Keluarga besar Bapak datang berkunjung ke rumah. Banyak sekali. Mereka membawa anak-anak, sepupuku, beserta cucu-cucunya yang masih ukuran mini. Padahal tadi saat pulang sekolah, aku ingin segera istirahat tanpa suara berisik. Tapi kurasa kali ini harus sangat terganggu dengan kehadiran mereka.
Setelah menyalami satu persatu tangan Bude, Pade dan para sepupuku, aku langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. Memang seperti itu aku. Menghindari keramaian. Malas berbasa-basi. Enggan menjawab pertanyaan 'Sekarang udah gede ya. Siapa pacarnya?' yang selalu dilontarkan setiap adanya pertemuan. Memangnya kalau sudah besar harus punya pacar apa? Seperti tidak ada kesibukan lain saja.
Aku menolak ajakan Ibu untuk berkumpul bersama anggota keluarga lainnya di ruang tamu. Setelah mengganti seragam dengan kaos rumahan yang warnanya sudah sangat pudar dan celana panjang, aku menyalakan radio. Mendengarkan lagu-lagu yang diputar baik berdasarkan pilihan penyiarnya maupun yanng direquest pendengar. Tidak peduli dengan orang-orang di luar kamar berukuran tiga kali empat ini. Kamar adalah ruang paling tenang yang pernah aku miliki. Tidak perlu bertemu dengan orang asing, mendengar Bapak dan Ibu bertengkar karena masalah uang dan tentunya aku bisa menyimpan banyak rahaasia di kamarku ini. Sampai hari beranjak malam hari, keluarga Bapak masih betah bertamu. Duh, padahal aku sudah lapar sekali. Kenapa tidak lekas pulang sih?
Setelah lagu milik Dewa 19 yang berjudul roman Picisan diputar, suara penyiar laki-laki bernama Bento membuka acara.
"Selamat malam, Darah Muda. Kembali lagi di acara Temu. Telinga Muda. Kali ini kita akan mendengarkan curhatan dari salah seorang teman kita yang lagi resah sepertinya dengan si doi. Dan sekarang teman kita udah siap buat cerita dengan kita melalui telepon. Yuk dengerin ceritanya."
Jika sudah acara Temu dimulai, berarti sekarang sudah jam tujuh malam. Aku melirik jam di dinding. Sudah tiga jam saudara Bapak berada di rumahku. Mereka betah sekali. Aku saja tidak betah. Kalau bisa ingin pindah ke kosan saja supaya bisa lebih tenang dan tidak ada yang mengganggu.
"Halo?" Bento membuka percakapan.
"Iya. Hai."
Terdengar suara laki-laki di seberang telpon. Yang curhat laki-laki? Tumben sekali. Biasanya yang sering curhat di radio itu perempuan.
"Wah, kali ini yang telpon cowok. Agak kurang asyik nih kalau cowok."
"Ya udah saya tutup saja."
"Eh eh. Jangan buru-buru dong. Kan cuma bercanda," Bento buru-buru menahan si penelpon untuk mengurungkan niatnya memutus telpon. Sensitif sekali jadi laki-laki.
"Jadi, dengan siapa dan di mana?"
"Dengan saya aja. Sedang di mana-mana hatiku senang," jawab si penelpon datar. Aku tertawa mendengarnya.
"Ya saya juga tahu ini dengan kamu. Maksud saya nama kamu siapa, Kang Mas?" Bento mulai gemas dengan si penelpon.
"Oh. Panggil aja... hm..." si penelpon sepertinya sedang berpikir. Aku memajukan wajahku ke radio. Penasaran dengannama seseorang yang sedang menelpon di radio saat ini.
"Lima... Empat... Tiga... Dua..." Bento menghitung mundur. Dia sudah sabar rupanya.
"Sayang. Panggil Sayang aja." Sebelum sampai ke angka satu, orang yang bernama Sayang itu menjawab cepat.
