Lelah, letih, stress dirasakan Alana. Ia tidak tahan lagi dengan semua pertanyaan yang dilontarkan kedua polisi yang ada di hadapannya. Ingin rasanya, ia berteriak dan mencaci maki mereka agar sadar kalau bukan dirinya lah yang melakukan tabrak lari tersebut.
“Saya sudah mengatakan yang sebenarnya Pak kalau bukan saya pelakunya. Mau ditanya sampai kiamat pun tetap bukan saya!” pekik Alana emosi.
“Bu Alana, saya minta Anda berbicara dengan sopan. Kami di sini melakukan tugas kami sebagai penyidik bukan teman Anda,” tukas Yudi terpancing emosinya.
“Saya ga bohong Pak polisi.” Suara Alana terdengar parau, “saya tidak melakukan seperti yang dituduhkan, bu–bukan saya pelakunya. Saya mohon tolong dengarkan saya Pak.” Air mata terjatuh di pipi Alana. Menahan rasa sesak di dalam dada.
Baskoro juga sudah menjelaskan tentang adanya orang lain bersama Alana malam itu di salah satu klub malam di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Namun, sulit sekali membuktikan keberadaan Sinta.
“Pak, saya sudah berkata yang sejujurnya. Saya tidak dapat mengingat apa yang telah terjadi. Saya memang mabuk berat sampai tidak bisa menyetir, saya ga bohong Pak, tolong percaya saya,” ucap Alana di sela isak tangisnya.
Usadani menghela napasnya. Sulit sekali mendapatkan pengakuan dari Alana. “Baiklah jika memang seperti itu, saya akan memberikan bukti di tempat kejadian perkara.”
Usadani dan Yudi memperlihatkan cctv pada Alana dan Baskoro. Betapa terkejut Alana saat mobilnya menabrak gadis kecil itu, ia jadi teringat guncangan hebat saat terlelap di dalam mobilnya, Sinta keluar dari mobil. Kali ini ia sulit untuk mengelak lagi, pakaian yang ia kenakan dengan Sinta sama, mereka berdua membeli dress yang sama di salah satu mall. Ia dan Sinta memakai mini dress berwarna hitam dan rambut mereka juga sama-sama terurai panjang.
“Sinta…yang menabrak Sinta, Pak,” ucap Alana.
“Siapa Sinta?” tanya Usadani.
“Sinta teman saya yang tinggal satu rumah kontrakan dengan saya, Pak. Sinta tadi pagi pulang ke rumahnya di Klaten. Saya ga bohong Pak, saya berkata yang sejujurnya,” ujar Alana.
“Anda bisa saja mengatakan hal seperti itu demi menutupi semua kesalahan Anda dengan menyalahkan orang lain. Bahkan, teman Anda sendiri yang dipermasalahkan,” ucap Yudi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak menyangka kalau gadis yang ada di hadapannya terlihat polos, tapi tidak sepolos penampilannya.
“Saya sudah mengatakan yang sebenarnya, bukan saya yang menabrak cucunya keluarga Adiwangsa," ujar Alana putus asa.
“Tau dari mana kamu kalau yang jadi korban cucu keluarga Adiwangsa?” tanya Yudi curiga.
“Di televisi Pak disiarkan beritanya. Di internet dan di mana-mana. Tapi, bukan saya pelakunya, Pak. Sinta yang menabrak Felicia.”
“Maaf Ibu Alana semakin bersikeras Anda tidak mengakuinya dan tidak bersikap kooperatif semakin membuat hukuman Anda bertambah berat. Boleh saja Anda mengatakan tidak bersalah atau bukan pelakunya, tapi bukti-bukti mengatakan sebaliknya.”
“Saya tidak akan mengubah pernyataan saya kalau bukan saya pelakunya.” Alana menatap Yudi.
Baskoro merasa Alana sudah mulai tersulut emosinya langsung menengahi perdebatan ini. Bisa bahaya bagi Alana jika terus menerus merespon perkataan penyidik dengan emosional.
“Pak Yudi, klien saya sudah mengatakan kalau yang menyetir adalah Sinta, temannya. Apakah dari pihak kepolisian tidak melakukan pemeriksaan terlebih dahulu di rumah kontrakan klien saya?” tanya Baskoro.
Yudi mengalihkan tatapannya ke arah Baskoro. Ia sangat kesal kinerja kerjanya sebagai polisi diragukan. “Pak Baskoro, Anda boleh saja membela klien Anda, tapi jangan pernah meragukan kredibilitas pihak kepolisian,” geram Yudi.
