Kehilangan seseorang untuk selamanya memang sangat menyakitkan, sedih, dan terpukul. Orang yang paling disayangi dalam hidup kini telah pergi dan tidak akan pernah kembali lagi. Bayang-bayang menyelimuti dari orang telah ditinggalkan. Bibir bagaikan terkunci hingga tak sanggup untuk berkata-kata yang kehilangan seseorang yang telah pergi untuk selamanya.
Jerit tangis terdengar di kamar jenazah rumah sakit Columbus. Reynar berjalan gontai di depan pintu kamar jenazah, ia tak percaya saat diberitahukan oleh Rendi, Ayahnya tentang kabar meninggalnya, Felicia. Semua kenangan tentang Felicia terus berputar di kepalanya. Ia menghampiri Vena, Ibunya yang sedang menangis di sisi jenazah Felicia. Perasaannya sama seperti Vena, hancur kehilangan kedua kalinya orang yang sangat disayanginya.
Felicia merupakan anak dari kakaknya, Reina Adiwangsa. Tapi Felicia sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Dari Felicia lahir selalu bersama dia dan Ibunya. Reina meninggal saat mengalami pendarahan karena melahirkan Felicia. Sedangkan Ayah Felicia sudah meninggal dunia karena kecelakaan.
“Mama, ga sanggup lagi Rey,” ucap Vena dengan beruraian air mata.
“Sabar Ma. Aku juga sangat sedih Feli meninggalkan kita secepat ini,” ucap Reynar yang sangat terpukul.
Rendi hanya diam mematung menatap jenazah cucu kesayangannya. Bapak dua anak tersebut merasa gagal tidak bisa menjaga amanat terakhir putri sulungnya. Walaupun, Reina hamil di luar nikah, tapi kehadiran Felicia ibarat pengganti putrinya yang telah meninggal.
“Maafkan aku, Kak. Maafkan aku ga bisa menjaga amatmu yang terakhir,” ucap Reynar menangis mengingat Reina.
Berbagai pikiran berkecamuk di benak Reynar. Ia masih mencoba menerima kenyataan yang begitu membuat hatinya hancur. Jika saja ia tahu kalau malam itu merupakan malam terakhir Felicia tentu saja ia tidak pergi makan malam bersama Reva. Proses pengembalian jenazah sudah lengkap. Mereka segera membawa Felicia ke rumah duka yang merupakan tempat peristirahatan terakhir Felicia.
Di rumah duka sudah banyak datang keluarga Adiwangsa, dan tamu yang lainnya. Tak ketinggalan ada begitu banyak awak media yang mereka itu semua. Berita meninggalkan cucu keluarga Adiwangsa langsung menjadi berita hotline dan hot news di berbagai media massa. Wajah Reynar terlihat sangat tampan bak dewa Yunani terlihat tegar dihadapan semua orang, tapi tak ada satupun orang mengerti tentang perasaannya yang sesungguhnya.
Bulir-bulir air mata terjatuh perlahan di pipi Reynar yang tak bisa ditahannya lagi. Ia sudah tak memperdulikan lagi orang-orang disekitarnya, menggelengkan kepalanya perlahan. Dadanya terasa sakit bagaikan teriris perih direlung hati yang terdalam. Rasanya baru kemarin ia bercanda, bermain dengan keponakan kesayangannya, ingin sekali ia mendengar celotehan-celotehan dan suara manja dari bibir mungil Felicia.
Suara rintihannya terdengar pilu, menyayat sebagian sanubari saat tubuh yang kini terbaring kaku ditangisi sanak saudara dan kedua orang tua Reynar, kakek dan nenek Felicia. Reynar mendekati mamanya memeluk dengan erat, mencoba menenangkan Vena yang sangat terpukul atas meninggalnya, Felicia.
Setelah pemakaman selesai satu persatu pelayat yang memakai baju hitam mulai berpamitan, banyak media massa yang meliput secara diam-diam dari kejauhan.
“Ma, Rey, ayo kita pulang," ajak Rendi.
“Nanti dulu Pa. Aku dan Rey masih ingin di sini,” tolak Vena.
“Kita pulang saja dulu. Tidak baik kalau kita terlalu berlama-lama di sini, lihat banyak banget media yang meliput. Nanti kita kalau keadaan sudah lebih tenang datang lagi ke sini.”
Reynar hanya terdiam. Ia hanyut dalam kenangan indah bersama Felicia. Ia sangat menyesali tidak menuruti keinginan terakhir keponakannya untuk tetap di rumah membaca dongeng sebelum tidur, tapi malah sibuk sendiri dengan urusan pribadinya. Felicia, terekam di kamera cctv berjalan keluar rumah sendirian hingga tak lagi terpantau kamera keamanan yang selalu ada di setiap sudut rumah keluarga Adiwangsa.
