Herfiza menutup sambungan telepon sepihak, dia tampak terburu-buru. Wanita itu juga lekas membereskan barangnya meskipun makanan yang mereka pesan belum selesai disantap."Jule, bereskan barang mu! Kita akan pergi sekarang!" perintah Herfiza dengan tegas. Dia juga segera bangkit dari duduknya. Julea memandangnya bingung, tapi dia juga tidak mau membantah. Gadis itu segera membereskan barangnya sembari mengangguk paham. Tidak perlu membutuhkan waktu yang lama akhirnya keduanya sudah keluar dari tempat tersebut setelah sebelumnya Herfiza menyelesaikan pembayaran. Julea membawa mobil yang membawa keduanya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Herfiza terus saja cemas dan terus menerus ingin cepat sampai. Karena itu lah Julea terus memacu kecepatan lebih tinggi. Waktu setengah jam terasa sangat lambat, hingga akhirnya mereka telah sampai di sebuah rumah sakit yang terdekat dari tempat awal mereka. "Mam, siapa yang sakit sebenarnya?" Tanya Julea begitu mereka sampai di rumah sakit dan te
Julea masih diam, mendengarkan ucapan yang keluar dari mulut Andrew. Setelah pria itu selesai, Julea mendorong tubuhnya agar menjauh dari dirinya. "Lepas!" Julea menatap sinis ke arah Andrew. Entah kenapa tapi ucapan Andrew barusan tidak mampu meluluhkan hati Julea, dia malah merasa mual sendiri mendengarnya. Andrew terkejut, tapi pria itu masih saja tenang. "Kau tahu Andrew, perempuan itu dimiliki atas dua hal. Pertama karena cinta dan yang kedua karena nafsu," ucap Julea tiba-tiba. Dia juga sudah berdiri serta memberikan tatapan permusuhan pada pria yang berstatus suaminya. Andrew masih saja diam, membiarkan Julea menyelesaikan kalimatnya. Dia juga tidak berniat untuk menyela. "Sedangkan hal yang tadi kau lakukan padaku itu sepenuhnya adalah nafsu, jadi aku tidak mau menjadi perempuan yang dimiliki atas dadar nafsu belaka!" Julea menunjuk wajah Andrew dengan jari telunjuknya, gadis itu cukup sensitif hari ini. Kemudian dia memilih untuk pergi meninggalkan Andrew sendiri di lor
Julea kembali dengan wajah yang tegang, selain karena keadaan keluarga Nugraha yang sedang tak baik-baik saja. Fakta bahwa kakek Deska mengetahui semua rahasianya menjadikan dirinya tertekan. "Jule, kau baik-baik saja?" tanya Andrew begitu Julea masuk ke kamar rawat inap Andreas. Di sana masih ada Herfiza yang duduk di sofa sedangkan Andrew ada di kursi. Julea sempat menoleh pada Herfiza, wanita itu tampak menunggu jawabnya juga. Karena tak mau membuat Herfiza cemas dan curiga, maka Julea mengangguk. Dia mengabaikan rasa kesalnya pada Andrew. "Hmm iya," jawab Julea. Kemudian dia mendekat pada Herfiza dan memberikan minuman yang sudah dia pesan tadi. Herfiza menegang tangan Julea, sorot matanya tampak terkejut mendapati suhu tubuh Julea cukup dingin ditambah dengan keringat di telapak tangannya. "Jule kau sungguh baik-baik saja? tanganmu dingin sekali," tanya Herfiza penuh perhatian. "Aku baik-baik saja, mama tak perlu khawatir." Julea berusaha tersenyum. Dia memang cukup sehat h
