"Kenapa kita belanja di pasar tradisional, sih, Mas?" tanya Ilona penasaran.
Laki-laki bertubuh tegap yang berada di sampingnya tidak langsung menjawab, terlihat berpikir sembari berjalan. Ilona pun mengikuti gerak langkah Erlangga. Sesekali dia melirik, menanti jawaban di pemilik rumah mewah.
"Emang ada yang salah?" tanya Erlangga.
Ilona mengembuskan napas kasar, malas pertanyaan dijawab dengan sebuah pertanyaan.
"Enggak, sih. Namun, biasanya orang kaya itu belanjanya di swalayan. Kenapa ini di pasar?"
"Untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Kalau semua belanja di swalayan, lalu kasihan pedagang di pasar tradisional, dong. Dagangan mereka enggak laku," kilah Erlangga.
Gadis bermanik mata cokelat itu terdiam, meresapi ucapan Erlangga. Memang benar, jika semua orang belanja di pasar modern, lantas apa kabar penjual di pasar tradisional? Bukankah hidup itu harus ada keseimbangan?
"Aku akan mengantar kamu belanja ke sini beberapa kali, ingat-ingat jalannya. Kalau aku mulai sibuk, nanti tidak ada waktu buat mengantarmu. Kalau belanja sayuran, cukup di Kang Paiman saja," jelas Erlangga.
Ilona manggut-manggut sembari mengikuti langkah Erlangga dari satu los ke los lainnya. Gadis berparas ayu itu merasa takjub sebab laki-laki gagah seperti Erlangga mampu menghapal seluk-beluk pasar. Bisa dipastikan bahwa hal itu bukan pertama kalinya.
"Pakdhe, nyuwon tulung betakaken belanjaan niki teng parkiran (Pakdhe, minta tolong bawakan belanjaan ini ke parkiran)," ucap Erlangga sopan dengan logat Jawa pada seorang kuli panggul.
"Nggih, Mas. Dangu mboten kepanggih, kasunyatanipun sampun emah-emah, nggih (Iya, Mas. Lama tidak ketemu, ternyata sudah menikah, ya?)" jawab kuli tersebut ramah.
Erlangga menyunggingkan senyuman. "Sanes, Pakdhe. Niki karyawan enggal damel rencang-rencang wonten griyo (Bukan, Pakdhe. Ini karyawan baru untuk bantu-bantu di rumah)."
"Oalah, karyawan ayu ngeten kedahipun dados gawane sampeyan, Mas (Oalah, karyawan cantik seperti itu harusnya jadi istrinya kamu, Mas)."
Laki-laki bertubuh kekar itu kembali terkekeh. Sementara, Ilona dibuat heran dengan percakapan dua laki-laki tersebut. Dia paham sedang menjadi bahan pembicaraan. Namun, gadis itu tidak ingin sok ikut campur obrolan mereka.
Setelah kuli panggul berpamitan untuk membawakan barang belanjaan, Erlangga beralih menatap Ilona. Gadis itu tampak lucu dengan bibir mengerucut kesal. Sontak saja, laki-laki berlesung pipi tersebut semakin melebarkan senyuman.
"Enggak lucu, Mas! Aku heran, kenapa orang-orang menyangka aku ini istrimu? Menyebalkan!" geram Ilona.
"Harusnya kamu itu bangga, bukan malah kesal."
"Idih, buat apa bangga? Enggak ada yang bisa dibanggakan menjadi istrimu, Mas."
Ilona berjalan mendahului Erlangga. Gadis berhidung minimalis itu merasa kesal. Memiliki majikan yang memiliki kepercayaan diri tinggi kadang membuatnya keki sendiri. Namun, Erlangga pun segera menyejajarkan langkah dengan Ilona. Dia takut asisten rumah tangga barunya tersesat di kota orang.
"Jangan marah, aku cuma bercanda," ucap Erlangga lirih.
"Enggak, kok, Mas. Aku hanya ingin menyusul kuli itu, dia tahu mobil milik kamu apa tidak."
"Santai saja, dia udah paham, kok."
"Kamu sering ke pasar, ya, Mas? Bapak tadi sepertinya akrab sekali denganmu," tanya Ilona.
"Bisa dibilang begitu. Dulu aku sering mengantar asisten sebelum kamu ke pasar dan Bapak tadi yang membawakan barang."