“Kami pihak kepolisian tidak mungkin kalau tidak melakukan pemeriksaan yang intensif terlebih lagi ini menyangkut keluarga Adiwangsa. Kami sudah memeriksa rumah Ibu Alana dan memang seperti yang dikatakan kalau yang bernama Sinta tidak ada di sana,” lanjut Usadani.
“Sepertinya, Pak Yudi dan Pak Usadani salah paham dengan maksud saya. Saya sama sekali tidak meragukan kredibilitas dari pihak kepolisian,” ucap Baskoro.
“Lalu apa yang ingin Anda sampaikan lagi Pak Baskoro,” ucap Usadani.
“Apakah pihak kepolisian sudah memeriksa cctv di Venus Klub di Kemang? Di sana pasti banyak terdapat bukti-bukti dengan siapa Alana perginya.”
“Pihak kepolisian sudah memeriksanya Pak Baskoro, tapi cctv di Venus Klub rusak, ada perbaikan sistem. Akan tetapi, bukti cctv langsung yang memperlihatkan kalau mobil Bu Alana yang menabrak Felicia Adiwangsa di jalan Simatupang.”
"Bagaimana bisa club malam sebesar itu perbaikan sistem di tengah malam? Saya merasa ini ada konspirasi dan unsur kesengajaan.” Baskoro menatap Yudi dan Usadani secara bergantian. Ia merasa ada kejanggalan dengan kejadian tersebut.
“Pihak kepolisian memang sudah menyelidiki langsung dan memang seperti yang dikatakan pihak Venus kalau memang benar adanya. Mereka melakukan perbaikan sistem di tengah malam."
"Benar-benar klub malam yang luar biasa. Saya yakin kalau ada intervensi dari keluarga Adiwangsa untuk menjebak klien saya.”
"Apa Anda ingin mengatakan kalau kematian cucu Adiwangsa dalangnya keluarga Adiwangsa sendiri?”
“Saya tidak pernah mengatakan seperti itu Pak Polisi yang terhormat. Anda lah yang berasumsi seperti itu.”
“Ooh baiklah kalau Anda ingin berkelit, tapi apakah Anda memiliki bukti kalau pihak Adiwangsa ikut intervensi? Jika memang ada bukti itu bisa meringankan klien Anda."
“Untuk sekarang saya memang belum ada bukti, tapi saya akan membuktikan kalau semua ada intervensi dari keluarga Adiwangsa."
Pemeriksaan masih terus berlanjut. Baskoro masih terus berusaha membela Alana mencoba untuk mematahkan bukti-bukti yang walau berjalan alot. Walau harapannya kecil untuk membuktikan kalau bukan Alana pelakunya.
Alana hanya terdiam mendengarkan perdebatan kuasa hukumnya dengan dua orang penyidik. Sebenarnya, ia sudah sangat kelelahan bahkan tak sanggup lagi untuk berkata apapun. Di saat seperti ini ia merindukan ibunya. Ingin sekali ia menangis di dalam pelukan ibu mencurahkan segala beban yang ada.
Tok… tok…
Terdengar suara ketukan pintu ruang penyidikan membuat pembicaraan Yudi, Usadani, dan Baskoro terhenti. Seorang polisi masuk ke dalam dan berbisik pada Usadani sebagai penanggung jawab kasus Alana. Usadani mengangguk-anggukan kepalanya seperti menyetujui perkataan polisi yang menggunakan seragam berwarna coklat.
“Pak Baskoro, Bu Alana pemeriksaan akan ditunda dulu. Sebaiknya beristirahat sejenak dan Bu Alana, kedua orang tua Anda sudah tiba dari Semarang,” ucap Usadani.
“Papa dan Mama sudah datang?” tanya Alana tak percaya.
“Iya. Anda dan pengacara Anda bisa keruangan lain, nanti teman saya akan mengantarkan Anda,” ucap Usadani.
Wajah Yudi terlihat tidak menyukai saat mendengar perkataan Usadani. Ia merasa Usadani terlalu memberikan keringanan pada Alana, tapi tidak mungkin ia langsung membantah di hadapan mereka. Walau bagaimanapun pangkat Usadani lebih tinggi darinya dan lebih senior.
Alana dan Baskoro didampingi polisi mengantarkan mereka di salah satu ruangan yang tidak terlalu jauh dari ruang penyidikan. Terlihat wajah lelah dua orang yang paling di sayang oleh Alana.
Alana langsung berlari mendekati Anita, ibunya. “Mama.”
Anita langsung memeluk putrinya dengan erat. Bulir-bulir air mata terjatuh di pipi kedua wanita yang sedang dilanda kesedihan tersebut. Tak ada kata yang terucap hanya terdengar isak tangis kesedihan yang mampu menunjukkan semua keadaan yang terjadi.
