Sore itu, Ema mendengar desas-desus yang tidak enak. Firasatnya cukup buruk saat atasannya tiba-tiba saja menelepon dan memintanya untuk datang ke ruangan.
Meletakkan gagang telepon, perhatian Ema teralih. "Kamu yakin, Yu?" Kepala Ayu sedikit mendekat ke arah atasannya. "Iya, bu. Saya denger sendiri dengan telinga saya. Pak Adit hari ini keluar. Timnya sendiri yang bilang katanya dia tiba-tiba saja membereskan barang-barangnya dan langsung serah terima ke bawahannya. Mungkin besok dia tidak akan masuk kantor lagi." Ema terdiam. Otaknya masih berfikir kalau pria itu tidak mungkin berhenti begitu saja. Meski Adit keturunan Prabukusuma dan anak pejabat perpajakan, tapi ayahnya sudah tidak memberikan jaminan terhadap hidupnya selain beberapa aset yang telah diwariskan. Tidak banyak yang tahu, ayah pria itu memiliki lebih dari satu wanita simpanan di luar sana daBerusaha mengelola emosinya yang kacau, Ema mengepalkan tangannya kencang. Mulutnya bisa merasakan rasa amis karena darah dari luka di bibirnya sendiri. Mengambil tisu dari saku celananya, Ema menyeka bibirnya dan menekan benda itu lebih kuat. Pintu lift akhirnya terbuka di lantainya dan baru saja dirinya akan keluar, ia ternyata berhadapan dengan seseorang yang tidak pernah ingin ditemuinya lagi dalam hidupnya. "Pak Aditya." Sapaan itu keluar secara otomatis, dan bukan karena keinginannya. Mata Adit terlihat nanar saat memandangnya. Pria yang berdiri itu tampak membawa kotak berisi beberapa barang di tangannya. Tas ransel juga tercantel di salah satu bahunya. Jelas, lelaki itu akan pergi. "A- Andie." Panggilan lirih itu membuat Ema mengerjapkan mata. Ia keluar dari lift dan berdiri berhadapan dengan lelaki yang pernah punya arti dalam hidupnya dulu.
Setelah seharian mengisi otaknya dengan berbagai pengetahuan yang cukup absurd, Ema memutuskan pergi ke supermarket untuk menghilangkan pikiran-pikiran anehnya. Sejak Ade mencekokinya, mau tidak mau ingatan Ema melayang tiap kali suaminya memeluknya. Hal yang dulu tidak pernah dipikirkannya mendalam, mau tidak mau sekarang membuat pipinya merona merah. Bulu-bulunya naik tiap kali mengingat sentuhan Ilyas. Jantungnya berdebar saat ia meraba bibirnya sendiri dan membayangkan pria itu menciumnya. Badannya terasa panas, seolah lelaki itu menyentuhnya. Dia bisa gila kalau tidak mendapat udara segar dan mengenyahkan bayangan m*sum yang dibuatnya sendiri. Ia sedikit melempar daging merah yang dari tadi dipegangnya. Dirinya mulai merasa kesal, saat ia kemudian melemparkan lagi beberapa bahan masakan ke trolinya. Sambil melamun, ia mendorong trolinya ke lorong berisi berbagai minuman. Lan
Suara bantingan pintu yang tertutup tidak diacuhkan oleh kedua wanita di balik meja itu, yang pada akhirnya kembali duduk dan berkutat dengan pekerjaan mereka yang sempat tertunda tadi. Kesal, Ilyas membanting b*kongnya ke sofa dan menggerutu. "S*alan semuanya! Tidak adakah yang bisa memberi saran lebih baik?" Hampir saja ia menelepon Stanley, saat teringat rekannya itu sangat sibuk dengan banyak meeting sejak kepergian Adit. Lelaki itu harus mem-back up pekerjaan anak buahnya sebelum ada penggantinya. Melempar ponselnya ke sofa, Ilyas mendengus. "Siapa lagi yang bisa ditanya ya?" Dia sebenarnya enggan bertanya pada Bimo, karena sepupunya itu pasti akan menertawakannya. Tangannya baru akan meraih ponselnya saat benda itu berdenting pelan. 'Pak. Bapak sibuk? Boleh aku telpon?' Gugup, Ilyas langsu
