2004
Aku berdiri dari bangku penumpang bus yang penuh sesak saat sudah akan sampai di tempat aku akan turun. Berdesakan berusaha mencari jalan menuju pintu bus bagian depan. Seperti hari-hari sebelumnya. Rutinitas harian setiap pagi saat berangkat ke sekolah. Beberapa siswa siswi dengan seragam OSIS dari sekolah yang berbeda denganku, juga terlihat tengah bersiap-siap turun. Kami memang akan turun di tempat yang sama. Halte Tunas Muda atau yang biasa disingkat HTM.
Namaku Adinda Sekarayu. Biasa dipanggil Sekar. Berusia enam belas tahun, duduk di kelas sebelas IPA 1 di salah satu sekolah negeri, dan sedang berjalan menyusuri halte menuju sekolah. Di tahun ini sistem pendidikan baru saja mulai menggunakan kembali sistem semester. Mie Anak Mas mewarnai toko kelontong. Dan juga hari Minggu menjadi surga bagi anak sekolah karena penuh dengan kartun dari pagi hingga siang hari.
Di tahun ini, film Eifel I'm in Love yang ditayangkan beberapa waktu lalu masih menjadi kiblat untuk mendapat predikat kisah romantis, setidaknya di sekolahku. Original soundtrack dari film itu sendiri juga paling banyak dan paling sering direquest oleh pendengar radio sambil menitip salam untuk si dia. Termasuk aku. Walau menggunakan nama samaran sih. Selain itu lagu-lagu dari band Sheila On 7, Dewa19, Marcel, Glen Fredly dan Ada Band juga sering diputar.
Aku berjalan beriringan dengan anak sekolah lain. Aku tersenyum saat melihat punggung itu. Punggung yang sudah aku hapal betul siapa pemiliknya. Punggung yang selalu berjalan di depanku dengan tegap dan gagah. Tas punggung warna hitamnya tercangklong rapi. Saat berjalan punggung itu akan terus berjalan lurus ke depan. Tidak akan terpengaruh dengan orang-orang di sekitarnya kecuali terjadi sesuatu yang darurat seperti minggu lalu saat ada kecelakaan di dekat sekolah.
Aku tersenyum melihat punggung itu. Rasanya jadi tidak ingin jalan cepat-cepat. Ingin menatap punggung itu lebih lama. Jalan sejauh apapun terasa lebih dekat, aman, nyaman dan menyenangkan. Lucu ya. Padahal hanya sebatas punggungnya saja yang terlihat. Setiap kali aku melihat punggung itu, suara Melly Goeslaw seakan berubah menjadi backsoundnya.
Bulan mendekap wajah yang murung
Serpihan rindu ingin kusapu
Sepiku hilang saat kau hadir
Menepis semua gundah
Bisakah engkau menundukkan wajah?
Coba berpikir dari sisi aku
Pernahkah engkau merasakan rindu
Sampai menggigil sepertiku kini?
(Tak Tahan Lagi- Melly Goeslaw)
Lagu Melly Goeslaw itu terngiang di telingaku saat sedang fokus mengamati punggung seorang remaja laki-laki ini sebelum sebuah siulan mengalihkan perhatianku.
"Suittt suittt."
Tanpa perlu menoleh aku tahu siapa yang bersiul heboh dari jauh. Gerombolan anak nakal yang sering membolos kelas dan terlambat masuk sekolah sedang nongkrong di warung soto Bu Jah. Padahal mereka berada tepat di warung seberang sekolah. Tapi tetap saja mereka terlambat. Pernah juga mereka dihampiri oleh kepala sekolah karena ketahuan tidak masuk kelas dan malah asyik main catur sambil merokok. Seakan tidak ada tempat nongkrong yang lebih asyik untuk dijadikan tempat membolos saja.
"Suitttt suitttt."
