"Kamu ingin aku menikah lagi? Kamu rela aku menikah lagi?"
Melinda tercekat dengan air mata tertahan. Dia sendiri tidak bisa menjawab dan memutuskan pertanyaan yang dilemparkan sang suami ke padanya, jawaban dari pertanyaan yang tadi Melinda paksa Bima menjawab.
Apakah dia rela dan ikhlas membiarkan suaminya menikah lagi? Apakah dia ingin Bima menikah lagi hanya untuk mendapatkan keturunan? Hati Melinda bergejolak, berkecamuk luar biasa dengan pertanyaan yang tadi Bima lontarkan kepadanya.
Bima mempererat genggaman tangan Melinda. Tersenyum lantas mencolek pipi sang isteri yang nampak berkaca-kaca itu.
"Nggak bisa jawab, kan? Jadi tolong nggak usah tanya macem-macem, oke?"
Melinda menatap nanar lelaki di hadapannya, bukan salah Melinda kalau dia ingin tahu jawaban dari pertanyaannya tadi, bukan? Tapi kalau harus menjawab pertanyaan yang balik Bima lontarkan kepadanya, jujur Melinda belum bisa menjawabnya!
Isteri mana
"Apa yang kamu harapkan dengan pertemuan itu?"Vina menatap sang mama tanpa kedip. Sebuah pertanyaan yang membuat Vina tercengang seketika. Apa yang Vina harapkan? Sejujurnya Vina juga tidak tahu. Dia belum ada rencana yang hendak dia lakukan andaikata dia benar-benar bertemu dengan lelaki yang sudah menanamkan benih di rahimnya.Yang Vina tahu, untuk saat ini Vina ingin bisa menjawab pertanyaan Anetta kelak jika dia bertanya perihal siapa ayahnya. Sesederhana itu sebenarnya."Vi-Vina ... Vina ingin ...," Vina tidak mampu melanjutkan kalimatnya, air mata sudah mengambang di pelupuk matanya, membuat suara Vina tercekat di tenggorokan."Ingin apa? Meminta dia bertanggung jawab atas Anetta?" Ani masih menatap tajam anak perempuannya, tidak semudah itu! Ani tahu betul itu."Ya kalau dia masih lajang, Vin. Kalau ternyata dia sudah punya keluarga apa yang akan kamu lakukan?" desak Ani yang ingin tahu apa alasan Vina ingin me
"Yakin sudah berani pulang?" Bima sepulang praktek langsung bergegas menemui sang isteri, sudah tiga hari Melinda di rawat di sini, dan dokter sudah mengizinkan Melinda pulang per sore hari ini."Sudah, Mas. Lagipula nggak enak lama-lama di sini." Melinda sudah bisa duduk dan berjalan pasca operasi yang dia jalani.Bima mengangguk dan tersenyum, tangannya mengelus lembut pipi sang isteri, lalu menarik tubuh itu ke dalam pelukannya. Melinda tersenyum, membenamkan kepalanya di dada sang suami."Terima kasih sudah mau mengerti dan menerima aku apa adanya, Mas." kembali ucapan terima kasih yang begitu tulus itu keluar dari mulut Melinda."Sudahlah, yang jelas setelah ini kita harus bersikap normal dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa, oke?"Tentu itu yang harus mereka lakukan agar Andi dan Anita tidak curiga dengan apa yang baru saja Melinda jalani dan mereka tutupi dari semuanya. Bima sendiri tidak bisa membayangkan apa yang t
Melinda menatap nanar ruangan yang sudah beberapa hari ini menjadi tempat dia tidur dan menjalani perawatan pasca operasi. Senyum Melinda merekah, ia menghela nafas panjang sebelum kemudian membalikkan badan dan menatap Bima yang nampak sudah berkemas dan memasukkan semua barang milik Melinda ke dalam tas.Nampak berkas-berkas dengan map biru plus nama dan alamat lengkap rumah sakit, tergeletak di atas meja. Berkas yang Melinda tahu betul berisi semua catatan riwayat kesehatan dan terapi apa saja yang sudah dia jalani di sini."Mas." panggil Melinda yang sontak membuat Bima mengangkat wajah dan menatap sang isteri dengan seksama."Ya? Kenapa?"Melinda tersenyum, melangkah mendekati sang suami dan menyodorkan tangan kirinya. Membuat alis Bima berkerut, tidak mengerti."Ah!" Melinda mencebik, "Masa dokter nggak paham, sih?" kembali Melinda mendekatkan punggung telapak tangan kirinya.Bekas jarum infus yang ditutup
