Share

I Love You. And You?
I Love You. And You?
Author: Aru Arumi

Prolog

Author: Aru Arumi
last update Last Updated: 2021-01-21 08:22:59

Maret, 2019.

"Kenapa nangis, Jeng?"

Aku menghampiri seorang gadis remaja yang sedang menunduk. Gadis itu bernama Ajeng. Ia adalah keponakan pertama dari kakak pertamaku. Ajeng Ratnawati nama lengkapnya. Dia saat ini masih berstatus siswi kelas sebelas dan berusia tujuh belas tahun. Gadis bersurai ikal itu duduk sendirian di taman belakang rumahnya yang sederhana dan asri. Tadinya aku tidak menyadari kalau Ajeng sedang menangis. Saat aku berjalan mendekat barulah aku mendengar isakan lirihnya.

Manik bulat berair itu menatapku. Jari-jari lentiknya mengusap air mata yang masih menjejak di pipi dengan cepat. Berusaha menutupi apa yang terjadi beberapa saat lalu. Aku berjalan mendekat ke arahnya.

"Tante kok ke sini? Bunda mana?"

Aku tersenyum dan duduk di sebelahnya. Aku tahu Ajeng sedang berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Bunda ada kok di dalam. Lagi main sama Nare dan Syail. Kamu kenapa nangis?"

Aku mengulangi pertanyaan yang belum dijawab oleh Ajeng. Sebenarnya tanpa bertanya pun aku tahu apa yang sedang terjadi pada gadis berkulit cokelat di sampingku ini. Masalah remaja. Apalagi kalau bukan masalah cinta?

"Nggak papa kok, Tan. Nggak ada masalah apa-apa."

"Nggak ada yang mau dibagi sama Tante?"

"Nggak ada. Ini bukan masalah penting."

"Tau dari mana itu bukan masalah penting? Masalah perasaan itu penting, Jeng." kataku sambil meliriknya. Menjiplak ucapannya.

Ajeng mendelik dengan sisa air mata yang menggantung di bulu mata. "Kok Tante tau kalau aku lagi ada masalah soal perasaan?"

Aku menoleh ke arah Ajeng yang tengah menatapku dengan mata sembabnya. Aku mengelus rambutnya lembut. Lalu tersenyum menenangkan. Ajeng juga balas tersenyum tipis padaku.

"Karena Tante juga pernah jadi seorang remaja yang punya masalah perasaan."

"Tante pernah patah hati waktu sekolah emangnya?"

"Ya jelas pernah dong, Jeng. Emang kamu kira Tante nggak pernah jatuh cinta apa?" tanyaku cemberut.

Ajeng menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk, "Ya habis kata Bunda, Tante pendiam banget waktu sekolah. Nggak pernah dekat juga sama cowok."

Aku meliriknya dengan tatapan usil, "Karena itu rahasia. Nggak boleh ada yang tau."

"Emang Om Aji nggak tau, Tan?" Ajeng bertanya dengan nada penuh selidik.

"Awalnya nggak tau. Sampai akhirnya Tante cerita ke Om Aji."

"Om Aji nggak cemburu?"

"Jelas cemburu. Siapa yang nggak cemburu kalau nama anaknya terinspirasi dari masa lalu orang yang disayangi?"

Manik cokelat milik Ajeng terbuka lebar. Ia melotot, yang justru terlihat lucu dimataku. Seperti anak kucing yang sedang menatap makanan. Ah, itu bukan kata-kataku. Itu kalimat yang dipakai dia untuk menggambarkanku dulu saat melihat sesuatu yang menarik perhatian.

"Siapa, Tan? Nare apa Syail?"

"Narendra." Aku menengadah menatap langit yang terlihat cerah. Matahari hari ini bersinar terang sekali. Tapi sang surya bisa saja tiba-tiba bersembunyi dan meminta awan gelap untuk menggantikan tugasnya sebelum membasahi tanah. Sama seperti dia yang bisa saja tiba-tiba menghilang. Siapa yang menyangka, kan?

"Terus-terus, Om Aji gimana, Tan? Marah banget kan pasti?" tanya Ajeng bersemangat.

Aku tersenyum kecut, "Ya iyalah. Pakai tanya lagi?"