"Najis. Manggil cowok sayang, geli abis." Bento menbalas dengan nada tinggi. Sudah mulai emosi. Aku tertawa. Biasanya Bento sangat ramah, selalu berkata dengan nada rendah penuh perhatian apalagi kepada penelpon perempuan.
"Terus maunya manggil siapa?"
"Bodo amat. Nggak usah sebut nama. Durasi. Langsung aja cerita. Mau cerita apaan?" Bento yang kepalang emosi akhirnya memutuskan untuk tidak memanggil nama si penelpon. Aku tertawa lagi.
"Oh. Oke. Saya mau cerita tentang seseorang."
Hening. Si penelpon tidak melanjutkan ucapan. Bento juga diam. Aku juga. Sibuk menunggu kalimat selanjutnya.
"Lanjutannya apa, Kang Masss?" Bento kembali dibuat emosi.
"Oh, nungguin ya ternyata. Kirain nggak." Aku tertawa keras. Serius, lelaki ini bisa membuat marah sekaligus geli hanya dengan mendengarnya berbicara. Sesaat aku lupa rasa laparku. Lebih memilih mendengarkan cerita si oenelpon dibanding keluar, berbasi, mengambil makan, lalu kembali lagi ke kamar. Aku tidak ingin melwati cerita si Kang Mas.
"Ada seorang cewek. Dia sering kirim salam ke sini. Dia kalau kirim salam atau request lagu selalu pakai nama samaran."
"Siapa nama samarannya?"
"Asek."
Asek? Itu ada nama samaranku. Singkatan dari Adinda Sekarayu. Nama lengkapku. Siapa gerangan yang tahu nama samaranku? Gengnya Nike saja tidak tahu.
"Asek? Hm?" Bento sedang berpikir di sana. Untuk alasan yang tidak kumengerti, aku was-was.
"Oh iya. Dia sering banget titip salam sama request lagu. Kenal sama Asek si Masnya?"
"Nggak. Cuma tahu aja."
"Terus tahu dari mana?"
"Dari radio."
"Allahu Akbarrr. Bubar bubar. Mas Dida langsung closing aja acara Temu hari ini. Sumpah ngeselin banget yang telpon." Bento berteriak heboh. Terdengar suara tawa samar dari seseorang. Mungkin seseorang yang dipanggil Mas Dida oleh Bento. Aku tertawa keras. Aku lega tidak ada yang tahu.
"Mas Bento mau tahu sesuatu nggak?" Si penelpon sama sekali tidak terpengaruh oleh emosi Bento. Hal ini terdengar dari nada suaranya yang masih sama. Datar.
"Apaan?!"
"Si Asek mungkin sekarang sedang tertawa."
Tepat.
"Tahu dari mana?" Nada bicara Bento mulai melunak. Tidak setinggi seperti tadi.
"Saya tidak tahu. Saya hanya menebak."
"Kenapa bisa nebak begitu?"
"Karena saya tadi mengatakan mungkin. Mungkin itu sebuah perkiraan. Perkiraan itu tebakan."
"Astagfirullah. Beri hamba kekuataan untuk menghadapi mahluk-Mu yang satu ini." Bento memekik menahan emosi untuk yang kedua kali.
"Mas Bento, saya mau titip salam." Si penelpon mengalihkan pembicaraan.
"Salamnya yang bener ya tapi. Kalau nggak bener, langsung saya matiin telponnya."
"Iya."
"Mau titip salam buat siapa?"
"Salam buat Asek. Jangan request lagunya Reza Artamevia terus. Request lagu lain." Aku mendengus. Kenal juga tidak. Seenaknya mengatur apa yang aku dengarkan. Kalau ingin mendengar lagu lain, kenapa tidak request sendiri sih?
"Karena kita nggak bisa meminta seseorang untuk mencintai kita seperti kita mencintai dia. Cintai diri sendiri dulu sebelum mencintai orang lain. Nggak ada yang lebih pantas untuk kita cintai sepenuh hati selain diri kita."