Julea terkejut, dia membelalakkan matanya. Begitu juga dengan Herfiza dan Andrew yang mendengarnya. Mereka terkejut dengan keberanian Andreas untuk mengatakan hal seperti itu pada kakak iparnya sendiri. "Ka-kau mau mengkhawatirkan aku?" Julea mengulangi lagi perkataan Andreas, sekedar untuk memastikan bahwa telinganya masih berfungsi dengan benar. Belum sempat Andreas menjawabnya, Andrew sudah tampak kegerahan karena perkataan sang adik. "Andreas memang sangat perhatian Jule, dia akan lebih memikirkan orang lain dari pada dirinya sendiri." Andrew merangkul pundak Julea. Julea yang mendapatkan 'serangan' tiba-tiba seperti itu hanya tersenyum canggung menanggapinya. Dia juga tidak mengusir tangan Andrew yang sembarangan mendarat di pundaknya, dia hanya diam. "Sudahlah Andreas kau fokus saja pada kesehatan mu saja, kakak iparmu ini akan baik-baik saja. lagi pula kan ada kakakmu, Andrew." Herfiza yang seperti paham dengan situasi yang terjadi mulai ambil alih. "Hmm iya mam," jawab A
Julea dan Andrew akhirnya pulang ke Jakarta dnegan cepat, bahkan keduanya tak sempat berpamitan dnegan Herfiza dan keluarga yang lain. Andrew hanya menyampaikan pesan bahwa keduanya telah kembali, itu pun dia kirimkan saat diperjalanan pulang. Julea tak tahu banyak apa yang hendak dikerjakan oleh Andrew. Tapi dia menerka ini berkaitan dengan urusan kantor ataupun masalah yang terjadi belakangan ini. "Kau masuklah ke rumah lebih dulu, aku akan pulang malam jadi jangan menunggu ku!" Andrew berpesan dengan tegas saat Julea hendak turun dari mobil. "Ka-kau tak mau istirahat dulu?" tanya Julea yang tak percaya Andrew akan bekerja secepat itu. Andrew mengangguk membenarkan, dia juga tersenyum tipis. Hal itu dia lakukan sekadar untuk menenangkan hati Julea. "Iya, aku harus cepat-cepat menyelesaikan semuanya." "Ah baiklah," jawab Julea kemudian turun lebih dulu. Ketika hendak berjalan lebih jauh, Andrew kembali memanggil Julea bahkan dia memintanya untuk mendekat."Ada apa lagi?" tanya
Dengan cepat Julea memilih untuk menghubungi Marsha, saat ini dia perlu membicarakan hal yang penting ini dengannya. Tut Tut Tut!Panggilan itu belum juga terhubung, hingga membuat Julea kesal. "Ck! kemana anak itu?"Di saat yang bersamaan, ada suara ketukan pintu di pintu utama rumah Julea dan Andrew. Refleks Julea hendak berjalan ke sana untuk membukakan pintu, tapi dia urungkan begitu mengingat pesan Andrew untuknya tadi. "Hampir saja aku lupa, Andrew tak membolehkan aku membukakan pintu pada siapapun." Julea hanya mendekat pada pintu, dia melihat melalui lubang kunci. Tampak di luar ada seorang pria yang memakai Hoodie hitam lengkap dengan masker dan topi yang berwarna senada. Tak tampak siapa dia, karena Julea tak mampu melihat wajahnya dengan jelas. Yang dapat Julea lihat hanya sorot matanya yang tajam, juga dengan luka yang melintang dari pipi kiri hingga ke hidungnya. "Astaga!" Julea terkejut bukan main, dia kemudian menutut mulutnya dengan cepat menggunakan kedua telapak
Andrew terus berusaha menyudutkan Andreas, tanpa dia tahu kalau di rumahnya. Sang istri tengah berada dalam bahaya. "Kenapa juga aku harus mengatakannya padamu? bukankah itu tidak penting?" Andreas malah menyeringai. Kini Andrew sadar kalau yang dia hadapi bukanlah sang adik, dia adalah sosok iblisnya. Jeovan, alter ego yang sering kali mengambil alih sang adik. "Jeovan," lirih Andrew. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. "Kenapa kau mengatakan ini tidak penting? akan sangat menarik jika aku tahu apa yang kau rencanakan, maka dengan begitu aku akan mengalahkan mu dengan mudah!" Andrew berusaha terus memancing emosi pria didepannya ini. Andrew ingin tahu seberapa kuat alter ego yang ada di tubuh Andreas. Dia ingin memastikan kalau lawannya adakah orang yang punya kemampuan setara. Jika di tempat ini Andrew harus baku hantam dengannya, maka Andrew harus memastikan dulu kemampuannya. Jika memang Jeovan cukup kuat maka Andrew tak akan segan-segan meng