"Oh, apa karena asistennya cantik juga seperti aku?" Ilona menoleh, lalu tersenyum menggoda pada Erlangga.
Erlangga menautkan alis dan ikut tersenyum melihat wajah Ilona yang menggemaskan.
"Dia memang cantik, wanita yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Aku menghormati dia layaknya ibu sendiri."
"Ibu? Berarti dia udah tua, dong?" Gadis berambut sepunggung itu mendelik kesal.
"Mau tua atau muda yang namanya perempuan pasti cantiklah."
Erlangga semakin terkekeh melihat raut wajah Ilona. Entah mengapa ada rasa berbeda di sudut hati. Sejak pertama berjumpa, dia merasa Ilona itu menyenangkan hingga membuat dirinya nyaman. Namun, Erlangga tetap waspada sebab bagaimanapun gadis itu merupakan orang baru dalam kehidupannya.
Sampai di tempat parkir, barang belanjaan mereka telah tergeletak di samping mobil. Kuli panggul tersebut pun membantu untuk memasukkan ke mobil sebelum Erlangga memberikan sejumlah uang sebagai imbalan.
"Matur suwun, Mas Erlang. Mugi-mugi rezekine tansaya katah (Terima kasih, Mas Erlang. Semoga rezekinya tambah banyak)," ucap laki-laki paruh baya itu semringah.
"Nggih, sami-sami, Pakdhe (Iya, sama-sama, Pakdhe)."
Laki-laki bertubuh kekar itu menyunggingkan senyuman seiring kuli tersebut pergi. Erlangga pun mengajak Ilona masuk mobil. Namun, pandangan gadis tersebut tiba-tiba tertuju pada seseorang yang tak asing di belakang Erlangga.
Ilona tiba-tiba berlari, mengejar orang tersebut. Sesekali dia berteriak, memanggil namanya. Namun sayang, pengendara motor itu tidak mendengar. Erlangga yang merasa heran pun ikut mengejar gadis tersebut. Takut bila Ilona tersesat atau bahkan terjadi sesuatu padanya.
"Awas!" Erlangga memekik, lalu meraih tubuh Ilona yang hampir terserempet motor.
Gadis berambut sepunggung itu tergemap ketika Erlangga menariknya dengan paksa. Pada detik berikutnya, dia bergeming dalam dekapan laki-laki berlesung pipi tersebut. Tanpa sadar, pandangan mereka berada satu garis lurus hingga menimbulkan desir aneh pada hati masing-masing.
"Kalau jalan hati-hati! Hampir saja terserempet motor, 'kan? Emang kamu lihat siapa?" Menyadari ada yang salah dengan hatinya, Erlangga melepas dekapan. Dia pun mencecar Ilona dengan berbagai macam pertanyaan untuk mengalihkan perhatian.
"Itu, Mas. Aku lihat Arsen tadi," jawab Ilona dengan nada bicara senormal mungkin. Padahal, dirinya merasa gugup setelah kejadian tak terduga itu.
"Arsen? Siapa dia?"
"Dia pacar aku, Mas. Orang yang aku ceritakan waktu itu. Aku yakin tadi itu dia, pakai motor yang melaju ke sana. Ayo, kita kejar dia, Mas!"
Erlangga mengikuti telunjuk Ilona. "Dikejar pun percuma, dia pasti udah jauh. Ayo, pulang!"
"Tapi, Mas ...."
Laki-laki berahang tegas itu berlenggang begitu saja, meninggalkan Ilona yang masih terpaku. Melihat sikap sang majikan, bibir mungil Ilona mengerucut. Kesempatan bertemu Arsenio telah di depan mata, tetapi Erlangga tidak mau membantunya untuk mengejar.
Ilona duduk di samping Erlangga dengan bersedekap, sorot matanya mengarah ke luar jendela. Selain kesal dengan Erlangga, dia pun berharap dapat melihat Arsenio. Jika berjumpa dengan kekasih hatinya, Ilona tidak usah bersusah payah bekerja di rumah Erlangga. Arsenio pernah berucap bahwa dia akan menanggung semua kebutuhan Ilona selama tinggal bersama di Yogyakarta. Bahkan, laki-laki pecinta otomotif itu berjanji akan menghalalkan dirinya.
"Kenapa cemberut? Jelek tahu!" tanya Erlangga untuk membuka keheningan.