Mereka bersiul lagi. Memang mereka selalu menggoda begitu setiap ada siswi yang berjalan sendiri menuju sekolah. Salah satu yang sering mereka goda adalah... aku. Setidaknya aku merasa seperti itu. Aku memang selalu jalan sendiri menuju gerbang. Eh, tidak. Punggung di depanku ini juga sih.
"Suittt suittt."
Aku mengabaikan mereka. Sempat tersirat ingin jalan cepat-cepat. Tapi nanti aku tidak akan bisa melihat punggung itu. Ah, serba salah jadinya. Aku amati sekali lagi punggung berbalut seragam OSIS di depanku ini. Tanpa sadar senyumku terkembang sambil menunduk. Pipiku terasa panas. Pasti warnanya sudah merah tanpa perlu tambahan pewarna pipi.
"Sadis, Man. Digodain nggak mempan. Budek apa ya?" kata salah seorang anak buah dari gerombolan Ferdi, sang pembuat onar sekolahan. Aku dapat dengan jelas mendegarkan ucapannya sebab mereka berbicara dengan nada yang keras.
"Bukan budek. Tapi lagi sibuk. Sibuk lihat aspal maksudnya. Hahaha." Mereka tertawa menghina. Entap apa yang lucu. Karena menurutku sama sekali tidak ada yang lucu. Aku terus saja melangkah menuju pintu gerbang.
"Jul! Sini."
"Oke."
Jawaban yang dikeluarkan dengan suara bariton itu sempat membuatku berjengit kaget. Terdengar seperti tepat di samping telingaku. Aku tidak berani menoleh. Aku sempat melirik ke arah mereka. Salah seorang cowok remaja dengan seragam OSIS yang dimasukkan ke celana panjang abu-abunya berlari menyeberang ke arah warung soto Bu Jah.
Mereka saling bertos ria. Kemudian cowok itu duduk di salah satu kursi panjang dari kayu yang tersedia di sana memunggungi jalanan. Aku berani jamin kalau dia adalah salah satu anggota geng Ferdi. Ferdi sang ketua geng memiliki tubuh yang gendut. Tidak kurus seperti cowok itu. Lucunya, di antara teman-teman sekumpulannya, hanya dia yang berseragam rapi. Aku menebak kalau sebenarnya dia itu berniat ke sekolah. Awalnya. Sebelum dipanggil oleh si ketua geng yang kemudian membelokkan niatnya.
Aku sampai di depan gerbang sekolah. Punggung tegap yang kukagumi sudah berbelok menuju kelasnya di dua belas IPA 1. Sedangkan aku terus lurus menyeberangi lapangan upacara menuju kelasku sendiri. Banyak anak-anak dari kelas lain yang masih duduk di depan kelas masing-masing. Dari kejauhan aku melihat punggung lainnya yang kukenali.
Ada tiga punggung ramping dengan rambut panjang sebatas lengan atas, sebahu, dan sepunggung yang digerai. Hitam, lebat, dan pastinya terawat dengan baik. Tidak seperti rambut sebahu milikku yang sering kukincir setengah agar sisi kanan dan kirinya tidak menggangguku saat belajar di kelas. Tiga punggung ramping dengan tas ransel berwarna krem itu adalah milik tiga cewek most wanted di sekolah. Banyak yang menyatakan cinta kepada mereka. Melinda, Sukma, dan Nike sudah sering berganti pacar. Dari yang satu sekolah sampai yang anak kuliah. Aku tahu sebab aku adalah salah satu anggota geng mereka.
Bukan tanpa alasan mereka menjadikan aku sebagai salah satu anggotanya. Mereka butuh bayangan agar cahayanya semakin terlihat terang. Aku yang berwajah biasa saja dengan otak biasa dan penampilan sederhana tentu sangat cocok untuk menjadi pembanding penampilan mereka. Aku sudah tahu itu dari awal.
Apa aku mempersalahkannya? Tidak. Bukan tanpa alasan juga aku mau menjadi anggota geng mereka. Aku yang pendiam, tidak memiliki bakat apapun, sulit menjalin pertemanan dan pasif di manapun, berada di antara mereka membuatku tidak perlu mencari teman lagi. Selain berperan sebagai bayangan, aku juga menjadi telinga bagi mereka. Telinga dalam hal menampung curhatan mereka lebih tepatnya.