"Cih! Itu tidak akan pernah terjadi!" Andrew meludah ke samping, dia memegangi luka yang ada di lengan atasnya, lebih tepatnya ada di pundaknya. Darah segar itu terus saja mengalir tanpa henti. Jeovan hanya menatapnya remeh, tak ada kemarahan di sana. Tapi dapat dipastikan kalau kebencian teramat kental di dalam pikiran dan hati pria itu. "Oh benarkah? Mari kita lihat," jawab Jeovan dengan seringainya. Sedetik kemudian dia kembali menyerang Andrew, pria itu mengarah pada titik kelemahan lawan. Yaitu dagu, pelipis dan juga jakunnya. Jeovan terus mengincar paha Andrew, bermaksud agar membuat pergerakan pria itu menjadi terbatas. Namun beruntung, Andrew bisa menghindar. Dia balik menyerang, tendangan keras darinya tepat mengenai perut Jeovan. "Uhk!" Jeovan terhuyung-huyung kebelakang, dia tengah lengah. Dengan secepat kilat, Andrew berusaha mengambil alih pisau yang dibawanya. Jreb!Satu tusukan yang cukup dalam mengenai lambung. "Je-jeovan," lirih Andrew sembari membelalakkan m
Lagi-lagi dia menatap tak percaya. Dengan tatapannya yang bergerak-gerak gelisah dan bibir yang mengatup rapat menahan tangis. Dipandanginya lagi wajah itu dengan seksama. Tak ada lagi senyum manis atau seringainya yang dulu dia benci, muram dan tak lagi bercahaya seperti biasanya. Sungguh! Biar pun kali ini dia harus melihat hal-hal yang tidak dia sukai dari sosok didepannya. Akan dia terima dengan senang hati, asalkan sosok itu kembali. Lama bertarung pada pikirannya sendiri, dia sentuh wajah itu dengan tangan yang gemetaran. Berulang kali tak sempat jarinya menyentuh kulit yang telah memucat itu. Dia tak sanggup! Atau bahkan masih tak percaya. Dia tak percaya pada suratan takdir, tapi inilah kenyataannya. Dengan perasaan terguncang, dia coba lagi memegang wajah manis yang pernah memerintahkannya pergi. Dan kali ini tangisnya benar-benar pecah. Tangisnya meraung-raung disamping tubuh yang telah terbujur kaku itu. Dia peluk erat-erat tubuh itu, dia usap lagi pundak kecil yang
Julea masih tetap merengek, dia menampilkan ekspresi paling memelas untuk menyakinkan Andrew. "Ayolah Andrew aku mohon, sebentar saja." Julea berkata lirih, dia masih berusaha membujuk Andrew. Sedangkan Andrew hanya melihat datar ke arah Julea, entah kenapa hari ini Julea sangat menguji kesabarannya. padahal sebelumnya perempuan itu tak akan melawan jika Andrew berkata tidak. "Jule, kau bisa ke taman dan melihat bintang kapan saja. Karena masih ada banyak waktu lain, untuk malam ini kau tidur saja ya. Besok kau haris operasi," ucap Andrew berusaha memberikan pengertian. Tapi Julea adalah Julea, dia tidak akan berhenti begitu saja hanya karena ucapan Andrew. Perempuan itu malah mendecik sebal, dia menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Andrew yang melihat itu hanya bisa menghela nafas kasar, menghadapi Julea yang tengah marah memang membutuhkan kesabaran yang lebih. "Julea, ku mohon dengarkan aku ya... ini semua juga demi kebaikan mu," Ucapnya lagi. kali ini dengan mengusap l