Aku terdiam mendengar penuturan orang itu. Menerka apakah ia tahu apa yang aku rasakan hanya dari lagu yang sering aku request. Tapi dia tidak mengenalku. Lalu bagaimana mungkin ia tahu?
"Itu bener banget ya Darah Muda. Cintai diri sendiri dulu sebelum mencintai seseorang. Ada mau request lagu sebelum ditutup?"
"Tolong puterin lagunya Sheila On 7. Judulnya Seberapa Pantas."
Telpon ditutup setelah salam dari Bento. Lagu dari Sheila On 7 mengalun di radioku. Aku masih termenung mendengar penuturan orang yang tadi menelpon di acara Temu.
Nggak ada yang lebih pantas untuk kita cintai sepenuh hati selain diri kita.
Kalimat itu terus terngiang bebarengan dengan punggung Kak Rengga yang selalu berjalaan di depanku saat berangkat sekolah. Aku tersenyum kecut. Siapa yang bisa mencintai bayangan sepertiku? Aku saja kesulitan.
***
"Oper sini, Nik."
Melinda berteriak dengan mengangkat tinggi kedua tangannya. Hari ini kelasku sedang olahraga dengan materi basket. Aku yang sedang datang bulan hari pertama, merasakan nyeri di bagian perut. Aku hanya duduk di pinggir lapangan sambil melihat anak-anak perempuan bermain basket. Menekan perut dengan tangan untuk meredakan sedikit nyerinya.
Aku tidak tahan. Aku ijin kepada guru olahraga untuk beristirahat di UKS. Setelah mendapatkan ijin dari beliau, aku berjalan tertatih menuju UKS. Saat melewati lapangan, aku melihat ada enam anak laki-laki yang sedang berdiri dengan sikap istirahat di tempat di tengah lapangan yang terik. Seragam mereka dimasukkan ke celana abu-abu. Kepalanya tertunduk menahan panas matahari. Guru BP, dulu namanya masih BP, menghampiri mereka. Menempeleng kepala mereka satu persatu. Semua kepala anak yang sedang dihukum itu terangkat.
Ah, paling gerombolan geng Ferdi lagi yang dihukum. Kali ini mereka disuruh berdiri di lapangan. Tapi aku tidak melihat ada Ferdi di sana. Aku berhenti melihat ke arah lapangan. Terlalu silau untuk melihat wajah mereka dengan jelas.
Aku tidak tahu kenapa mereka semua dihukum di lapangan saat sedang panas-panasnya. Aku lanjut berjalan ke UKS, sesuai tujuan pertamaku. Lorong kelas sepi. Semua murid masih berada di kelas masing-masing mengikuti kegiatan belajar mengajar. Duh, terasa jauh sekali sih UKSnya.
Sesampainya di UKS, aku langsung rebahan di brankar. Menyelimuti kakiku dengan selimut bergaris yang masih terlipat di bawah kaki. Seorang perempuan berusia sekitar dua puluhan yang menjadi suster UKS menghampiriku.
"Sakit apa, dek?"
"Datang bulan, Kak. Hari pertama."
"Mau dibawain teh anget?"
"Boleh. Tapi tawar aja ya, Kak."
Suster penjaga UKS keluar. Dua orang siswi masuk ke UKS. Salah satu dari siswi itu berbaring di brankar sebelahku. Aku memejamkan mata dan menolehkan kepala ke samping kiri dengan tangan bersedekap di perut. Tidak ingin tahu urusan orang lain.
"Itu yang dihukum karena apa, Mau?"
"Katanya sih bawa majalah porno."
Aku menajamkan fungsi telinga saat mereka mengobrol. Aku juga ingin tahu kenapa ada yang dihukum di lapangan.
"Terus ketahuan?"
"Ya gimana nggak ketahuan sih, Sis? Orang mereka ngeliatnya pas jam pelajaran Akuntansi."
"Nyamperin mereka maut sih kalau itu."
"Tahu deh. Terus Pak Sukam laporan ke BP. Ya udah mereka jadi dihukum di lapangan."