"Om Aji marahnya gimana, Tan?" Ajeng cengengesan saat menanyaiku. Sepertinya suasana hatinya sudah membaik. Wajar jika dia bertanya begitu. Karena suamiku selalu terlihat kalem dan santai. Seperti tidak ada beban masalah. Padahal kalau pas marah, bisa sangat menakutkan.

"Awalnya marah banget. Tapi habis dijelasin dan dengerin cerita masa lalu Tante, Om Aji akhirnya bisa nerima. Kata dia, 'Mau siapa pun nama anak kita, dia tetap anak kita. Bukan anak kamu sama dia.' Terus ya udah deh. Selesai masalahnya."

"Udah gitu aja marahnya?" Dahi Ajeng mengerut keheranan. Aku mengangguk sekali.

"Emang beda ya laki-laki dewasa sama cowok remaja. Cetek banget pikiran cowok-cowok."

"Namanya juga masih tahap perkembangan, Jeng. Masih labil dan suka salah kira."

"Bener banget, Tan. Eh, tapi dia yang namanya sama kayak Narendra itu cinta pertamanya, Tante?"

"Iya."

"Gimana ceritanya, Tan?"

"Panjang banget ceritanya, Jeng."

"Nggak papa, Tan. Aku siap dengerin kok."

Ajeng menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Membuka lebar indera pendengaran untuk menyimak ceritaku. Aku menatap ke depan, ke jejeran pot-pot putih dan hitam yang diisi dengan tanaman hias yang ditanam oleh Kak Desi. Aku tersenyum saat wajahnya yang masih jelas diingatan terlintas dipikiranku. Aku memang sudah lupa suaranya. Tapi tidak dengan wajah dan kenangannya.

"Nggak usah, ah. Nanti kamu baper."

"Tante yang baper atau aku? Hayo ngaku." tanya Ajeng menggoda.

Aku tertawa pelan. Ajeng ikut tertawa. Sudah tidak ada lagi air mata yang menghiasi wajah seperti tadi. Wajahnya memang memerah tetapi bukan karena menangis. Melainkan karena tertawa menggodaku.

"Nggak dong. Bapernya udah dulu-dulu. Sekarang yang ada cuma Om Aji aja di hati Tante."

"Cieee. Kalau gitu, ayo dong cerita Tante. Ajeng penasaran nih."

Aku bisa melihat dengan jelas dari netranya memantul rasa penasaran. Aku terkekeh. Baiklah. Sepertinya aku memang harus kembali membuka kotak pandora yang lama tertutup rapat. Terakhir kali aku membukanya sekitar enam tahun yang lalu saat melahirkan Narendra, putra sulungku.

"Cinta pertama Tante terjadi enam belas tahun yang lalu. Tante masih enam belas tahun. Cuma cewek biasa aja yang kebetulan bisa masuk ke geng cewek-cewek most wanted di sekolah."

Pikiranku berkelana ke masa lalu. Memutar ingatan kembali seperti masuk ke mesin waktu. Ah, pertanyaan itu akan muncul lagi. Aku yakin itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
kurniamamang
This is one of the best story I've read so far, but I can't seem to find any social media of you, so I can't show you how much I love your work
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • I Love You. And You?   Punggung

    2004Aku berdiri dari bangku penumpang bus yang penuh sesak saat sudah akan sampai di tempat aku akan turun. Berdesakan berusaha mencari jalan menuju pintu bus bagian depan. Seperti hari-hari sebelumnya. Rutinitas harian setiap pagi saat berangkat ke sekolah. Beberapa siswa siswi dengan seragam OSIS dari sekolah yang berbeda denganku, juga terlihat tengah bersiap-siap turun. Kami memang akan turun di tempat yang sama. Halte Tunas Muda atau yang biasa disingkat HTM.

    Last Updated : 2021-01-21
  • I Love You. And You?   Nama Itu

    Keluarga besar Bapak datang berkunjung ke rumah. Banyak sekali. Mereka membawa anak-anak, sepupuku, beserta cucu-cucunya yang masih ukuran mini. Padahal tadi saat pulang sekolah, aku ingin segera istirahat tanpa suara berisik. Tapi kurasa kali ini harus sangat terganggu dengan kehadiran mereka.Setelah menyalami satu persatu tangan Bude, Pade dan para sepupuku, aku langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. Memang seperti itu aku. Menghindari keramaian. Malas berbasa-basi. Enggan menjawab pertanyaan 'Sekarang udah gede ya. Siapa pacarnya?' yang selalu dilontarkan setiap a

    Last Updated : 2021-01-21
  • I Love You. And You?   Dia Lagi

    Aku berlari dari sepanjang jalan menuju halte bus. Mengejar punggung itu. Tadi kelasku keluar paling akhir karena di jam-jam terakhir mengajar, guru Biologi mengadakan kuis. Ah, sepertinya tidak sempat terkejar.