Herfiza mengusap punggung putranya dengan lembut, dia merangkulnya penuh kasih sayang dan kehangatan. "Nak, apa yang terjadi di dunia ini tidak bisa selalu sama seperti apa yang kita inginkan. Tuhan selalu punya rencana yang indah dibalik ujian ini, yakinlah." Herfiza mengatakannya dengan tenang, meskipun dia masih khawatir dan kalut akan kesehatan Julea. Andrew menoleh, dia mengerutkan keningnya. "Tapi apa ini ujian yang baik untuk ku? Aku terlalu banyak menimbulkan masalah di hidup Julea sehingga berimbas pada kesehatannya. ini bukan sekedar takdir Tuhan mam, ini salahku." Herfiza menarik diri, dia menggenggam tangan Andrew erat-erat. "Sekali lagi berhenti menyalahkan dirimu sendiri, jika pun kau merasa bersalah seharusnya tidak seperti ini caranya!""Lalu apa yang bisa aku lakukan?" tanya Andrew dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Herfiza menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Bangkit, berikan kekuatan pada Julea agar dia bisa segera sembuh. K
Hampir satu jam lamanya Jukea berada di dalam UGD, sedangkan keluarganya sduah harap-harap cemas menunggu kabar baik dari dokter yang menanganinya. Andreas sendiri yang masih tercengang dengan fakta penyakit sang kakak ipar masih terdiam menenangkan diri. Sedangkan Andrew sudah hilir mudik di depan pintu UGD. "Apa tadi semuanya lancar Andreas?" Tanya Marsha dengan lirih, dia juga menepuk pundak Andreas perlahan. Pria itu menoleh, dia mengangguk samar. Mereka berbincang dengan nada yang rendah, tak ingin menganggu anggota keluarga yang lain. Marsha juga tidak mau dianggap tak tahu situasi dan kondisi di saat yang genting seperti ini malah membicarakan hal yang lain. "Semuanya berjalan lancar, Pricilla juga sudah diamankan polisi tadi. Semua orang tak ada yang menentang pembelaan dari kami, bahkan Tuan Gardian yang ayah Pricilla juga diam. Dia tertunduk malu atas sikap putrinya itu," jelas Andreas sembari menunduk. Marsha manggut-manggut paham, dia lega setidaknya usaha Julea untuk
Setelah melihat Pricilla yang digandeng polisi untuk diamankan, Julea merasakan sakit kepala yang luar biasa. sebenarnya dia telah merasa kepalanya berat sejak dua jam lalu, tapi dengan sekuat tenaga dua bertahan. "Aka, apa kau baik-baik saja?" tanya Andreas yang melihat Julea meringis menahan sakit. Julea menoleh dan menggeleng, dia hanya memegangi kepalanya dan mulai berjalan menjauh dari tempat pesta. "Tidak Andreas, aku baik-baik saja. Jadi ayo pulang," ajaknya. tak mau membuat Julea kesakitan, Andreas mulai berjalan cepat. Dia lekas mengeluarkan mobilnya dan membawa Julea pergi dari mansion mewah keluarga Pricilla. Ditengah jalan tiba-tiba Julea menyemburkan isi perutnya dengan tidak sengaja. 'Hoek!'Sontak itu membuat Andreas panik, apalagi saat melihat wajah Julea yang pucat. "kak kau kenapa, apa tadi kau sempat minum? apa kau mabuk kak?" cecarnya yang khawatir. "Engh! Tidak, aku tidak ingat." Julea menjawabnya lemas, dia sebenarnya tak minum alkohol. Tapi entah bagaiman
Mata semua orang terbelalak tak percaya, tak sedikit dari mereka bahkan menutup mulutnya dengan tangan. Apa yang disampaikan Andreas malam ini adalah kejutan yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Pengakuan Andreas itu juga membuat Pricilla kaget bukan main. Pasalnya, dia telah menggoda pria yang salah. "Pantas saja respon yang diberikannya berbeda, ternyata dia bukan Andrew." Pricilla membatin, dia tertunduk malu. Gardian memalingkan wajahnya, malu atas apa yang dilakukan sang putri. Lalu dengan cepat dia menarik tangan Pricilla dan mendorongnya hingga jatuh terjerembab di taman yang berumput. "Argh! Papa sakit," cicit Pricilla dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau memang pantas mendapatkannya Pricilla, bahkan seharusnya kau mendapatkan hukuman yang jauh lebih besar daripada ini! Aku malu telah menjadi ayahmu!" Gardian berkata marah, deru nafasnya memburu seiring dengan darahnya yang mendidih. Di saat yang bersamaan, ada sorotan proyektor yang menampilkan apa saja yang sudah dila
