Erry begitu fokus membaca buku usang pemberian Kenio. Sehari setelah ia sampai di rumah ia langsung membacanya. Sudah tiga hari berlalu yang artinya ulang tahunnya yang ketujuh belas tinggal menunggu 4 hari lagi. Ia memang hobi membaca dari kecil, namun bacaan yang mengandung banyak drama dan romansa bukanlah seleranya, jelas. Alasan ia tertarik dengan buku itu karena menurutnya buku itu punya kesan misterius yang dapat menariknya. Benar-benar seperti buku dongeng bergenre histori. Tapi, yang membuat dia bingung, mengapa semua kejadian yang tertulis di buku itu bukanlah seperti sebuah karangan. Terasa nyata.Dan seperti pertama kalinya ia membaca judul buku ini, setiap kali membacanya ia selalu panas dingin, jantungnya seringkali berdegup kencang tanpa alasan."Jadi, disini, Yang Mulia Ratu Cheressa membunuh bayinya di detik terakhir sebelum kematiannya. Ia juga membunuh pelayan pribadinya sendiri demi menghilangkan saksi terakhir? Yang Muli
"Kejadian beberapa hari yang lalu benar-benar membuat kami waspada. Apa yang sebenarnya terjadi saat itu?" Tanya seorang pria bertelinga runcing dengan penampilan paling nyentrik. Mata hijau keperakannya nampak awas menatap sekitarnya. Steven Horace, raja Kerajaan Daves, bangsa peri."Benar sekali! Kejadian itu, bisa dikatakan nyaris mirip dengan kejadian 27 tahun yang lalu. Seolah ada yang mengendalikan pikiran saya, membuat energi saya melemah, bahkan nyaris tidak bisa bernapas. Selain itu saya dan kaum saya yang berada di laut juga dipaksa untuk naik ke darat lalu bersimpuh, bedanya kami tidak dipaksa memakai wujud duyung kami. Kami semua seolah diharuskan untuk menghormati seseorang. Itu membuat klan duyung ketakutan. Sampai ratuku tidak bisa tidur dengan tenang." Tambah seorang pria bertubuh atletis dengan mata hijau laut dan kulitnya yang berkilau. Raja Harold Weston, raja Kerajaan Airalex, bangsa duyung."Itu amat benar. Saya kira kita semua pun pasti tidak bisa
"Aku benar-benar tidak mengerti. Buku ini, bibi mengetahuinya? Tapi bagiamana bisa??" Tuntut Erry. Pusing, begitu banyak emosi yang berkecamuk di kepalanya. Sedang sang bibi menunduk.Erry memegang erat bahu wanita paruh baya itu, "bibi, cepat katakan! Apa bibi benar-benar tahu buku ini berasal darimana?" Terdiam sejenak, "oh, atau, buku ini ada hubungannya denganku?" Lanjutnya.Bibinya tetap diam selama beberapa detik. Hingga ia akhirnya iapun berkata dengan suara menahan tangis, "sesungguhnya bibi pun tak terlalu tahu Erry. Karena saat pembantaian itu terjadi, bibi, bibi tak ada disana." Balasnya.Erry melepaskan kedua tangannya, menatap bibinya yang saat ini masih tertunduk, tidak tega melihat tubuh ringkih wanita yang selama ini membesarkannya itu. Tapi ia memilih diam, ingin mendengar lebih lanjut. Dan bibinya mengerti."Dulu, 27 tahun yang lalu," ujar bibinya sendu."Seorang wanita datang menghampiri bibi di tengah malam. Bibi yang saat
