Alana Handoko yang biasa dipanggil Lana bersama dengan sahabatnya, Sinta menikmati waktu mereka bersenang-senang layaknya anak muda lainnya. Berbelanja di pusat perbelanjaan dan berpesta di sebuah club malam. Hari ini Alana menemani Sinta ke salah satu pusat perbelanjaan.
“Aku pengen deh beli baju couple gitu buat kita berdua. Seksi dress yang buka sana sini, kekurangan bahan,” ucap Sinta bersemangat.
“Aduuh, mentang-mentang uang beasiswanya sudah cair jadi mau berfoya-foya nih,” ejek Alana.
“Foya-foya sedikitlah sebagai reward myself gitu, Lan. Kasihan kan otakku kalau digunakan untuk mikir pelajaran terus sekali-sekali memberikan penghargaan untuk diri ini.”
“Iya deh. Aku juga baru dapat kiriman nih dari Ayah.”
“Ga usah khawatirkan apapun. Hari ini aku yang traktir dan bayarin semuanya.”
“Jangan kali Sin. Sayang uangmu.”
“Tenang-tenang aku mau jadi crazy rich sementara dulu pura-pura jadi kaya raya dulu walau cuman sehari.”
“Hahaha, ga apa-apa lah ya walau cuman sehari setidaknya sempat merasakan jadi crazy rich.”
“Betul sekali.”
Alana dan Sinta tertawa bersama. Mereka berdua sangat menikmati waktu bersama setelah selesai ujian tengah semester. Keluar masuk ke butik-butik merek ternama di salah satu pusat perbelanjaan. Walaupun memiliki uang, tapi membeli pakaian yang sesuai dengan kemampuan mereka. Tidak terlalu mahal ataupun terlalu murah yang penting pas di body, pas juga dikantong mahasiswa semester 7 tersebut.
Tiba-tiba Sinta menarik lengan Alana. “Lan, lihat itu dress nya cantik dan seksi sekali.” Mata Sinta berbinar-binar saat melihat dress yang ada di etalase butik.
Alana menoleh ke arah pandang Sinta. “Iya. Cantik banget mana seksi lagi dengan belahan dada rendah mana warnanya hitam lagi.”
“Beli ah…” Sinta langsung menarik Alana masuk ke dalam butik.
Sinta dan Alana langsung mencoba dress hitam tersebut. Saling melihat diri mereka sendiri di depan cermin.
“Aku kelihatannya langsing amat di sini,” ucap Alana memuji dirinya sendiri.
“Sama Lan. Aku juga kelihatan langsing, seksi dah. Aku tak menyangka, apa ini karena dress nya atau kita yang memang cantik dan langsing,” ujar Sinta.
“Sepertinya, kita yang memang cantik mempesona deh ini,” kata Alana.
Sinta menatap Alana dan berkata, “aku bayarin dress ini.”
Alana menggelengkan kepalanya. “Ga usah. Kita bayar sendiri-sendiri aja.”
Sinta memicingkan matanya, “sudah aku bilang biarkan hari ini aku yang membayarnya. Kamu sudah banyak banget bantu aku. Kamu harus nurut dan sama sekali ga boleh protes.”
“Tapi Sin.” Alana menjadi tidak enak sendiri.
“Ga ada tapi-tapian. Nurut atau kita musuhan.”
Akhirnya, Alana menyetujui perkataan Sinta. Ia tidak ingin persahabatan mereka jadi rusak hanya karena uang. Sinta tersenyum begitu Alana menyetujui kalau ia yang akan membayar dress tersebut. Setelah hampir 4 tahun mereka tinggal bersama di rumah kontrakan baru kali ini ia bisa membelikan sesuatu untuk sahabatnya.
Sinta sangat bersyukur bisa bertemu Alana. Ia hanya seorang gadis yatim piatu yang berasal dari Klaten, Jawa Tengah dan berhasil mendapatkan beasiswa di Universitas Indonesia. Alana begitu banyak membantu biaya hidup sehari-harinya. Ia memiliki hutang budi begitu besar pada Alana dan keluarganya.