    Last Updated : 2021-01-22
  • I Love You. And You?   Narendra

    "Kalian mau tahu sesuatu nggak?" tanya Melinda kepada kami bertiga saat jam kosong di kelas. Saat ini kursi Melinda dan Sukma dibalik menghadap mejaku. Mereka bertiga sedang asyik bertukar alat make up. Aku tidak tahu apa saja namanya. Yang aku tahu hanya bedak. Karena aku pun memakainya."Apaan?" Sukma yang bertanya lebih dulu.

    Last Updated : 2021-01-22
  • I Love You. And You?   Seperti Seharusnya

    "Satu lagu persembahan dari Dewa19 dengan judul Separuh Napasku mengiringi cerita-cerita yang akan kita dengarkan malam ini. Bisa dibilang malam ini, saya lagi seneng gitu kan. Lagi bahagia. Karena apa? Karena malam ini, Temu baru saja dibuka dengan cerita yang normal. Yang tidak membuat emosi sampai ke sumsum tulang belakang. Ya walau tadi agak sedih ya denger cerita cinta temen kita yang naksir sahabatnya tapi si cowok naskir orang lain. Tapi tetap saja cerita itu masih normal. Nor-mal."

    Last Updated : 2021-01-22
  • I Love You. And You?   Hujan

    Sepulang sekolah, seperti biasanya aku berjalan sendirian. Aku tidak lagi mengejar punggung Kak Rengga seperti hari-hari sebelumnya. Tidak lagi memiliki keinginan untuk satu bus dengannya. Kak Rengga sudah tidak tergapai.Aku melewati lorong sekolah yang tidak begitu sepi lantaran masih ada beberapa murid yang duduk di depan kelas mereka. Ada juga yang sedang piket membersihkan kelas. Aku berjalan menyeberang lapangan.

    Last Updated : 2021-01-23
  • I Love You. And You?   Curahan Hati Bapak

    Hujan sudah reda saat matahari hanya menampakkan mega kemerahan yang bercampur dengan warna langit. Perpaduan warnanya sangat cantik. Tidak perlu jauh-jauh mendaki gunung atau pergi ke pantai hanya untuk melihat matahari terbenam. Nyatanya dengan menatap langit saja, aku sudah bisa menikmati keindahan yang disajikan oleh alam.

    Last Updated : 2021-01-23
  • I Love You. And You?   Pesta Ulang Tahun Melinda

    Seminggu lagi ulang tahun Melinda yang ke tujuh belas akan digelar di rumahnya. Ia mengundang banyak orang. Sedari pagi dia sibuk berkeliling sekolah menyebarkan undangan perayaan pertambahan umurnya. Senyum terus terkembang sempurna. Aku yang ikut membagikan undangannya, mengekor dan memandangi rambutnya bergoyang heboh saat ia berjalan setengah meloncat dengan Sukma."Eh, Sekar-Sekar. Undangan Mira mana? Buruan siniin," ujar Melinda saat berdiri kelas sebelas Bahasa dua.

    Last Updated : 2021-01-25

Latest chapter

  • I Love You. And You?   Cara Narendra

    Hari ini Bapak akan dioperasi. Ibu sudah mendapatkan tambahan uang agar Bapak bisa segera disembuhkan. Ibu memberitahuku melalui sambungan telpon. Dan juga beliau menegaskan kembali perihal biaya sekolahku sekali lagi.Aku menatap sendu pintu gerbang di depanku. Sebentar lagi pintu gerbang ini hanya akan menjadi bagian masa remajaku yang direnggut paksa oleh keadaan. Ah, mengapa aku jadi cengeng begini? Aku hanya putus sekolah, bukan putus cinta.Tidak perlu sampai sebegini merananya.Aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Berulang kali aku mengembuskan napas dari mulutku mencoba mengeluarkan rasa sesaknya.Berapa kalipun aku tepiskan kesedihan dan menggantinya dengan alasan-alasan lain yang lebih logis untuk menguatkan hati, tetap saja hatiku terasa bergetar nyeri.Jelas aku merana. Banyak mimpi yang sudah kutata dan kuharapkan suatu hari nanti dapat aku raih. Lalu dalam semalam semua mimpi itu harus disisihkan. Dieliminasi. Dihilangkan."Kamu mau ikut aku?"Tanpa menoleh, aku menjaw