"Itu gengnya si Ferdi, kan?"
"Iya."
"Kok Ferdinya nggak ada?"
"Bolos. Biasa anak orang kaya mau ngapain aja mah bebas."
"Bapaknya pengusaha ya, Mau?"
"Anggota DPR sih setahuku. Tapi punya restoran gitu."
"Makanya si Ferdi jadi gendut gitu ya?"
Mereka berdua tertawa. Apa salahnya jadi gendut? Memangnya kalau gendut tidak layak menjadi manusia. Memang orang-orang kadang lucu, menertawakan sesuatu yang tidak ada lucunya sama sekali. Selera humor mereka... jelek.
Suster kembali ke ruang UKS dan menuju ke brankarku. Meletakkan segelas teh pesananku di atas nakas sebelah brankar. Aku masih terpejam. Pura-pura tidur. Suster itu tidak membangunkan aku. Setelah itu dia menanyai pertanyaan yang sama seperti tadi ia tanyakan kepadaku.
Aku tidak mendengar dengan jelas apa jawabannya. Sebab aku kembali merasakan nyeri di perut. Sekuat tenaga aku menahan untuk tidak mengeluh. Keringat dingin mulai mengucur dari keningku. Aku meringkuk membelakangi dua siswi itu menghadap tembok. Saat sedang meresapi sakitnya, pintu UKS terbuka dengan suara berdebam yang cukup keras.
"Sus. Ada yang pingsan. Cepet tolongin."
"Bawa ke sana aja langsung."
Suara langkah kaki berderap mendekat ke arah brankar. Lalu berhenti berbarengan.
"Sus, kasurnya penuh. Siapa nih yang mesti diusir?" tanya seorang laki-laki dengan suara bariton.
"Duh, kalian kok sakitnya barengan sih? Dijadwalin dong kalau mau sakit," jawab si suster.
"Kalau yang ini nggak sakit, Sus. Tadi sehat, sekarang pingsan."
"Kamu tiduran di kelas aja ya. Nanti saya mintain ijin ke wali kamu."
Pertamanya aku kira suster berkata kepadaku. Namun, saat dua siswi di brankar sebelahku bergerak turun, aku mengurungkan niat untuk mengalah. Seseorang dibaringkan di brankar sebelahku. Aku tidak tahu siapa karena masih diposisi membelakangi.
"Dia pingsannya kenapa?" Suster mengambil peralatan pertolongan pertama dari lemari.
"Kelamaan berdiri di lapangan, Sus."
"Ini yang tadi dihukum?"
"Iya, Sus."
"Makanya belajar yang bener. Yang dibawa itu buku pelajaran bukan majalah porno."
"Namanya juga gejolak anak muda, Sus."
"Alibi."
"Sus, ini buat temen saya saja ya."
"Eh? Tapi itu punya siswi yang di sana. Saya kasih yang baru saja."
"Anaknya lagi tidur ini, Sus. Buat dia dulu aja ya."
"Teman kamu kan juga belum sadar."
"Ya sudah buat saya saja kalau begitu."
"Eh... eh..." Bisa aku tebak siswa itu pasti sudah meminum tehku.
"Nggak ada manis-manisnya. Tawar banget nih hidupnya yang mesen."
"Nih temen kamu dijagain dulu. Saya mau keluar sebentar."
"Mau ngapain, Sus?"
"Mau ke kamar mandi. Nggak usah berisik. Nanti kalau temennya sudah sadar suruh minum tehnya."
"Oke."
Sepasang sepatu melangkah meninggalkan ruang UKS. Tinggal aku dan beberapa murid cowok. Agak ngeri sih ditinggal dengan cowok-cowok anggota gengnya Ferdi. Takut diapa-apakan.
"Ini si Nugi lemah banget sih jadi cowok. Baru juga suruh berdiri doang udah pingsan." Suara serak khas laki-laki mulai berkata saat suasana sudah sepi.
