Dingin, memprihatinkan dan horor, tiga kata yang paling tepat untuk menggambarkan situasi Klan Demonia saat ini.Tak ada satupun tanaman yang hidup dikarenakan kondisi tanah yang amat kering dan gersang, hanya pohon-pohon yang telah mati puluhan tahun lalu, begitupun udaranya yang begitu panas mencekam. Hampir seluruh wilayah Demonia telah ditutupi oleh asap dan kabut hitam.Langit dan awannya berwarna ungu gelap, sedangkan tanah beserta gunung-gunungnya berwarna hitam dan merah, berasal dari lahar yang amat panas. Sudah dipastikan tak ada satupun makhluk yang dapat hidup di wilayah ini. Ditambah lagi atmosfer nya yang terlalu suram dan dingin.Arion, entah sosok itu memang dirinya atau bukan, yang jelas dia memiliki aura dominasi yang sangat kuat. Bahkan jauh diatas Devian. Ia menatap tajam sekelilingnya, begitu banyak sepasang mata merah yang menatapnya, menyala dalam kegelapan. Semua mata itu serentak terpejam, menghormatinya. Beberapa dari mereka nampak sangat ketakutan."Tak akan
Cengkeraman tangan Arion di surai Seon semakin kencang saja saat semua perasaan aneh yang menyerang hatinya. Perasaan takut, sedih, pasrah, dendam, benci. Semua perasaan itu seolah ingin menenggelamkan jiwanya ke palung neraka."Ayah ..., Ibu ...."Nafas Arion tercekat, setelah perjalanan yang cukup lama akhirnya ia bisa melihat suatu gerbang besar dan tinggi di depan sana. Gerbang itu amat kokoh meski hampir semua bagiannya telah retak dan hancur.Tanpa sadar air mata mengalir di kedua pipinya. Gerbang itu memancarkan aura gelap yang nyata. Membuat siapapun yang ada di dekatnya akan terperosok ke dalam jurang kebencian jika tidak memiliki tekad yang kuat.Seon yang merasakan perasaan sedih sekaligus takut dari tuannya hanya ikut menatap sedih ke depan sana. Namun dia tidak tahu harus melakukan apa. Ia mengerti apa yang dirasakan Arion. Dengan tekad kuat, tubuh besar dan panjangnya meliuk jauh lebih cepat dari sebelumnya. Tinggal beberapa meter lagi mereka akan sampai di depan gerbang
Valeoryea series 1Prince Of Demonia Clan - The Birth Of King The Darkness 27 tahun yang lalu ***Semua makhluk di alam imortal geger. Mereka bagaikan orang idiot saat alam itu bergerak, bergoyang. Ya, kehidupan yang awalnya bahagia penuh harap kini seakan berantakan. Alam bawah sadar membawa dan memaksa mereka masuk ke suatu memori yang nyaris terlupakan berpuluh-puluh tahun yang lalu. Seorang bayi laki-laki. Kelahiran bayi tersebut yang membuat alam itu berguncang keras. Hingga mampu menghancurkan sebagian bangunan semua kastil kerajaan meski sudah dilindungi oleh sihir perisai. Kecuali satu kastil. Kastil Fhrax. Kerajaan bangsa demonia. Satu-satunya bangunan yang tetap berdiri tegak meski sekitarnya nyaris tak ada yang tersisa. Ya, bayi itu adalah pangeran pertama bangsa demonia. Otomatis dia telah memegang gelar sang putra mahkota atau calon kursi tahta Fhrax. Tangisannya terdengar hingga ke seluruh penjuru alam imortal. Langit malam yang saat itu nampak indah seketika tertutu