KrakKrakKrakPanorama alam yang indah. Langit biru yang berpadu dengan lembayung senja beralaskan awan comulunimbus yang putih bersih. Burung-burung beterbangan hendak kembali ke peraduannya.Senja yang indah bukan?Namun sayangnya keindahan tersebut tak berarti apa-apa bagi seorang remaja lelaki yang kini tengah berjalan dengan tatapan yang kosong. Entah sudah berapa lama ia berlari hingga akhirnya tanpa sadar ia memutuskan untuk melangkah.Tatapan kosong, tubuh letih, rambut berantakan dan pakaian lusuh. Tidak, dia bahkan tak menggunakan alas kaki! Kotor!Pantaskah sekarang predikat gembel untuknya?Tidak, itu semua tentu tidak sebanding dengan pikirannya dan perasaannya yang tengah berkecamuk. Bagaikan benang kusut yang tak tahu mana awalnya dan mana akhirnya. Semuanya berjalin, rumit. Benar-benar melelahkan.Remaja lelaki itu, Erry, akhirnya ia memutuskan untuk duduk di bawah sebuah pohon. Duduk diatas akarnya yang
Malam itu, pukul 00.02 dini hari. Erry baru pulang ke rumah dengan lelah sambil mengendap-endap. Ia masuk ke pekarangan lewat belakang, lalu ke sisi samping, bermaksud untuk masuk lewat jendela kamarnya. Saat ia berhasil membukanya, dengan sangat pelan ia menaikkan satu kakinya. Namun belum juga sampai ke daun jendela, suara yang sangat familiar menyapa indera pendengarannya.Eek, ek!'Seon?'Kepalanya refleks menoleh ke bawah, tapi tak ada apa-apa. Ia memutuskan kembali menurunkan kakinya dan memeriksa sekelilingnya. Sambil terus mengendap-endap, ia melangkah ke pintu depan. Dan tepat Seon berada di depan pintu masuk rumah. Tengah tiduran santai sambil mendengkur. Sesekali matanya terpejam, mungkin mengantuk."SEON!"Erry yang senang dengan kehadiran kucingnya yang tidak terduga itu langsung teriak tanpa suara. Seon pun yang menyadari kehadirannya segera bangkit dan merilekskan seluruh ototnya. Matanya coklat gelapnya berbinar bulat menggemaskan.
"Hah... Dasar kucing pencuri. Erry, lain kali didiklah kucingmu agar menjadi kucing yang sopan dan pengertian." "T, Tuan Ken, apakah... Perkataan anda tadi... Benar?" Bibi bertanya cemas, apa-apaan ini? Mendadak sekali! "Tentu saja Deanna. Bukankah lebih cepat lebih baik?" Ken menatap Erry, "bagaimana dude, pokoknya kau harus setuju. Kita tidak boleh membuang-buang waktu lagi." "TIDAK, AKU TIDAK SETUJU!" Balas Erry cepat. "Erry, paman serius. Ulang tahunmu tinggal menunggu hari. Segel yang dibuat ibumu akan terbuka di usia ke 17 tahun. Tentu saja jika di Valeoryea kau berusia 27 tahun. Kita tidak boleh terlambat nak. Jika segelmu terbuka di dunia manusia ini, kemungkinan besar kau akan mengguncangkan satu benua. Dan benar-benar membuat kacau dunia manusia. Kau ingin, para manusia yang tidak tahu apa-apa menjadi korban?" Terang Kenio. "Tentu saja tidak!" "Jadi?" "Paman, ku mohon berikan aku waktu sehari untuk menyiapkan
"Ck aaahhh Ken, kau benar-benar tidak berubah sama sekali."Pria bermanik sehitam jelaga itu tertawa renyah. Ia memeluk wanita berambut putih disampingnya, mengusap pipinya dan menatap manik kuning wanita tersebut. Membuat keduanya saling berhadapan hingga tak lama tatapan liar keduanya kembali. Mereka bahkan sama sekali tak berniat menutupi tubuh polos mereka."Kau bilang padaku bahwa kau sudah tak tertarik pada pria lainnya hm, kini akhirnya kau kembali lagi padaku," balasnya dengan senyum menawan dan suara serak.Wanita itu yang tak lain Lucy menatap Ken layaknya anak anjing, "aku sulit menahannya. Dan kau tahu itu kan? Tidak ada yang sehebat dirimu. Ditambah lagi... Menunggu remaja tampan itu terlalu lama.""Bukannya kau masih takut padanya karena insiden serangan preman saat itu?""Ah tidak kok. Aku hanya takut pada sisi iblisnya. Dia... Benar-benar mengerikan!""Hm, dia bahkan tidak menyukaimu. Jadi hati-hatilah."CupKen