"Belum juga disuruh berdiri di pelaminan. Jangan-jangan langsung jantungan lagi." Suara yang dari tadi mendominasi percakapan dengan suster kembali menjawab.
"Tapi ada untungnya juga sih dia pingsan."
"Hm. Kita jadi nggak perlu nerusin berdiri di lapangan," mereka berdua bertos ria.
Sinting. Orang sakit dibilang untung. Leherku terasa pegal. Ingin berbalik. Tapi masih ada mereka.
"Itu gengnya Nike lagi olahraga. Tumben nggak ke sana?"
"Yang dilihatin nggak ada di sana."
"Emang dia di mana?"
"Adanya di sini. Tuh lagi sakit." Aku membeku mendengar penuturan seorang anggota geng Ferdi.
"Kok tahu? Wajahnya saja nggak kelihatan."
"Tahu. Soalnya sudah hapal sama punggungnya."
Punggungku membeku. Aku makin tidak berani untuk membalik badan. Ruangan UKS ini terasa menyempit. Membuatku sesak napas. Aku terlalu... takut dengan alasan yang tak kumengerti. Aku memang sering ketakutan saat harus berhadapan dengan orang yang tidak kukenal. Takut diabaikan, ditolak, dibuang dan tidak dianggap. Apalagi orang asing ini adalah gengnya Ferdi. Itu jugalah sebabnya aku hanya berani menatap sebatas punggung Kak Rengga.
"Sama seperti dia yang hapal punggung seseorang," suara bariton itu memelan saat mengatakannya. Suara sepatu kembali mengisi keheningan yang sempat terjadi. Berjalan mendekat ke arah brankar.
"Kalian dipanggil sama Pak Tanto. Suruh balik lapangan katanya." Itu suara si suster. Akhirnya ada yang memutuskan atmosfer mencekam yang kurasakan.
"Lah kan kita lagi nunggu si Nugi, Sus," kata si pemilik suara serak.
"Biar saya saja yang menunggu. Kalian balik sana."
"Udah, Gun. Balik aja. Lagian bentar lagi juga jam istirahat. Berdiri sepuluh menit habis itu ngantin."
"Ah elah. Pak Tanto dendam banget dah. Kayak nggak pernah jadi anak muda saja."
"Pak Tanto nggak butuh majalah porno, Gun. Beliau udah sering lihat secara langsung."
"Mentang-mentang guru jadi nggak akan ada yang berani ngehukum...."
Percakapan mereka memelan dan menghilang saat mereka berdua sudah melangkah keluar UKS. Suster juga sudah kembali ke mejanya di dekat pintu masuk UKS meninggalkan aku dan Nugi berdua saja. Aku membalikkan badan menatap langit-langit UKS. Kira-kira siapa nama cowok yang hapal punggungku itu?
Aku berlari dari sepanjang jalan menuju halte bus. Mengejar punggung itu. Tadi kelasku keluar paling akhir karena di jam-jam terakhir mengajar, guru Biologi mengadakan kuis. Ah, sepertinya tidak sempat terkejar.
"Kalian mau tahu sesuatu nggak?" tanya Melinda kepada kami bertiga saat jam kosong di kelas. Saat ini kursi Melinda dan Sukma dibalik menghadap mejaku. Mereka bertiga sedang asyik bertukar alat make up. Aku tidak tahu apa saja namanya. Yang aku tahu hanya bedak. Karena aku pun memakainya."Apaan?" Sukma yang bertanya lebih dulu.
"Satu lagu persembahan dari Dewa19 dengan judul Separuh Napasku mengiringi cerita-cerita yang akan kita dengarkan malam ini. Bisa dibilang malam ini, saya lagi seneng gitu kan. Lagi bahagia. Karena apa? Karena malam ini, Temu baru saja dibuka dengan cerita yang normal. Yang tidak membuat emosi sampai ke sumsum tulang belakang. Ya walau tadi agak sedih ya denger cerita cinta temen kita yang naksir sahabatnya tapi si cowok naskir orang lain. Tapi tetap saja cerita itu masih normal. Nor-mal."