Setelah puas berbelanja Sinta mengajak Alana untuk makan siang di salah satu restoran Jepang.
“Terima kasih yaa, Sin,” ucap Alana.
“Terima kasih untuk apa?” tanya Sinta heran.
“Kamu sudah membelikan aku dress hitam tadi.”
“Astaga, Lana. Ga apa-apa kali baru kali ini aku bisa membantumu. Kamu, Pakde Budi, Bude Anita yang udah banyak bantu aku, loh. Aku yang seharusnya bilang terima kasih ke kalian.”
“Ah, kamu bisa aja sih, Sin. Kita kan bestie jadi biasalah itu saling bantu membantu.”
“Hahaha, siap bestie.”
Alana dan Sinta kembali makan dengan lahap. Perut mereka memang sudah kelaparan dan harus segera diberikan asupan gizi agar siap untuk menjalani hidup.
“Lan, gimana kalau nanti malam kita ke klub?” tanya Sinta dengan bersemangat.
“Hmm, boleh juga nih usulmu. Kita kan sudah lama juga ga joget-joget gila.” Alana juga ikut-ikutan bersemangat.
“Betul sekali sekarang saatnya kita menikmati masa muda, mumpung masih muda dan kuat buat ajib-ajib, haha.”
Setelah puas makan dan berbelanja Alana dan Sinta kembali ke rumah kontrakan mereka. Dengan hebohnya mereka membongkar barang belanjaan dan bersiap-siap menuju klub malam di bilangan Kemang, Jakarta Selatan menggunakan dress hitam yang mereka beli tadi.
“Ready Miss Alana Handoko,” ucap Sinta.
“Yes, I am ready Miss Sinta Amalia.” Balas Alana.
Dengan menggunakan city car warna putih milik Alana, mereka segera melajukan mobil dengan kecepatan tinggi berangkat menuju kawasan Kemang yang banyak terdapat klub malam. Terlihat kalau Alana dan Sinta begitu bersemangat menghabiskan malam ini dengan berpesta.
Setibanya di klub malam terdengar suara hingar-bingar yang memekakan telinga. Suara musik yang dimainkan oleh disc jockey membuat siapapun yang mendengarnya ikut menggoyangkan tubuh mereka mengikuti alunan musik seakan berada di dunia tanpa mengenal waktu, kemarin, dan esok.
“Aku paling suka kalau udah ke klub Venus deh. Asyik banget kalau ke sini,” ucap Sinta.
“Iya sama. Nih klub suara musiknya enak banget di kuping. Belum lagi pencahayaan dan dekorasinya keren banget,” ujar Alana.
Alana dan Sinta menggerakan tubuh mereka mengikuti suara musik disc jockey. Tak lupa memesan minum-minuman beralkohol.
“Lana, ayo minum lagi,” ucap Sinta sambil menuangkan botol minuman beralkohol di gelasnya.
“Terima kasih Sinta. Kamu memang yang terbaik,” ujar Alana langsung meminumnya.
“Kita nikmati malam ini, Lan tanpa mengingat lagi hari esok,” teriak Sinta.
“Tentu Lan, kita mabuk sampai pagi.” Alana terus menikmati malam ini tanpa menghiraukan hari esok.
Malam semakin larut keadaan Sinta dan Alana semakin mabuk. Rasa panas masih membakar tenggorokan, sisa masam alkohol masih mencengkram langit-langit mulutnya membuat mereka memutuskan untuk kembali ke rumah kontrakan mereka. Pandangan Alana mengabur membuatnya berjalan dengan tak tentu arah menuju parkiran mobil.
“Sin, aku ga bisa nyetir deh,” ucap Alana dengan memegang kepalanya.