Punggung ramping ketiga cewek itu berbelok ke kelas yang sama denganku. Aku sengaja tidak memanggil mereka. Aku sedang tidak ingin mendengar mereka memamerkan apapun yang sedang mereka kenakan. Jadi, lebih baik melihat punggung mereka saja.
Aku masuk ke kelas. Kelasku ini adalah kelas unggulan. Bukan berarti semua murid di dalamnya memiliki otak yang cerdas. Unggulan di kelasku ini berarti memiliki fasilitas yang lebih baik dari kelas lain. Sedangkan untuk otak murid-muridnya... standar saja seperti murid kelas reguler. Aku bukan orang kaya. Tapi juga bukan termasuk golongan bawah. Ekonomi keluargaku berada di golongan menengah. Makanya aku bisa masuk ke kelas ini.
Kursiku berada di tengah baris ketiga dari depan deretan ke dua dari meja guru. Teman sebangkuku Nike. Nike sang pemilik rambut panjang sepunggung yang mantan pacarnya sudah tak terhitung, karena ia lupa berapa banyak mantannya, sedang sibuk dengan cermin kotak kecil miliknya.
"Sekar. Lihat deh. Kalau aku belah pinggir gini jadi makin cantik nggak?" Nike berbicara tanpa mengalihkan pandangan dari pantulan wajahnya. Iya. Dia memang merasa secantik itu.
"Cantik." Aku menjawab singkat, padat dan sesuai dengan yang ingin dia dengar. Aku hampir lupa memberitahu. Peran tambahanku dalam geng ini adalah selalu memberi pujian.
"Gitu ya? Emang aku udah cantik sih. Jadi, mau diapain juga tetap kelihatan cantik." Nike tersenyum melihat wajahnya sendiri di cermin.
Aku diam saja. Enggan menanggapi lebih jauh. Di depan kursiku ada dua punggung milik Melinda dan Sukma. Mereka juga sedang sibuk dengan cermin mereka. Bedanya Melinda sedang menyisir rambut sebahunya, sedangkan Sukma sibuk memakai bedak. Yah, memang seperti itu mereka kalau sudah sampai di kelas. Sibuk membuka salon.
***
Bel pulang istirahat baru saja berbunyi. Teman-teman sekelasku sudah mulai keluar satu persatu. Geng yang diketua oleh Nike keluar menuju kantin sekolah. Begitu pula aku. Aku berjalan di samping Sukma yang sibuk mengelus rambutnya.Dilihat dari sudut manapun, akan sangat terlihat perbedaan antara aku dengan geng Nike. Selama perjalan menuju kantin, Sukma tidak berbicara denganku. Aku tidak masalah. Di antara anggota geng ini, aku dan Sukma memang jarang berbicara.
Banyak mata memandang saat Melinda lewat. Baik siswa maupun siswi dari kelas lain selama perjalanan menuju ke kantin. Sesampainya di kantin, Nike memintaku untuk mencari tempat duduk bersamanya sedangkan Sukma dan Melinda memesankan makanan untuk kami. Yah, setidaknya di geng ini aku tidak sering disuruh-suruh. Alasannya supaya mereka tidak dinilai sedang membuliku.
Nike dan aku duduk di kursi yang biasa kami tempati. Dekat pintu masuk ke kantin dengan empat kursi plastik saling berhadapan. Tidak ada yang berani duduk di sana sekalipun saat sedang kosong atau saat kantin sedang ramai. Seakan ada tanda kasat mata yang menandai siapa pemiliknya. Pernah ada yang tak sengaja menduduki kursi itu. Lalu saat kami datang ia langsung dimarahi oleh Sukma. Sukma memang galak dan yang paling barbar menurutku. Untungnya aku belum pernah dimarahi olehnya.