"Tadi itu kesempatan buat aku bertemu Arsen. Kenapa Mas Erlangga tidak mau membantu mengejar?" geram Ilona.
Erlangga mengembuskan napas kasar. Dia pun tidak mengerti mengapa tidak mau membantu gadis itu untuk berjumpa sang kekasih. Dalam hati, Erlangga tidak rela jika Ilona tinggal bersama laki-laki yang belum jelas asal-usulnya. Padahal, dia dan Ilona tidak terikat hubungan apa pun. Pastinya, gadis bermanik mata cokelat itu pasti lebih mengenal Arsen daripada dirinya. Namun, mengapa dia masih tidak rela berpisah dari gadis asing yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya?
"Kamu tahu, dia pergi ke arah jalan raya. Bagaimana kita bisa mengejar dengan berlari? Memakai mobil pun percuma, jarak waktunya terlalu lama. Pasti tidak akan terkejar." Erlangga berkilah sembari melirik Ilona sesaat, melihat ekspresi gadis itu setelah mendengar jawabannya.
Gadis bertubuh mungil itu mengerucutkan bibir. Dia membenarkan penjelasan Erlangga. Namun, sudut hatinya menyesal tidak dapat berjumpa Arsenio pada detik itu juga. Kejadian di pasar semakin meyakinkan dirinya bahwa sang kekasih berada begitu dekat. Ilona berharap bisa segera berjumpa dan bersama Arsenio kembali.
Sesampainya di rumah berukiran kayu, Ilona bergegas keluar mobil. Dia melupakan belanjaan dan keberadaan Erlangga. Gadis itu membuka pintu dengan kunci yang diberikan sang majikan sebelumnya, lalu menuju dapur untuk mengambil segelas air dingin. Dia ingin menghilangkan haus yang sedari tadi menyerang tenggorokan sekaligus mendinginkan hati agar tidak meluapkan emosi."Kenapa meninggalkanku begitu saja?" protes Erlangga dengan membawa barang belanjaan."Aku haus, Mas.""Masih marah sama aku?"Erlangga meletakkan barang belanjaan. Sementara itu, Ilona masih enggan menjawab. Gadis itu malah mengambil barang belanjaan untuk disimpan. Erlangga yang berdiri tidak jauh darinya hanya memperhatikan wajah cemberut gadis tersebut dengan bersandar pada dinding."Aku janji akan membantu mencari pacarmu itu. Tenang saja, sedikit banyak aku memiliki teman di sini. Berikan saja fotonya," ujar Erlangga.Mendengar ucapan laki-laki itu, mata Ilona berbinar. Di
"Lona!"Teriakan Erlangga menggema ke seluruh penjuru rumah. Dia menggedor pintu kamar pembantu cantiknya dengan tidak sabar."Lona!"Dengan malas, Ilona segera bangkit setelah mendengar suara Erlangga. Sebelum membuka pintu, dia terlebih dahulu menghapus sisa air mata di pipi. Menangis nyatanya tidak serta merta meredakan emosi, gadis itu masih marah pada si pemilik rumah. Begitu pula dengan Arsenio yang tidak kunjung diketahui kabarnya.Sebelum Erlangga kembali mengetuk pintu, Ilona terlebih dahulu membukakan. Gadis itu terkejut ketika si pemilik rumah merangsek masuk kamarnya. Tidak hanya itu, bahkan laki-laki tersebut menutup pintu dan menguncinya.Debaran dalam dada Ilona kian kencang. Dia memperhatikan raut wajah bingung Erlangga. Perlahan tapi pasti, gadis itu bersiap untuk menjaga diri. Takut bila sesuatu tidak diinginkan terjadi. Bukankah Erlangga juga