"Kemari, Erry, Deanna," ujar Ken saat mereka bertiga sampai di sebuah villa sederhana bercat putih tulang.Mata Deanna tak henti-hentinya menatap interior villa tersebut. Berbeda dengan Erry yang fokus mengikuti langkah Kenio, tak memedulikan sekitarnya. Termasuk para pelayan Ken yang kini berjejer rapi menyambut ketiganya.Ken terus membimbing Erry dan Deanna hingga sampai di lantai dua. Ia berhenti di depan pintu biasa bercat coklat.'Pintunya terlalu sederhana,' pikir Erry.Ken mengambil kunci di saku jasnya. Membukanya dan membentangkan pintu tersebut."Sebuah gudang?" Tanya Erry."Ya, sebuah gudang biasa."Ken merentangkan kedua tangannya, mempersilahkan kedua tamunya masuk ke ruangan gelap yang terasa dingin itu.Erry berjalan terlebih dahulu, melihat-lihat. Deanna hanya membungkuk sopan, tak berani mendahului sang tuan rumah. Ken mengedikan bahunya, mengerti.Baru saja Ken ingin mengatakan sesuatu, Erry menggeser sebuah lukisan klasik yang tergantung di pojok kiri. Ia mengernyi
Cengkeraman tangan Arion di surai Seon semakin kencang saja saat semua perasaan aneh yang menyerang hatinya. Perasaan takut, sedih, pasrah, dendam, benci. Semua perasaan itu seolah ingin menenggelamkan jiwanya ke palung neraka."Ayah ..., Ibu ...."Nafas Arion tercekat, setelah perjalanan yang cukup lama akhirnya ia bisa melihat suatu gerbang besar dan tinggi di depan sana. Gerbang itu amat kokoh meski hampir semua bagiannya telah retak dan hancur.Tanpa sadar air mata mengalir di kedua pipinya. Gerbang itu memancarkan aura gelap yang nyata. Membuat siapapun yang ada di dekatnya akan terperosok ke dalam jurang kebencian jika tidak memiliki tekad yang kuat.Seon yang merasakan perasaan sedih sekaligus takut dari tuannya hanya ikut menatap sedih ke depan sana. Namun dia tidak tahu harus melakukan apa. Ia mengerti apa yang dirasakan Arion. Dengan tekad kuat, tubuh besar dan panjangnya meliuk jauh lebih cepat dari sebelumnya. Tinggal beberapa meter lagi mereka akan sampai di depan gerbang
Dingin, memprihatinkan dan horor, tiga kata yang paling tepat untuk menggambarkan situasi Klan Demonia saat ini.Tak ada satupun tanaman yang hidup dikarenakan kondisi tanah yang amat kering dan gersang, hanya pohon-pohon yang telah mati puluhan tahun lalu, begitupun udaranya yang begitu panas mencekam. Hampir seluruh wilayah Demonia telah ditutupi oleh asap dan kabut hitam.Langit dan awannya berwarna ungu gelap, sedangkan tanah beserta gunung-gunungnya berwarna hitam dan merah, berasal dari lahar yang amat panas. Sudah dipastikan tak ada satupun makhluk yang dapat hidup di wilayah ini. Ditambah lagi atmosfer nya yang terlalu suram dan dingin.Arion, entah sosok itu memang dirinya atau bukan, yang jelas dia memiliki aura dominasi yang sangat kuat. Bahkan jauh diatas Devian. Ia menatap tajam sekelilingnya, begitu banyak sepasang mata merah yang menatapnya, menyala dalam kegelapan. Semua mata itu serentak terpejam, menghormatinya. Beberapa dari mereka nampak sangat ketakutan."Tak akan