"Sekar, lihat dong. Kemarin aku dibeliin kalung sama pacarku. Emas loh ini. Katanya 23 karat." Nike mulai memamerkan benda yang dia dapat padaku. Kemarin anting-anting. Hari ini kalung.
"Pacar yang mana?" tanyaku datar.
"Kok yang mana? Pacar aku kan cuma satu."
"Oh. Yang anak kuliahan yang namanya Gigih ya? Masih jadi pacar emang?"
"Masih dong. Nanti deh putus sama dia, kalau dia udah beliin aku perhiasan satu set. Yang kemarin aku incer itu."
"Itu kan yang kamu pamerin barusan juga perhiasan, Nik. Apa bedanya?"
"Beda dong. Ini bukan yang aku mau. Jadi nggak masuk itungan."
Sinting, batinku.
Aku angguki saja ucapannya. Biar tidak diperpanjang lagi olehnya. Aku melihat punggung itu lagi. Kali ini berlapis baju olah raga berwarna putih. Rambutnya terpotong rapi tampak basah oleh keringat. Aku terus mengamati setiap pergerakkan punggung itu. Ia sedang mencari tempat duduk yang kosong. Hingga akhirnya ia duduk tepat dua meja di depan mejaku. Posisinya memunggungi aku. Sempat ia menoleh saat salah seorang temannya bertanya pesanannya.
"Kamu suka sama Kak Rengga ya?" tanya Nike. Mungkin karena aku terlalu fokus mengamati punggung itu, Nike jadi ikut-ikutan mengamati.
"Nggak kok. Kenapa kamu bisa bilang begitu?" Aku cepat-cepat mengalihkan tatapan dari punggung milik Kak Rengga, mantan ketua karate di sekolah.
"Dari tadi kamu liatin terus soalnya. Kalau suka juga nggak papa kali. Cuma ya, gitu. Saingannya banyak. Bukan cuma kamu doang yang suka sama dia. Mana yang suka cakep-cakep juga lagi. Tapi nggak ada yang dilirik."
Aku menatap Nike yang sedang asyik dengan HP Nokia terbaru miliknya.
"Kamu tahu dari mana?"
Nike mengalihkan tatapannya dari layar HP, "Ya tahu lah. Kan dulu Melinda juga naksir dia. Sayangnya cuma temenan. Nggak sampai pacaran. Melinda yang cantik aja nggak dilirik dia. Apa lagi kamu?" Nike tersenyum lebar dan kembali melihat layar HP.
Aku memang tidak tahu siapa yang pernah ditaksir oleh Melinda. Biasanya Melinda akan cerita secara terbuka saat sudah pacaran. Mungkin pengecualian bagi Nike. Mereka berdua sudah menjadi sahabat dari SMP. Wajar jika banyak yang Nike tahu tapi aku tidak.
Ucapan yang keluar dari bibir Nike membuatku sedikit tersinggung. Tapi memang apa yang ia ucapkan itu ada benarnya. Aku tidak pantas untuk Kak Rengga yang mempunyai banyak kelebihan. Bahkan cahayanya lebih terang dibanding milik Nike, Melinda, dan Sukma. Aku yang sekedar bayangan bagi ketiga cewek most wanted sekolah, tentu juga hanya akan menjadi bayangan Kak Rengga. Bayangan tergelap yang tidak akan pernah tersentuh cahaya. Harusnya aku memang sadar dirikan? Tapi apa salah jika bayangan ingin menangkap cahaya yang ia kagumi?
Sukma dan Melinda membawa pesanan kami. Namun, mereka berdua tidak langsung ke tempat duduk kami. Mereka berdua mampir ke tempat di mana Kak Rengga dan teman-temannya duduk. Kemudian saling melempar candaan yang membuat Melinda tersipu malu.
