❤❤❤
"Mas? Ada yang mau dimasukin lagi nggak ke koper?"
Rendra menggeleng pelan. Sejak tadi, Nadia yang sibuk memasukkan barang-barang ke koper sementara dia asyik rebahan di kasur. Bukan bermaksud menjadi suami pemalas, namun, Rendra benar-benar kehilangan semangat untuk pergi ke Malaysia besok.
"Udah masuk semua, Nadia. Besok tinggal berangkat. Kamu daritadi sibuk ngurusin itu sampe lupa sama suami."
Nadia berdecak sembari bertolak pinggang. "Nanti kalo ada yang ketinggalan 'kan repot, Mas."
Nadia tak ingin protes k
Rendra POV Hari ketiga sekaligus hari terakhir kita ada di Kuala Lumpur setelah dua hari sebelumnya abisin waktu buat explore Malaysia. Wisatanya sih nggak pergi ke banyak tempat. Cuma ke Genting Highland, Penang, sama Gua Batu. Baru tadi siang terakhir ke Menara Kembar baru wisata belanja ke daerah Selangor. Abis itu kita semua termasuk Pak Jerry dan istrinya dibiarin istirahat di hotel. Baru besok siang balik ke Jakarta. Tempat yang nggak kesampaian buat kita datengin itu cuman Studio Animasinya Upin-Ipin. Padahal Nadia pengen banget katanya kesitu. Pengen ngeliat Gopal katanya. Dan disaat yang lain pada istirahat, gue sama Nadia masih harus pergi ke satu tempat lagi. Kemana lagi kalo bukan acara pertunangannya Agung sama calonnya itu. Untungnya, rumah Agung yang ada disini nggak jauh dari hotel tempat kita nginep. Dan sekarang, gue lagi nungguin Nadia dandan. Sambil nunggui
"Eh, Syifa?" Nadia kaget saat mendapati Syifa memandangi Rendra dengan tatapan sendu dan hampir meneteskan air mata. Saat ditanya berulang kali, perempuan itu tak mengeluarkan suaranya dan masih terus memandangi Rendra. Membuat Nadia bingung sendiri. Ada apa Syifa dengan suaminya? "Mas? Mas kenal Syifa?" Rendra menelan salivanya. Ia langsung menggeleng gugup. "Enggak. Kenal darimana? Mas juga bingung ini kenapa dia daritadi ngeliatin Mas sampe kayak gitu. Ditanya, diem aja. Udah gila kali ya?" Nadia sontak menyentil kening suaminya, takut Syifa tersinggung. Pandangan Nadia kembali fokus ke arah Syifa yang kini tertunduk lesu. "Syifa? Kenapa?" Syifa lagi-lagi diam. Ia tak tahu lagi harus berkata apa saat mengingat Rendra baru saja menyebutnya perempuan gila. Rendra pura-pura tak mengenalnya. "Kamu kenal dia, Nadia?" Sekali lagi, akt
Tiga bulan kemudian... Rendra POV Alhamdulillah, udah tiga bulan berlalu sejak kejadian itu. Nggak ada tanda-tanda, si Syifa bakalan mencoba masuk ke hidup gue lagi, maupun ke hidup istri dan keluarga besar gue. Syukur, mungkin dia juga udah sama kayak gue, mau ngubur masa lalu itu pelan-pelan seolah nggak ada terjadi apa-apa diantara kita dulu. Dan Alhamdulillahnya lagi, pernikahan gue sama Nadia udah masuk sembilan bulan dan usia kandungan Nadia udah lima bulan, time flies so fast. Rasa-rasanya baru kemarin gue nembak Nadia. Gue nggak sabar nunggu anak gue lahir. Semoga aja terus begini kedepannya. Gue sama Nadia bisa hidup tenang tanpa takut lagi sama bayang-bayang masa lalu. Demi Allah, gue beneran mau bangun rumah tangga yang sakinah sama Nadia. Nggak ada yang lebih gue pengen di dunia ini daripada keba