Waktu keberangkatan tiba.Arion atau Devron berjalan menuju mobil berlambangkan mawar api bersama Kenio. Dibelakangnya ada Lucy yang berjalan masih sedikit tertatih dibantu oleh Deanna. Kedua lelaki dan kedua wanita tersebut memasuki mobil yang berbeda.Devron masih tetap diam dengan sikap tenangnya yang selalu awas terhadap situasi. Berbeda dengan Kenio yang selalu merasa kurang nyaman sejak Devron sadar dua jam yang lalu.Tepat ketika sang raja hari kembali ke peraduannya, mereka sampai di Hutan Hexfle, kawasan hutan paling terlarang di seluruh Valeoryea.Semua pengawal Kenio hanya mengantar sampai di luar saja. Hanya Devron, Kenio, Deanna, dan Lucy yang masuk kesana.Kondisi hutan yang begitu dingin, rimbun dan gelap membuat Deanna dan Lucy meneguk ludah berkali-kali. Ditambah lagi suara-suara hewan dan serangga malam turut menemani langkah mereka. Sesekali terdengar auman maupun lolongan hewan malam dari kejauhan.Angin berhembus kencang, menebarkan hawa dingin yang mencekam dan m
Devron berjalan tegak menelusuri setiap lorong di Mansion milik Kenio. Langkahnya tenang namun tegas dan tangkas di saat yang sama. Ia mengangkat sedikit dagunya, memberikan kesan percaya diri dan sedikit arogan pada wajah rupawannya itu.Beberapa kali ia berpapasan dengan beberapa ajudan ataupun pelayan. Semuanya memberikan respon yang sama. Menghormatinya. Namun kali ini berbeda. Entah kenapa mereka merasa aura yang dikeluarkan Devron amat kuat dan mendominasi hingga membuat mereka berkeringat dingin dan sangat tertekan.Mereka saling berbisik saat langkah mereka sudah cukup jauh. Devron bisa mendengarnya. Namun remaja lelaki itu cuek saja, tidak peduli.Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu hitam yang berukuran cukup besar. Ada seorang ajudan yang menjaga di depan sana. Ia menghampirinya. Ajudan itu membungkuk hormat."Selamat sore, Tuan Muda.""Ya, selamat sore kembali!" jawab Devron riang. "Bolehkah aku masuk ke dalam? Aku ingin melihat keadaan Tante Lucy.""Tentu Tuan Muda.
Keadaan Arion_Devron yang ternyata baik-baik saja membuat Kenio dan semua pegawai di kediamannya menghembuskan nafas lega. Sungguh mereka khawatir sekali saat mendengar tuan muda mereka pingsan. Masih sangat baru Devron berada di Kediaman Kenio, dan tentu mereka tidak ingin kehilangan adik Kenio tersebut.Jam telah menunjukkan pukul 15.4 3., yang artinya perjalanan Arion atau Devron ke wilayah Demonia tinggal dua jam lagi, karena Kenio memamg berencana akan mengantarkan remaja lelaki itu di waktu matahari tenggelam.Devron tengah duduk sambil menyesap teh hangat di dekat jendela kamarnya. Memerhatikan setiap ajudan dan pelayan yang berjalan kesana kemari. Sore ini masalah kembali datang, seorang pelayan menemukan Lucy tergeletak di lantai kamarnya. Membuat perhatian Kenio seketika teralihkan meski hanya sebentar.Lagi-lagi, dokter tak menemukan sesuatu yang mencurigakan dari tubuh Lucy. Wanita itu hanya tampak kelelahan jika dilihat dari kulitnya yang sangat pucat.Devron kembali meli
"Aku sudah menghipnotis seorang pelayan dan menyuruh wanita itu kemari. Kita lihat, apa hal menyenangkan yang akan terjadi padanya. Hahahaha!!!"CKLEK.Pintu kamar dibuka oleh sang tuan. Membuat mereka yang belum sempat bersembunyi hanya bisa mematung, terkejut...."Ahhh tidak-tidak! Bagaimana ini, kita ketahuan! Whoahhhh!!!"Seon menatap Brook yang tengah berusaha berdiri, kelabang itu amat cemas, dipenuhi ketakutan. Terlihat sangat terkejut sekaligus frustasi—yang tentu saja dibuat-buat."Binatang gila," ucap Seon masih dengan ekspresi datarnya. Dimatanya, Brook nampak sangat konyol sekarang.Mendengar ucapan Seon kelabang itu berhenti, lalu mencebik, "seperti biasa, kau selalu kaku dan membosankan!""Sayangnya, meskipun membosankan wujudku sekarang adalah kucing menggemaskan," ledek Seon."Hey... Kau, kau!""Lihatlah," titah Seon pelan sembari menunjuk Lucy yang sedang memandang penuh takjub pada dirinya sendiri di cermin. Wanita itu berputar-putar sambil mengedipkan satu matanya