“Bagaimana keadaanmu, Nak,” ucap Anita setelah melepaskan pelukan mereka.
“Mama… Mama, aku tidak melakukannya, Ma. Bukan aku, Ma. Aku mohon percaya sama aku, Ma.” Alana memohon pada orang tuanya.
“Lana, Mama dan Papa selalu percaya kamu,” ucap Anita lembut membelai surai panjang putrinya.
“Terima kasih, Ma.” Alana sangat bersyukur Anita mempercayainya. Baginya, sudah cukup orang tuanya mempercayainya, walau orang lain tidak ada yang percaya padanya.
Alana mengalihkan pandangannya pada Papanya yang sedari tadi hanya diam. Pria yang sudah berusia 60 tahun tersebut menatap Alana dengan sendu. Terlihat jelas guratan-guratan halus di wajahnya yang kelelahan.
“Papa…” Alana memeluk Budi.
Budi membalas pelukan Alana sambil membelai lembut punggung putri kesayangannya. Alana melepaskan pelukannya menatap wajah Budi. Betapa sedih hatinya saat wajah Budi yang tampak berbeda, ia mengerti pasti Budi sangat kecewa dengan semua kejadian yang telah terjadi.
"Papa maafkan aku. Kelakuanku sudah membuat kalian kecewa dan membuat malu, maafkan aku, Papa." Alana kembali menangis.
“Sudah Lana jangan menangis lagi. Papa tau ini sangat sulit untukmu, Papa tau pasti kamu belum bisa menerima semuanya, tapi percayalah Papa akan melakukan apapun demi membelamu.” Budi mencoba menenangkan kegelisahan putri semata wayangnya.
“Papa, aku takut. Aku takut di penjara, aku takut Papa.”
“Kamu harus tetap tegar menghadapi semua masalah yang ada. Kamu harus selalu berdoa agar Tuhan juga membantumu dan membuktikan kalau kamu tidak bersalah.”
“Papa percaya ‘kan kalau bukan aku pelakunya? Aku… aku… kelakuan ku memang nakal Pa, aku memang suka berpesta dengan Sinta, tapi aku bukan pembunuh Pa. Aku berkata dengan jujur kalau bukan aku, tapi Pak Polisi ga percaya Pa.”
“Iya Nak. Papa percaya sama kamu, anakku."
Alana menahan rasa sakit di dalam hatinya, walau kedua orang tuanya berkata tidak percaya, tapi intonasi suara mereka terdengar kecewa. Inilah yang paling ditakutinya kalau orang tuanya kecewa pada kelakuannya.
“Papa, aku mau pulang. Aku ga mau di sini, aku takut di sini Papa.” Alana memohon pada Budi.
“Kamu tenang dulu yaa, Nak. Kamu bicara dulu sama Mamamu, Papa akan bicara sama Pak Baskoro.”
“Iya Pak.”
Anita menarik Alana untuk duduk di sofa yang tersedia di sana. Ia membawakan makanan untuk putrinya. “Makan dulu, Nak.”
“Mama, aku ga laper. Aku ga bisa makan,” ucap Alana sedih.
“Kalau kamu ga makan gimana kamu bisa menghadapi semua masalah ini, Nak. Ayoo, makan dulu, Mama suapin yaa,” bujuk Anita dengan lembut.
Alana menjadi tidak tega mendengar suara Anita yang membujuknya. Ia pun membuka mulutnya dan disuapi makanan oleh Anita, walau sudah ada orang tuanya, tapi ia masih khawatir dan ketakutan.
Baskoro berbicara berdua dengan Budi di luar ruangan. Ia penasaran bagaimana nasib putrinya.
“Maaf Pak, kasus ini memang benar-benar polemik sekali,” ucap Baskoro.
“Polemik bagaimana Pak Baskoro?” tanya Budi penasaran.
“Semua bukti-bukti mengarah pada Alana dan tidak bisa dibantahkan lagi.”
“Apa benar Alana yang menabrak cucu keluarga Adiwangsa?”
“Kalau dari penuturan Alana bukan dia yang menabrak, tapi Sinta.”
“Sinta? Sinta teman baiknya, Alana? Masa Sinta tega melakukannya ke anakku.”
“Pak Budi mengenal Sinta?”
“Saya sangat mengenal Sinta. Dia sudah seperti anakku juga sering tidur di rumah dan beberapa kali aku memberikannya uang. Sinta, anak yatim piatu dan sangat dekat dengan Alana.”