Tiga bulan kemudian. Nadia sejak tengah malam tadi, mulutnya manyun tanpa henti. Ia kesal setengah mati. Padahal hari ini ulang tahunnya, tapi Rendra hanya bersikap biasa saja. Seolah hari ini hari biasa. Jangankan kejutan, ucapan pun tak ada. Membuat Nadia bertanya dalam hati. "Masa sih Mas Rendra nggak inget? Sepikun itukah dia??" Nadia rasa belum waktu nya suaminya untuk punya penyakit pikun kecuali Rendra akhir-akhir ini kepalanya terbentur sesuatu. Tapi,
Rendra POV Aduh, mandi malem lagi. Takutnya, kebanyakan mandi malem jadi rematik ntar. Ya tapi gimana? Akhir-akhir ini kesibukan gue luar biasa. Tapi, demi cuan untuk istri dan si buah hati, nggak apa-apa deh gue capek sekarang. Asal masa depan anak dan rumah tangga terjamin. "Massss!!" Aduh, si Nadia. Pasti kebelet pipis lagi. Emang sering gitu tuh dia. Paling nggak bisa liat gue lama-lama di kamar mandi, pasti langsung minta gantian karena dia kebelet pipis. "Sabar, Sayang. Mas lagi sabunan!" teriak gue dari dalem. Gue lanjutin mandi sampe satu menit kemudian, Nadia teriak lagi. "Masss!! Perut aku sakit!!" Gue yang ngedenger itu mendadak panik. Langsung bilas badan dan ngelilitin handuk asal-asalan. Pas gue keluar dari kamar mandi, Nadia udah terkapar di lantai sambil megangin perutnya. Astaga, gue bener-bener ng
Author POV "Sayang, masih ngantuk?" Rendra yang mendengar itu langsung membuka matanya. Nadia tersenyum. Kasihan juga suaminya. Seminggu jadi orang tua, Nadia kerap kali mendapati Rendra yang ketiduran dimana saja. Entah itu saat di meja makan, sedang menonton televisi, atau bahkan saat dia tengah chattingan dengan Jerry! Rena yang suka terbangun tengah malam karena haus atau mengompol, membuat jam tidur orang tua baru ini sedikit berkurang. Dan Rendra adalah tipe orang yang susah untuk tertidur lagi setelah terpaksa terbangun seperti itu. Rendra mengangguk lalu menyesap kopinya. "Kan udah aku bilang, Mas. Biar aku aja yang gantiin popoknya Rena, Mas lanjut tidur aja. Ini malah maksa nemenin aku." "Apa kamu pikir Mas tipe orang yang tega ngeliat istri sendiri begadang kayak gitu sementara Mas asyik lanjutin tidur?" Nadia menyajikan 2 piring nasi gor
Rendra POV "Kan aku bilang juga apa, Mas? Istirahat aja ngumpung lagi nggak lembur, malah ngajak jalan-jalan. Mas tuh bukan robot, perlu waktu buat istirahat. Tumbang juga 'kan akhirnya??" Buset, Nadia. Suaminya sakit gini, malah diomelin. Ya, tapi salah gue juga, sih. Kondisi badan emang lagi nggak fit waktu gue pulang kerja kemaren. Tapi gue paksa sehat-sehatin biar bisa ngajak Nadia sama Rena jalan-jalan. Dan akhirnya, gue tumbang juga. "Jangan ngomel-ngomel mulu, Sayang. Ntar Mas tambah sakit, lho!" bujuk gue biar Nadia berhenti ngomel. Bukannya berhenti, Nadia malah semakin ngeluarin taring. "Siapa yang nggak marah kalo suaminya nggak nurutin omongan istri?! Disuruh istirahat, makan di rumah, malah ngajak makan rawon!" Aw, syerem sekali. Dan gue cuma bisa ngeluarin satu jurus suami buat menenangkan emosi istri. "Ya udah. Mas salah, Mas minta maa
