Bima bungkam, lidahnya mendadak kelu. Sementara Vina terisak dengan bahu naik-turun di sebelahnya. Koridor rumah sakit itu sepi, hanya ada mereka berdua, meskipun di bangsal rawat inap, ada banyak orang, tetapi ini bukan jam besuk, jadilah koridor ini sepi tanpa seorang pun.
Bima seperti di tampar dengan segala penjelasan yang Vina katakan tadi. Jadi benar ... benar kalau Anetta adalah anak kandungnya? Benar bahwa perbuatan terkutuk Bima meninggalkan Anetta dalam rahim Vina? Astaga! Dia benar-benar lelaki terkutuk! Bajingan dan berengsek.
Air mata Bima hendak menitik, namun sekuat tenaga Bima tahan agar Vina tidak curiga. Bima belum ingin mengakui dosanya, ia masih belum tahu apa-apa saja yang hendak dia lakukan. Siapkah dia dengan konsekuensi yang akan dia terima setelah dia jujur apa adanya.
Namun naluri lelaki Bima begitu kuat. Dengan sisa keberanian dan sisa kekuatan Bima menahan gejolak tubuhnya, ia meraih Vina yang terisak itu dalam
Vina hendak bangkit, namun tangan Bima lebih gesit mencekal tangan Vina dan membuatnya tidak bisa pergi dari sisi Bima."Yang kamu sebut anak saya, itu anak saya juga, Vin." Bima menatap Vina dengan mata berkaca-kaca, sorot mata Vina begitu tajam. Bima paham dan mengerti kenapa Vina bisa sebenci itu terhadapnya.Bukan salah Vina kalau dia benci dengan Bima. Semua ini murni kesalahan Bima yang begitu pengecut dan pengundang! Dia laki-laki banci!"Anak saya? Dokter ngilang pagi itu ninggalin saya yang hancur lebur bahkan sampai nekat mau bunuh diri ketika testpack saya positif, dan sekarang begitu saya sudah berhasil dan bisa melewati semua hal gila yang terjadi dalam hidup saya, dokter tiba-tiba datang dengan entengnya bilang kalau Anetta itu saya Dokter?" Vina nampak begitu emosi, namun Bima sangat bersyukur Vina masih bisa mengendalikan emosi dan dirinya, hingga dia tidak berteriak keras sekarang ini.Air mata Bima menitik, semua yang V
Vina terduduk di balik pintu kamar mandi sambil terus terisak. Untung lantai kamar mandi kering, kalau tidak bisa dipastikan daster Bali yang dia kenakan basah kuyup.Dia masih begitu syok dengan kenyataan apa yang dia temui. Beberapa saat yang lalu, Vina berkali-kali menciumi, menghirup aroma jas putih berlumuran darah itu sambil berusaha tetap positif thinking, menepis semua dugaannya perihal dokter Bima. Tapi apa yang terjadi sekarang? Lelaki itu bahkan secara terang-terangan mengaku bahwa dialah lelaki yang memperkosa Vina malam itu!Vira menumpahkan semua air matanya. Dada Vina terasa begitu sesak efek air mata yang dia tumpahkan. Pandangannya kabur oleh air mata. Entah dia harus bahagia atau bersedih, yang jelas hari ini, dia begitu syok luar biasa."Bagaimana bisa?" suara Vina bahkan hampir hilang tertimbun isak tangis. Dia masih belum percaya seratus persen lelaki yang nampak begitu sopan dan berwibawa itu mampu melakukan hal yang begitu rend
Bima melangkah mendekat ranjang itu. Air mata kembali menitik. Sebuah kesepakatan sudah dia buat bersama Ani. Bahwa semua kunci jawaban dari permintaan Bima adalah Vina. Jangan lupakan permintaan Ani yang membereskan urusan Bima dengan sang isteri jika dia benar-benar ingin menikahi Vina.Ani tidak mau anaknya jadi istri muda, istri kedua atau entah apapun itu namanya. Bima menyanggupi semua. Demi Anetta, Bima sudah bertekad akan melakukan apapun, termasuk hendak melepaskan Melinda.Tangan Bima terulur, mengelus pipi gembul gadis yang terlelap begitu nyenyak di atas ranjang. Pipi itu begitu lembut, halus dan kenyal."Hai Sayang, ini papa." bisik Bima lirih lalu menjatuhkan sebuah kecupan di puncak kepala Anetta.Siapa yang menyangka bahwa Bima ternyata punya gadis kecil secantik ini? Sekian lama menanti, ternyata Bima sudah mendapatkan apa yang dia impikan selama ini. Seorang anak."Apakah dia pernah menanyakan ayahnya
