Di ruang tamu yang ada di dalam villa tersebut, sepasang suami istri yang tidak menginginkan pernikahan mereka itu tengah duduk bersama. Saling berhadapan dengan melemparkan tatapan tajam ke arah masing-masing.Brak!"Tidak bisa seperti itu!" Julea memekik, sembari menggebrak meja yang menjadi penghalang antara dirinya dan Andrew. Di atas meja itu, ada secarik kertas lengkap dengan map hijau dan sebuah pulpen. "Bisa! Apanya yang tidak bisa, poin satu dari perjanjian pra-nikah kita sudah kamu langgar sendiri!" Andrew membalasnya dengan tatapan sengit, dia menyilangkan kakinya dan duduk bersandar pada sofa putih yang menjadi tempat duduknya. Julea mendecik, dia membuang muka. Entah kenapa semakin hari dia malah makin tidak suka saja pada Andrew. Memang benar kalau Julea terpesona pada pria itu. Tapi untuk jatuh cinta, sepertinya dia akan menundanya. Lagi pula gadis mana yang tidak akan terpesona dengan tampilan visual Andrew yang MEMBAHANA?"Cih! Itu hanya kebetulan Andrew Nugraha!
Karena Andrew yang harus datang ke kantor dan menyelesaikan pekerjaan. Julea juga ikut masuk ke kantor meski tidak benar-benar bekerja, dia hanya mengambil beberapa dokumen penting yang sempat tertinggal di kubikelnya.Tepat pukul setengah empat sore, Julea memutuskan untuk kembali. Dia juga tidak memberitahu Andrew kalau dirinya ada di kantor hari ini. Julea malah berbohong pada Andrew saat pria itu bertanya dia akan di mana. "Aku akan pulang ke apartemen ku hari ini." Begitulah jawabnya tadi saat ikut ke kantor, dan Andrew malah percaya begitu saja. Julea terkejut ketika keluar dari lobi gedung perkantoran periklanan Nugraha Group. Langkahnya mendadak terhenti karena kaki jenjang seorang pria menghalangi jalannya. Marsha yang sejak tadi tertawa bersamanya mendadak diam, nyalinya ciut dan berdiri dibelakang Julea. "Mau kemana kamu?" Suara bariton khas milik pria berdarah Indonesia - China itu.Julea mendecak sebal, dia membenarkan outer yang dia kenakan kemudian sedikit memajuka
Karena desakan dari Marsha dan sisi kemanusiaannya yang terusik akhirnya Julea setuju untuk ikut bersama dengan Andrew. Mereka memutuskan untuk pergi bersama dengan satu mobil yaitu milik Julea. sedangkan mobil mewah milik Andrew sudah diurus oleh anak buahnya.Rupanya pria itu telah membeli sebuah hunian mewah dikawasan elit di Jakarta. Tempat yang sudah terkenal dengan fasilitas sultan tanpa perlu dijelaskan lagi. Andrew memang tidak mengajak Julea kembali ke rumah orang tuanya, entah untuk alasan apa. Tapi bagi Julea itu adalah keputusan yang terbaik. Mobil Julea terparkir sempurna diparkiran dan gadis itu dengan malas mengikuti langkah Andrew. "Kenapa kita harus ke sini?" Julea membuang muka ketika menanyakannya.Andrew menoleh ke arah Julea yang tampak begitu kesal, dia mendadak berhenti dan membuat Julea menabrak tubuhnya karena gadis itu tidak fokus dengan jalannya."Aduh!" Pekik Julea memegangi kepalanya, dia melotot menatap Andrew yang berekspresi datar."Kamu bertanya kena