“Ma, Ken. Aku tau kalian sangat menyayangi Feli. Papa juga sangat menyayangi Feli, tapi lihat dulu ini keadaan disekitarnya,” panggil Rendi lagi.
Vena menarik napasnya dengan berat. “Rey, mari kita pulang.”
Reynar menoleh ke arah suara yang memanggilnya, ia melihat wajah mamanya yang juga sangat terluka dan sedih atas meninggalnya, Felicia. Guratan - guratan halus yang menghiasi di mata dan wajahnya yang terlihat begitu nyata terukir disana. Mata ibunya memerah, suara ibunya seakan tak bertenaga. Luluh lantah dengan kesedihan yang mendalam.
Akhirnya, Reynar menuruti perkataan Vena untuk segera pulang ke kediaman Adiwangsa. Di dalam mobil ia hanya terdiam dengan pandangan kosong melihat keluar jendela, mereka semua juga merasakan sakitnya kehilangan orang yang paling disayangi. Sesampainya di rumah Vena menghentikan langkah kakinya. Wanita berusia 60 tahun tersebut tak sanggup untuk masuk ke dalam rumah yang tersimpan berbagai macam kenangan indah bersama Felicia. Air mata terus mengalir di pipinya, kakinya tak sanggup menopang berat badannya dan terjatuh. Ia menundukan kepalanya, memegang dadanya yang terasa sangat nyeri.
“Kenapa Feli begitu cepat meninggal kita semua, kenapa?” ujar Vena dengan isak tangisnya.
Reynar merasakan hal yang sama seperti Vena. Ia berjongkok memeluk mamanya dengan erat mencoba memberikan kekuatan pada Vena. Ia juga menangis menahan rasa sakit dan penyesalan yang mendera di dalam relung hatinya. Rendi menutup matanya. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah mengalir dari sudut matanya. Ia juga sangat sedih kehilangan cucunya ditambah lagi melihat penderitaan istri dan putra menangis seperti itu.
***
Malam semakin larut, suasana rumah keluarga Adiwangsa masih berselimut duka. Reynar hanya berdiam diri duduk di lantai bersandar di pinggiran dipan tempat keponakannya tidur. Ia memeluk dengan erat foto Felicia dan boneka beruang kesayangan keponakannya. Ia hanya menatap dinding kamar yang berwarna merah muda dan wallpaper hello kitty dengan pandangan kosong.
Suara ketukan pintu dari luar kamar Felicia berbunyi. Reynar melihat pintu dan berkata, "masuk."
"Maaf mengganggu Pak Reynar. Pak Rendi meminta saya untuk memanggil Anda, Pak," ujar Bi Diah, kepala pelayan di rumah keluarga Adiwangsa.
“Iya.”
Dengan langkah tak bersemangat Reynar masuk ke dalam ruang kerja Rendi, tapi papanya tidak sendiri di sana, dua orang juga berada di ruang kerja tersebut. Rendi memperkenalnya putranya pada mereka, ternyata mereka dari yang pihak kepolisian.
“Rey, ini teman papa yang menyelidiki tentang kasusnya Feli,” ujar Rendi.
“Selamat malam Pak. Bagaimana dengan kecelakaan yang menimpa keponakan saya Pak?” tanya Reynar.
Semua kejadian terekam di CCTV, mobil berwarna putih dengan plat nomor B 711 NDA. Terlihat dengan cara mengemudikan mobilnya secara ugal-ugalan dan pada saat mobil berhenti sejenak saat menabrak Felicia. Terlihat wanita yang tersebut menggunakan kakinya menggerakan tubuh keponakannya dan meninggalkannya begitu saja tanpa mau peduli dengan keadaan Felicia.
“Jadi wanita itu yang membuat Feli meninggal secara tragis. Kakinya kurang ajar menyentuh tubuh Feli dengan tidak sopan!” geram Reynar dengan tatapan mata penuh dendam.
“Rey, kamu harus tenang. Biarkan pihak yang berwajib menangani kasusnya.” Rendi mencoba menenangkan Reynar. Ia juga sama seperti Reynar sangat marah dan emosi melihat kejadian di cctv.
“Kalian harus membuat wanita pembunuh itu mendapatkan balasan yang setimpal dengan perbuatannya!”