“Apa mereka sering melakukan hal bersama? Apa mungkin menggunakan pakaian yang sama?”
“Kalau itu saya kurang tau. Tapi, sepertinya sering sih. Yang mengontrak rumah saja saya agar bisa ditinggali berdua Alana dan Sinta.”
Baskoro terdiam. Ia memikirkan apakah benar yang dikatakan Alana kalau Sinta lah pelakunya.
“Apa Pak Budi memiliki foto Sinta?”
“Hmm, tunggu sebentar.” Budi melihat telepon genggamnya dan mencari foto Alana dan Sinta. Alana sering mengirimkannya foto kebersamaan mereka.
“Ini.” Budi menunjukan foto Alana dan Sinta.
Baskoro melihat foto di telepon genggam Budi. Potongan rambut Alana dan Sinta sama persis, tinggi badannya, postur tubuhnya, tapi berbeda warna kulitnya. Kulit Alana terlihat lebih putih daripada Sinta.
“Apa Pak Budi tau di mana Sinta sekarang?” tanya Baskoro ingin memastikan keberadaan Sinta.
“Memangnya si Sinta tidak ada di rumah kontrakan Alana?”
“Menurut pihak kepolisian tidak ada orang lain selain Alana dan kalau menurut Alana si Sinta berpamitan pulang ke Klaten.”
“Apakah ada nomor Sinta yang bisa dihubungi Pak Budi?”
“Sebentar saya telpon Sinta dulu.”
Budi langsung mencari nama Sinta di kontak telepon genggamnya. Setelah mendapatkannya langsung menghubungi nomor Sinta, tapi hanya perekam suara dari pihak provider yang menjawabnya. Budi tidak menyerah begitu saja, ia kembali menghubungi nomor telepon Sinta dan hasilnya tetap sama -nomor yang anda tuju sedang tidak aktif cobalah beberapa saat lagi, - membuat Budi sangat khawatir dan sedih. Ia juga takut kalau putrinya masuk penjara.
“Bagaimana Pak Budi bisa dihubungi nomornya, Sinta?” tanya Baskoro penasaran. Budi hanya menggelengkan kepalanya tak semangat.
“Sini Pak nomornya, Sinta. Saya yang akan coba menghubunginya.” Baskoro menekan nomor telepon genggam dan menghubungi Sinta, namun hasilnya tetap sama kalau nomor yang dihubungi tidak aktif.
Budi hanya menunduk lemas. Sinta sekarang tidak tahu di mana keberadaannya membuat putrinya yang harus menanggung kesalahan yang tidak diperbuatnya. Ia akan berusaha untuk membela dan membuktikan kalau Alana tidak bersalah.
“Pak Baskoro apakah Alana bisa dibawa pulang? Saya ga tega meninggalkannya di kantor polisi,” ucap Budi mencoba agar Alana tidak mendekam di sel penjara.
“Kalau melihat kasus yang ada tidak memungkinkan Pak Budi,” ujar Baskoro yang jadi tidak tega sendiri melihat wajah Budi yang kecewa.
Budi hanya bisa menghela napasnya dengan berat. “Baiklah jika memang seperti itu, tapi aku akan menyuruh saudara ku ke Klaten untuk mencari di mana Sinta.”
“Iya Pak kalau kita bisa menghadirkan Sinta tentu akan membuktikan kalau bukan Alana lah pelakunya.”
“Iya Pak Baskoro. Terima kasih sekali atas bantuannya.”
“Sudah merupakan kewajiban saya membela klien saya. Ooh iya, Pak, sebaiknya Pak Budi kembali ke ruangan tadi untuk memberikan Alana semangat. Saya akan pergi untuk memastikan sesuatu.”
“Iya Pak Baskoro, saya mohon bantuannya.”
“Iya Pak pasti akan saya bantu.”
Baskoro menjadi sangat penasaran dengan kasus Alana. Kasus seperti sudah direncanakan untuk menyingkirkan pewaris. Mungkin saja Reynar Adiwangsa ingin menyingkirkan keponakannya, Felicia Adiwangsa demi menjadi ahli waris tunggal perusahaannya. Jika Felicia masih hidup tentu menjadi penghalang semua yang direncanakannya.
Dengan mengernyitkan dahinya, Baskoro mencoba mengingat dengan cctv tadi dan saatnya, ia melihat kembali cctv yang tadi. Menurutnya memang benar perawakan, baju, rambut, dan semua perawakannya, Sinta terlihat mirip dengan Alana. Tapi, warna kulit yang bisa membedakan antara Alana dan Sinta membuatnya semakin menjamenjadidi penasaran, siapakah pelaku sebenarnya?