"Yeee!!! Mama pulang!"Vina tersenyum ketika melihat betapa gembira anak gadisnya itu. Ia segera turun dari mobil dan menyodorkan plastik putih berisi beberapa kotak susu UHT, permen dan biskuit, pajak wajib setiap Vina pulang kuliah."Nih, buat besok di bawa sekolah, ya?" Vina mencubit dengan gemas pipi gembul Anetta yang tampak girang menerima bungkusan yang dia sodorkan."Siap, Mama! Mama sudah selesai sekolahnya?" mata cantik itu membulat, membuat senyum Vina terus merekah melihat betapa lucu gadis tiga setengah tahunnya ini."Sudah dong! Mama mandi dulu, oke? Habis itu kita main." Vina kembali berdiri, menggandeng tangan kecil itu masuk ke dalam rumah.Sementara Ani berdiri di depan pintu dengan wajah penuh senyum, ia begitu bahagia dengan hidupnya yang sekarang. Kehadiran Anetta benar-benar membuat banyak sekali perubahan dan corak warna di rumah besarnya yang biasanya sepi. Anetta memang anugerah terindah yang Ani mil
Bima menghela nafas panjang, pesannya hanya dibaca tanpa di balas sama sekali oleh sang isteri. Dia tahu, Melinda pasti mulai jenuh dengan kesibukannya di rumah sakit. Bukankah sudah Bima jelaskan berkali-kali akan banyak yang berubah dan waktu yang tersita ketika Bima memutuskan untuk lanjut pendidikan spesialis?Pikiran Bima makin ruwet. Tidak hanya memikirkan pendidikannya, dia harus memikirkan juga jawaban-jawaban dan sikap yang harus dia katakan ketika sang mama papa terus menerus menanyakan sesuatu yang sejak dia menikah dulu terus ditanyakan.Anak!Itu yang mereka terus tanyakan pada Bima dan Melinda. Kapan hamil, kapan memberi mama-papa cucu. Itu yang nerus menerus mereka tanyakan. Terlebih pernikahan Bima dan Melinda sudah menyentuh angka ke tiga tahun."Aku harus bagaimana, ya ampun!" Bima memijit pelipisnya perlahan.Sejujurnya Bima sendiri sudah ingin dipanggil ayah, papa atau bapak. Tetapi ia sadar dan tahu betu
"Non ... Non Vina, buka pintunya, Non!"Vina yang sudah meraih jar krim wajahnya sontak menoleh ke arah pintu. Itu suara Yeti, baby sitter Ametta. Kenapa? Ada masalah apa sampai dia menggedor pintu kamar Vina dengan begitu panik?Vina melupakan niatnya untuk memoleskan krim wajah itu dan segera bangkit menuju pintu. Naluri keibuannya tergerak. Dia curiga ada sesuatu hal buruk terjadi pada Anetta.Pintu terbuka, nampak Yeti begitu panik dan pucat, membuat jantung Vina berdegup dua kali lebih cepat."Kenapa? Ada apa, kok panik begini?" tanya Vina yang perasaannya mulai tidak enak."Neta, Non! Di-dia--.""Neta kenapa?" potong Vina begitu panik, jantungnya serasa hendak lepas."Neta mimisan lagi." jawab Yeti dengan napas terengah.Mata Vina terbelalak, lagi? "Tadi dia mimisan?" Vina segera melangkah keluar dari kamarnya, melangkah dengan sedikit cepat menuju anak tangga."Tadi siang sampai