"Ma, kenapa Mama pakai bikin perjanjian macam itu sih?" Vina melangkah keluar dari kamar mandi begitu yakin lelaki itu sudah keluar dari kamar inap Anetta.Ia mendekati sang mama yang nampak merenung duduk di kursi makan yang berada tidak jauh dari ranjang Anetta. Apa yang mamanya itu pikirkan? Tentu permasalahan pelik yang tiba-tiba menyapa mereka hari ini. Tentang siapa sebenarnya ayah dari Anetta dan apa yang lelaki itu inginkan sekarang ini.Ani mengusap wajah dengan kedua tangan, dengan anggukan kepala, ia memberi kode Vina agar duduk di sebelahnya.Vina yang paham akan kode itu langsung duduk di sisi sang mama, hendak kembali mengajukan protes perihal syarat dan perjanjian yang sudah mamanya buat dengan lelaki itu."Mama rasa, kamu perlu mempertimbangkan un--.""Ma!" potong Vina cepat. "Mama mau Vina nikah sama lelaki yang udah memperkosa Vina? Mama mau Vina melakukan itu, iya?" Vina menatap nanar sang mama.
Melinda tertegun di tempatnya duduk. Ia menatap bayangan Bima yang lantas menghilang di balik pintu kamar mandi.Ada banyak hal yang ingin dia bicarakan?Mendadak perasaan Melinda menjadi tidak enak. Apa yang hendak Bima bicarakan? Meminta dia berhenti bekerja seperti apa yang tadi Anita minta kepadanya ketika makan malam? Tapi untuk apa? Bekerja atau tidak, nasib Melinda tetap sama! Dia kesulitan, bahkan sama sekali tidak bisa hamil.Jadi untuk apa dia berhenti bekerja dan 24 jam berada di rumah ini? Menyerahkan diri untuk gila perlahan-lahan? Melinda hendak cari mati?Melinda mendesah, ia meletakkan ponsel di atas nakas. Bergegas bangkit dan melangkah menuju lemari pakaian. Menyiapkan pakaian seperti yang tadi Bima perintahkan kepadanya.Hati Melinda sama sekali tidak tenang, apa yang ingin Bima bicarakan kepadanya? Perihal apa? Apakah Bima hendak ...."Ah tidak!" Melinda menggeleng kuat-kuat. "Tidak mun
"Mas pengen ngomong apa?" Melinda lebih dulu buka mulut setelah Bima terus bungkam sejak dia keluar dari kamar mandi dan kini sudah terbaring di atas ranjang bersamanya.Bima menoleh, menatap Melinda dengan seksama. Sebuah sorot mata yang entah mengapa membuat hati Melinda makin risau dan dia semakin yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi. Tapi apa?"Bagaimana di rumah? Mama masih sering ngomong macam-macam?"Melinda memaksakan diri tersenyum. Pertanyaan macam apa itu? Kenapa pertanyaan itu Bima tanyakan padahal Bima tahu betul apa penyebab Anita selalu membahas hal tersebut."Tentu masih, Mas. Mas tahu, kan, bagaimana cara membuat mama berhenti bertanya dan ngomong macam-macam itu apa?" Melinda balik bertanya, sekuat tenaga menahan tangis karena jujur ia sudah lelah menangis ketika membahas hal ini.Terdengar desahan panjang keluar dari mulut Bima. Sebuah suara yang membuat Melinda menoleh dan menatap Bima dengan seksama. Tampak Bima menatap l