Di dalam perjalanan kehidupan pasti mengalami momen-momen dalam masalah. Pengalaman baik, buruk, dan tidak mengenakan bisa datang kapan saja. Hampir semua orang pernah mengalami berbagai macam cobaan dalam hidup. Hanya yang membedakan bagaimana cara menghadapinya. Budi merasakan permasalahan hidupnya terasa begitu berat dan sangat sulit dihadapinya. Jika ia yang mengalami masalah mungkin akan siap dan kuat menghadapinya, tetapi jika menyangkut putrinya akan berbeda. Ia paling tidak bisa melihat jika air mata menetes di pipi Alana. Terlihat jelas di raut wajah Alana begitu kelelahan, sedih, ketakutan, dan kecewa. Hal tersebut membuat hati Budi begitu sakit. Putri yang selalu dijaganya, dirawatnya, dibesarkannya sekarang harus mengalami masalah yang begitu berat. Alana melihat kedatangan Papanya, ia berharap bisa pulang ke rumahnya. “Papa bagaimana? Apa aku bisa pulang?” tanya Alana. Budi mendekati putrinya membelai lembut surai hitam panjang. Matanya terlihat sendu membuat Alana me
Tiga hari kemudianBudi menunggu dengan gelisah kabar tentang keberadaan Sinta di rumah kontrakan Alana. Ingin sekali ia sendiri pulang ke Semarang dan pergi ke Klaten untuk mencari di mana keberadaan sahabat anaknya tersebut. Namun, ia juga tidak bisa melakukannya, Alana dan Anita, istrinya membutuhkan support darinya. Ia tidak tega meninggalkan mereka sendirian di Jakarta. Telepon genggam Budi berdering. Ia sangat bersemangat saat mengetahui kalau Randy yang meneleponnya. Berita yang ditunggu-tunggunya akhirnya datang juga. Budi mengangkat telepon dan mendengar kabar dari Randy. Namun, kabar dari Randy membuat wajahnya berubah jadi pucat saat mendapatkan kabar tentang di mana keberadaan Sinta di Klaten. “Pakde, pangapunten. Aku sudah berusaha mencari keberadaan Sinta selama 3 hari ini di Klaten, tapi keluarganya di sana sama sekali tidak mengetahui di mana Sinta,” ucap Randy dibalik telepon. -Pakde, maaf.-Budi terdiam. Lidahnya terasa begitu kelu untuk mengucapkan satu patah kat
Seorang pria di kegelapan malam menghembuskan asap rokok dengan santai. Ia menatap keluar jendela lantai 18 melihat lampu-lampu tampak gemerlap. Perasaannya begitu dendam ingin segera menghancurkan hidup wanita yang telah membuat kehidupannya tidak lagi sama seperti dulu. Suara ketukan pintu terdengar membuatnya melirik ke samping saat asistennya, Wildan masuk ke dalam ruangannya. “Ada apa?” tanya Reynar dengan suara datar. “Pak, saya sudah menjalankan perintah anda untuk membuat perusahaan yang bekerjasama dengan percetakan Budi Utama memutuskan kontrak mereka dan harus membayar biaya kompensasi yang cukup besar.” Reynar tersenyum licik saat asistennya, Wildan memberitahukan kalau percetakan orang tua Alana mengalami kebangkrutan bahkan harus membayar kompensasi yang cukup besar. “Jadi sekarang si Budi itu memiliki banyak hutang,” ucap Reynar menyeringai. “Iya Pak Reynar. Tanah dan mobilnya sudah dijual untuk menutupi semua pembayaran dan untuk gaji karyawan,” ucap Wildan. “Ba
3 bulan kemudianTanpa terasa waktu terus berjalan, hari pun berganti, sudah 3 bulan pemeriksaan kasus Alana semua berkas-berkas sudah lengkap dan ia mengalami berbagai macam tekanan baik psikis dan fisik. Ia tak sanggup lagi menahan semua masalah yang ada, walau sudah mengatakan hal yang sebenarnya, tapi tidak ada seorang pun yang mempercayainya ucapannya.Sudah seminggu Budi kembali ke Semarang. Usaha percetakannya mengalami gulung tikar. Akibat berita yang meliput kehidupan pribadi anaknya membuat orang-orang ikut menghujat dan tidak ada yang mau menggunakan jasa percetakan Budi. Budi terpaksa menjual tanahnya untuk membayar gaji karyawan, biaya hidup, dan bia
2 bulan kemudianTanpa terasa persidangan sudah 2 bulan berlalu dan hari ini memasuki putusan. Sekarang saatnya, Alana harus menerima keputusan majelis Hakim, hari yang menentukan berapa tahun ia akan dihukum. Ia kembali duduk di kursi pesakitan, ia melirik ke arah kursi pengunjung sidang mencari keberadaan Anita, Mamanya. Sudah 2 bulan Anita tak terlihat lagi datang di Pengadilan.Saat melihat ke arah pengunjung sidang ia menjadi gugup. Merasa tidak nyaman dengan banyak mata yang menatapnya dengan berbagai pandangan. Tak bisa ia pastikan satu persatu tatapan mereka hanya bisa menundukan kepalanya tidak berani membalas tatapan mereka.