"Kamu ga apa-apa?" "I- Iya. Aku bi- bisa sendiri kok pak. Aku-" Membungkus tubuh polos itu dengan handuk besar, Ilyas dengan mudah menggendongnya. "Buat pipis saja kamu mesti dibantu, Em. Apalagi mandi begini. Sudah, kamu diem saja." Bibir Ema terkatup rapat dan pandangannya menunduk. Ia merasa tidak berdaya saat Ilyas mendudukannya di tempat tidur dan melihat pria itu membuka lemarinya. "Kamu mau pakai baju yang mana? Biar aku ambilkan." Menunjuk beberapa baju, Ema memperhatikan Ilyas membuka laci pakaian dalamnya. Saat berbalik lagi ke arah isterinya, terlihat cengiran di mulut pria itu. Tangannya memegang benda segitiga warna hitam dan berenda tipis, yang sama sekali tidak akan menyembunyikan apapun di baliknya. "Kamu pakai ini ya. Masih baru nih sepertinya." Semburat merah
= Kantor Tj Corp. Hari senin pagi = "Jadi Bimo akan resmi ambil alih sekitar 2 minggu lagi?" "Yep. Dia dan Shinta akan tinggal di rumah utama Tjakradiningrat." Menatap Ilyas yang sedang membuka-buka majalah, Stanley menelengkan kepalanya. "Bagaimana rencanamu waktu itu? Kau tetap jadi pulang ke Jerman? Isterimu setuju?" Dengusan terdengar dari hidung Ilyas. Tampak bibirnya tersenyum. "Tidak masalah. Ema sudah setuju ikut aku pindah ke sana." "Baguslah. Bagaimana dengan dirimu, Man? Kau akan tetap di sini atau ikut Ilyas pindah ke Jerman?" Pertanyaan itu membuat Herman merenung. Ia memegang dagunya. "Aku masih belum tahu. Tapi kalau Bimo mengambil alih TJ Corp. Indonesia, aku memilih dimutasi kembali ke Jerman. Kebetulan aku sudah membicarakannya dengan Franz beberapa bulan lalu."
= Beberapa bulan kemudian. Kantor Tj Corp. = "Saya akan sangat merindukan bu An." Tertawa, Ema menepuk punggung Ayu di pelukannya. "Jangan begitu. Kita masih tetap akan bisa kontakan kalau kamu mau, Yu." "Tapi ibu akan tetep pindah dari kota J, kan?" Menghela nafasnya, Ema tersenyum pada anak buahnya yang akhirnya menggantikannya ini. "Saya hanya pindah, Yu. Bukannya mati. Kita tetap bisa kontakan kok. Saya akan pakai email yang sama." "Memangnya bu An mau pindah ke mana sih?" Pertanyaan Jordi dijawab Ema dengan gelengan. Wanita itu tertawa. "Saya terserah suami saja. Yang penting, kami selalu bersama." "Kenapa semua orang pergi bersamaan sih? Sejak pak Bimo masuk, banyak orang yang akhirnya pergi dari perusahaan. Pertama pak llyas. Terus pak Stanley. Menyusul ibu dan juga pak
"Bagaimana isteri saya dok?" Pertanyaan itu membuat sang dokter menaikkan salah satu alisnya. "Kalau Anda mau menoleh sedikit, Anda bisa melihat kondisi isteri Anda langsung, Tuan Hagen." Kepala Ilyas masih berpaling ke arah lain. Kedua matanya menutup erat. "Sa- Saya ga bisa dok! Saya ga bisa lihat dia kesakitan!" "Tiap wanita yang melahirkan pasti kesakitan, Tuan. Kalau keenakan, itu namanya sedang org*sme." Candaan itu sama sekali tidak membuat pria tinggi itu tersenyum. Wajahnya pucat dan berkeringat. Teriakan pendek wanita di sampingnya membuat sang dokter kembali konsentrasi. "Apa sudah keluar?" "Masih kepalanya." Kembali teriakan itu terdengar dan Ilyas sedikit melirik takut-takut. "Sudah keluar?" "Kelihatan bahunya."
= Salah satu taman bermain. Kota B. Indonesia = "Bagaimana kabarmu?" Pria yang duduk di depannya itu mengangguk. "Baik. Kamu sendiri?" "Aku juga baik..." Tatapan keduanya bertemu dan terlihat senyuman sendu dari mereka berdua. Mata pria itu turun dan menatap perut wanita di depannya yang tampak membesar. Bola matanya terlihat sedikit berair dan lelaki itu mengerjapkan matanya cepat. Suaranya terdengar pelan saat bertanya, "Kapan kamu lahiran?" "Sekitar 2 minggu lagi." Kepala pria itu mengangguk dan ia menelan ludahnya. Wajahnya sedikit memerah. "Maafin aku, Min... Kalau aku tahu..." Sesaat keduanya terdiam. Mimin menatap pria yang telah menjadi mantan suaminya belum sampai setahun lalu. Sama seperti lelaki itu, ia menundukkan kepalanya.