"Kenapa buka pintunya lama, sih, Lang? Nyembunyiin sesuatu lu, ya?"Erlangga berdiri di ambang pintu sembari memperhatikan tamu yang sedari tadi menekan bel rumah. Dia menatap tak suka pada laki-laki berjaket kulit di hadapannya. Bukan tidak boleh berkunjung ke rumahnya, hanya saja di saja ada Ilona. Erlangga tidak ingin sahabatnya yang buaya darat mengelabuhi Ilona."Selain rumahku, tidak adakah tempat lain yang bisa kamu kunjungi?" Erlangga balik bertanya."Enggak suka banget gue ke sini, harusnya seneng sahabat lu datang kemari," lanjut laki-laki berjaket kulit itu.Erlangga menggeleng pelan saat laki-laki yang mengaku sebagai sahabatnya itu menerobos masuk ke rumah. Dia pun segera menutup pintu dan mengekor di belakangnya. Seseorang yang baru datang itu langsung duduk di sofa, seakan rumah tersebut miliknya juga."Menginaplah di hotel, Van. Biasanya juga begitu,
"Aduh! Mas Erlangga marah enggak, ya. Aku putar musiknya malah agak kencang. Tamunya Mas Erlangga dengar enggak, ya?" gumam Ilona di dalam kamar. Beberapa kali gadis itu mendengarkan keadaan luar dari melalui pintu kamarnya. Dia takut jika persembunyiannya sampai diketahui. Sunyi. Ilona tidak dapat mendengar apa-apa di luar kamarnya. Dia kembali menajamkan pendengaran. Nihil. Suara Erlangga dan sahabatnya tidak terdengar sama sekali. "Apakah mereka pergi? Apakah Mas Erlangga sudah berhasil membawa tamunya keluar rumah?" ucapnya lagi. Ilona hendak meraih kenop pintu, tetapi nada dering ponsel miliknya lebih dahulu terdengar. Gadis itu segera meraih ponsel di nakas. Sebuah pesan dari pemilik nama Erlangga masuk di aplikasi hijau miliknya. Tidak menunggu lama, Ilona segera membukanya. [Dasar! Hampir
"Ke mana si Ilona, Pak? Sudah beberapa minggu, tetapi belum ada kabar tentang dia. Kalau Ilona terjerumus pada hal yang ndak-ndak gimana?" Rahma memijit kening yang berdenyut. Sejak Ilona pergi, dia tidak pernah tidur nyenyak.Sementara itu, Janu yang duduk di kursi lain tampak berpikir keras. Dia sudah berusaha mencari Ilona di beberapa tempat di Yogyakarta. Akan tetapi, belum ada kabar tentang gadis itu. Dia sendiri dilanda bingung sebab sahabatnya, Lukito, selalu menanyakan perihal Ilona."Pak!" bentak Rahma."Lalu, Bapak harus gimana, Bu? Bapak sudah berusaha mencari ke beberapa tempat di Yogya. Terutama di sekitar terminal. Tapi, Ilona belum ketemu." Nada suara Janu sedikit meninggi, kesal selalu di desa. Padahal, dia pun sedang berpikir keras mencari cara untuk menemukan sang putri."Ibu enggak mau tahu, temukan Ilona secepatnya, Pak! Dia anak kita satu-satunya. Ibu enggak akan memaafkan Bapak kalau Ilona sampai kenapa-napa!"Rahma bangkit, l
Erlangga tidak pernah mengingkari janjinya. Dia sengaja pulang dari kantor lebih awal hanya untuk mengajak Ilona ke pantai. Selama perjalanan, mereka saling diam. Masih ada rasa canggung antara keduanya sebab pelukan tiba-tiba pada pagi hari. Di boncengan motor Erlangga, Ilona duduk sedikit menjaga jarak. Dia takut berbuat di luar batas lagi. Ilona tahu, tidak sepantasnya dia memeluk Erlangga. Akan tetapi, dia hanya refleks karena bahagia. Nyatanya, pelukan itu menimbulkan perasaan berbeda di hati. Ilona selalu berdebar setiap melihat si pemilik rumah. Sialnya, mobil Erlangga sedang tidak di rumah dan mereka harus pergi naik motor. Selama perjalanan, Ilona menikmati indahnya Kota Yogyakarta. Kota tersebut termasuk daerah yang ramai dan menjadi tujuan berwisata. Selain itu, di sana termasuk tujuan untuk mengenyam pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Dahulu, Ilona pun bermimpi bisa kuliah di Yogyakarta. Akan tetapi, Janu tidak merestuinya. Dia tidak ingin anak perem