Sepulang sekolah, seperti biasanya aku berjalan sendirian. Aku tidak lagi mengejar punggung Kak Rengga seperti hari-hari sebelumnya. Tidak lagi memiliki keinginan untuk satu bus dengannya. Kak Rengga sudah tidak tergapai.Aku melewati lorong sekolah yang tidak begitu sepi lantaran masih ada beberapa murid yang duduk di depan kelas mereka. Ada juga yang sedang piket membersihkan kelas. Aku berjalan menyeberang lapangan.
Hujan sudah reda saat matahari hanya menampakkan mega kemerahan yang bercampur dengan warna langit. Perpaduan warnanya sangat cantik. Tidak perlu jauh-jauh mendaki gunung atau pergi ke pantai hanya untuk melihat matahari terbenam. Nyatanya dengan menatap langit saja, aku sudah bisa menikmati keindahan yang disajikan oleh alam.
Seminggu lagi ulang tahun Melinda yang ke tujuh belas akan digelar di rumahnya. Ia mengundang banyak orang. Sedari pagi dia sibuk berkeliling sekolah menyebarkan undangan perayaan pertambahan umurnya. Senyum terus terkembang sempurna. Aku yang ikut membagikan undangannya, mengekor dan memandangi rambutnya bergoyang heboh saat ia berjalan setengah meloncat dengan Sukma."Eh, Sekar-Sekar. Undangan Mira mana? Buruan siniin," ujar Melinda saat berdiri kelas sebelas Bahasa dua.
Sudah seminggu sejak kejadian Melinda memutuskan hubungannya dengan Anggara. Dan sejak itu pula lah setiap hari Melinda menceritakan perihal hubungannya dengan Kak Rengga. Hanya Sukma dan Nike saja yang tampak antusias. Sedangkan aku lebih memilih acuh. Hari ini, Melinda kembali menceritakan kisah asmaranya."Kalian dong ini apaan?" tanya Melinda dengan nada riang. Dia mengangkat tinggi rambutnya, memperlihatkan leher jenjangnya. Aku kira dia memamerkan kalung yang dibelikan oleh orang tua atau Kak Rengga. Tapi ternyata aku salah.
Ibu baru saja pergi ke rumah saudara Bapak yang sedang sakit karena kecelakaan motor. Aku yang pertama kali mengalami skorsing, bingung hendak melakukan apa. Padahal jika aku sedang di sekolah, aku selalu berharap cepat-cepat pulang. Namun setelah setengah hari di rumah tanpa hiburan dan melakukan apapun, aku merasa sedikit jenuh.Aku melihat jam dinding di ruang televisi. Sudah masuk jam makan siang ternyata. Ibu pergi dari pagi dan sampai sekarang belum juga kembali. Aku bangkit dan berjalan menuju meja makan. Perutku sudah keroncongan.