“Iya. Aku aja yang nyetir. Toleransi minum ku kuat gak kayak kamu,” ujar Sinta.
“Nih kunci mobil.” Alana menyerahkan kunci mobil pada Sinta.
“Kamu tiduran aja di kursi belakang daripada di sebelahku.”
“Iya.” Alana membuka pintu belakang mobilnya dan duduk bersandar.
Sinta mengambil alih kemudi dengan cepat mengemudi walau terkadang tak berarah. Kepala Alana yang terasa begitu berat membuatnya membaringkan tubuhnya di atas kursi, ia mengantuk hingga sempat terlelap sejenak. Namun, tiba-tiba guncangan hebat dan suara decitan rem kencang menarik paksa kesadaran Alana.
Mobil yang dikendarai Sinta berhenti dengan oleng nyaris menabrak pembatas jalan.
Eh, ada apa ini? Nabrak apa nih. Alana berkata pada batinnya.
Jantung Sinta seakan berhenti, badannya bergetar. Dengan panik ia keluar mobil untuk memastikan apa yang telah ditabraknya. Mata Sinta terbelalak tak percaya dengan apa yang telah dilihatnya. Seorang gadis kecil terkapar bersimbah darah aspal.
Wajah Sinta seketika memucat. Rasa mabuk yang menderanya seakan menghilang. Ia mengerjapkan matanya dua kali memastikan apa benar yang telah terjadi. Dengan ketakutan ia menggunakan kakinya menyentuh tubuh kecil yang tergeletak di jalan.
“Aku harus segera pergi dari sini mumpung sepi ga ada orang,” gumam Sinta ketakutan.
Dengan cepat Sinta masuk kembali ke dalam mobil. Dibalik kemudi ia menarik napasnya mencoba untuk menenangkan diri.
“Tadi kenapa? Apa kamu nabrak sesuatu?” tanya Alana kebingungan.
“Ga ada terjadi apapun kok. Aku tadi cuman nabrak hewan,” ucap Sinta.
“Ooh, ya udah. Aku mau tidur lagi.” Alana tanpa curiga kembali menutup matanya. Ia sangat mengantuk ingin segera tidur di atas tempat tidurnya yang empuk.
Sinta merasa semuanya aman dengan cepat melajukan mobil tanpa menghiraukan apapun lagi. Akan tetapi yang tidak diketahuinya sebuah Closed Circuit Television atau CCTV merekam semua yang telah terjadi. Menjadi saksi bisu bagaimana seorang gadis kecil berusia 5 tahun meregangkan nyawa.
Mentari terbit laksana memberikan senyuman yang menarik diri untuk bangun dari keletihan yang memaksa diri untuk bergerak. Alana terbangun dari tidurnya yang nyaman saat merasakan sinar mentari menerpa wajah dan menyilaukan matanya menembus balik tirai. Membuatnya jadi kesal sendiri tak dapat lagi memejamkan matanya. Saat Alana bangun dari tempat tidurnya, ia memegang kepalanya yang terasa sakit. “Aduuh, kepalaku nyeri deh.” Alana turun dari tempat tidurnya merasakan pusing dibagian belakang kepalanya semakin menjadi-jadi. Ia menyesal tadi malam minum-minuman beralkohol terlalu banyak membuat ketidakseimbangan elektrolit dan dehidrasi menyebabkannya sakit kepala. Dengan memegang tengkuknya, Alana berjalan menuju ruang tamu sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling ruangan di rumah kontrakannya. Ia melirik kamar Sinta penasaran apakah sahabatnya sudah bangun atau belum. “Sin… Sinta.” Alana mengetuk pintu sambil memanggil nama sahabatnya. Tapi tidak ada jawaban dari Sinta.