Seorang anak kelas sepuluh yang saat itu berjalan mundur karena terdorong oleh siswa di depannya, menabrak punggung Melinda. Secara otomatis makanan yang dibawa oleh Melinda jatuh menimpa Kak Rengga. Melinda memekik. Sukma melotot. Kak Rengga berdiri. Teman-temannya terkejut. Nike masih sibuk dengan HPnya. Belum sadar situasi. Aku diam mengamati yang terjadi. Dan disitulah aku melihat pemandangan yang membuat hatiku tercubit nyeri.
Kak Rengga tidak marah. Ia justru memegangi tangan Melinda dan mengibaskan baju olah raga yang terkena kuah bakso pesanan miliknya. Kak Rengga melihat tangan Melinda. Seperti mengamati apakah tangannya terluka karena kuah panas itu atau tidak. Melinda menggeleng-geleng. Suasana kanton mendadak berubah sepi. Nike menengok ke belakang. Ia berdiri menghampiri Melinda dan Sukma. Nike dan Sukma memarahi si adik kelas yang sudah menunduk dalam dan menggumamkan kata maaf berkali-kali.
"Kalau jalan itu liat-liat. Mata itu dipakai bukan cuma dijadiin pajangan," marah Nike.
"Belum pernah dicolok ya matanya. Sini aku colok biar tahu kalau mata itu ada fungsinya," kata Sukma kasar.
"Maaf, Kak. Saya beneran nggak sengaja."
"Emangnya maaf bisa mutar balik waktu apa? Enak aja tinggal minta maaf. Kalau minta maaf selesai, nggak perlu ada penjara," kata Nike lagi.
"Sekali lagi saya mohon maaf, Kak," balas adik kelas sambil terisak lirih.
"Cium kaki Melinda dulu baru dimaafin. Itu kuah panas. Kalau kena kulit tangannya yang mulus, mau ganti biaya dokter kulitnya?" Sukma benar-benar barbar.
"Udah udah. Nggak papa kok. Cuma kuah air aja. Nanti juga kering. Lagian si Melinda juga baik-baik aja. Nggak usah diperpanjang." Kak Rengga mengambil alih situasi. Si adik kelas berlari keluar dari kantin dengan wajah penuh air mata.
Aku menghela napas panjang. Kadang masalah kecil bisa menjadi sangat besar bagi mereka bertiga. Aku kadang berpikir mungkin ini yang menyebabkan mantan pacar mereka memutuskan hubungan dengan ketiga cewek cantik itu. Bukan tidak mungkin kan kalau mereka juga melakukan hal yang sama kepada pasangan mereka? Aku pernah membaca sebuah kalimat yang berbunyi begini, "Jika kamu menyukai seseorang, lihatlah dari caranya berbicara saat ia marah. Apa yang ia katakan? Apakah menyakitkan hatimu? Kalau iya, jangan dipilih. Nanti hubungan itu hanya akan membuat sakit hati jika diteruskan."
Keluarga besar Bapak datang berkunjung ke rumah. Banyak sekali. Mereka membawa anak-anak, sepupuku, beserta cucu-cucunya yang masih ukuran mini. Padahal tadi saat pulang sekolah, aku ingin segera istirahat tanpa suara berisik. Tapi kurasa kali ini harus sangat terganggu dengan kehadiran mereka.Setelah menyalami satu persatu tangan Bude, Pade dan para sepupuku, aku langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. Memang seperti itu aku. Menghindari keramaian. Malas berbasa-basi. Enggan menjawab pertanyaan 'Sekarang udah gede ya. Siapa pacarnya?' yang selalu dilontarkan setiap a
Aku berlari dari sepanjang jalan menuju halte bus. Mengejar punggung itu. Tadi kelasku keluar paling akhir karena di jam-jam terakhir mengajar, guru Biologi mengadakan kuis. Ah, sepertinya tidak sempat terkejar.
"Kalian mau tahu sesuatu nggak?" tanya Melinda kepada kami bertiga saat jam kosong di kelas. Saat ini kursi Melinda dan Sukma dibalik menghadap mejaku. Mereka bertiga sedang asyik bertukar alat make up. Aku tidak tahu apa saja namanya. Yang aku tahu hanya bedak. Karena aku pun memakainya."Apaan?" Sukma yang bertanya lebih dulu.