= Sekitar enam tahun kemudian. Kantor TJ Corp. Kota J, Indonesia = "Selamat bergabung, Andie. Saya senang banget kau akhirnya join ke sini." "Terima kasih, bu Anita. Semoga saya bisa berkontribusi di sini." Dua orang itu saling berjabat tangan akrab. Dengan cepat, karyawan baru itu diberikan tugas-tugas yang harus dikuasainya dalam waktu singkat. Dan seperti harapan sang atasan, bawahannya itu ternyata dapat memenuhi ekspektasinya dengan sempurna. Hanya dalam waktu 6 bulan, Ema pun sudah dipercaya untuk memegang beberapa tugas penting dan mendapat promosi sebagai Assistant Manager. Hari ini adalah hari pertama Ema akhirnya dapat bertemu dengan para direksi langsung. Biasanya ia hanya akan meeting dengan para Manager departemen. Tapi hari ini, atasannya membawanya serta dalam rapat terkait dengan rekrutmen MT di tahun itu. Wanita muda itu menelan ludah dan jantungnya berdebar penu
"Akhirnya kau jadi juga pergi, Hag. Kali ini kau mau kemana?" Pria tinggi itu tidak menjawab dan hanya meneruskan membereskan barang-barang di tas ranselnya. Lelaki itu jauh lebih kurus dibanding beberapa bulan lalu. Tampak kedua pria lain yang sedang berdiri itu saling memandang penuh arti. "Hag? Kau yakin akan pergi sekarang? Kau ini baru keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, man." Memasukkan beberapa surat penting dalam dompet khusus, Ilyas menjawab datar, "Aku sudah beli tiket." "Hagen..." Mencantolkan ranselnya ke salah satu bahu, Ilyas menepuk bahu Stanley tanpa menatapnya. "Kunci pintunya waktu kalian pergi. Titip di Oma. Aku akan kembali satu bulan lagi." Tidak mengatakan apapun lagi, pria itu keluar dari apartemen, meninggalkan dua rekannya yang mematung di sana. Tampak kedua lelaki itu saling memandang
= Flashback hampir 13 tahun lalu. Rumah utama keluarga Tjakradiningrat. Kota B. Jerman = "Dasar kau J*LANGGG!!" Tampak tangan berotot itu menjambak rambut panjang seorang wanita dan menyeretnya ke lantai. Pria itu hampir saja mencekik leher yang rapuh itu saat tangan lain mencengkeram dan menahannya. "Kak!! Sadar kak! Jangan!!" "Kau...!" Menggeram, Ilyas memberikan tonjokan mematikan ke wajah sepupunya yang tampan. Tampak Bimo tidak sempat mengelak dan pria itu terjengkang ke belakang. Melihat kesempatan, Yasmin merangkak di lantai dan menyambar sisa pakaiannya. Terburu-buru, wanita itu segera kabur dari kamar tidur itu, meninggalkan hasil perbuatannya dengan tidak bertanggungjawab. Dua bersaudara itu masih saling bergulat di lantai, sampai cukup banyak orang datang ke sana dan berusaha melerai mereka. Butuh sekitar lima orang pria dewasa
"Kenapa Bjorn? Kamu mau pipis?" Kepala mungil itu mengangguk-angguk. Satu tangan yang memegang Ilyas tampak menarik-nariknya. Saat ini, Ilyas dan Ema lebih banyak menggunakan bahasa Jerman ke anak mereka. Nanti perlahan, mereka bersepakat mengajarkan bahasa Indonesia dan juga Inggris agar Bjorn lebih siap saat bersekolah. Memangku anaknya, Ilyas menepuk bahu isterinya yang sedang berdiri di depannya. "Em. Aku mau bawa Bo ke toilet sebentar. Kamu ga apa-apa ngantri sendirian sebentar?" "No problem, pak. Nanti kita ketemuan saja di tempat biasa." "Oke." Keduanya melambai dan Ema kembali konsentrasi melihat layar di depannya. Ia memilih tiga tempat duduk dan tersenyum sendiri. Dirinya bernostalgia ke peristiwa beberapa tahun lalu. "Silahkan kak." Tampak seorang petugas menyerahkan tiket ke tangan wanita itu.