Kehilangan seseorang untuk selamanya memang sangat menyakitkan, sedih, dan terpukul. Orang yang paling disayangi dalam hidup kini telah pergi dan tidak akan pernah kembali lagi. Bayang-bayang menyelimuti dari orang telah ditinggalkan. Bibir bagaikan terkunci hingga tak sanggup untuk berkata-kata yang kehilangan seseorang yang telah pergi untuk selamanya. Jerit tangis terdengar di kamar jenazah rumah sakit Columbus. Reynar berjalan gontai di depan pintu kamar jenazah, ia tak percaya saat diberitahukan oleh Rendi, Ayahnya tentang kabar meninggalnya, Felicia. Semua kenangan tentang Felicia terus berputar di kepalanya. Ia menghampiri Vena, Ibunya yang sedang menangis di sisi jenazah Felicia. Perasaannya sama seperti Vena, hancur kehilangan kedua kalinya orang yang sangat disayanginya. Felicia merupakan anak dari kakaknya, Reina Adiwangsa. Tapi Felicia sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Dari Felicia lahir selalu bersama dia dan Ibunya. Reina meninggal saat mengalami pendarahan ka
Terdengar suara alarm dari ponsel Alana membuat gadis yang memiliki manik-manik indah berwarna coklat tersebut terpaksa untuk bangun. Dengan mata yang masih tertutup rapat ia meraba-raba di meja samping tempat tidurnya untuk mencari ponselnya. “Mana sih nih ponsel kok susah amat,” ucapnya kesal. Semakin lama suara alarm ponselnya terdengar semakin kencang membuatnya semakin kesal. “Apa sih mau nya nih alarm,” ujarnya langsung bangun dari tidur menoleh ke arah nakas. Dengan kesal Alana mengambil ponselnya sambil mematikan alarm yang mengganggu dan terus berbunyi tanpa henti. “Kalau aku ga butuh nih ponsel udah aku lempar aja ke dinding.” Walaupun, Alana marah-marah tapi tetap harus bangun pagi sebab harus kuliah. Dengan melangkahkan kakinya tak bersemangat ia menuju kamar mandi. Gemericik air mengalir menerpa wajah membasahi tubuhnya. Ia mengambil sabun dan mengusap secara lembut keseluruh tubuhnya. Tidak lupa membasuh rambutnya dengan shampo dan kondisioner agar wangi dan mudah
Alana dibawa ke Laka Lalu Lintas Polda Metro Jaya, tapi setibanya di sana mereka dikejutkan banyaknya wartawan yang sudah berada di depan gedung Lalu Lintas membuat mereka saling berpandangan. “Siapa yang membocorkan kalau pelaku tabrakan cucu Adiwangsa sudah ditangkap?” tanya Andi pada salah satu rekannya. “Saya kurang tau juga Pak. Pak Dirlantas dan Kasat Lantas meminta untuk dirahasiakan penangkapan ini,” ucap Arman salah satu polisi Lalu Lintas. “Saya curiga kalau ada orang dalam yang membocorkannya ke media.“Pak Andi, kekuasaan keluarga Adiwangsa tidak bisa dipandang sebelah mata. Mudah bagi keluarga tersebut untuk mengetahui semua permasalahan yang ada.” Andi melihat Alana yang menunduk ketakutan. Air matanya terus mengalir di pipinya. “Jer, buka jaketmu.” Andi berkata pada salah satu anak buahnya. “Aduh Pak. Jangan main buka-bukaan di sini dong. Saya malu Pak,” ucap Jerry terkejut. “Dasar kamu polisi somplak. Saya menyuruh membuka jaketmu bukan buat mesum. Itu jaketmu b