"Dok, cepetan!"Bima tersentak, ia segera sadar dari keterkejutan yang tadi menyergap nya. Dengan tanpa mengurangi wibawanya, Bima melangkah mendekati bed itu. Nampak beberapa perawat dan koas tengah mengerubuti gadis kecil yang masih mengeluarkan darah dari hidung."Ini kenapa?" Bima sekuat tenaga membuat suaranya tetap jelas, tidak peduli bahwa sebenarnya Bima tengah awut-awutan saat ini.Wanita dengan kaos berlumuran darah itu ...."Dok, tolong anak saya!"Anak?Kembali jantung Bima seperti dihantam batu begitu keras. Mata Bima terbelalak menatap wanita yang beberapa tahun ini menganggu pikiran Bima. Selalu hadir dalam mimpi Bima bahkan ketika Bima menggauli Melinda.Gadis tanpa nama itu ... gadis yang pertama kali Bima sentuh, gadis memberikan tubuh dan selaput tipis itu untuk Bima pertama kali ... gadis itu kini tampak lebih dewasa dan cantik!Matanya ... matanya cokelat gelap, begitu cantik d
"Nah, itu dokternya, Vin! Ganteng, kan?" nampak mata Ani berbinar. Entah jodoh atau bagaimana, dia sendiri tidak menyangka bisa bertemu kembali dengan dokter itu lagi.Vina hanya tersenyum, tidak menjawab membuat Ani menjawil lengan Vina dengan gemas. Dari wajahnya dia tahu kalau anak perempuannya ini berpendapat yang sama perihal penilaian Ani terhadap dokter ganteng yang mengadzani Anetta ketika lahir dulu."Siapa namanya?" tanya Ani sambil memburu langkah Vina mendekati bed Anetta."Apanya?" Vina membalikkan badan, menatap sang mama dengan alis berkerut."Nama dokter ganteng tadilah, Vin!" gerutu Ani kesal, ia menatap Vina dengan mata melotot.Vina sontak mengangkat bahu, "Mana Vina tahu, Ma. Tadi dia nggak nyebut nama." jawabnya lalu berdiri di samping Anetta yang masih terisak di atas bed."Ah gimana sih?" Ani masih menggerutu, membuat Vina menghela napas panjang dan menoleh ke arah pesawat yang masih sibuk
Vina menitikkan air mata ketika akhirnya dia bisa merasakan bagaimana rasanya IMD. Bagaimana rasanya bayi langsung menyusu kepadanya begitu lahir.Bima terus menerus membantu bayi kecil mereka menyusu sambil terus menerus menitikkan air mata. Semuanya kompak menangis haru, membuat beberapa paramedis sengaja menjauh agar tidak menganggu interaksi keduanya."Udah dong nangisnya!" Ejek Vina yang tidak sadar diri, dia bahkan masih menitikkan air mata."Aku bahagia banget, Sayang! Sungguh!" Bima tersenyum, matanya masih memerah dan basah, membuat Vina terkekeh seraya mengelus lembut kepala bayi yang baru beberapa menit lahir itu."Aku sudah minta lebihan darah untuk kita lakukan pengecekan, Sayang. Kita akan deteksi lebih dini. Dan harapanku ... Tidak ada lagi Anetta yang lain." Bisik Bima lirih."Bagaimana ka--.""Sayang! Stop overthinking, oke?"Vina tertegun menatap mata itu, ia tersenyum getir dengan air m
Minggu pagi. Vina ingat betul hari ini minggu pagi. Cuaca cerah di luar sana dengan langit biru yang begitu bersih. Tapi kali ini, bukan langit biru yang Vina lihat dengan matanya. Yang ada dj depan mata Vina sekarang adalah langit-langit koridor koridor OK, menantikan gilirannya masuk ke dalam salah satu ruangan.Vina mengelus perut membukitnya, rasanya seperti Dejavu. Ya ... Beberapa tahun yang lalu Vina pernah ada di posisi ini. Terbaring dengan perut besar membukit menantikan tindakan operasi. Bedanya, dulu dia menanti dengan penuh rasa khawatir karena usia kandungan yang belum cukup dan tentu saja dia harus berjuang sendiri di dalam sana.Kali ini ... Semuanya berbeda. Usia kandungan Vina sudah sangat cukup dan sekarang, dia tidak lagi sendirian. Sosok yang sudah siap dengan setelan scrub, nurse cap dan masker itu terus menggenggam tangannya erat-erat. Sama sekali tidak melepaskan tangan Vina, seolah tidak mau berpisah barang sedetikpun dari Vina. 
