?" gadis kecil itu terus melemparka