Baskoro menghela napasnya. Ia kasihan melihat Alana yang mengalami masalah yang telah terjadi dalam hidupnya. Pasti sangat sulit menghadapi semua permasalahan yang tak pernah dihadapinya. Pasti gadis tersebut tengah gusar, panik, sedih, dan resah. “Kamu harus tenang dulu yaa Alana. Saya di sini akan membela kamu,” ucap Baskoro. “Iya Pak Baskoro. Saya sangat takut, saya benar-benar tidak melakukannya Pak,” ujar Alana dengan yakin menatap Baskoro. Dari sorot mata Alana terlihat sebuah kejujuran. “Kamu harus tau situasi yang terjadi. Apa kamu sudah tahu apa dengan situasi yang terjadikan? Saya dengar bukti-bukti pihak kepolisian sudah bisa menjadikanmu sebagai tersangka pelaku kejahatan. Sekarang kamu harus mengatakan semuanya dengan sejujur-jujurnya.” “Iya Pak. Saya sudah mengatakan yang sejujurnya kalau bukan saya yang menabrak gadis kecil itu. Saya tidak melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan. Saya tidak melakukannya.” “Apa kamu yakin?” “Saya sangat yakin Pak.” “Ta
Lelah, letih, stress dirasakan Alana. Ia tidak tahan lagi dengan semua pertanyaan yang dilontarkan kedua polisi yang ada di hadapannya. Ingin rasanya, ia berteriak dan mencaci maki mereka agar sadar kalau bukan dirinya lah yang melakukan tabrak lari tersebut. “Saya sudah mengatakan yang sebenarnya Pak kalau bukan saya pelakunya. Mau ditanya sampai kiamat pun tetap bukan saya!” pekik Alana emosi. “Bu Alana, saya minta Anda berbicara dengan sopan. Kami di sini melakukan tugas kami sebagai penyidik bukan teman Anda,” tukas Yudi terpancing emosinya. “Saya ga bohong Pak polisi.” Suara Alana terdengar parau, “saya tidak melakukan seperti yang dituduhkan, bu–bukan saya pelakunya. Saya mohon tolong dengarkan saya Pak.” Air mata terjatuh di pipi Alana. Menahan rasa sesak di dalam dada. Baskoro juga sudah menjelaskan tentang adanya orang lain bersama Alana malam itu di salah satu klub malam di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Namun, sulit sekali membuktikan keberadaan Sinta. “Pak, saya su
Di dalam perjalanan kehidupan pasti mengalami momen-momen dalam masalah. Pengalaman baik, buruk, dan tidak mengenakan bisa datang kapan saja. Hampir semua orang pernah mengalami berbagai macam cobaan dalam hidup. Hanya yang membedakan bagaimana cara menghadapinya. Budi merasakan permasalahan hidupnya terasa begitu berat dan sangat sulit dihadapinya. Jika ia yang mengalami masalah mungkin akan siap dan kuat menghadapinya, tetapi jika menyangkut putrinya akan berbeda. Ia paling tidak bisa melihat jika air mata menetes di pipi Alana. Terlihat jelas di raut wajah Alana begitu kelelahan, sedih, ketakutan, dan kecewa. Hal tersebut membuat hati Budi begitu sakit. Putri yang selalu dijaganya, dirawatnya, dibesarkannya sekarang harus mengalami masalah yang begitu berat. Alana melihat kedatangan Papanya, ia berharap bisa pulang ke rumahnya. “Papa bagaimana? Apa aku bisa pulang?” tanya Alana. Budi mendekati putrinya membelai lembut surai hitam panjang. Matanya terlihat sendu membuat Alana me