"Cukup, Amethyst."Batu yang melayang itu masih bercahaya terang, mengeluarkan pancaran energinya yang kuat. Membuat Devron membuka kedua matanya dan menatap tajam. Pendar amethyst dan emas masih belum menghilang. Mengartikan bahwa batu tersebut... Masih berada dibawah perintahnya."Amethyst, ku perintahkan kau untuk berhenti, sekarang juga!"Terdengar suara tawa lembut seorang wanita tanpa wujud di toko itu. Devron masih tampak tenang, lalu fokus, "keluarlah," bisiknya.Batu itu mengeluarkan cahaya lagi, cahaya yang membentuk tangkai bunga. Perlahan pucuk bunga itu terbuka, dan mekar lah bunga lily air yang indah. Bersamaan dengan itu, keluarlah sesosok wanita kecil yang muncul dari sana. Tawanya yang berderai masih terdengar di ruangan toko milik Abumérta itu. Wanita itu kini melayang-layang di udara dan mengitari Devron."Sesosok peri penjaga," ujar Devron.Wanita peri itu berhenti tepat di hadapan Devron meski masih melayang. Ia menundukkan kepala dan badannya. Tak lupa kedua tang
Ia yakin, jika ia bisa melumpuhkannya, energi dan kekuatan yang ia dapat akan termasuk luar biasa.Abumérta tak sabar menantikannya. ...Tetapi sepertinya... Apa yang telah diperkirakan nya justru malah bertolak belakang. Lebih jelasnya... Tidak sesuai harapannya.Pria berkacamata antik itu———Abumérta jelas saja sangat terkejut, otaknya dipenuhi tanda tanya besar mengapa hal ini bisa terjadi. Selama ini, para makhluk yang terlena oleh batu tersebut benar-benar hanya kehilangan akal dan berubah menjadi orang gila sesaat. Mengapa... Mengapa malah menjadi seperti ini???Ia mundur dua langkah, memutuskan untuk menengok ke belakang dan terkejut melihat cahaya amethyst transparan yang tiba-tiba saja mengelilingi tokonya. Ia menelan ludah, merasakan rasa bahagia yang tiba-tiba membuncah di dadanya, diikuti rasa menggelitik yang tiba-tiba saja menyerang tubuhnya. Membuatnya merinding.'Apa-apaan ini?'Ia mencoba berfikir positif, mungkin saja efeknya
"Batu itu selain bisa membuat seseorang terpana, ia juga bisa membuat seseorang terlena dan kehilangan kesadaran. Membuatmu berhalusinasi dan membayangkan hal-hal menyenangkan. Tenang saja Tuan Muda, kau mungkin hanya akan 'sedikit' kehilangan 'akal' sekarang," jelasnya masih dengan seringainya.Devron terdiam, tak lama ia tersenyum riang menatap lelaki berkacamata itu dengan pandangan yang terlihat bahagia.Membuat Devian di sana terkejut seketika, sulit memercayai hal mendadak ini. Ditambah lagi, Devron sepertinya tak bisa diajak bicara sekarang. ....Devron yang masih terpaku itu masih juga tak bergerak. Cahaya amethyst yang dikeluarkan batu itu tiba-tiba saja seolah menembakan cahaya putih setelah beberapa saat asyik memandanginya. Otaknya blank, hanya warna putih yang terpampang jelas di hadapannya. Dan ia sama sekali tak bisa berpikir!Perlahan dinding besar berwarna putih di hadapannya memudar, digantikan dengan sebuah gambaran kehidupan