"Sayang ...." Bisikan Bima lirih sambil mengguncang bahu sang istri. Vina sama sekali tidak membuka mata, hanya menggumam perlahan tanpa bergerak sedikitpun. Bima tersenyum getir, intinya malam ini dia tidak terima penolakan. Mumpung mereka tidak menginap di rumah sakit! Dan Bima tidak mau mensia-siakan kesempatan ini? "Ayolah, aku kadung janji sama Neta nih!" Rayu Bima tanpa gentar. Kalau pergumulan mereka beberapa hari yang lalu tidak menghasilkan karena ternyata Vina sedang tidak subur, maka kali ini Bima sudah hitung betul-betul masa subur sang istri dan inilah saatnya. "Salah sendiri asal bikin janji. Kan aku udah ngomong dulu kalo sama Neta jangan sembarangan bikin janji!" Vina bergeming, sama sekali tidak menghiraukan segala macam kode dari Bima. Bima menghela napas panjang, intinya dia sudah bertekad bahwa dia harus bisa menghamili Vina untuk kedua kalinya! Atau mungkin nanti jadi ke tiga kali? Empat? Atau berapa?
“Congratulations, istriku tercinta!” Vina yang masih dalam balutan toga tertegun melihat sang suami menyodorkan buket mawar merah yang cukup besar itu kepadanya. Ini adalah kali pertama Bima memberinya bunga, pertama kalinya yang kebetulan bersamaan dengan acara wisudanya. Vina tersenyum dengan mata berkaca-kaca, menerima bunga itu dan pasrah ketika Bima menarik dan menjatuhkan Vina ke dalam dekapan tubuhnya. Air mata Vina menitik, harusnya Anetta ikut di sini sekarang. Menyaksikan sang mama diwisuda setelah berjuang tiga setengah tahun kuliah sambil merawat Anetta selama ini. Masih tergambar betul dalam ingatan Vina ketika dia harus ujian akhir semester satu dan Anetta habis imunisasi. Bagaimana perjuangan Vina belajar sambil sesekali menyusui Anetta yang rewel dan sedikit demam pasca imunisasi. Sekarang semuanya terbayar lunas sudah! Dia sudah berhasil meraih gelar S.H-nya. Menjadi sarjana hukum dengan predikat cumlaude ketika lulus. “Aku em
Suara pintu terbuka, Vina sontak menoleh dan mendapati dua nenek rempong itu sudah masuk bersama-sama ke dalam ruangan. Heran, rumah mereka jaraknya cukup lumayan, tapi kenapa bisa barengan begitu sampainya? “Neta tidur?” tanya Ani sambil memencet botol handsanitizer yang menempel di tembok. “Tidur, Ma. Kok bisa barengan?” tanya Vina sambil menatap mereka bergantian. “Bisalah, kan kompak!” jawab Anita seraya mengedipkan sebelah mata. Vina melongo, bisa begitu? Nampak Anita mendekati ranjang, di mana Bima tertidur begitu pulas sambil memeluk Anetta, sebuah pemandangan yang sejak tadi sudah menguras air mata Vina dengan begitu luar biasa. “Bim ... bangun gih! Pulang sana istirahat!” bisik Anita sambil mengguncang lembut bahu anak lelakinya. Sejak dua hari memang Bima belum pulang kerumah. Selain banyak tugas yang diberikan konsulen, Bima sama sekali tidak mau berpisah dengan Anetta. Bima nampak menggeliat, membuka matanya perlahan-lahan