Tiga hari kemudianBudi menunggu dengan gelisah kabar tentang keberadaan Sinta di rumah kontrakan Alana. Ingin sekali ia sendiri pulang ke Semarang dan pergi ke Klaten untuk mencari di mana keberadaan sahabat anaknya tersebut. Namun, ia juga tidak bisa melakukannya, Alana dan Anita, istrinya membutuhkan support darinya. Ia tidak tega meninggalkan mereka sendirian di Jakarta. Telepon genggam Budi berdering. Ia sangat bersemangat saat mengetahui kalau Randy yang meneleponnya. Berita yang ditunggu-tunggunya akhirnya datang juga. Budi mengangkat telepon dan mendengar kabar dari Randy. Namun, kabar dari Randy membuat wajahnya berubah jadi pucat saat mendapatkan kabar tentang di mana keberadaan Sinta di Klaten. “Pakde, pangapunten. Aku sudah berusaha mencari keberadaan Sinta selama 3 hari ini di Klaten, tapi keluarganya di sana sama sekali tidak mengetahui di mana Sinta,” ucap Randy dibalik telepon. -Pakde, maaf.-Budi terdiam. Lidahnya terasa begitu kelu untuk mengucapkan satu patah kat
Pernikahan yang sudah dinantikan keluarga Adiwangsa pun akan terlaksana. Meskipun, Reynar dan Alana sudah menikah dan sudah tercatat di pemerintah, tapi baru hari inilah pesta pernikahan mereka terlaksana. Alana menatap wajahnya di depan cermin. Gaun putih gading yang dikenakannya dengan kerah sabrina yang memperlihatkan pundaknya semakin membuatnya tampak begitu cantik dan anggun. Make up nya yang bernuansa warm natural dengan polesan warna nude di bibirnya semakin membuatnya tampak mempesona. Sekarang ia bisa menunjukan dirinya di depan semua orang tanpa rasa malu lagi. “Aku harus bahagia demi anak dalam kandunganku,” ucapnya memberikan dirinya sendiri semangat. Venna dan Anita masuk ke dalam ruang make up bersama - sama. Sang mempelai wanita sudah tampil cantik dengan balutan gaun pengantin yang indah melekat di tubuhnya. "Aku sangat senang ternyata anak sahabatku menjadi menantuku," ucap Venna melirik Anita. "Aku juga bahagia, anak kita bisa bersanding di dalam ikatan cinta y
1 hari sebelum pernikahan Alana berjalan mondar mandir resah dan gelisah sendiri. Ia akan melaksanakan pesta pernikahan besok, tapi tak ada orang yang paling penting dalam hidupnya yaitu, Anita, Ibunya. Reynar yang mengambil cuti dari segala kepenatan pekerjaan kantornya sedang menikmati waktu santai, tapi istrinya yang bolak - balik di hadapannya membuatnya merasa terganggu. “Kamu kok mondar - mandir begitu. Kamu kenapa Sayang?” tanya Reynar. “Aku gelisah besok kita mau nikah,” ucal Alana. “Loh, kita kan memang sudah menikah Sayang. Besok itu baru pestanya.” “Eh, iya itu maksudku.” “Kamu bohong yaa. Ayo ngomong kamu ada apa?” Alana meremas - remas tangannya. Ia bingung harus mengatakan apa pada suaminya. “Aku kangen sama Mama,” ucapnya sedih. “Sudahlah santai - santai dulu masih siang ini,” ucap Reynar. Alana menatap Reynar tidak percaya. Kenapa suaminya sangat santai saat ia mengatakan rindu pada orang tuanya. Apakah keluarganya memang tidak berarti bagi Reynar sampai suami
Pagi ini Reynar dan Alana datang ke rumah keluarga Adiwangsa. Reynar memperhatikan Alana yang berada di sampingnya yang terlihat jelas istrinya gelisah. “Kamu kenapa?” tanya Reynar. “Aku… aku ga apa - apa kok,” jawab Alana menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. “Kamu gelisah ya.” Alana menatap Reynar. “Aku takut.” “Takut kenapa?” “Takut Papa dan Mamamu ga bisa menerimaku.” “Bukannya kamu sudah bicara di telepon sama Mama.” “Sudah sih, tapi ketemu langsung seperti ini kan beda. Hmm, Mama suka perempuan yang gimana? Apa kalem, lemah lembut, lucu, cerewet, atau apa?” Reynar menggenggam tangan Alana. “Jangan khawatirkan apapun. Kamu jadilah dirimu sendiri bukan orang lain.” “Tapi kalau jadi diri sendiri aku itu judes, cerewet, ga lemah lembut malah kadang bisa bar - bar, dan egois sih.” “Nah, itulah kamu. Kamu memang seperti itu mau gimana lagi. Yang penting bagi aku yaa jadi diri kamu sendiri. Aku aja bisa jatuh cinta sama kamu yang sudah begini.” “Iya Sayang.” Tak lama