"Baik-baik di rumah. Kalau butuh belanja sayur, cukup di tukang sayur depan rumah. Jangan keluyuran enggak jelas. Tunggu aku pulang, baru kita cari Arsenio!" pesan Erlangga.Ilona menyunggingkan senyuman. Sudah puluhan kali dia mendengar pesan yang sama dari bibir Erlangga. Gadis itu hanya bisa mengatakan 'iya' sebagai jawaban.Sebuah koper telah digenggam Erlangga. Laki-laki itu berhenti di ruang televisi, lantas berbalik menatap Ilona yang berada di belakangnya. Sementara itu, Ilona mengernyitkan kening. Dia heran dengan polah laki-laki berkemeja kotak tersebut. Padahal, Erlangga ingin ke Jakarta untuk menemui kekasih hatinya. Namun, mengapa dia malah mengkhawatirkan dirinya yang berada di rumah?"Ada apa lagi, Mas?" tanya Ilona."Ingat pesanku!" tegas Erlangga."Iya. Iya. Iya. Aku tahu My Boss paling ganteng. Jangan khawatirkan aku. Tenang saja."Mendapat jawaban yang begitu manis, Erlangga merasakan sesuatu yang berbeda. Dadanya me
Cukup lama Ilona menunggu, tetapi pesannya tidak kunjung mendapat balasan. Gadis itu berdecak kesal, Arsenio sungguh telah menguji kesabaran."Ish, kenapa enggak aktif lagi? Apa dia melupakanku? Apa dia sudah memiliki wanita lain? Enggak ... enggak ... enggak." Ilona menggeleng cepat, menepis pikiran buruk.Untuk mendinginkan hati, Ilona pun berniat mencari minuman dingin. Dia mengayunkan kaki melewati ruang keluarga untuk menuju dapur. Ilona meraih gelas, lalu menuang minuman dingin yang diambil dari dalam kulkas. Perlahan, dia meneguk hingga habis. Setelah puas, tangannya mengusap mulut yang basah."Aku pasti akan menemukanmu, Arsen!" gumam Ilona.Gadis berambut sebahu itu memilih kembali ke kamar. Tidak ada Erlangga di rumah membuatnya sedikit santai. Dia tidak harus menyiapkan makanan. Ilona sendiri bisa makan sesuka hati, apa yang diinginkan.Ketika melewati ruang keluarga, tiba-tiba Ilona terbayang wajah Erlangga. Biasanya, laki-laki itu dudu
Kenapa belum tidur, Mas?” tanya Ilona ketika melihat Erlangga duduk di beranda belakang. Laki-laki itu menoleh, lalu menyunggingkan senyuman melihat Ilona yang berdiri di ambang pintu dengan mata menyipit. “Aku belum mengantuk, Lon. Kalau kamu masih ngantuk, tidur lagi sana!” perintah Erlangga. Bukannya menuruti ucapan sang bos, Ilona malah mendekat dan duduk di samping Erlangga. Awalnya, dia terbangun sebab haus dan mengambil air minum di dapur. Akan tetapi, ketika hendak kembali ke kamar, Ilona melihat pintu belakang yang terbuka. Oleh sebab itu, dia mendekat dan mendapati Erlangga tengah termenung di sana. “Mas Erlangga lagi ada masalah, ya?” tanya Ilona lagi. “Enggak.” “Lalu, kenapa belum tidur jam segini?” “Ada hal yang sedang aku pikirkan saja.” Satu pukulan mendarat di lengan Erlangga. Sontak saja laki-laki pemilik bisnis kontruksi itu mengaduh kesakitan. Dia menoleh dan memperlihatkan tatapan tajam pada Ilona. “Sakit tahu, Lon! Kamu itu wanita atau laki-laki, sih? Ka
“Apa perasaanmu lebih baik?” tanya Mario di sela-sela menikmati makan malam. “Ya, seperti yang kamu lihat saat ini. Aku baik-baik saja,” balas Bianca. Keduanya pun saling berbalas senyuman, lalu kembali menyuap makanan ke mulut masing-masing. Sepulang bekerja, Mario sengaja menanti Bianca di tempat biasanya. Laki-laki itu tidak ingin hubungan dekatnya dengan sang baawahan diketahui karyawan lainnya. Bukan tanpa sebab, jika kedekatan mereka tercium, maka akan menimbulkan gosip dikalangan karyawan. Hal itu tidak baik untuk karir keduanya. Terlebih, Mario merupakan anak dari pemilik perusahaan yang akan meneruskan bisnis sang papa. Hubungan tersembunyi keduanya sudah berlangsung sekitar tiga tahun. Tepatnya, setelah Mario mulai bekerja di perusahaan sang papa usai mengurus cabang di luar kota. Dia yang tertarik pada Bianca, langsung mencoba mendekatinya. Sayangnya, pengakuan Bianca bahwa dirinya telah memiliki tunangan membuat Mario kecewa. Laki-laki itu pun memutuskan untuk berteman