Nadia POV Seumur hidup gue, baru kali ini gue ngerasain gugup yang luar biasa, dan lagi-lagi dengan orang yang sama. Dulu waktu interview, gue juga gugup kayak gini pas masuk ruangannya seorang HRD yang udah jadi suami gue sekarang.Nah sekarang, lagi-lagi gue kudu gugup buat yang kedua kalinya buat ngomong sama Mas Rendra, mau bahas perihal dia yang mau ikut apa enggak terbang ke Malaysia hari Sabtu pekan ini. Pasti deh ada aja alesannya dia buat nolak. Sampai sekarang gue nggak tau alesan dia kenapa ogah banget kalo diajak ke Malaysia. Apa suami gue alergi sama Upin-Ipin? Lagian, Gung! Kenapa mesti jauh banget sih lo nikahnya?! Ya walaupun tiket pesawat sama hotel dia yang bayarin, tapi 'kan harus nyebrang negara juga. Malah repot kudu bawa bayi begini ke pesawat. Belum lagi bujuk Mas Rendra supaya mau ikut. Ya tapi, kalo gue nggak bisa
"Mau ke mana, Rena?"Gadis manis berusia 15 tahun itu langsung menoleh saat ayahnya bertanya dari teras. Aroma menyedapkan dari dapur, sempat menyapa indra penciumannya. Selesai memakai sepatu, gadis manis bernama lengkap Renata Eka Hardhani itu langsung saja menghampiri ayahnya."Mau ke rumahnya Bella, Pa.""Kemarin ke rumahnya Bella, sekarang juga ke rumahnya Bella. Memang di rumahnya Bella ada apa, sih? Tom Cruise?" tanya Rendra penasaran karena hampir setiap hari, anak gadisnya ini pergi ke rumah sahabatnya sejak SD. Diledek seperti itu, Rena hanya tersenyum tipis dan duduk di sebelah ayahnya. Tangannya tak tinggal diam karena gorengan bakwan ibunya terlalu menggoda untuk dilewatkan. "Di rumah udah ada Joe Taslim, ngapain ngeliat Tom Cruise lagi?"Rena berharap ayahnya akan terkekeh dengan candaannya, namun ternyata tidak. Rendra hanya menatapnya dengan tatapan tajam setajam elang. Rena kemudian teringat pesan ibunya yang mengatakan bahwa Rendra akan sedingin cuaca di antartika s
Jika dinikmati, waktu rasanya begitu cepat berlalu. Semuanya mengalir begitu cepat, namun peristiwa yang dialami, akan membekas sepanjang waktu. Tak terasa, enam bulan berlalu. Rena, anak putri semata wayangnya Rendra dan juga Nadia, kini sudah berumur 1 tahun. Sudah bisa menyebut "Mama" walau masih terbata-bata. Membuat Rendra terkadang gemas sendiri karena Rena masih belum bisa menyebut kata "Papa"."Mas?"Nadia menyapa saat Rendra mematung di depan cermin. Sudah hampir 10 menit lamanya Rendra mematung di sana, memperhatikan dirinya yang hari ini jauh lebih menawan dari hari biasanya. Setelan tuxedo yang Nadia belikan kemarin, sengaja ia pakai hari ini, hari yang mungkin akan membekas di seumur hidupnya. "Kamu bakalan kangen pasti pake jas-jas begini, gaya-gaya kantoran kayak gini."Kedua tangan Nadia, kini melingkar di perut Rendra. Wangi maskulin yang selalu membuat Nadia mabuk kepayang sejak pertama kali mereka bertatap muka, langsung saja menyapa indra penciuman Nadia yang sem
Karena Rendra yang masih belum bisa menyembunyikan rasa kecewa dan kesalnya, jadilah Nadia yang menyetir. Sebelum pulang, mereka harus menjemput Rena dulu yang mereka titipkan pada Acha. "Mas, udah dulu cemberutnya. Mau ketemu anak, mukanya jangan asem-asem."Rendra tak menjawab. Ini rasa kecewa terbesar yang ia alami selama hidupnya. Fahri telah membuatnya berprasangka buruk pada Syifa selama bertahun-tahun. "Mas nggak nyangka, Nadia. Tujuan dia nggak mau liat kakaknya menderita, tapi kenyataannya, dia yang semakin membuat kakaknya menderita. "Rasa penasaran itu kini telah terjawab di waktu yang tidak tepat. Masih teringat jelas betapa kecewanya wajah mantan mertuanya saat Fahri membongkar semuanya secara mendadak. Tak lama, mereka pun sampai di rumah Acha. Karena kondisi yang tak memungkinkan untuk berlama-lama, maka setelah berpamitan dengan Acha pun, Nadia langsung membawa anak dan suaminya pulang. Nadia ingin menyelesaikan dan membicarakan hal ini di rumah. "Biar Mas yang m