Rini dan Novi mendengarkan kisah Alana dengan takjub. Alana begitu lancarnya menceritakan semuanya dengan begitu menyakinkan sehingga mereka ikutan bersedih.“Maaf, aku membuat kalian ikutan menangis,” ucap Alana tidak enak sendiri sambil mengusap air mata di pipinya.“Aku ga nyangka gadis cantik sepertimu mengalami nasib yang begitu menyedihkan,” ujar Novi yang menangis.“Aku salah. Kalau saja waktu di bisa diputar kembali aku ga akan mau mabuk sampai Papaku harus meninggal.”“Lihat aja Alana d
Alana hanya bisa menghembuskan napasnya dengan berat. Hari ini ia akan dipindahkan ke Rutan Pondok Bambu. Ada perasaan rindu yang menggelayut dalam benaknya. Ia sangat merindukan Anita, Mamanya. Semenjak kematian Budi, Anita tidak pernah sekalipun terlihat mengunjunginya.“Kamu kenapa Lana?” tanya Rini memperhatikan wajah Alana yang tampak sedih.“Kamu memikirkan kalau sebentar lagi masuk Rutan Pondok Bambu ya?” Novi malah ikutan bertanya pada Alana.Alana menatap kedua temannya yang berada dalam satu sel tahanan dengannya. “Bukan. Kalau masalah aku masuk rutan sih mau ga mau, yaa harus aku jalani.&
Setelah berbicara dengan Hans. Reynar sibuk dalam pikirannya, semua rencana yang telah diaturnya harus berjalan sesuai keinginannya. Membuat Alana menderita seakan menjadi semangatnya.“Wildan, bagaimana renovasi Villa Rose?” tanya Reynar.“Sebentar lagi akan segera selesai,” jawab Wildan.“Semuanya harus selesai dalam waktu 3 hari!”“Baik Pak dalam 3 hari semuanya sudah selesai sesuai keinginan Anda.”
Pernikahan yang sudah dinantikan keluarga Adiwangsa pun akan terlaksana. Meskipun, Reynar dan Alana sudah menikah dan sudah tercatat di pemerintah, tapi baru hari inilah pesta pernikahan mereka terlaksana. Alana menatap wajahnya di depan cermin. Gaun putih gading yang dikenakannya dengan kerah sabrina yang memperlihatkan pundaknya semakin membuatnya tampak begitu cantik dan anggun. Make up nya yang bernuansa warm natural dengan polesan warna nude di bibirnya semakin membuatnya tampak mempesona. Sekarang ia bisa menunjukan dirinya di depan semua orang tanpa rasa malu lagi. “Aku harus bahagia demi anak dalam kandunganku,” ucapnya memberikan dirinya sendiri semangat. Venna dan Anita masuk ke dalam ruang make up bersama - sama. Sang mempelai wanita sudah tampil cantik dengan balutan gaun pengantin yang indah melekat di tubuhnya. "Aku sangat senang ternyata anak sahabatku menjadi menantuku," ucap Venna melirik Anita. "Aku juga bahagia, anak kita bisa bersanding di dalam ikatan cinta y
1 hari sebelum pernikahan Alana berjalan mondar mandir resah dan gelisah sendiri. Ia akan melaksanakan pesta pernikahan besok, tapi tak ada orang yang paling penting dalam hidupnya yaitu, Anita, Ibunya. Reynar yang mengambil cuti dari segala kepenatan pekerjaan kantornya sedang menikmati waktu santai, tapi istrinya yang bolak - balik di hadapannya membuatnya merasa terganggu. “Kamu kok mondar - mandir begitu. Kamu kenapa Sayang?” tanya Reynar. “Aku gelisah besok kita mau nikah,” ucal Alana. “Loh, kita kan memang sudah menikah Sayang. Besok itu baru pestanya.” “Eh, iya itu maksudku.” “Kamu bohong yaa. Ayo ngomong kamu ada apa?” Alana meremas - remas tangannya. Ia bingung harus mengatakan apa pada suaminya. “Aku kangen sama Mama,” ucapnya sedih. “Sudahlah santai - santai dulu masih siang ini,” ucap Reynar. Alana menatap Reynar tidak percaya. Kenapa suaminya sangat santai saat ia mengatakan rindu pada orang tuanya. Apakah keluarganya memang tidak berarti bagi Reynar sampai suami