Hari ini Bapak akan dioperasi. Ibu sudah mendapatkan tambahan uang agar Bapak bisa segera disembuhkan. Ibu memberitahuku melalui sambungan telpon. Dan juga beliau menegaskan kembali perihal biaya sekolahku sekali lagi.Aku menatap sendu pintu gerbang di depanku. Sebentar lagi pintu gerbang ini hanya akan menjadi bagian masa remajaku yang direnggut paksa oleh keadaan. Ah, mengapa aku jadi cengeng begini? Aku hanya putus sekolah, bukan putus cinta.Tidak perlu sampai sebegini merananya.Aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Berulang kali aku mengembuskan napas dari mulutku mencoba mengeluarkan rasa sesaknya.Berapa kalipun aku tepiskan kesedihan dan menggantinya dengan alasan-alasan lain yang lebih logis untuk menguatkan hati, tetap saja hatiku terasa bergetar nyeri.Jelas aku merana. Banyak mimpi yang sudah kutata dan kuharapkan suatu hari nanti dapat aku raih. Lalu dalam semalam semua mimpi itu harus disisihkan. Dieliminasi. Dihilangkan."Kamu mau ikut aku?"Tanpa menoleh, aku menjaw
"Sekar. Bangun. Udah pagi."Aku mengerjap saat merasakan gerakan pada pundakku. Suara Ibu masuk ke dalam telinga sekali lagi dengan kalimat yang sama.Mataku membuka. Benda pertama yang kulihat adalah brankar Bapak yang lebih tinggi dari tempatku berbaring saat ini.Aku bangkit dengan posisi duduk di atas ranjang. Mengumpulkan sisa kesadaran yang masih berada di alam mimpi.Aku tidak berangkat sekolah hari ini. Ibu tidak membuatkan surat ijin ataupun menelpon pihak sekolah. Sepertinya Ibu bersungguh-sungguh dengan ucapannya.Ibu meminta tambahan kasur lipat untuk keluarga yang mendampingi pasien. Aku dan Ibu tidur berhimpitan. Sehingga saat aku bangun, tubuhku terasa luar biasa kaku."Kamu pulang sana. Bersihkan rumah dulu. Nanti baru balik ke sini," titah Ibu. Tangannya sibuk melipat selimut loreng hitam putih khas milik rumah sakit yang semalam kami gunakan.Aku mengangguk. Menuruti kemauan Ibu. Aku juga tidak akan menyalahkan Ibu jika Ibu tidak meminta ijin untukku pada pihak sekola
Pikiranku tak berhenti memikirkan kejadian tadi siang. Saat Narendra berbohong untuk diriku dan membantuku mengganti buku itu dengan menambahkan kekurangannya.Aku bisa melihat ada gurat kekesalan di wajah pemilik toko itu saat Narendra mengatakan dirinyalah yang menghilang buku yang kupinjam. Sungguh, aku merasa tidak enak hati pada Narendra.Andai aku yang dimarahi oleh Putra, mungkin aku sudah menangis di sana saat itu juga.Aku mengembuskan napas panjang. Aku akan berbicara pada Narendra besok. Saat ini aku harus memberikan atensi penuh pada PR yang diberikan oleh Pak Sri. PR Kimia yang soalnya lebih sulit dibanding contoh soalnya.Aku mencoret-coret lembar kertas hitung. Berkali-kali aku menghitung dan berkali-kali pula aku tidak menemukan hasilnya. Angka hasil dari perhitunganku tidak ada dalam pilihan ganda di lembar soal.Aku mengerang frustasi. Mengapa soalnya bisa lebih sulit dibanding yang dicontoh dan dipelajari di kelas?Kutangkup kepalaku di atas meja belajar. Sepertinya
Narendra mengantarku pulang kemarin. Tidak sampai di depan rumah memanng. Aku melarangnya. Aku khawatir jika Ibu melihat dia ada di depan rumah, Ibu akan mengusirnya dengan kasar.Kejadian saat aku diskorsing tentu masih menjadi pokok alasannya. Jadi, aku memintanya mengantar hingga di dekat gang rumah saja.Aku pikir Narendra benar-benar akan pergi setelah mengantarku. Tapi nyatanya tidak. Pemuda itu justru membuntutiku dari belakang dengan memberi jarak aman.Saat aku sudah masuk ke dalam dan mengintip dari balik tirai ruang tamu, aku mendapati dirinya tengah melihat keadaan rumahku. Aku tidak bisa menebak apa yang dia pikirkan.Setelah itu ia pergi dengan menyalakan kembali motor Ferdi.Dan pagi ini, aku melihatnya di depang rumah kosong yang berjarak dua rumah dari rumahku. Dia berdiri di sana sambil membaca komik.Awalnya aku tidak begitu memerhatikannya. Saat Narendra menurunkan komiknya, barulah aku tahu kalau itu adalah Narendra."Kamu kok di sini?" tanyaku heran."Menjemput ka