"Sampai kapan Akak nak macam ni? Akak mengandung anak dari seorang yang tak Akak cinta?"Emosi Fahri kala itu semakin menjadi ketika ia mendengar kabar kehamilan Syifa. Fahri dibuat bingung. Pasalnya, Syifa pernah berkata bahwa dirinya dan Rendra tak saling mencintai, dan untuk saling menyentuh, itu pun jarang sekali kecuali dalam keadaan terpaksa. Tentu saja Fahri dibuat terkejut dengan kehamilan ini. "Kak, janganlah Akak buat Fahri sakit kepala. Akak kate, Akak dan Bang Rendra tak pernah saling sentuh satu sama lain. Ha, cemana pula sekarang ni Fahri dengar bahwa Akak tengah pregnant? Akak gurau, keu?"Yang Fahri tak tahu, bahwa sekitar satu bulan yang lalu, di saat Syifa sedang berada dalam masa suburnya, Yuni memasukkan obat perang*** ke dalam minuman Rendra dan juga Syifa. Yuni nekat berbuat seperti itu karena tak melihat progress apa pun dalam hubungan keduanya. "Soal tu, kau tak payah tahu, Fahri. Yang jelas sekarang ni, Akak bahagia sangat karena Akak nak jadi seorang ibu. S
Rendra benar-benar dibuat terkejut oleh pernyataan Syifa yang terkesan seperti menyudutkan dan menyalahkan itu. Ingin marah, namun Rendra kembali teringat dan belajar dari kesalahan di masa lalu bahwa kemarahan tak akan menyelesaikan apa pun selain memperburuk keadaan. Dan dengan menarik napas dalam-dalam dan juga berusaha mengendalikan emosinya, Rendra pun menjawab pernyataan Syifa dengan nada selembut mungkin. "Ya, bukannya gitu, Syifa. Gue bukan nggak anggep lo. Tapi ... pas Mama meninggal, keadaan di sini juga lagi kacau. Bahkan keluarga kita sendiri pun juga nggak sempet kita kabarin karena saking kalutnya."Bagai menjelaskan pada anak kecil, Rendra pun menceritakan secara detail agar Syifa bisa langsung memahami. Dirinya juga pernah merasakan bagaimana keadaan mental seseorang selama sakit. Itu sebabnya Rendra bisa memahami bagaimana sensitifnya perasaan Syifa saat ini. "Dahlah tu, Kak. Jangan marah-marah macam ni, ye? Takde salah siapapun kat sini."Fahri ikut berusaha menen
Sembari menjaga Rena bermain, kedua mata Rendra juga ikut mengamati Nadia yang sedang sibuk memasak di dapur. Rendra perhatikan istrinya itu lekat-lekat sembari ia juga bertanya, entah terbuat dari apa hati istrinya itu hingga bisa setulus ini. "Rena, mainannya nggak boleh dimasukin ke mulut, Sayang."Ocehan kecil Rendra, membuat perhatian Nadia teralih sebentar, lalu sesaat kemudian, ia tersenyum kecil. Masakan sederhana, sebentar lagi akan matang dan siap disajikan di meja makan untuk menyambut kedatangan Syifa dan Fahri yang akan datang malam ini. "Udah siap, Nadia?""Bentar lagi, Mas."Dengan susah payah untuk berdiri lalu memasukkan Rena ke baby walker karena kakinya yang masih terasa sedikit ngilu, akhirnya Rendra pun berhasil lalu ikut membawa Rena untuk menemui Nadia. Nadia yang menyadari kehadiran Rendra pun, sempat heran dan bertanya-tanya kenapa suaminya memandangnya dengan tatapan sendu saat ini. "Kenapa, Mas? Mau mandi?"Tak ada jawaban, baik berupa suara, maupun gera