  • I Love You. And You?   Bersandar

    "Sekar. Bangun. Udah pagi."Aku mengerjap saat merasakan gerakan pada pundakku. Suara Ibu masuk ke dalam telinga sekali lagi dengan kalimat yang sama.Mataku membuka. Benda pertama yang kulihat adalah brankar Bapak yang lebih tinggi dari tempatku berbaring saat ini.Aku bangkit dengan posisi duduk di atas ranjang. Mengumpulkan sisa kesadaran yang masih berada di alam mimpi.Aku tidak berangkat sekolah hari ini. Ibu tidak membuatkan surat ijin ataupun menelpon pihak sekolah. Sepertinya Ibu bersungguh-sungguh dengan ucapannya.Ibu meminta tambahan kasur lipat untuk keluarga yang mendampingi pasien. Aku dan Ibu tidur berhimpitan. Sehingga saat aku bangun, tubuhku terasa luar biasa kaku."Kamu pulang sana. Bersihkan rumah dulu. Nanti baru balik ke sini," titah Ibu. Tangannya sibuk melipat selimut loreng hitam putih khas milik rumah sakit yang semalam kami gunakan.Aku mengangguk. Menuruti kemauan Ibu. Aku juga tidak akan menyalahkan Ibu jika Ibu tidak meminta ijin untukku pada pihak sekola

  • I Love You. And You?   Kabar Buruk

    Pikiranku tak berhenti memikirkan kejadian tadi siang. Saat Narendra berbohong untuk diriku dan membantuku mengganti buku itu dengan menambahkan kekurangannya.Aku bisa melihat ada gurat kekesalan di wajah pemilik toko itu saat Narendra mengatakan dirinyalah yang menghilang buku yang kupinjam. Sungguh, aku merasa tidak enak hati pada Narendra.Andai aku yang dimarahi oleh Putra, mungkin aku sudah menangis di sana saat itu juga.Aku mengembuskan napas panjang. Aku akan berbicara pada Narendra besok. Saat ini aku harus memberikan atensi penuh pada PR yang diberikan oleh Pak Sri. PR Kimia yang soalnya lebih sulit dibanding contoh soalnya.Aku mencoret-coret lembar kertas hitung. Berkali-kali aku menghitung dan berkali-kali pula aku tidak menemukan hasilnya. Angka hasil dari perhitunganku tidak ada dalam pilihan ganda di lembar soal.Aku mengerang frustasi. Mengapa soalnya bisa lebih sulit dibanding yang dicontoh dan dipelajari di kelas?Kutangkup kepalaku di atas meja belajar. Sepertinya

  • I Love You. And You?   Dijemput

    Narendra mengantarku pulang kemarin. Tidak sampai di depan rumah memanng. Aku melarangnya. Aku khawatir jika Ibu melihat dia ada di depan rumah, Ibu akan mengusirnya dengan kasar.Kejadian saat aku diskorsing tentu masih menjadi pokok alasannya. Jadi, aku memintanya mengantar hingga di dekat gang rumah saja.Aku pikir Narendra benar-benar akan pergi setelah mengantarku. Tapi nyatanya tidak. Pemuda itu justru membuntutiku dari belakang dengan memberi jarak aman.Saat aku sudah masuk ke dalam dan mengintip dari balik tirai ruang tamu, aku mendapati dirinya tengah melihat keadaan rumahku. Aku tidak bisa menebak apa yang dia pikirkan.Setelah itu ia pergi dengan menyalakan kembali motor Ferdi.Dan pagi ini, aku melihatnya di depang rumah kosong yang berjarak dua rumah dari rumahku. Dia berdiri di sana sambil membaca komik.Awalnya aku tidak begitu memerhatikannya. Saat Narendra menurunkan komiknya, barulah aku tahu kalau itu adalah Narendra."Kamu kok di sini?" tanyaku heran."Menjemput ka