Valeoryea Series 1 Prince of The Darkness***8 bulan setelah kelahiran bayi tersebut. Kobaran api kian membesar beriringan dengan gesekan pedang yang saling beradu. Teriakan penuh kesakitan dengan suara patahan tulang belulang yang mengiris hati. Darah-darah yang telah menyatu dengan tanah itu menimbulkan suara cipakan yang khas yang membuat suasana kian mengerikan. Tak terhitung berapa banyak prajurit dan rakyat yang telah gugur dengan anggota tubuh yang sudah terlepas entah kemana.Kacau sekali.Malam ini, malam dimana Klan Demonia ada untuk terakhir kalinya. Bangsa demon, bangsa berdarah dingin yang sialnya terkuat itu kedepannya mungkin hanya tinggal sejarah. Atau bahkan, dongeng belaka? Kastil Fhrax yang telah ambruk, rumah-rumah rakyat Demonia, semuanya. Tinggal menunggu waktu kapan akhirnya akan menyatu dengan tanah. Di antara reruntuhan bangunan kastil yang telah hancur itu, seorang wanita tengah menangis, berteriak pilu. Ia terus memeluk bayi mungilnya. Ekor matanya tak sa
"Bibi, aku pulang!!!"Suasana senja di rumah kecil berbahan kayu itu nampak sepi. Membuat remaja laki-laki yang berteriak tersebut mengernyitkan keningnya. Aneh, biasanya sore hari bibi selalu ada di rumah, pikirnya.Ia melangkah ke pintu. Cklek, tak dikunci. Ia segera masuk ke dalam sembari menggendong karung besar di bahu kanannya. Entah apa isi karung tersebut, terlihat remaja itu tak merasa berat sama sekali.Melihat ke jam dinding, pukul 15. 26. Kemana bibinya itu? Ada rasa khawatir, namun berusaha ia tekan. Mungkin ada hal penting, yakinnya. Ia memutuskan pergi ke kamar setelah meletakkan karung bawaannya di dapur. Mengambil handuk, lantas ke kamar mandi membersihkan dirinya....Cowok itu tak henti-hentinya mondar mandir melihat ke jendela. Memastikan seseorang yang sedari sore ditunggunya. Pukul 20.13, ia menggigit bibirnya, rasa gelisah itu semakin menjadi. Menatap makanan yang telah terhidang di meja, setelah m
Ruangan luas berdominasi warna hitam dan merah api itu tampak sangat tenang. Di kursi kerja yang berada di ruang tengah itu diduduki oleh seorang pria berkisar awal kepala tiga. Di kirinya seorang wanita bergelayut manja di bahunya, menatap penuh goda. Sedang wanita disisi kanannya tengah menuangkan anggur untuk sang pria, sembari mendelik tak suka kepada temannya. Ia tersenyum, menyentuh pundak, memberikan anggur yang telah dituangkannya."Silahkan tuan." Ucapnya, penuh hormat. Pria bersurai hitam pekat dengan kulit putih pucat tersebut menerimanya. Iris sehitam jelaganya melirik sebentar, tersenyum, "terimakasih manis." Balasnya membuat wanita di sisi kanannya tersipu malu lalu ikut menggelayutkan kedua tangannya di lengan kekar sang pria.Kedua wanita tersebut mencoba memijit tubuhnya. Membuatnya mendesah pelan, terpejam, menikmati pijatan yang sedikit membuatnya tenang."Tuangkan satu lagi." Pintanya. Membuat salah s
Tangan yang menari dengan tangkas. Untai demi untaian kata yang terjejer rapi namun terkesan unik. Tulisan yang membuat siapapun yang membacanya akan terasa enak dibaca. Mata abu gelapnya menyorot tajam bergantian antara papan tulis dan buku catatannya. Ia terlihat fokus, tak tergoyahkan. Membuat pesonanya kian kuat dengan kesan dingin yang jelas. Beberapa siswi sedari tadi berbisik, mencuri pandang ke arahnya. Ada yang terang-terangan menatapnya, tersenyum. Erry tahu itu. Tetapi ia berusaha tak peduli. Ia cukup membayangkan mereka adalah sekawanan kambing, tak lebih. Siswi-siswi itu mencebikan bibirnya, kecewa."Yah, dia memang tampan, sangat! Tapi dia terlalu misterius.""Apakah dia anak konglomerat?""Hahaha, aku tidak tahu. Aku pernah dengar bahwa dia hanyalah anak miskin yang tinggal dipinggir hutan.""Ck, yang benar saja? Yah kalau dilihat dari pakaiannya yang lusuh sih... Tidak aneh."&