Mengusap ranjang di sampingnya yang terasa dingin, mata Ema perlahan membuka dan ia pun bangkit dari tidurnya dan menatap sekelilingnya. Kamar itu terasa kosong. Merapatkan jubah tidurnya, ia pun turun dari ranjang dan segera ke kamar lain di apartemen itu. Tampak pintu kamar itu tertutup rapat dan dengan hati-hati, Ema membukanya. Pemandangan di depannya membuat wajah wanita itu yang tadinya cemas, perlahan rileks. Ia tersenyum. Di tempat tidur, Ilyas sedang memeluk anaknya. Pria berjubah tidur itu meringkuk di samping Bjorn, dan satu tangannya di perut balita itu. Tampak Bjorn sudah bangun dan menggeliat gemas melihat ibunya di pintu. "Mam-mam!" "Sayang..." Perlahan, Ema mengangkat anaknya dan mengecup dahinya. Jari-jari gemuk Bjorn menunjuk tempat tidur dan anak itu terkekeh gembira. "Pap-pap tidur!"
Bola mata itu masih mengikuti mobil hitam itu sampai menghilang dari pandangan. Barulah setelahnya, kaki pria itu melangkah keluar dari persembunyiannya. Ia berhenti di satu makam yang baru ditinggalkan tadi. Wajah pria itu terlihat shock saat menatap ke bawah. Tampak karangan bunga segar tergeletak di sana. "Ilyas... dengan Andie...?" Ingatan Adit dengan cepat berkelana dari satu kenangan ke kenangan lainnya. Akhirnya pertanyaannya selama ini terjawab. Kenapa ia merasa Ilyas tidak pernah menyukainya. Kenapa pria itu seolah sering mencari masalah dengannya. Dan kenapa, mantan atasannya itu dulu seperti sangat melindungi wanita itu. Ketika semua keheranannya itu terjawab, Adit menengadahkan kepala dan menghembuskan nafas keras. Perasaan di d*danya dipenuhi dengan kemarahan yang amat sangat. "S*alan orang itu! Jadi selama ini, dia cari masalah dan memecatku karena Andie? Hanya kare
= Sekitar dua tahun kemudian. Kota B. Indonesia = Tampak seorang pria sedang bermain dengan anak perempuan di teras depan sebuah rumah sederhana. Wajah pria itu terlihat gembira dan bahagia saat memeluk balita itu. Bola matanya bergerak-gerak mengikuti balita yang baru belajar jalan tersebut dan saat anak itu hampir jatuh, lelaki itu dengan sigap memeluknya. "Ups. Hati-hati, Nana..." Anak itu hanya tertawa, memperlihatkan gusinya yang masih ompong. Melihat itu, sang pria itu hanya tertawa geli dan memeluk anak itu erat-erat di tangannya. "Adit." Panggilan itu membuat Adit menoleh, masih tersenyum. Ia langsung berdiri dan memangku balita itu. "Papih." Sangat sopan, Adit membungkuk dan mencium punggung tangan pria tua yang pernah menjadi mertuanya.
= Salah satu taman bermain. Kota B. Indonesia = "Bagaimana kabarmu?" Pria yang duduk di depannya itu mengangguk. "Baik. Kamu sendiri?" "Aku juga baik..." Tatapan keduanya bertemu dan terlihat senyuman sendu dari mereka berdua. Mata pria itu turun dan menatap perut wanita di depannya yang tampak membesar. Bola matanya terlihat sedikit berair dan lelaki itu mengerjapkan matanya cepat. Suaranya terdengar pelan saat bertanya, "Kapan kamu lahiran?" "Sekitar 2 minggu lagi." Kepala pria itu mengangguk dan ia menelan ludahnya. Wajahnya sedikit memerah. "Maafin aku, Min... Kalau aku tahu..." Sesaat keduanya terdiam. Mimin menatap pria yang telah menjadi mantan suaminya belum sampai setahun lalu. Sama seperti lelaki itu, ia menundukkan kepalanya.
"Bagaimana isteri saya dok?" Pertanyaan itu membuat sang dokter menaikkan salah satu alisnya. "Kalau Anda mau menoleh sedikit, Anda bisa melihat kondisi isteri Anda langsung, Tuan Hagen." Kepala Ilyas masih berpaling ke arah lain. Kedua matanya menutup erat. "Sa- Saya ga bisa dok! Saya ga bisa lihat dia kesakitan!" "Tiap wanita yang melahirkan pasti kesakitan, Tuan. Kalau keenakan, itu namanya sedang org*sme." Candaan itu sama sekali tidak membuat pria tinggi itu tersenyum. Wajahnya pucat dan berkeringat. Teriakan pendek wanita di sampingnya membuat sang dokter kembali konsentrasi. "Apa sudah keluar?" "Masih kepalanya." Kembali teriakan itu terdengar dan Ilyas sedikit melirik takut-takut. "Sudah keluar?" "Kelihatan bahunya."