Jika kalian tidak bisa melakukannya, aku yang akan membalasnya tanpa ampun. Kakinya yang lancang itu akan aku hancurkan dan aku akan memastikan kalau jalang sialan itu akan menyesal telah lahir di dunia ini. Reynar berkata dalam hatinya.
Setelah pihak yang berwajib pergi dari kediamannya, Reynar kembali ke kamarnya. Seluruh pelayan dan pihak keamanan di rumahnya telah ia beri pelajaran sampai ke keluarga mereka. Hanya Bi Diah yang masih bekerja di kediamannya, Bi Diah, kepala pelayan sudah berpuluhan tahun bekerja di sana.
“Kakak, maafkan aku yang tidak menjaga amanahmu. Aku telah lalai tidak membesarkan anakmu. Maafkan aku, kakak.” Reynar sangat menyesal pada Reina.
Reina, kakaknya meninggal dunia setelah melahirkan Felicia. Reina hamil dengan Indra, kekasihnya. Hubungan Indra dan Reina tidak disetujui Rendi. Indra hanya pemuda biasa dan tidak sederajat dengan keluarga Adiwangsa. Rendi melakukan segala cara untuk memisahkan putri sulungnya dengan Indra. Hingga pada suatu malam Indra dan Reina nekat untuk melarikan diri.
Rendi mengetahui hal tersebut sangat marah dan menyuruh pengawalnya untuk mengejar mobil Reina. Reina dan Indra ketakutan dan melajukan mobil dengan kecepatan tinggi hingga mengalami kecelakaan. Indra tewas di tempat kejadian dan Reina selamat. Tanpa Rendi ketahui ternyata Reina tengah mengandung anaknya, Indra. Rendi menyuruh dokter untuk menggugurkan kandungan Reina.
Namun, Reina memohon pada papanya untuk tidak menggugurkan anak dalam kandungannya dan berjanji akan melakukan apapun permintaan Rendi sebagai imbalan ia melahirkan putrinya. Reynar dan Vena yang tidak tega melihat keadaan Reina ikut memohon pada Rendi agar membiarkan Reina melahirkan putrinya. Meskipun, Rendi sangat marah, tapi melihat putra dan istrinya ikut memohon menjadi tidak sampai hati. Ia pun mengizinkan Reina melahirkan anaknya, tapi tidak diakui sebagai cucu keluarga Adiwangsa.
Akan tetapi takdir berkata lain, Rejna mengalami pendarahan hebat saat melahirkan dan sebelum meninggal Reina meminta pada Reynar untuk menjaga, merawat, membesarkan, dan menganggap anaknya sebagai putri Reynar sendiri. Reynar pun menyanggupi permintaan terakhir kakaknya.
“Kak, aku akan membalas kematian anakmu. Aku tidak akan membiarkan wanita sialan itu hidup tenang dan aku akan membalas setiap tetes darah yang keluar dari anakku," ucap Reynar dengan dendam.
Reynar menatap foto Reina dan Felicia yang disengaja di edit agar terlihat berduaan dengan kesedihan yang mendalam. Rasa dendam dan amarah sudah membangkitkan gairah juga semangat hidupnya. Tujuannya saat ini adalah membalas dendam pada Alana Handoko.
Terdengar suara alarm dari ponsel Alana membuat gadis yang memiliki manik-manik indah berwarna coklat tersebut terpaksa untuk bangun. Dengan mata yang masih tertutup rapat ia meraba-raba di meja samping tempat tidurnya untuk mencari ponselnya. “Mana sih nih ponsel kok susah amat,” ucapnya kesal. Semakin lama suara alarm ponselnya terdengar semakin kencang membuatnya semakin kesal. “Apa sih mau nya nih alarm,” ujarnya langsung bangun dari tidur menoleh ke arah nakas. Dengan kesal Alana mengambil ponselnya sambil mematikan alarm yang mengganggu dan terus berbunyi tanpa henti. “Kalau aku ga butuh nih ponsel udah aku lempar aja ke dinding.” Walaupun, Alana marah-marah tapi tetap harus bangun pagi sebab harus kuliah. Dengan melangkahkan kakinya tak bersemangat ia menuju kamar mandi. Gemericik air mengalir menerpa wajah membasahi tubuhnya. Ia mengambil sabun dan mengusap secara lembut keseluruh tubuhnya. Tidak lupa membasuh rambutnya dengan shampo dan kondisioner agar wangi dan mudah