Pukul 15.15 p.m. cewek berambut brunette ikal yang sedari tadi diikuti oleh Erry kini keluar dari ruang ganti. Pergi ke toilet untuk merias wajahnya. Cewek itu bernama Adele, salah satu anggota PMR di Hillary High School.Saat ia keluar dari toilet, Erry tiba-tiba membekapnya dan menyeretnya ke suatu pojok dinding dekat tikungan. Lalu mendorong Adele ke tembok. Menghimpit dengan tubuh tinggi atletisnya. Membuat cewek itu yang siap memaki kini terdiam dengan napas yang sesak. Terutama saat ia beradu tatap dengan mata abu pekat milik Erry yang tampak sangat misterius dan dalam."H, hai... E, Erry?"Erry diam. Sorot tajam dan tatapan dingin itu belum berubah. "Katakan, siapa yang membeberkan hal itu?""Eh???""Aku yakin sekali kau belum pikun dan otak itu masih berfungsi dengan baik. Jadi, siapa?"Adele terdiam, mengingat apa yang ia bicarakan dengan beberapa teman sekelasnya saat di kelas tadi. Ia kembali menatap Erry. Menyentuh kedua pundak c
Cengkeraman tangan Arion di surai Seon semakin kencang saja saat semua perasaan aneh yang menyerang hatinya. Perasaan takut, sedih, pasrah, dendam, benci. Semua perasaan itu seolah ingin menenggelamkan jiwanya ke palung neraka."Ayah ..., Ibu ...."Nafas Arion tercekat, setelah perjalanan yang cukup lama akhirnya ia bisa melihat suatu gerbang besar dan tinggi di depan sana. Gerbang itu amat kokoh meski hampir semua bagiannya telah retak dan hancur.Tanpa sadar air mata mengalir di kedua pipinya. Gerbang itu memancarkan aura gelap yang nyata. Membuat siapapun yang ada di dekatnya akan terperosok ke dalam jurang kebencian jika tidak memiliki tekad yang kuat.Seon yang merasakan perasaan sedih sekaligus takut dari tuannya hanya ikut menatap sedih ke depan sana. Namun dia tidak tahu harus melakukan apa. Ia mengerti apa yang dirasakan Arion. Dengan tekad kuat, tubuh besar dan panjangnya meliuk jauh lebih cepat dari sebelumnya. Tinggal beberapa meter lagi mereka akan sampai di depan gerbang
Dingin, memprihatinkan dan horor, tiga kata yang paling tepat untuk menggambarkan situasi Klan Demonia saat ini.Tak ada satupun tanaman yang hidup dikarenakan kondisi tanah yang amat kering dan gersang, hanya pohon-pohon yang telah mati puluhan tahun lalu, begitupun udaranya yang begitu panas mencekam. Hampir seluruh wilayah Demonia telah ditutupi oleh asap dan kabut hitam.Langit dan awannya berwarna ungu gelap, sedangkan tanah beserta gunung-gunungnya berwarna hitam dan merah, berasal dari lahar yang amat panas. Sudah dipastikan tak ada satupun makhluk yang dapat hidup di wilayah ini. Ditambah lagi atmosfer nya yang terlalu suram dan dingin.Arion, entah sosok itu memang dirinya atau bukan, yang jelas dia memiliki aura dominasi yang sangat kuat. Bahkan jauh diatas Devian. Ia menatap tajam sekelilingnya, begitu banyak sepasang mata merah yang menatapnya, menyala dalam kegelapan. Semua mata itu serentak terpejam, menghormatinya. Beberapa dari mereka nampak sangat ketakutan."Tak akan