Yudi segera kembali ke kantornya untuk mencari tahu tentang Frans dan kebetulan Joe sudah tiba di Jakarta. Selama beberapa hari ini Joe menyelidiki siapa Julia dan sekarang sudah selesai mencari tahu tentang Julia. Joe memberitahukan kalau yang semua Julia katakan adalah kebohongan. Di salah satu desa di Semarang tidak satupun orang mengenal Julia, bahkan tak pernah tahu siapa Julia. “Jadi gadis itu menipuku,” ucap Yudi sangat kesal. “Iya Tuan. Kayaknya Julia bukan gadis biasa deh meskipun penampilannya biasa saja,” ujar Joe. “Apa jangan - jangan ini ulah Benny?” Yudi langsung terikat pada Papanya. “Iya ya Tuan. Kan aneh kalau wanita incaran Tuan Benny ga dicari kalau menghilang. Bukannya Tuan bilang si Julia mau jadi istri kesekiannya Tuan Benny.” “Eh, tumben otakmu encer Joe.” “Hehehe… Tuan inilah yang dinamakan efek dari holiday. Kalau kerja sambil jalan - jalan itu semua terasa santai dan menyenangkan loh, Tuan. Coba deh sekali - sekali healing - healing biar ga spaneng Tuan
Reynar bersama dengan Yudi secepat mungkin datang ke apartemen Aira. Tadi ia diberi kabar oleh Rendi kalau Venna datang ke apartemen Aira dan Chester juga mengatakan kalau ada orang jahat ke tempat mereka. Reynar mencoba menghubungi telepon genggam Alana, tapi tidak ada jawaban. “Cepetan Wil, aku khawatir sama Mama dan Alana nih,” ucap Reynar gelisah. “Tenang Rey. Jangan terlalu tergesa - gesa,” ujar Yudi mencoba menenangkan Reynar. Tak membutuhkan waktu lama mereka tiba di apartemen Aira yang kebetulan pintunya terbuka dan mereka langsung masuk begitu saja. Reynar hanya dapat melihat Alana yang terlihat begitu tertekan. “Sayang, kamu baik - baik saja?” tanya Reynar langsung membawa Alana ke dalam dekapannya. Alana merasakan sangat lega saat kehadiran Reynar. Sudah sedari tadi ia merasa sangat tertekan pada Aira dan juga Venna. “Rey…” Venna memanggil Reynar. Reynar menoleh mendengar suara Venna. “Mama kenapa Mama di sini?” tanyanya heran. “Kamu ada hubungan apa sama Alana?” tan
Aira sama sekali tidak menyangka kalau Alana berani melawannya. Dikiranya Alana akan seperti wanita - wanita di sinetron ikan terbang menangis dan ketakutan saat diancam. Meninggalkan suaminya lalu dirinya lah yang akan menang dan berkuasa. “Biasa aja kali Aira melihat aku. Aku bukan setan atau iblis, toh kamu sudah menyerupai itu,” ucap Alana mengejek Aira. Aira sangat kesal dengan ucapan Alana. Mereka terus menerus saling beradu pendapat dan Frans yang ada di sana sama sekali tidak pernah menyangka kalau Alana bisa seperti itu. Ia seperti tidak mengenal Alana yang selalu saja lemah dan tak berdaya. Ia menatap Alana dengan kesal. Rasa cintanya berubah menjadi marah ditambah lagi Alana malah terus menerus membela Reynar. Reynar laki - laki yang sangat dibencinya malah wanita yang dicintainya menjadi buta dan tetap membela Reynar yang sudah terang - terangan memiliki anak dari wanita lain. Rencananya gagal total membuat Alana membenci Reynar dan meninggalkan pria saingannya. “Lana,