Pagi ini Reynar dan Alana datang ke rumah keluarga Adiwangsa. Reynar memperhatikan Alana yang berada di sampingnya yang terlihat jelas istrinya gelisah. “Kamu kenapa?” tanya Reynar. “Aku… aku ga apa - apa kok,” jawab Alana menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. “Kamu gelisah ya.” Alana menatap Reynar. “Aku takut.” “Takut kenapa?” “Takut Papa dan Mamamu ga bisa menerimaku.” “Bukannya kamu sudah bicara di telepon sama Mama.” “Sudah sih, tapi ketemu langsung seperti ini kan beda. Hmm, Mama suka perempuan yang gimana? Apa kalem, lemah lembut, lucu, cerewet, atau apa?” Reynar menggenggam tangan Alana. “Jangan khawatirkan apapun. Kamu jadilah dirimu sendiri bukan orang lain.” “Tapi kalau jadi diri sendiri aku itu judes, cerewet, ga lemah lembut malah kadang bisa bar - bar, dan egois sih.” “Nah, itulah kamu. Kamu memang seperti itu mau gimana lagi. Yang penting bagi aku yaa jadi diri kamu sendiri. Aku aja bisa jatuh cinta sama kamu yang sudah begini.” “Iya Sayang.” Tak lama
Yudi segera kembali ke kantornya untuk mencari tahu tentang Frans dan kebetulan Joe sudah tiba di Jakarta. Selama beberapa hari ini Joe menyelidiki siapa Julia dan sekarang sudah selesai mencari tahu tentang Julia. Joe memberitahukan kalau yang semua Julia katakan adalah kebohongan. Di salah satu desa di Semarang tidak satupun orang mengenal Julia, bahkan tak pernah tahu siapa Julia. “Jadi gadis itu menipuku,” ucap Yudi sangat kesal. “Iya Tuan. Kayaknya Julia bukan gadis biasa deh meskipun penampilannya biasa saja,” ujar Joe. “Apa jangan - jangan ini ulah Benny?” Yudi langsung terikat pada Papanya. “Iya ya Tuan. Kan aneh kalau wanita incaran Tuan Benny ga dicari kalau menghilang. Bukannya Tuan bilang si Julia mau jadi istri kesekiannya Tuan Benny.” “Eh, tumben otakmu encer Joe.” “Hehehe… Tuan inilah yang dinamakan efek dari holiday. Kalau kerja sambil jalan - jalan itu semua terasa santai dan menyenangkan loh, Tuan. Coba deh sekali - sekali healing - healing biar ga spaneng Tuan
Reynar bersama dengan Yudi secepat mungkin datang ke apartemen Aira. Tadi ia diberi kabar oleh Rendi kalau Venna datang ke apartemen Aira dan Chester juga mengatakan kalau ada orang jahat ke tempat mereka. Reynar mencoba menghubungi telepon genggam Alana, tapi tidak ada jawaban. “Cepetan Wil, aku khawatir sama Mama dan Alana nih,” ucap Reynar gelisah. “Tenang Rey. Jangan terlalu tergesa - gesa,” ujar Yudi mencoba menenangkan Reynar. Tak membutuhkan waktu lama mereka tiba di apartemen Aira yang kebetulan pintunya terbuka dan mereka langsung masuk begitu saja. Reynar hanya dapat melihat Alana yang terlihat begitu tertekan. “Sayang, kamu baik - baik saja?” tanya Reynar langsung membawa Alana ke dalam dekapannya. Alana merasakan sangat lega saat kehadiran Reynar. Sudah sedari tadi ia merasa sangat tertekan pada Aira dan juga Venna. “Rey…” Venna memanggil Reynar. Reynar menoleh mendengar suara Venna. “Mama kenapa Mama di sini?” tanyanya heran. “Kamu ada hubungan apa sama Alana?” tan