Waktu keberangkatan tiba.Arion atau Devron berjalan menuju mobil berlambangkan mawar api bersama Kenio. Dibelakangnya ada Lucy yang berjalan masih sedikit tertatih dibantu oleh Deanna. Kedua lelaki dan kedua wanita tersebut memasuki mobil yang berbeda.Devron masih tetap diam dengan sikap tenangnya yang selalu awas terhadap situasi. Berbeda dengan Kenio yang selalu merasa kurang nyaman sejak Devron sadar dua jam yang lalu.Tepat ketika sang raja hari kembali ke peraduannya, mereka sampai di Hutan Hexfle, kawasan hutan paling terlarang di seluruh Valeoryea.Semua pengawal Kenio hanya mengantar sampai di luar saja. Hanya Devron, Kenio, Deanna, dan Lucy yang masuk kesana.Kondisi hutan yang begitu dingin, rimbun dan gelap membuat Deanna dan Lucy meneguk ludah berkali-kali. Ditambah lagi suara-suara hewan dan serangga malam turut menemani langkah mereka. Sesekali terdengar auman maupun lolongan hewan malam dari kejauhan.Angin berhembus kencang, menebarkan hawa dingin yang mencekam dan m
Devron berjalan tegak menelusuri setiap lorong di Mansion milik Kenio. Langkahnya tenang namun tegas dan tangkas di saat yang sama. Ia mengangkat sedikit dagunya, memberikan kesan percaya diri dan sedikit arogan pada wajah rupawannya itu.Beberapa kali ia berpapasan dengan beberapa ajudan ataupun pelayan. Semuanya memberikan respon yang sama. Menghormatinya. Namun kali ini berbeda. Entah kenapa mereka merasa aura yang dikeluarkan Devron amat kuat dan mendominasi hingga membuat mereka berkeringat dingin dan sangat tertekan.Mereka saling berbisik saat langkah mereka sudah cukup jauh. Devron bisa mendengarnya. Namun remaja lelaki itu cuek saja, tidak peduli.Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu hitam yang berukuran cukup besar. Ada seorang ajudan yang menjaga di depan sana. Ia menghampirinya. Ajudan itu membungkuk hormat."Selamat sore, Tuan Muda.""Ya, selamat sore kembali!" jawab Devron riang. "Bolehkah aku masuk ke dalam? Aku ingin melihat keadaan Tante Lucy.""Tentu Tuan Muda.
Keadaan Arion_Devron yang ternyata baik-baik saja membuat Kenio dan semua pegawai di kediamannya menghembuskan nafas lega. Sungguh mereka khawatir sekali saat mendengar tuan muda mereka pingsan. Masih sangat baru Devron berada di Kediaman Kenio, dan tentu mereka tidak ingin kehilangan adik Kenio tersebut.Jam telah menunjukkan pukul 15.4 3., yang artinya perjalanan Arion atau Devron ke wilayah Demonia tinggal dua jam lagi, karena Kenio memamg berencana akan mengantarkan remaja lelaki itu di waktu matahari tenggelam.Devron tengah duduk sambil menyesap teh hangat di dekat jendela kamarnya. Memerhatikan setiap ajudan dan pelayan yang berjalan kesana kemari. Sore ini masalah kembali datang, seorang pelayan menemukan Lucy tergeletak di lantai kamarnya. Membuat perhatian Kenio seketika teralihkan meski hanya sebentar.Lagi-lagi, dokter tak menemukan sesuatu yang mencurigakan dari tubuh Lucy. Wanita itu hanya tampak kelelahan jika dilihat dari kulitnya yang sangat pucat.Devron kembali meli
"Aku sudah menghipnotis seorang pelayan dan menyuruh wanita itu kemari. Kita lihat, apa hal menyenangkan yang akan terjadi padanya. Hahahaha!!!"CKLEK.Pintu kamar dibuka oleh sang tuan. Membuat mereka yang belum sempat bersembunyi hanya bisa mematung, terkejut...."Ahhh tidak-tidak! Bagaimana ini, kita ketahuan! Whoahhhh!!!"Seon menatap Brook yang tengah berusaha berdiri, kelabang itu amat cemas, dipenuhi ketakutan. Terlihat sangat terkejut sekaligus frustasi—yang tentu saja dibuat-buat."Binatang gila," ucap Seon masih dengan ekspresi datarnya. Dimatanya, Brook nampak sangat konyol sekarang.Mendengar ucapan Seon kelabang itu berhenti, lalu mencebik, "seperti biasa, kau selalu kaku dan membosankan!""Sayangnya, meskipun membosankan wujudku sekarang adalah kucing menggemaskan," ledek Seon."Hey... Kau, kau!""Lihatlah," titah Seon pelan sembari menunjuk Lucy yang sedang memandang penuh takjub pada dirinya sendiri di cermin. Wanita itu berputar-putar sambil mengedipkan satu matanya