Alana sudah tidak memperdulikan apapun lagi. Ia harus segera ke unit apartemen Aira. Ia yakin semuanya hanyalah kebohongan. Reynar sangat mencintainya dan tak mungkin mengkhianatinya. Frans sangat kesal Alana akan mendatangi Aira. Ia khawatir nanti Aira malah mengatakan hal yang sebaliknya jadi memutuskan untuk mengikuti wanita yang dicintainya. Dengan penuh emosi Alana menekan bel pintu apartemen Aira. Aira yang sedang merapikan baju - baju ke koper sangat terkejut bel pintunya dibunyikan berkali - kali. Padahal ia sedang sibuk membereskan semua keperluannya untuk pergi dari keluarga Adiwangsa. “Siapa sih pencet - pencet bel berkali - kali kayak orang kesurupan begitu,” ucap Aira kesal. “Mama itu siapa?” Chester ikutan bertanya karena bunyi bel yang berkali - kali tanpa henti. “Kamu tunggu di sini ya Nak. Di dalam kamar aja ga usah keluar - keluar.” “Apa itu orang jahat Ma? Kok masih bunyi terus jadinya berisik Ma.” “Kayaknya itu orang jahat. Ini telepon genggam Mama, kalau nan
Reynar menghubungi Yudi meminta sahabatnya tersebut untuk datang ke kantornya. Meskipun, Yudi merasa heran namun ia tetap menuruti Reynar agar ia datang ke perusahaan Adiwangsa tanpa ada seorangpun yang menemaninya. “Kenapa Rey? Wajahmu kok serius amat,” ucap Yudi yang baru tiba di kantor Reynar. “Ada seseorang mengancam Aira,” ujar Reynar dengan mimik wajah serius. “Sejak kapan kamu peduli sama Aira? Biarkan saja tuh perempuan diancam malah bisa jadi kesempatanmu ‘kan.” “Bukan itu masalahnya. Kita kan sudah tau kalau anaknya Aira itu bukan anakku, tapi ternyata ada orang lain yang tau tentang si Chester. Dan dia melakukan itu semua karena suruhan orang lain.” Reynar menunjukan pesan Aira Yudi. Yudi membaca pesannya dengan serius, ia jadi yakin ada seseorang dibelakang Aira, tapi apa tujuannya?“Jadi semua yang dilakukan Aira itu ada dalangnya.” Yudi mengangguk - anggukan kepalanya. “Memang sih Aira itu pintar dan licik hampir mirip - miriplah sama Reva, tapi bukan psikopat kayak
Pagi ini bukan pagi yang menyenangkan bagi Aira. Ia gelisah sendiri harus melakukan apa. Apakah ia harus menuruti perkataan pria bertopi hitam itu atau memilih untuk pergi saja dari semuanya. Di tambah lagi sekarang Venna malah sudah berbeda tidak seperti sebelumnya. Di saat ia gelisah telepon genggamnya berdering. Nama Rendi tertera di layar membuatnya terkejut. “Ngapain si kakek tua itu telepon aku pagi - pagi begini?” ucapnya bingung. Aira bimbang harus mengangkat telepon dari Rendi atau tidak. “Angkat ga ya.” Ia terdiam sejenak lalu memutuskan untuk tidak mengangkatnya. “Biarin ajalah. Lebih baik ga angkat telepon, nanti kalau ditanya bilang aja lagi sibuk ngurus Chester,” ucapnya mencoba menenangkan dirinya sendiri. Baru sebentar saja Aira merasa lega. Telepon genggamnya kembali berdering kali ini bukan Rendi, tapi pria bertopi hitam itu kembali menghubunginya. “Waduh, mati aku. Kenapa nih orang telepon aku lagi sih,” ucapnya kesal. Aira memutuskan tidak mengangkat telepon