"Satu lagu persembahan dari Dewa19 dengan judul Separuh Napasku mengiringi cerita-cerita yang akan kita dengarkan malam ini. Bisa dibilang malam ini, saya lagi seneng gitu kan. Lagi bahagia. Karena apa? Karena malam ini, Temu baru saja dibuka dengan cerita yang normal. Yang tidak membuat emosi sampai ke sumsum tulang belakang. Ya walau tadi agak sedih ya denger cerita cinta temen kita yang naksir sahabatnya tapi si cowok naskir orang lain. Tapi tetap saja cerita itu masih normal. Nor-mal."
Sepulang sekolah, seperti biasanya aku berjalan sendirian. Aku tidak lagi mengejar punggung Kak Rengga seperti hari-hari sebelumnya. Tidak lagi memiliki keinginan untuk satu bus dengannya. Kak Rengga sudah tidak tergapai.Aku melewati lorong sekolah yang tidak begitu sepi lantaran masih ada beberapa murid yang duduk di depan kelas mereka. Ada juga yang sedang piket membersihkan kelas. Aku berjalan menyeberang lapangan.
Hujan sudah reda saat matahari hanya menampakkan mega kemerahan yang bercampur dengan warna langit. Perpaduan warnanya sangat cantik. Tidak perlu jauh-jauh mendaki gunung atau pergi ke pantai hanya untuk melihat matahari terbenam. Nyatanya dengan menatap langit saja, aku sudah bisa menikmati keindahan yang disajikan oleh alam.
Seminggu lagi ulang tahun Melinda yang ke tujuh belas akan digelar di rumahnya. Ia mengundang banyak orang. Sedari pagi dia sibuk berkeliling sekolah menyebarkan undangan perayaan pertambahan umurnya. Senyum terus terkembang sempurna. Aku yang ikut membagikan undangannya, mengekor dan memandangi rambutnya bergoyang heboh saat ia berjalan setengah meloncat dengan Sukma."Eh, Sekar-Sekar. Undangan Mira mana? Buruan siniin," ujar Melinda saat berdiri kelas sebelas Bahasa dua.
Sudah seminggu sejak kejadian Melinda memutuskan hubungannya dengan Anggara. Dan sejak itu pula lah setiap hari Melinda menceritakan perihal hubungannya dengan Kak Rengga. Hanya Sukma dan Nike saja yang tampak antusias. Sedangkan aku lebih memilih acuh. Hari ini, Melinda kembali menceritakan kisah asmaranya."Kalian dong ini apaan?" tanya Melinda dengan nada riang. Dia mengangkat tinggi rambutnya, memperlihatkan leher jenjangnya. Aku kira dia memamerkan kalung yang dibelikan oleh orang tua atau Kak Rengga. Tapi ternyata aku salah.