Andrew hanya bisa mematung ditempatnya, dia terpaku dengan sikap Julea yang terbilang berani. Bisa-bisanya gadis itu malah menarik dagunya dan menyuapi dirinya?Dengan jarak yang begitu dekat Julea malah tenang-tenang saja. Padahal Andrew sudah gelagapan dibuatnya. "Jule, jangan salahkan aku jika nanti kau habis di tanganku! Aku juga pria yang normal!" Andrew menggeram, dia membatin. Julea sendiri malah memasang wajah tanpa dosa, dia datar-datar saja setelah menyuapi Andrew dengan paksa."Nah, sekarang kau harus makan. Baru setelahnya kau bisa melanjutkan pekerjaan," ucap Julea yang melanjutkan kegiatannya.Tangan gadis manis itu dengan telaten menyendok nasi dan lauknya untuk Andrew. Dengan susah payah Andrew bersikap santai, padahal bersitatap dengan Julea saja membuatnya salah tingkah.Deg!Deg!Deg!"Sensasi apa yang dirasakan organ dalam ku ini?" Tanya Andrew pada dirinya sendiri dalam hati sembari memegang dadanya.Julea yang melihat itu mengerutkan keningnya. "Kau kenapa And
Di dalam ruangannya, Andrew tengah bersama dengan Jidan mengurus berbagai masalah yang menjadi sebab pernikahannya dengan Julea. Jidan tengah memberikan file rekaman cctv yang ada di meeting room saat Julea kehilangan sebelah sepatunya. "Ini Pak, semuanya terlihat jelas. Hanya saja di ada tiga menit yang hilang dari rekaman itu." Jidan menunjukkan tampilan cctv itu dengan menggunakan laptop miliknya. "Aneh, kenapa menit saat Julea kehilangan sepatunya tidak ada?" Andrew bertanya pada dirinya sendiri. "Bu Julea juga tertidur saat meeting Pak, jadi beliau tidak bisa dimintai keterangan lebih lanjut." Jidan menyayangkan sikap Julea yang gemar sekali membuat masalah sebelum menikah dengan Andrew. Semua orang juga tahu kalau Julea Anastasia adalah karyawati paling onar, suka terlambat dan sering melakukan hal-hal konyol saat bekerja. Para jajaran direksi juga tahu itu, mereka juga bisa dengan mudah memecat Julea. Tapi satu hal yang bisa menyelamatkan Julea hanya kecerdasan gadis itu ya
Saat jam pulang kantor, Andrew dengan begitu posesif memaksa Julea agar pulang bersama. Pria itu juga tidak memperbolehkan Julea pergi ke mana pun seorang diri untuk beberapa hari ke depan. "Sebenarnya apa yang ada di dalam pikiran pria itu sekarang?" Julea membatin. Dia yang tengah sibuk mengerjakan beberapa tugas kantor yang belum selesai itu melirik ke arah Andrew sekilas. Pria itu tengah bersantai, duduk di kursi panjang yang ada di balkon sembari membaca buku. "Jule!" Panggilan dari Andrew membuat Julea tersentak. "I-iya?" Gadis itu segera berdiri dan menghampiri Andrew yang masih nyaman dengan posisinya semula. "Ada apa?" Tanyanya ketika sudah berada di samping Andrew. "Duduklah di sini sebentar, ada yang ingin aku tanyakan padamu." Andrew bangkit, dia yang semula duduk bersandar di kursi panjang langsung duduk dengan tegap dan memberikan ruang pada Julea agar ikut duduk disampingnya. Julea akhirnya menurut, dia duduk di sebelah Andrew dengan gugup. Dia takut kalau-kalau s
Herfiza memasang wajah datar, wanita itu hanya memicingkan matanya begitu dia masuk ke dalam rumah Andrew dan Julea. Dia datang dengan ditemani seorang anak buahnya yang membawa dua buah bingkisan cukup besar. "Rumah macam apa yang kau beli ini Andrew Nugraha?" tanyanya dengan nada yang sinis, Herfiza seperti hendak melakukan inspeksi di rumah tersebut.Julea yang mendengar ada suara dari sang ibu mertua langsung keluar dari balkon, dia hendak menyapa wanita itu dengan sopan. Karena memang semenjak pernikahan, dia belum pernah bertemu lagi dengannya atau anggota keluarga Andrew yang lain."Selamat malam Bu Herfiza." Julea menyapa dengan sopan, dia juga tersenyum manis menyambutnya.Herfiza menoleh, dia malah menatap Julea dari atas sampai bawah dengan tatapan yang menilai. Apalagi melihat pakaian yang dikenakan gadis itu hanya celana kain dibawah lutut dan juga kaos oblong polos. Sangat tidak cocok dengan gaya perempuan kaya raya. "Andrew!" Pekik Herfiza agar sang anak mendekat."Iy