“Yakin cuma belanja ini saja, Mbak?” tanya Pak Paiman, tukang sayur keliling langganan Ilona. “Iya, Pak. Mas Erlangga sedang tidak ada di rumah. Jadi, aku hanya masak sedikit saja,” jawab Ilona. “Lagi ada tugas luar kota?" Ilona mendekat, lalu berkata dengan sedikit berbisik, “Mas Erlangga sedang ke Jakarta menemui kekasihnya, Pak.” Pak Paiman manggut-manggut. Tangan legamnya dengan terampil memasukkan belajaan Ilona ke kantong plastik sembari menghitung. Setelah itu, laki-laki paruh baya tersebut menyerahkan plastik berisikan sayur bayam beserta tahu dan tempe kepada Ilona. Gadis itu pun menerima dan mengeluarkan sejumlah uang sesuai harga belanjaan. “Mbak Ilona enggak cemburu gitu Mas Erlangga ke Jakarta?” lanjut Pak Paiman. “Cemburu? Kenapa aku harus cemburu? Pak Paiman ini ada-ada aja.” Ilona terkekeh, lucu mendengar pertanyaan laki-laki paruh baya tersebut. “Lah iya, dilihat-lihat itu Mas Erlangga ganteng, banyak gadis-gadis di sini yang naksir, loh. Bisa saja Mbak Ilona ju
[Aku sudah sampai. Kamu baik-baik saja di rumah, 'kan?]Ilona membaca sekilas pesan dari Erlangga yang masuk ke ponsel miliknya. Setelah itu, dia meletakkan benda pipih itu tanpa berniat membalas. Ilona bersyukur majikan tampannya telah sampai di Jakarta. Selama berada di sana, gadis itu berjanji tidak akan mengganggu Erlangga.Ilona keluar dari aplikasi hijau, lalu beralih ke aplikasi berlogo F. Dia kembali memeriksa pesan masuk, barangkali Arsenio mengirim pesan. Akan tetapi, angannya tidak sesuai kenyataan. Akun milik Arsenio tidak aktif.Untuk menenangkan hati, Ilona beralih ke dapur dan menyeduh secangkir cokelat hangat. Gadis itu tersenyum bahagia ketika menghidu aroma cokelat yang begitu lezat. Dia pun membawa secangkir cokelat itu beserta setoples camilan ke ruang televisi.Setelah meletakkan minuman serta makanan ke meja, Ilona mencari remote televisi. Akan tetapi, dia tidak menemukan benda tersebut. Ilona membuka laci meja satu per satu, barangk
Cukup lama Ilona menunggu, tetapi pesannya tidak kunjung mendapat balasan. Gadis itu berdecak kesal, Arsenio sungguh telah menguji kesabaran."Ish, kenapa enggak aktif lagi? Apa dia melupakanku? Apa dia sudah memiliki wanita lain? Enggak ... enggak ... enggak." Ilona menggeleng cepat, menepis pikiran buruk.Untuk mendinginkan hati, Ilona pun berniat mencari minuman dingin. Dia mengayunkan kaki melewati ruang keluarga untuk menuju dapur. Ilona meraih gelas, lalu menuang minuman dingin yang diambil dari dalam kulkas. Perlahan, dia meneguk hingga habis. Setelah puas, tangannya mengusap mulut yang basah."Aku pasti akan menemukanmu, Arsen!" gumam Ilona.Gadis berambut sebahu itu memilih kembali ke kamar. Tidak ada Erlangga di rumah membuatnya sedikit santai. Dia tidak harus menyiapkan makanan. Ilona sendiri bisa makan sesuka hati, apa yang diinginkan.Ketika melewati ruang keluarga, tiba-tiba Ilona terbayang wajah Erlangga. Biasanya, laki-laki itu dudu