Hari ini Bapak akan dioperasi. Ibu sudah mendapatkan tambahan uang agar Bapak bisa segera disembuhkan. Ibu memberitahuku melalui sambungan telpon. Dan juga beliau menegaskan kembali perihal biaya sekolahku sekali lagi.Aku menatap sendu pintu gerbang di depanku. Sebentar lagi pintu gerbang ini hanya akan menjadi bagian masa remajaku yang direnggut paksa oleh keadaan. Ah, mengapa aku jadi cengeng begini? Aku hanya putus sekolah, bukan putus cinta.Tidak perlu sampai sebegini merananya.Aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Berulang kali aku mengembuskan napas dari mulutku mencoba mengeluarkan rasa sesaknya.Berapa kalipun aku tepiskan kesedihan dan menggantinya dengan alasan-alasan lain yang lebih logis untuk menguatkan hati, tetap saja hatiku terasa bergetar nyeri.Jelas aku merana. Banyak mimpi yang sudah kutata dan kuharapkan suatu hari nanti dapat aku raih. Lalu dalam semalam semua mimpi itu harus disisihkan. Dieliminasi. Dihilangkan."Kamu mau ikut aku?"Tanpa menoleh, aku menjaw
"Sekar. Bangun. Udah pagi."Aku mengerjap saat merasakan gerakan pada pundakku. Suara Ibu masuk ke dalam telinga sekali lagi dengan kalimat yang sama.Mataku membuka. Benda pertama yang kulihat adalah brankar Bapak yang lebih tinggi dari tempatku berbaring saat ini.Aku bangkit dengan posisi duduk di atas ranjang. Mengumpulkan sisa kesadaran yang masih berada di alam mimpi.Aku tidak berangkat sekolah hari ini. Ibu tidak membuatkan surat ijin ataupun menelpon pihak sekolah. Sepertinya Ibu bersungguh-sungguh dengan ucapannya.Ibu meminta tambahan kasur lipat untuk keluarga yang mendampingi pasien. Aku dan Ibu tidur berhimpitan. Sehingga saat aku bangun, tubuhku terasa luar biasa kaku."Kamu pulang sana. Bersihkan rumah dulu. Nanti baru balik ke sini," titah Ibu. Tangannya sibuk melipat selimut loreng hitam putih khas milik rumah sakit yang semalam kami gunakan.Aku mengangguk. Menuruti kemauan Ibu. Aku juga tidak akan menyalahkan Ibu jika Ibu tidak meminta ijin untukku pada pihak sekola
Pikiranku tak berhenti memikirkan kejadian tadi siang. Saat Narendra berbohong untuk diriku dan membantuku mengganti buku itu dengan menambahkan kekurangannya.Aku bisa melihat ada gurat kekesalan di wajah pemilik toko itu saat Narendra mengatakan dirinyalah yang menghilang buku yang kupinjam. Sungguh, aku merasa tidak enak hati pada Narendra.Andai aku yang dimarahi oleh Putra, mungkin aku sudah menangis di sana saat itu juga.Aku mengembuskan napas panjang. Aku akan berbicara pada Narendra besok. Saat ini aku harus memberikan atensi penuh pada PR yang diberikan oleh Pak Sri. PR Kimia yang soalnya lebih sulit dibanding contoh soalnya.Aku mencoret-coret lembar kertas hitung. Berkali-kali aku menghitung dan berkali-kali pula aku tidak menemukan hasilnya. Angka hasil dari perhitunganku tidak ada dalam pilihan ganda di lembar soal.Aku mengerang frustasi. Mengapa soalnya bisa lebih sulit dibanding yang dicontoh dan dipelajari di kelas?Kutangkup kepalaku di atas meja belajar. Sepertinya
Narendra mengantarku pulang kemarin. Tidak sampai di depan rumah memanng. Aku melarangnya. Aku khawatir jika Ibu melihat dia ada di depan rumah, Ibu akan mengusirnya dengan kasar.Kejadian saat aku diskorsing tentu masih menjadi pokok alasannya. Jadi, aku memintanya mengantar hingga di dekat gang rumah saja.Aku pikir Narendra benar-benar akan pergi setelah mengantarku. Tapi nyatanya tidak. Pemuda itu justru membuntutiku dari belakang dengan memberi jarak aman.Saat aku sudah masuk ke dalam dan mengintip dari balik tirai ruang tamu, aku mendapati dirinya tengah melihat keadaan rumahku. Aku tidak bisa menebak apa yang dia pikirkan.Setelah itu ia pergi dengan menyalakan kembali motor Ferdi.Dan pagi ini, aku melihatnya di depang rumah kosong yang berjarak dua rumah dari rumahku. Dia berdiri di sana sambil membaca komik.Awalnya aku tidak begitu memerhatikannya. Saat Narendra menurunkan komiknya, barulah aku tahu kalau itu adalah Narendra."Kamu kok di sini?" tanyaku heran."Menjemput ka