Andrew masih bersitegang dnegan Julea, tentang bagaimana cara mereka agar membuat Herfiza menyingkir sejenak dari ruang tengah. Hal itu mereka lakukan untuk memindahkan barang-barang salah satu diantara mereka. Harus ada satu yang mengalah agar bisa memberi tempat bagi Herfiza malam ini."Kau saja yang ajak!""Tidak, kau saja!""Kau!""Kau! kau kan anaknya!" Perdebatan Julea dan Andrew berhenti. Keduanya saling tatap, sejenak mereka mengendalikan emosi yang naik ke ubun-ubun. Sebenarnya tidak perlu ada yang diperdebatkan, tapi dasarnya cara komunikasi keduanya memang menggunakan nada tinggi. Maka terjadilah perdebatan yang unfaedah itu. "Ah begini saja," ucap Andrew tiba-tiba. Mungkin dia sudah sangat muak dengan perdebatan tersebut. Julea menoleh, dia menaikkan sebelah alisnya seolah-olah bertanya 'Apa?'"Kau sok akrab saja dengan mama sebentar, di saat yang sama nanti aku akan membereskan barang-barang ku dan memindahkannya ke kamarmu untuk sementara." Andrew mengatakan idenya
Lagi-lagi dia menatap tak percaya. Dengan tatapannya yang bergerak-gerak gelisah dan bibir yang mengatup rapat menahan tangis. Dipandanginya lagi wajah itu dengan seksama. Tak ada lagi senyum manis atau seringainya yang dulu dia benci, muram dan tak lagi bercahaya seperti biasanya. Sungguh! Biar pun kali ini dia harus melihat hal-hal yang tidak dia sukai dari sosok didepannya. Akan dia terima dengan senang hati, asalkan sosok itu kembali. Lama bertarung pada pikirannya sendiri, dia sentuh wajah itu dengan tangan yang gemetaran. Berulang kali tak sempat jarinya menyentuh kulit yang telah memucat itu. Dia tak sanggup! Atau bahkan masih tak percaya. Dia tak percaya pada suratan takdir, tapi inilah kenyataannya. Dengan perasaan terguncang, dia coba lagi memegang wajah manis yang pernah memerintahkannya pergi. Dan kali ini tangisnya benar-benar pecah. Tangisnya meraung-raung disamping tubuh yang telah terbujur kaku itu. Dia peluk erat-erat tubuh itu, dia usap lagi pundak kecil yang
Julea masih tetap merengek, dia menampilkan ekspresi paling memelas untuk menyakinkan Andrew. "Ayolah Andrew aku mohon, sebentar saja." Julea berkata lirih, dia masih berusaha membujuk Andrew. Sedangkan Andrew hanya melihat datar ke arah Julea, entah kenapa hari ini Julea sangat menguji kesabarannya. padahal sebelumnya perempuan itu tak akan melawan jika Andrew berkata tidak. "Jule, kau bisa ke taman dan melihat bintang kapan saja. Karena masih ada banyak waktu lain, untuk malam ini kau tidur saja ya. Besok kau haris operasi," ucap Andrew berusaha memberikan pengertian. Tapi Julea adalah Julea, dia tidak akan berhenti begitu saja hanya karena ucapan Andrew. Perempuan itu malah mendecik sebal, dia menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Andrew yang melihat itu hanya bisa menghela nafas kasar, menghadapi Julea yang tengah marah memang membutuhkan kesabaran yang lebih. "Julea, ku mohon dengarkan aku ya... ini semua juga demi kebaikan mu," Ucapnya lagi. kali ini dengan mengusap l