Aira sama sekali tidak menyangka kalau Alana berani melawannya. Dikiranya Alana akan seperti wanita - wanita di sinetron ikan terbang menangis dan ketakutan saat diancam. Meninggalkan suaminya lalu dirinya lah yang akan menang dan berkuasa. “Biasa aja kali Aira melihat aku. Aku bukan setan atau iblis, toh kamu sudah menyerupai itu,” ucap Alana mengejek Aira. Aira sangat kesal dengan ucapan Alana. Mereka terus menerus saling beradu pendapat dan Frans yang ada di sana sama sekali tidak pernah menyangka kalau Alana bisa seperti itu. Ia seperti tidak mengenal Alana yang selalu saja lemah dan tak berdaya. Ia menatap Alana dengan kesal. Rasa cintanya berubah menjadi marah ditambah lagi Alana malah terus menerus membela Reynar. Reynar laki - laki yang sangat dibencinya malah wanita yang dicintainya menjadi buta dan tetap membela Reynar yang sudah terang - terangan memiliki anak dari wanita lain. Rencananya gagal total membuat Alana membenci Reynar dan meninggalkan pria saingannya. “Lana,
Alana sudah tidak memperdulikan apapun lagi. Ia harus segera ke unit apartemen Aira. Ia yakin semuanya hanyalah kebohongan. Reynar sangat mencintainya dan tak mungkin mengkhianatinya. Frans sangat kesal Alana akan mendatangi Aira. Ia khawatir nanti Aira malah mengatakan hal yang sebaliknya jadi memutuskan untuk mengikuti wanita yang dicintainya. Dengan penuh emosi Alana menekan bel pintu apartemen Aira. Aira yang sedang merapikan baju - baju ke koper sangat terkejut bel pintunya dibunyikan berkali - kali. Padahal ia sedang sibuk membereskan semua keperluannya untuk pergi dari keluarga Adiwangsa. “Siapa sih pencet - pencet bel berkali - kali kayak orang kesurupan begitu,” ucap Aira kesal. “Mama itu siapa?” Chester ikutan bertanya karena bunyi bel yang berkali - kali tanpa henti. “Kamu tunggu di sini ya Nak. Di dalam kamar aja ga usah keluar - keluar.” “Apa itu orang jahat Ma? Kok masih bunyi terus jadinya berisik Ma.” “Kayaknya itu orang jahat. Ini telepon genggam Mama, kalau nan
Reynar menghubungi Yudi meminta sahabatnya tersebut untuk datang ke kantornya. Meskipun, Yudi merasa heran namun ia tetap menuruti Reynar agar ia datang ke perusahaan Adiwangsa tanpa ada seorangpun yang menemaninya. “Kenapa Rey? Wajahmu kok serius amat,” ucap Yudi yang baru tiba di kantor Reynar. “Ada seseorang mengancam Aira,” ujar Reynar dengan mimik wajah serius. “Sejak kapan kamu peduli sama Aira? Biarkan saja tuh perempuan diancam malah bisa jadi kesempatanmu ‘kan.” “Bukan itu masalahnya. Kita kan sudah tau kalau anaknya Aira itu bukan anakku, tapi ternyata ada orang lain yang tau tentang si Chester. Dan dia melakukan itu semua karena suruhan orang lain.” Reynar menunjukan pesan Aira Yudi. Yudi membaca pesannya dengan serius, ia jadi yakin ada seseorang dibelakang Aira, tapi apa tujuannya?“Jadi semua yang dilakukan Aira itu ada dalangnya.” Yudi mengangguk - anggukan kepalanya. “Memang sih Aira itu pintar dan licik hampir mirip - miriplah sama Reva, tapi bukan psikopat kayak
Pagi ini bukan pagi yang menyenangkan bagi Aira. Ia gelisah sendiri harus melakukan apa. Apakah ia harus menuruti perkataan pria bertopi hitam itu atau memilih untuk pergi saja dari semuanya. Di tambah lagi sekarang Venna malah sudah berbeda tidak seperti sebelumnya. Di saat ia gelisah telepon genggamnya berdering. Nama Rendi tertera di layar membuatnya terkejut. “Ngapain si kakek tua itu telepon aku pagi - pagi begini?” ucapnya bingung. Aira bimbang harus mengangkat telepon dari Rendi atau tidak. “Angkat ga ya.” Ia terdiam sejenak lalu memutuskan untuk tidak mengangkatnya. “Biarin ajalah. Lebih baik ga angkat telepon, nanti kalau ditanya bilang aja lagi sibuk ngurus Chester,” ucapnya mencoba menenangkan dirinya sendiri. Baru sebentar saja Aira merasa lega. Telepon genggamnya kembali berdering kali ini bukan Rendi, tapi pria bertopi hitam itu kembali menghubunginya. “Waduh, mati aku. Kenapa nih orang telepon aku lagi sih,” ucapnya kesal. Aira memutuskan tidak mengangkat telepon