"Cukup, Amethyst."Batu yang melayang itu masih bercahaya terang, mengeluarkan pancaran energinya yang kuat. Membuat Devron membuka kedua matanya dan menatap tajam. Pendar amethyst dan emas masih belum menghilang. Mengartikan bahwa batu tersebut... Masih berada dibawah perintahnya."Amethyst, ku perintahkan kau untuk berhenti, sekarang juga!"Terdengar suara tawa lembut seorang wanita tanpa wujud di toko itu. Devron masih tampak tenang, lalu fokus, "keluarlah," bisiknya.Batu itu mengeluarkan cahaya lagi, cahaya yang membentuk tangkai bunga. Perlahan pucuk bunga itu terbuka, dan mekar lah bunga lily air yang indah. Bersamaan dengan itu, keluarlah sesosok wanita kecil yang muncul dari sana. Tawanya yang berderai masih terdengar di ruangan toko milik Abumérta itu. Wanita itu kini melayang-layang di udara dan mengitari Devron."Sesosok peri penjaga," ujar Devron.Wanita peri itu berhenti tepat di hadapan Devron meski masih melayang. Ia menundukkan kepala dan badannya. Tak lupa kedua tang
Ia yakin, jika ia bisa melumpuhkannya, energi dan kekuatan yang ia dapat akan termasuk luar biasa.Abumérta tak sabar menantikannya. ...Tetapi sepertinya... Apa yang telah diperkirakan nya justru malah bertolak belakang. Lebih jelasnya... Tidak sesuai harapannya.Pria berkacamata antik itu———Abumérta jelas saja sangat terkejut, otaknya dipenuhi tanda tanya besar mengapa hal ini bisa terjadi. Selama ini, para makhluk yang terlena oleh batu tersebut benar-benar hanya kehilangan akal dan berubah menjadi orang gila sesaat. Mengapa... Mengapa malah menjadi seperti ini???Ia mundur dua langkah, memutuskan untuk menengok ke belakang dan terkejut melihat cahaya amethyst transparan yang tiba-tiba saja mengelilingi tokonya. Ia menelan ludah, merasakan rasa bahagia yang tiba-tiba membuncah di dadanya, diikuti rasa menggelitik yang tiba-tiba saja menyerang tubuhnya. Membuatnya merinding.'Apa-apaan ini?'Ia mencoba berfikir positif, mungkin saja efeknya
"Batu itu selain bisa membuat seseorang terpana, ia juga bisa membuat seseorang terlena dan kehilangan kesadaran. Membuatmu berhalusinasi dan membayangkan hal-hal menyenangkan. Tenang saja Tuan Muda, kau mungkin hanya akan 'sedikit' kehilangan 'akal' sekarang," jelasnya masih dengan seringainya.Devron terdiam, tak lama ia tersenyum riang menatap lelaki berkacamata itu dengan pandangan yang terlihat bahagia.Membuat Devian di sana terkejut seketika, sulit memercayai hal mendadak ini. Ditambah lagi, Devron sepertinya tak bisa diajak bicara sekarang. ....Devron yang masih terpaku itu masih juga tak bergerak. Cahaya amethyst yang dikeluarkan batu itu tiba-tiba saja seolah menembakan cahaya putih setelah beberapa saat asyik memandanginya. Otaknya blank, hanya warna putih yang terpampang jelas di hadapannya. Dan ia sama sekali tak bisa berpikir!Perlahan dinding besar berwarna putih di hadapannya memudar, digantikan dengan sebuah gambaran kehidupan