Herfiza mengusap punggung putranya dengan lembut, dia merangkulnya penuh kasih sayang dan kehangatan. "Nak, apa yang terjadi di dunia ini tidak bisa selalu sama seperti apa yang kita inginkan. Tuhan selalu punya rencana yang indah dibalik ujian ini, yakinlah." Herfiza mengatakannya dengan tenang, meskipun dia masih khawatir dan kalut akan kesehatan Julea. Andrew menoleh, dia mengerutkan keningnya. "Tapi apa ini ujian yang baik untuk ku? Aku terlalu banyak menimbulkan masalah di hidup Julea sehingga berimbas pada kesehatannya. ini bukan sekedar takdir Tuhan mam, ini salahku." Herfiza menarik diri, dia menggenggam tangan Andrew erat-erat. "Sekali lagi berhenti menyalahkan dirimu sendiri, jika pun kau merasa bersalah seharusnya tidak seperti ini caranya!""Lalu apa yang bisa aku lakukan?" tanya Andrew dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Herfiza menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Bangkit, berikan kekuatan pada Julea agar dia bisa segera sembuh. K
Hampir satu jam lamanya Jukea berada di dalam UGD, sedangkan keluarganya sduah harap-harap cemas menunggu kabar baik dari dokter yang menanganinya. Andreas sendiri yang masih tercengang dengan fakta penyakit sang kakak ipar masih terdiam menenangkan diri. Sedangkan Andrew sudah hilir mudik di depan pintu UGD. "Apa tadi semuanya lancar Andreas?" Tanya Marsha dengan lirih, dia juga menepuk pundak Andreas perlahan. Pria itu menoleh, dia mengangguk samar. Mereka berbincang dengan nada yang rendah, tak ingin menganggu anggota keluarga yang lain. Marsha juga tidak mau dianggap tak tahu situasi dan kondisi di saat yang genting seperti ini malah membicarakan hal yang lain. "Semuanya berjalan lancar, Pricilla juga sudah diamankan polisi tadi. Semua orang tak ada yang menentang pembelaan dari kami, bahkan Tuan Gardian yang ayah Pricilla juga diam. Dia tertunduk malu atas sikap putrinya itu," jelas Andreas sembari menunduk. Marsha manggut-manggut paham, dia lega setidaknya usaha Julea untuk
Setelah melihat Pricilla yang digandeng polisi untuk diamankan, Julea merasakan sakit kepala yang luar biasa. sebenarnya dia telah merasa kepalanya berat sejak dua jam lalu, tapi dengan sekuat tenaga dua bertahan. "Aka, apa kau baik-baik saja?" tanya Andreas yang melihat Julea meringis menahan sakit. Julea menoleh dan menggeleng, dia hanya memegangi kepalanya dan mulai berjalan menjauh dari tempat pesta. "Tidak Andreas, aku baik-baik saja. Jadi ayo pulang," ajaknya. tak mau membuat Julea kesakitan, Andreas mulai berjalan cepat. Dia lekas mengeluarkan mobilnya dan membawa Julea pergi dari mansion mewah keluarga Pricilla. Ditengah jalan tiba-tiba Julea menyemburkan isi perutnya dengan tidak sengaja. 'Hoek!'Sontak itu membuat Andreas panik, apalagi saat melihat wajah Julea yang pucat. "kak kau kenapa, apa tadi kau sempat minum? apa kau mabuk kak?" cecarnya yang khawatir. "Engh! Tidak, aku tidak ingat." Julea menjawabnya lemas, dia sebenarnya tak minum alkohol. Tapi entah bagaiman
Mata semua orang terbelalak tak percaya, tak sedikit dari mereka bahkan menutup mulutnya dengan tangan. Apa yang disampaikan Andreas malam ini adalah kejutan yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Pengakuan Andreas itu juga membuat Pricilla kaget bukan main. Pasalnya, dia telah menggoda pria yang salah. "Pantas saja respon yang diberikannya berbeda, ternyata dia bukan Andrew." Pricilla membatin, dia tertunduk malu. Gardian memalingkan wajahnya, malu atas apa yang dilakukan sang putri. Lalu dengan cepat dia menarik tangan Pricilla dan mendorongnya hingga jatuh terjerembab di taman yang berumput. "Argh! Papa sakit," cicit Pricilla dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau memang pantas mendapatkannya Pricilla, bahkan seharusnya kau mendapatkan hukuman yang jauh lebih besar daripada ini! Aku malu telah menjadi ayahmu!" Gardian berkata marah, deru nafasnya memburu seiring dengan darahnya yang mendidih. Di saat yang bersamaan, ada sorotan proyektor yang menampilkan apa saja yang sudah dila