"Pelan-pelan aja, Mas."Rendra mengangguk ketika Nadia mewanti-wanti dirinya agar melangkah lebih perlahan-lahan. Setiap hari, memang seperti ini rutinitasnya setelah terkena penyakit stroke, satu bulan yang lalu. Melatih otot-otot kakinya dengan berjalan kecil di taman belakang rumah, lumayan membantu proses pemulihan. Syukurnya, Allah masih beri kesempatan Rendra untuk sembuh dan kesempatan hidup setelah ia jatuh tak sadarkan diri di kamar mandi waktu itu. Tak bisa Nadia bayangkan jika ia harus kehilangan suaminya di waktu yang singkat setelah kematian Yuni. "Alhamdulillah, Mas udah mulai lancar jalannya. Udah nggak terlalu keliatan banget pincangnya," ujar Nadia setelah mendudukkan suaminya di kursi. Rendra memang masih belum sanggup untuk lama-lama berjalan. Paling lama hanya sekitar 15 menit saja. "Iya, Sayang. Alhamdulillah. Mudah-mudahan aja bisa lebih cepet lagi biar Mas bisa kerja lagi. Serasa makan gaji buta suamimu ini jadinya."Rasa-rasanya, Rendra harus banyak bersyuku
Walau rasanya raga tak lagi kuat untuk sekedar berdiri, namun Rendra tetap menjalankan kewajiban terakhirnya sebagai seorang anak laki-laki dengan ikut masuk ke liang lahat dan memasukkan jenazah Yuni. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari matanya, begitu juga dengan Regi dan Reza. Kini, mereka telah kehilangan cahaya hidup. Tanpa meninggalkan tanda apa pun, Yuni pergi untuk selamanya."Ma, kenapa pergi? Eka baru aja mau resign dari kerjaan dan nemenin Mama di Aceh. Tapi kenapa sekarang Mama malah pergi?"Ketika tubuh kaku Yuni mulai ditimbun tanah, pertanyaan itu terlontar sendiri, menggema di relung hati Regi. Si sulung ini begitu tak percaya bahwa tahun ini ia akan kehilangan ibunya. Padahal, banyak rencana yang ia ingin wujudkan dengan ibunya."Mama, katanya mau liat Dwi nikah. Dwi udah nemu calon menantu Mama dan Dwi udah ada niat buat kenalin dia sama Mama. Tapi, Mama kok udah pergi aja? Hati Dwi hancur, Ma. Rasa sedih karena kehilangan Pap
Rumah besar itu mulai ramai. Sebagai menantu, Nadia menyambut kedatangan orang-orang di pintu rumahnya. Orang-orang itu menyampaikan kalimat yang sama.Turut berduka cita.Ya. Yuni telah meninggalkan mereka semua, sembilan jam yang lalu. Pembuluh darah yang pecah, membuat pihak rumah sakit tak bisa menyelamatkannya. Tak ada yang bisa dilakukan selain menangis dengan hati yang hancur. Seorang perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan mereka itu, kini telah meninggalkan dunia ini."Makasih banyak ya, Bu.""Sama-sama. Yang sabar ya, Nadia. Semua cobaan ini, Allah kasih buat nguatin kalian semua. Kematian udah jadi takdirnya Allah."Nadia hanya mengangguk kecil. Memang betul apa yang dinasihati tetangganya itu tapi, tak mudah untuk dilakukannya sekarang. Rasa terkejut, syok karena tiba-tiba dikejutkan oleh kepergian yang mendadak, membuat ketiga anak-anak dan menantu Yuni, belum bisa untuk berpikir jernih.Terutama Rendra