Melinda dengan susah payah membuka mata, hendak membangunkan Bima. Namun ketika matanya terbuka, Melinda terkejut mendapati Bima bahkan sudah selesai mandi dan sudah dengan pakaian dinasnya. Setelan scrub berwarna abu-abu dengan jas putih yang masih tergantung di pintu lemari. "Mas, sudah bangun?" sebuah pertanyaan basa-basi yang spontan meluncur dari mulut Melinda. "Sudah, kamu berangkat sendiri tidak apa-apa, kan, Mel?" Bima yang nampak tengah menata rambutnya dengan pomade menoleh, menatap Melinda yang duduk di atas ranjang dengan wajah setengah mengantuk. "Oke, tidak masalah." Melinda tersenyum simpul, dia tahu ada sesuatu yang tengah suaminya itu sembunyikan. Tapi apa? Bima tidak lagi bersuara, fokus menata rapi rambutnya. Menyemprotkan parfum lantas kemudian meraih snelli miliknya. "Aku berangkat, Mel. Kamu hati-hati, jangan lupa sarapan." Bima tersenyum, meraih ponsel berserta perintilan yang lain lalu melangkah
"Kalau Dokter bilang papa Anetta masih hidup, apa yang hendak Anetta katakan?"Bima menatap mata yang menatapnya tanpa berkedip sejak tadi. Jantung Bima berdegub kencang, berharap-harap cemas dengan jawaban yang akan keluar dari mulut gadis kecilnya. Apa tanggapan dia ketika tahu Bima-lah ayah kandungnya selama ini."Saya ini papa kandung kamu, Anetta. Saya papa kamu!" kembali Bima menegaskan siapa dirinya, matanya berair, ia benar-benar menantikan kalimat pertama yang keluar dari mulut Anetta setelah tahu bahwa Bima adalah ayah kandungnya."Dokter nggak lagi bohong, kan?"ClessHati Bima seperti ditusuk sembilu. Bohong? Untuk apa Bima berbohong? Namun Bima sadar, dia paham kenapa Anetta sampai bertanya hal seperti itu kepadanya. Kemana Bima selama ini? Di saat dia sibuk bertanya pada sang mama perihal siapa ayah kandungnya, di mana keberadaannya, Bima di mana? Dan sekarang mendadak Bima muncul dan mengatakan bahwa dia adalah ayah kandu
Vina menitikkan air mata ketika akhirnya dia bisa merasakan bagaimana rasanya IMD. Bagaimana rasanya bayi langsung menyusu kepadanya begitu lahir.Bima terus menerus membantu bayi kecil mereka menyusu sambil terus menerus menitikkan air mata. Semuanya kompak menangis haru, membuat beberapa paramedis sengaja menjauh agar tidak menganggu interaksi keduanya."Udah dong nangisnya!" Ejek Vina yang tidak sadar diri, dia bahkan masih menitikkan air mata."Aku bahagia banget, Sayang! Sungguh!" Bima tersenyum, matanya masih memerah dan basah, membuat Vina terkekeh seraya mengelus lembut kepala bayi yang baru beberapa menit lahir itu."Aku sudah minta lebihan darah untuk kita lakukan pengecekan, Sayang. Kita akan deteksi lebih dini. Dan harapanku ... Tidak ada lagi Anetta yang lain." Bisik Bima lirih."Bagaimana ka--.""Sayang! Stop overthinking, oke?"Vina tertegun menatap mata itu, ia tersenyum getir dengan air m
Minggu pagi. Vina ingat betul hari ini minggu pagi. Cuaca cerah di luar sana dengan langit biru yang begitu bersih. Tapi kali ini, bukan langit biru yang Vina lihat dengan matanya. Yang ada dj depan mata Vina sekarang adalah langit-langit koridor koridor OK, menantikan gilirannya masuk ke dalam salah satu ruangan.Vina mengelus perut membukitnya, rasanya seperti Dejavu. Ya ... Beberapa tahun yang lalu Vina pernah ada di posisi ini. Terbaring dengan perut besar membukit menantikan tindakan operasi. Bedanya, dulu dia menanti dengan penuh rasa khawatir karena usia kandungan yang belum cukup dan tentu saja dia harus berjuang sendiri di dalam sana.Kali ini ... Semuanya berbeda. Usia kandungan Vina sudah sangat cukup dan sekarang, dia tidak lagi sendirian. Sosok yang sudah siap dengan setelan scrub, nurse cap dan masker itu terus menggenggam tangannya erat-erat. Sama sekali tidak melepaskan tangan Vina, seolah tidak mau berpisah barang sedetikpun dari Vina. 