Temaram lampu taman menyinari tubuh Pricilla yang terpantul di air kolam renang yang jernih. Perempuan berambut panjang itu menoleh saat mendengar langkah kaki Andreas yang mendekat ke arahnya. Senyuman tipis terbit diwajahnya yang terpoles apik dengan make up bold. "Akhirnya kau datang juga Andrew," ucapnya senang. Andreas tak menanggapi, dia hanya tersenyum sekilas saat mendengar Pricilla menyebut nama sang kakak. Beruntung jika perempuan yang menjadi rivalnya malam ini tak mengenali dirinya. "Si jalang itu tertipu juga, sama seperti sang ayah!" Andreas membatin, dia merasa satu langkah lebih dekat menuju kemenangan. Pricilla melangkahkan kakinya mendekat saat Andreas memilih untuk berhenti. Dia lekas mengalungkan tangannya ke leher Andreas dengan tanpa malu. "Aku senang kau mau datang ke sini dan mengabaikan Julea," ucap Pricilla dan menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Andreas. Pria itu merasa jijik atas sikap agresif dari perempuan yang nyaris menjadi kakak iparnya. Tapi A
Andreas sempat menoleh pada Julea sebelum mereka turun dari mobil. Andreas cemas, karena mau bagaimana pun kalau dia gagal malam ini maka masalahnya akan bertambah besar. "Kak," cicitnya. Julea menoleh dan mengangguk serta mengepalkan tangannya, bermaksud memberinya kekuatan. "Kau pasti bisa Andreas, yakin lah!" Perintahnya. Lalu Andreas menghela nafas kasar beberapa kali, setelahnya dia turun dari mobil terlebih dahulu. Pintu mobil dibukakan oleh Andreas untuk membantu Julea, tangan kanannya juga dengan sigap terulur untuk memberikan kesan yang kuat kalau dia adalah Andrew. Di halaman mansion mewah milik keluarga Pricilla, ada banyak orang yang sudah datang dan menjadi tamu di sana. Hari ini adalah hari ulang tahun Pricilla, dan keluarga Nugraha memang mendapatkan undangan, khususnya Andrew. Pria itu memang diundang secara personal oleh Pricilla. Ah tidak-tidak! Lebih tepatnya Andrew diancam. Jika dia tidak datang malam ini, maka Pricilla akan melakukan hal yang lebih gila lagi
Andrew rupanya menemui sang adik, Andreas secara diam-diam. Tidak ada yang tahu kalau keduanya tengah bertemu sekarang. Keduanya kini berada di salah satu restoran Chinese yang cukup jauh dari pusat kota. "Jadi, apa yang kau rencanakan sebenarnya Andreas? Kali ini apa yang kau inginkan dariku?" Cecar Andrew dengan tatapan yang nyalang pada sang adik yang duduk di depannya. Terhalang oleh meja berbentuk persegi panjang, Andrew dan Andreas saling perang dingin dengan memberikan tatapan tajam ke arah masing-masing. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Andreas menghela nafasnya kasar, dia kemudian bersidekap dengan tenang. "Aku tidak menginginkan apapun, toh apa yang bisa kau berikan padaku?" Andreas malah memberikan jawaban yang terkesan meremehkan. Padahal sebenarnya tidak demikian. "Hah! Rupanya kau masih sama saja, sama-sama sombong seperti biasanya!" Andrew mendecik, dia menyeringai. "Sama seperti dengan mu juga, kita sama-sama sombong. Bedanya, aku menyadari dan mengakuinya seda