"Neta nggak bisa makan untuk sementara waktu, Ma." Gumam Bima ketika Ani datang membawa banyak sekali makanan kesukaan Anetta."Kenapa, Bim? Dia baik-baik saja, bukan?" Tampak wajah itu sangat khawatir, membuat Bima tersenyum getir dan mengangguk pelan."Tentu, dia baik-baik saja. Hanya efek dari BMT adalah adanya gangguan pencernaan dan mungkin muncul sariawan di mulut, jadi makanan Anetta sampai beberapa saat ke depan sampai pencernaannya membaik hanya melalui infus." Jelas Bima sabar, ia sudah menjelaskan hal ini pada Vina, untuk Anita tentu Andi sudah menjelaskannya lebih dulu, bukan?"Oh begitu?" Ani nampak murung menatap bungkusan yeng dia bawa, "Vina juga nggak boleh makan?""Kalau Vina boleh, Ma. Dia bebas mau makan apa aja." Tentu Bima paham kalau Ani khawatir dan kecewa karena apa yang dia bawa tidak bisa Anetta nikmati, tapi semua itu demi kebaikan Anetta, bukan?"Sampai kapan Neta harus dirawat, Bim? Kapan dia bo
"Sakit?" Tanya Bima sambil mengelus puncak kepala sang istri yang kini tergolek di ranjang dengan kateter yang menancap di leher. Vina menggeleng lemah, "Demi Anetta, semua ini sama sekali tidak terasa sakit, Mas." Bima mengangguk, menjatuhkan kecupan mesra yang begitu manis dan mampu membuat dua orang yang ada di ruangan itu auto iri melihatnya. Vina tersenyum, akhirnya kini dia yang berbaring di sini. Bukan karena sakit, tetapi bersakit-sakit ria demi Anetta. Setelah prosedure panjang yang dilakukan, hasil pemeriksaan HLA yang paling cocok merujuk pada dirinya. Bukan Bima atau anggota keluarga yang lain. Jadilah ini Vina kembali berjuang demi Anetta setelah dulu berjuang di OK demi melahirkan Anetta. "Kamu wanita paling hebat dan kuat yang pernah aku kenal, Vin." Bima mengelus lembut dahi Vina, wajah mereka begitu dekat membuat siapapun yang di sana gigit jari melihat kemesraan itu. "Kau tau siapa yang membuatku
“Mas, ada apa?”Bima mengangkat wajah, mengabaikan sejenak segelas es teh yang dia pesan sambil menantikan Vina datang menemuinya di kantin rumah sakit. Kini, istri cantiknya itu sudah hadir dan berdiri di depannya.“Anetta gimana? Aku mau masuk tapi masih harus ada jaga.” Bima harus ingat betul, tidak boleh sembarangan orang masuk ke dalam kamar Anetta, dia sekalipun harus memastikan bahwa dia bersih dan steril. Jadi agak susah dan ribet kalau dia yang masih jaga ini harus bolak-balik membersihkan diri sebelum masuk ke dalam.“Baik, dia sudah bisa tidur.” Vina duduk di hadapan Bima, nampak Vina hanya mengenakan sweeter dan kaos yang nantinya jika di dalam ruangan akan di ganti dengan setelan scrub yang bersih.“Darahnya masih keluar?” tentu itu yang Bima tanyakan, tiap menit, hal itu yang selalu Bima khawatirkan.“Yang hidung belum mau berhenti, Mas. Untuk telinga sudah mampet sih.”
“Ayolah, Ma ... semua demi Anetta.” Mohon Vina sambil menggenggam erat kedua tangan Ani.Vina paham, sangat mengerti bahwa sulit bagi Ani untuk berpisah dari Anetta. Vina masih ingat, ketika dia sibuk kuliah, meskipun dibantu oleh baby sitter, Ani-lah yang mengawasi dan merawat Anetta selama ini. Tentu akan sangat sulit bagi Ani menerima bahwa cucunya harus pindah tinggal di rumah besannya.“Berapa banyak sih biaya buat bikin ruangan kaca atau apalah itu? Duit Mama nggak cukup, Vin?” tanya Ani dengan mata memerah.Vina menggelengkan kepala cepat, matanya ikut memerah. Bisa Vina lihat sorot luka penuh kekecewaan itu terpancar di mata Ani. Siapa yang tidak terluka? Selama bertahun-tahun merawat seorang diri Anetta yang tengah hamil lalu merawat bayinya dengan sepenuh hati dan penuh kasih sayang, tiba-tiba harus dipisahkan seperti ini?Tapi semua itu bukan karena keserakahan atau keegoisan semata. Semua demi Anetta! Vina sangat berhar