"Sayang ...." Bisikan Bima lirih sambil mengguncang bahu sang istri. Vina sama sekali tidak membuka mata, hanya menggumam perlahan tanpa bergerak sedikitpun. Bima tersenyum getir, intinya malam ini dia tidak terima penolakan. Mumpung mereka tidak menginap di rumah sakit! Dan Bima tidak mau mensia-siakan kesempatan ini? "Ayolah, aku kadung janji sama Neta nih!" Rayu Bima tanpa gentar. Kalau pergumulan mereka beberapa hari yang lalu tidak menghasilkan karena ternyata Vina sedang tidak subur, maka kali ini Bima sudah hitung betul-betul masa subur sang istri dan inilah saatnya. "Salah sendiri asal bikin janji. Kan aku udah ngomong dulu kalo sama Neta jangan sembarangan bikin janji!" Vina bergeming, sama sekali tidak menghiraukan segala macam kode dari Bima. Bima menghela napas panjang, intinya dia sudah bertekad bahwa dia harus bisa menghamili Vina untuk kedua kalinya! Atau mungkin nanti jadi ke tiga kali? Empat? Atau berapa?
“Congratulations, istriku tercinta!” Vina yang masih dalam balutan toga tertegun melihat sang suami menyodorkan buket mawar merah yang cukup besar itu kepadanya. Ini adalah kali pertama Bima memberinya bunga, pertama kalinya yang kebetulan bersamaan dengan acara wisudanya. Vina tersenyum dengan mata berkaca-kaca, menerima bunga itu dan pasrah ketika Bima menarik dan menjatuhkan Vina ke dalam dekapan tubuhnya. Air mata Vina menitik, harusnya Anetta ikut di sini sekarang. Menyaksikan sang mama diwisuda setelah berjuang tiga setengah tahun kuliah sambil merawat Anetta selama ini. Masih tergambar betul dalam ingatan Vina ketika dia harus ujian akhir semester satu dan Anetta habis imunisasi. Bagaimana perjuangan Vina belajar sambil sesekali menyusui Anetta yang rewel dan sedikit demam pasca imunisasi. Sekarang semuanya terbayar lunas sudah! Dia sudah berhasil meraih gelar S.H-nya. Menjadi sarjana hukum dengan predikat cumlaude ketika lulus. “Aku em
Suara pintu terbuka, Vina sontak menoleh dan mendapati dua nenek rempong itu sudah masuk bersama-sama ke dalam ruangan. Heran, rumah mereka jaraknya cukup lumayan, tapi kenapa bisa barengan begitu sampainya? “Neta tidur?” tanya Ani sambil memencet botol handsanitizer yang menempel di tembok. “Tidur, Ma. Kok bisa barengan?” tanya Vina sambil menatap mereka bergantian. “Bisalah, kan kompak!” jawab Anita seraya mengedipkan sebelah mata. Vina melongo, bisa begitu? Nampak Anita mendekati ranjang, di mana Bima tertidur begitu pulas sambil memeluk Anetta, sebuah pemandangan yang sejak tadi sudah menguras air mata Vina dengan begitu luar biasa. “Bim ... bangun gih! Pulang sana istirahat!” bisik Anita sambil mengguncang lembut bahu anak lelakinya. Sejak dua hari memang Bima belum pulang kerumah. Selain banyak tugas yang diberikan konsulen, Bima sama sekali tidak mau berpisah dengan Anetta. Bima nampak menggeliat, membuka matanya perlahan-lahan