Aku tidak menganggap serius ucapan Narendra. Bagaimana pun kami baru berkenalan. Aku tidak bisa percaya begitu saja padanya dan menggantungkan perlindungan atau bantuan seperti yang ia katakan. Karena saat ia tidak ada, aku harus bisa menjadi super hero untuk diriku sendiri.Seperti saat ini ketika lagi-lagi langkahku harus tertahan karena Nike dan Sukma dibantu oleh Bagas dan Dida. Mereka berempat mencegatku."Stop dulu, Neng. Sini sini. Abang mau ngomong sama Neng," kata Bagas dengan logat yang dibuat-buat.Kedua tanganku mengerat pada tali tas ransel di pundak. Jika hanya ada Nike dan Sukma saja, mungkin aku tidak akan setakut ini.Aku bergeming. Bagas mendecak sekali, "Sini, Neng. Abang cuma mau ngomong sesuatu kok sama Neng. Bukan mau macam-macam."Bagas menoleh ke arah ketiga temannya, lalu berkata, "Ya, kecuali Neng yang mau dimacam-macamin. Disentuh dikit boleh kali ya," imbuhnya. Kalimatnya
Aku tidak bisa membayangkan apa-apa saja yang sudah diberikan Melinda pada Kak Rangga. Mengingat perkataan Nike mengenai foto mereka yang tanpa busana, sudah membuat pikiranku melayang ke mana-mana.Apa hubungan mereka sudah sangat jauh? Astaga, padahal kisah asmara mereka baru berjalan beberapa minggu saja. Apa Melinda cinta mati pada Kak Rangga? Mungkin saja.Lalu, apa Kak Rangga juga demikian? Ah, cinta mati atau tidak, perbuatan yang mereka lakukan tidak pantas. Apalagi mereka masih sekolah.Pikiranku yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan, membuatku tidak bisa tidur. Tahu-tahu sudah pagi dan aku sudah harus kembali lagi ke sekolah.Kemarin aku tidak menemukan Narendra di tempat menunggu bus. Hari ini pun tidak. Aku tidak ambil pusing. Mungkin dia sengaja mau membolos lagi.Saat di sekolah, baru saja aku melewati lorong kamar mandi, seseorang menarik tasku dan mendorongku ke tembok. Untung saja pun
Aku baru saja sampai rumah saat sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Setelah amsa skorsingku habis, Ibu mengembalikan lagi ponselku. Tapi hanya itu yang dikembalikan. Sedangkan radioku sudah entah ke mana. Mungkin ditukar tambah. Dan buku-bukuku juga tidak mungkin kembali kaena sudah dibakar habis hingga hanya menyisakan abu yang sudah kubuang ke tempat sampah.Lain kali luangkan waktu lebih panjang untuk mendengarkan ceritaku.Begitu isi pesan yang masuk. Aku mengingat-ingat nomer siapa ini. Karena hanya tertera nomer tanpa nama, sepertinya dia bukan dari orang-orang yang kukenal sebelumnya.Aku mengulangi membaca pesan itu lagi. Luangkan waktu? Apa aku punya janji? Aku sudah mengetik pertanyaan dan siap mengirim sebelum sebuah pesan masuk lagi.Ini Narendra. Lupa tadi belum bilang. Hehehe."Narendra?" tanyaku pada diri sendiri.Kamu tahu nomerku dari mana, Nare?
"Kok makan di sini sendiri?"Aku mendongak ketika mendengar suara bariton yang mulai terdengar familiar di indera pendengaranku. Narendra duduk di kursi Melinda dengan tubuh menyamping serta kepala yang ditopang di atas meja dengan sebelah tangannya."Iya."
Selama masa skorsing, aku melakukan rutinitas yang sama. Membaca buku, belajar, menonton televisi, makan, membersihkann rumah, lalu tidur. Dua puluh empat jam yang kulakukan adalah hal monoton kecuali membaca buku. Tidak ada radio yang menemaniku rasanya ada yang kurang. Aku jadi tidak lagi bisa mendengar cerita lucu dari penelpon laki-laki yang sering membuat Bento marah dan lagu-lagu yang diputar untuk menemaniku.