Aku tidak menganggap serius ucapan Narendra. Bagaimana pun kami baru berkenalan. Aku tidak bisa percaya begitu saja padanya dan menggantungkan perlindungan atau bantuan seperti yang ia katakan. Karena saat ia tidak ada, aku harus bisa menjadi super hero untuk diriku sendiri.Seperti saat ini ketika lagi-lagi langkahku harus tertahan karena Nike dan Sukma dibantu oleh Bagas dan Dida. Mereka berempat mencegatku."Stop dulu, Neng. Sini sini. Abang mau ngomong sama Neng," kata Bagas dengan logat yang dibuat-buat.Kedua tanganku mengerat pada tali tas ransel di pundak. Jika hanya ada Nike dan Sukma saja, mungkin aku tidak akan setakut ini.Aku bergeming. Bagas mendecak sekali, "Sini, Neng. Abang cuma mau ngomong sesuatu kok sama Neng. Bukan mau macam-macam."Bagas menoleh ke arah ketiga temannya, lalu berkata, "Ya, kecuali Neng yang mau dimacam-macamin. Disentuh dikit boleh kali ya," imbuhnya. Kalimatnya
Aku tidak bisa membayangkan apa-apa saja yang sudah diberikan Melinda pada Kak Rangga. Mengingat perkataan Nike mengenai foto mereka yang tanpa busana, sudah membuat pikiranku melayang ke mana-mana.Apa hubungan mereka sudah sangat jauh? Astaga, padahal kisah asmara mereka baru berjalan beberapa minggu saja. Apa Melinda cinta mati pada Kak Rangga? Mungkin saja.Lalu, apa Kak Rangga juga demikian? Ah, cinta mati atau tidak, perbuatan yang mereka lakukan tidak pantas. Apalagi mereka masih sekolah.Pikiranku yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan, membuatku tidak bisa tidur. Tahu-tahu sudah pagi dan aku sudah harus kembali lagi ke sekolah.Kemarin aku tidak menemukan Narendra di tempat menunggu bus. Hari ini pun tidak. Aku tidak ambil pusing. Mungkin dia sengaja mau membolos lagi.Saat di sekolah, baru saja aku melewati lorong kamar mandi, seseorang menarik tasku dan mendorongku ke tembok. Untung saja pun
Aku baru saja sampai rumah saat sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Setelah amsa skorsingku habis, Ibu mengembalikan lagi ponselku. Tapi hanya itu yang dikembalikan. Sedangkan radioku sudah entah ke mana. Mungkin ditukar tambah. Dan buku-bukuku juga tidak mungkin kembali kaena sudah dibakar habis hingga hanya menyisakan abu yang sudah kubuang ke tempat sampah.Lain kali luangkan waktu lebih panjang untuk mendengarkan ceritaku.Begitu isi pesan yang masuk. Aku mengingat-ingat nomer siapa ini. Karena hanya tertera nomer tanpa nama, sepertinya dia bukan dari orang-orang yang kukenal sebelumnya.Aku mengulangi membaca pesan itu lagi. Luangkan waktu? Apa aku punya janji? Aku sudah mengetik pertanyaan dan siap mengirim sebelum sebuah pesan masuk lagi.Ini Narendra. Lupa tadi belum bilang. Hehehe."Narendra?" tanyaku pada diri sendiri.Kamu tahu nomerku dari mana, Nare?
"Kok makan di sini sendiri?"Aku mendongak ketika mendengar suara bariton yang mulai terdengar familiar di indera pendengaranku. Narendra duduk di kursi Melinda dengan tubuh menyamping serta kepala yang ditopang di atas meja dengan sebelah tangannya."Iya."
Selama masa skorsing, aku melakukan rutinitas yang sama. Membaca buku, belajar, menonton televisi, makan, membersihkann rumah, lalu tidur. Dua puluh empat jam yang kulakukan adalah hal monoton kecuali membaca buku. Tidak ada radio yang menemaniku rasanya ada yang kurang. Aku jadi tidak lagi bisa mendengar cerita lucu dari penelpon laki-laki yang sering membuat Bento marah dan lagu-lagu yang diputar untuk menemaniku.