"Neta nggak bisa makan untuk sementara waktu, Ma." Gumam Bima ketika Ani datang membawa banyak sekali makanan kesukaan Anetta."Kenapa, Bim? Dia baik-baik saja, bukan?" Tampak wajah itu sangat khawatir, membuat Bima tersenyum getir dan mengangguk pelan."Tentu, dia baik-baik saja. Hanya efek dari BMT adalah adanya gangguan pencernaan dan mungkin muncul sariawan di mulut, jadi makanan Anetta sampai beberapa saat ke depan sampai pencernaannya membaik hanya melalui infus." Jelas Bima sabar, ia sudah menjelaskan hal ini pada Vina, untuk Anita tentu Andi sudah menjelaskannya lebih dulu, bukan?"Oh begitu?" Ani nampak murung menatap bungkusan yeng dia bawa, "Vina juga nggak boleh makan?""Kalau Vina boleh, Ma. Dia bebas mau makan apa aja." Tentu Bima paham kalau Ani khawatir dan kecewa karena apa yang dia bawa tidak bisa Anetta nikmati, tapi semua itu demi kebaikan Anetta, bukan?"Sampai kapan Neta harus dirawat, Bim? Kapan dia bo
"Sakit?" Tanya Bima sambil mengelus puncak kepala sang istri yang kini tergolek di ranjang dengan kateter yang menancap di leher. Vina menggeleng lemah, "Demi Anetta, semua ini sama sekali tidak terasa sakit, Mas." Bima mengangguk, menjatuhkan kecupan mesra yang begitu manis dan mampu membuat dua orang yang ada di ruangan itu auto iri melihatnya. Vina tersenyum, akhirnya kini dia yang berbaring di sini. Bukan karena sakit, tetapi bersakit-sakit ria demi Anetta. Setelah prosedure panjang yang dilakukan, hasil pemeriksaan HLA yang paling cocok merujuk pada dirinya. Bukan Bima atau anggota keluarga yang lain. Jadilah ini Vina kembali berjuang demi Anetta setelah dulu berjuang di OK demi melahirkan Anetta. "Kamu wanita paling hebat dan kuat yang pernah aku kenal, Vin." Bima mengelus lembut dahi Vina, wajah mereka begitu dekat membuat siapapun yang di sana gigit jari melihat kemesraan itu. "Kau tau siapa yang membuatku
“Mas, ada apa?”Bima mengangkat wajah, mengabaikan sejenak segelas es teh yang dia pesan sambil menantikan Vina datang menemuinya di kantin rumah sakit. Kini, istri cantiknya itu sudah hadir dan berdiri di depannya.“Anetta gimana? Aku mau masuk tapi masih harus ada jaga.” Bima harus ingat betul, tidak boleh sembarangan orang masuk ke dalam kamar Anetta, dia sekalipun harus memastikan bahwa dia bersih dan steril. Jadi agak susah dan ribet kalau dia yang masih jaga ini harus bolak-balik membersihkan diri sebelum masuk ke dalam.“Baik, dia sudah bisa tidur.” Vina duduk di hadapan Bima, nampak Vina hanya mengenakan sweeter dan kaos yang nantinya jika di dalam ruangan akan di ganti dengan setelan scrub yang bersih.“Darahnya masih keluar?” tentu itu yang Bima tanyakan, tiap menit, hal itu yang selalu Bima khawatirkan.“Yang hidung belum mau berhenti, Mas. Untuk telinga sudah mampet sih.”
“Ayolah, Ma ... semua demi Anetta.” Mohon Vina sambil menggenggam erat kedua tangan Ani.Vina paham, sangat mengerti bahwa sulit bagi Ani untuk berpisah dari Anetta. Vina masih ingat, ketika dia sibuk kuliah, meskipun dibantu oleh baby sitter, Ani-lah yang mengawasi dan merawat Anetta selama ini. Tentu akan sangat sulit bagi Ani menerima bahwa cucunya harus pindah tinggal di rumah besannya.“Berapa banyak sih biaya buat bikin ruangan kaca atau apalah itu? Duit Mama nggak cukup, Vin?” tanya Ani dengan mata memerah.Vina menggelengkan kepala cepat, matanya ikut memerah. Bisa Vina lihat sorot luka penuh kekecewaan itu terpancar di mata Ani. Siapa yang tidak terluka? Selama bertahun-tahun merawat seorang diri Anetta yang tengah hamil lalu merawat bayinya dengan sepenuh hati dan penuh kasih sayang, tiba-tiba harus dipisahkan seperti ini?Tapi semua itu bukan karena keserakahan atau keegoisan semata. Semua demi Anetta! Vina sangat berhar