"Baik-baik di rumah. Kalau butuh belanja sayur, cukup di tukang sayur depan rumah. Jangan keluyuran enggak jelas. Tunggu aku pulang, baru kita cari Arsenio!" pesan Erlangga.Ilona menyunggingkan senyuman. Sudah puluhan kali dia mendengar pesan yang sama dari bibir Erlangga. Gadis itu hanya bisa mengatakan 'iya' sebagai jawaban.Sebuah koper telah digenggam Erlangga. Laki-laki itu berhenti di ruang televisi, lantas berbalik menatap Ilona yang berada di belakangnya. Sementara itu, Ilona mengernyitkan kening. Dia heran dengan polah laki-laki berkemeja kotak tersebut. Padahal, Erlangga ingin ke Jakarta untuk menemui kekasih hatinya. Namun, mengapa dia malah mengkhawatirkan dirinya yang berada di rumah?"Ada apa lagi, Mas?" tanya Ilona."Ingat pesanku!" tegas Erlangga."Iya. Iya. Iya. Aku tahu My Boss paling ganteng. Jangan khawatirkan aku. Tenang saja."Mendapat jawaban yang begitu manis, Erlangga merasakan sesuatu yang berbeda. Dadanya me
Erlangga tidak pernah mengingkari janjinya. Dia sengaja pulang dari kantor lebih awal hanya untuk mengajak Ilona ke pantai. Selama perjalanan, mereka saling diam. Masih ada rasa canggung antara keduanya sebab pelukan tiba-tiba pada pagi hari. Di boncengan motor Erlangga, Ilona duduk sedikit menjaga jarak. Dia takut berbuat di luar batas lagi. Ilona tahu, tidak sepantasnya dia memeluk Erlangga. Akan tetapi, dia hanya refleks karena bahagia. Nyatanya, pelukan itu menimbulkan perasaan berbeda di hati. Ilona selalu berdebar setiap melihat si pemilik rumah. Sialnya, mobil Erlangga sedang tidak di rumah dan mereka harus pergi naik motor. Selama perjalanan, Ilona menikmati indahnya Kota Yogyakarta. Kota tersebut termasuk daerah yang ramai dan menjadi tujuan berwisata. Selain itu, di sana termasuk tujuan untuk mengenyam pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Dahulu, Ilona pun bermimpi bisa kuliah di Yogyakarta. Akan tetapi, Janu tidak merestuinya. Dia tidak ingin anak perem
"Ke mana si Ilona, Pak? Sudah beberapa minggu, tetapi belum ada kabar tentang dia. Kalau Ilona terjerumus pada hal yang ndak-ndak gimana?" Rahma memijit kening yang berdenyut. Sejak Ilona pergi, dia tidak pernah tidur nyenyak.Sementara itu, Janu yang duduk di kursi lain tampak berpikir keras. Dia sudah berusaha mencari Ilona di beberapa tempat di Yogyakarta. Akan tetapi, belum ada kabar tentang gadis itu. Dia sendiri dilanda bingung sebab sahabatnya, Lukito, selalu menanyakan perihal Ilona."Pak!" bentak Rahma."Lalu, Bapak harus gimana, Bu? Bapak sudah berusaha mencari ke beberapa tempat di Yogya. Terutama di sekitar terminal. Tapi, Ilona belum ketemu." Nada suara Janu sedikit meninggi, kesal selalu di desa. Padahal, dia pun sedang berpikir keras mencari cara untuk menemukan sang putri."Ibu enggak mau tahu, temukan Ilona secepatnya, Pak! Dia anak kita satu-satunya. Ibu enggak akan memaafkan Bapak kalau Ilona sampai kenapa-napa!"Rahma bangkit, l
"Aduh! Mas Erlangga marah enggak, ya. Aku putar musiknya malah agak kencang. Tamunya Mas Erlangga dengar enggak, ya?" gumam Ilona di dalam kamar. Beberapa kali gadis itu mendengarkan keadaan luar dari melalui pintu kamarnya. Dia takut jika persembunyiannya sampai diketahui. Sunyi. Ilona tidak dapat mendengar apa-apa di luar kamarnya. Dia kembali menajamkan pendengaran. Nihil. Suara Erlangga dan sahabatnya tidak terdengar sama sekali. "Apakah mereka pergi? Apakah Mas Erlangga sudah berhasil membawa tamunya keluar rumah?" ucapnya lagi. Ilona hendak meraih kenop pintu, tetapi nada dering ponsel miliknya lebih dahulu terdengar. Gadis itu segera meraih ponsel di nakas. Sebuah pesan dari pemilik nama Erlangga masuk di aplikasi hijau miliknya. Tidak menunggu lama, Ilona segera membukanya. [Dasar! Hampir