  • I Love You. And You?   Pertolongan

    Aku tidak menganggap serius ucapan Narendra. Bagaimana pun kami baru berkenalan. Aku tidak bisa percaya begitu saja padanya dan menggantungkan perlindungan atau bantuan seperti yang ia katakan. Karena saat ia tidak ada, aku harus bisa menjadi super hero untuk diriku sendiri.Seperti saat ini ketika lagi-lagi langkahku harus tertahan karena Nike dan Sukma dibantu oleh Bagas dan Dida. Mereka berempat mencegatku."Stop dulu, Neng. Sini sini. Abang mau ngomong sama Neng," kata Bagas dengan logat yang dibuat-buat.Kedua tanganku mengerat pada tali tas ransel di pundak. Jika hanya ada Nike dan Sukma saja, mungkin aku tidak akan setakut ini.Aku bergeming. Bagas mendecak sekali, "Sini, Neng. Abang cuma mau ngomong sesuatu kok sama Neng. Bukan mau macam-macam."Bagas menoleh ke arah ketiga temannya, lalu berkata, "Ya, kecuali Neng yang mau dimacam-macamin. Disentuh dikit boleh kali ya," imbuhnya. Kalimatnya

  • I Love You. And You?   Semakin Menggelap

    Aku tidak bisa membayangkan apa-apa saja yang sudah diberikan Melinda pada Kak Rangga. Mengingat perkataan Nike mengenai foto mereka yang tanpa busana, sudah membuat pikiranku melayang ke mana-mana.Apa hubungan mereka sudah sangat jauh? Astaga, padahal kisah asmara mereka baru berjalan beberapa minggu saja. Apa Melinda cinta mati pada Kak Rangga? Mungkin saja.Lalu, apa Kak Rangga juga demikian? Ah, cinta mati atau tidak, perbuatan yang mereka lakukan tidak pantas. Apalagi mereka masih sekolah.Pikiranku yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan, membuatku tidak bisa tidur. Tahu-tahu sudah pagi dan aku sudah harus kembali lagi ke sekolah.Kemarin aku tidak menemukan Narendra di tempat menunggu bus. Hari ini pun tidak. Aku tidak ambil pusing. Mungkin dia sengaja mau membolos lagi.Saat di sekolah, baru saja aku melewati lorong kamar mandi, seseorang menarik tasku dan mendorongku ke tembok. Untung saja pun

  • I Love You. And You?   Bolos Bersama

    Aku baru saja sampai rumah saat sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Setelah amsa skorsingku habis, Ibu mengembalikan lagi ponselku. Tapi hanya itu yang dikembalikan. Sedangkan radioku sudah entah ke mana. Mungkin ditukar tambah. Dan buku-bukuku juga tidak mungkin kembali kaena sudah dibakar habis hingga hanya menyisakan abu yang sudah kubuang ke tempat sampah.Lain kali luangkan waktu lebih panjang untuk mendengarkan ceritaku.Begitu isi pesan yang masuk. Aku mengingat-ingat nomer siapa ini. Karena hanya tertera nomer tanpa nama, sepertinya dia bukan dari orang-orang yang kukenal sebelumnya.Aku mengulangi membaca pesan itu lagi. Luangkan waktu? Apa aku punya janji? Aku sudah mengetik pertanyaan dan siap mengirim sebelum sebuah pesan masuk lagi.Ini Narendra. Lupa tadi belum bilang. Hehehe."Narendra?" tanyaku pada diri sendiri.Kamu tahu nomerku dari mana, Nare?

  • I Love You. And You?   Warung Soto Bu Jah

    "Kok makan di sini sendiri?"Aku mendongak ketika mendengar suara bariton yang mulai terdengar familiar di indera pendengaranku. Narendra duduk di kursi Melinda dengan tubuh menyamping serta kepala yang ditopang di atas meja dengan sebelah tangannya."Iya."

  • I Love You. And You?   Suasana Hati

    Selama masa skorsing, aku melakukan rutinitas yang sama. Membaca buku, belajar, menonton televisi, makan, membersihkann rumah, lalu tidur. Dua puluh empat jam yang kulakukan adalah hal monoton kecuali membaca buku. Tidak ada radio yang menemaniku rasanya ada yang kurang. Aku jadi tidak lagi bisa mendengar cerita lucu dari penelpon laki-laki yang sering membuat Bento marah dan lagu-lagu yang diputar untuk menemaniku.

DMCA.com Protection Status