Temaram lampu taman menyinari tubuh Pricilla yang terpantul di air kolam renang yang jernih. Perempuan berambut panjang itu menoleh saat mendengar langkah kaki Andreas yang mendekat ke arahnya. Senyuman tipis terbit diwajahnya yang terpoles apik dengan make up bold. "Akhirnya kau datang juga Andrew," ucapnya senang. Andreas tak menanggapi, dia hanya tersenyum sekilas saat mendengar Pricilla menyebut nama sang kakak. Beruntung jika perempuan yang menjadi rivalnya malam ini tak mengenali dirinya. "Si jalang itu tertipu juga, sama seperti sang ayah!" Andreas membatin, dia merasa satu langkah lebih dekat menuju kemenangan. Pricilla melangkahkan kakinya mendekat saat Andreas memilih untuk berhenti. Dia lekas mengalungkan tangannya ke leher Andreas dengan tanpa malu. "Aku senang kau mau datang ke sini dan mengabaikan Julea," ucap Pricilla dan menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Andreas. Pria itu merasa jijik atas sikap agresif dari perempuan yang nyaris menjadi kakak iparnya. Tapi A
Andreas sempat menoleh pada Julea sebelum mereka turun dari mobil. Andreas cemas, karena mau bagaimana pun kalau dia gagal malam ini maka masalahnya akan bertambah besar. "Kak," cicitnya. Julea menoleh dan mengangguk serta mengepalkan tangannya, bermaksud memberinya kekuatan. "Kau pasti bisa Andreas, yakin lah!" Perintahnya. Lalu Andreas menghela nafas kasar beberapa kali, setelahnya dia turun dari mobil terlebih dahulu. Pintu mobil dibukakan oleh Andreas untuk membantu Julea, tangan kanannya juga dengan sigap terulur untuk memberikan kesan yang kuat kalau dia adalah Andrew. Di halaman mansion mewah milik keluarga Pricilla, ada banyak orang yang sudah datang dan menjadi tamu di sana. Hari ini adalah hari ulang tahun Pricilla, dan keluarga Nugraha memang mendapatkan undangan, khususnya Andrew. Pria itu memang diundang secara personal oleh Pricilla. Ah tidak-tidak! Lebih tepatnya Andrew diancam. Jika dia tidak datang malam ini, maka Pricilla akan melakukan hal yang lebih gila lagi
Andrew rupanya menemui sang adik, Andreas secara diam-diam. Tidak ada yang tahu kalau keduanya tengah bertemu sekarang. Keduanya kini berada di salah satu restoran Chinese yang cukup jauh dari pusat kota. "Jadi, apa yang kau rencanakan sebenarnya Andreas? Kali ini apa yang kau inginkan dariku?" Cecar Andrew dengan tatapan yang nyalang pada sang adik yang duduk di depannya. Terhalang oleh meja berbentuk persegi panjang, Andrew dan Andreas saling perang dingin dengan memberikan tatapan tajam ke arah masing-masing. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Andreas menghela nafasnya kasar, dia kemudian bersidekap dengan tenang. "Aku tidak menginginkan apapun, toh apa yang bisa kau berikan padaku?" Andreas malah memberikan jawaban yang terkesan meremehkan. Padahal sebenarnya tidak demikian. "Hah! Rupanya kau masih sama saja, sama-sama sombong seperti biasanya!" Andrew mendecik, dia menyeringai. "Sama seperti dengan mu juga, kita sama-sama sombong. Bedanya, aku menyadari dan mengakuinya seda