Alana dibawa ke Laka Lalu Lintas Polda Metro Jaya, tapi setibanya di sana mereka dikejutkan banyaknya wartawan yang sudah berada di depan gedung Lalu Lintas membuat mereka saling berpandangan. “Siapa yang membocorkan kalau pelaku tabrakan cucu Adiwangsa sudah ditangkap?” tanya Andi pada salah satu rekannya. “Saya kurang tau juga Pak. Pak Dirlantas dan Kasat Lantas meminta untuk dirahasiakan penangkapan ini,” ucap Arman salah satu polisi Lalu Lintas. “Saya curiga kalau ada orang dalam yang membocorkannya ke media.“Pak Andi, kekuasaan keluarga Adiwangsa tidak bisa dipandang sebelah mata. Mudah bagi keluarga tersebut untuk mengetahui semua permasalahan yang ada.” Andi melihat Alana yang menunduk ketakutan. Air matanya terus mengalir di pipinya. “Jer, buka jaketmu.” Andi berkata pada salah satu anak buahnya. “Aduh Pak. Jangan main buka-bukaan di sini dong. Saya malu Pak,” ucap Jerry terkejut. “Dasar kamu polisi somplak. Saya menyuruh membuka jaketmu bukan buat mesum. Itu jaketmu b
Baskoro menghela napasnya. Ia kasihan melihat Alana yang mengalami masalah yang telah terjadi dalam hidupnya. Pasti sangat sulit menghadapi semua permasalahan yang tak pernah dihadapinya. Pasti gadis tersebut tengah gusar, panik, sedih, dan resah. “Kamu harus tenang dulu yaa Alana. Saya di sini akan membela kamu,” ucap Baskoro. “Iya Pak Baskoro. Saya sangat takut, saya benar-benar tidak melakukannya Pak,” ujar Alana dengan yakin menatap Baskoro. Dari sorot mata Alana terlihat sebuah kejujuran. “Kamu harus tau situasi yang terjadi. Apa kamu sudah tahu apa dengan situasi yang terjadikan? Saya dengar bukti-bukti pihak kepolisian sudah bisa menjadikanmu sebagai tersangka pelaku kejahatan. Sekarang kamu harus mengatakan semuanya dengan sejujur-jujurnya.” “Iya Pak. Saya sudah mengatakan yang sejujurnya kalau bukan saya yang menabrak gadis kecil itu. Saya tidak melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan. Saya tidak melakukannya.” “Apa kamu yakin?” “Saya sangat yakin Pak.” “Ta
Lelah, letih, stress dirasakan Alana. Ia tidak tahan lagi dengan semua pertanyaan yang dilontarkan kedua polisi yang ada di hadapannya. Ingin rasanya, ia berteriak dan mencaci maki mereka agar sadar kalau bukan dirinya lah yang melakukan tabrak lari tersebut. “Saya sudah mengatakan yang sebenarnya Pak kalau bukan saya pelakunya. Mau ditanya sampai kiamat pun tetap bukan saya!” pekik Alana emosi. “Bu Alana, saya minta Anda berbicara dengan sopan. Kami di sini melakukan tugas kami sebagai penyidik bukan teman Anda,” tukas Yudi terpancing emosinya. “Saya ga bohong Pak polisi.” Suara Alana terdengar parau, “saya tidak melakukan seperti yang dituduhkan, bu–bukan saya pelakunya. Saya mohon tolong dengarkan saya Pak.” Air mata terjatuh di pipi Alana. Menahan rasa sesak di dalam dada. Baskoro juga sudah menjelaskan tentang adanya orang lain bersama Alana malam itu di salah satu klub malam di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Namun, sulit sekali membuktikan keberadaan Sinta. “Pak, saya su
Di dalam perjalanan kehidupan pasti mengalami momen-momen dalam masalah. Pengalaman baik, buruk, dan tidak mengenakan bisa datang kapan saja. Hampir semua orang pernah mengalami berbagai macam cobaan dalam hidup. Hanya yang membedakan bagaimana cara menghadapinya. Budi merasakan permasalahan hidupnya terasa begitu berat dan sangat sulit dihadapinya. Jika ia yang mengalami masalah mungkin akan siap dan kuat menghadapinya, tetapi jika menyangkut putrinya akan berbeda. Ia paling tidak bisa melihat jika air mata menetes di pipi Alana. Terlihat jelas di raut wajah Alana begitu kelelahan, sedih, ketakutan, dan kecewa. Hal tersebut membuat hati Budi begitu sakit. Putri yang selalu dijaganya, dirawatnya, dibesarkannya sekarang harus mengalami masalah yang begitu berat. Alana melihat kedatangan Papanya, ia berharap bisa pulang ke rumahnya. “Papa bagaimana? Apa aku bisa pulang?” tanya Alana. Budi mendekati putrinya membelai lembut surai hitam panjang. Matanya terlihat sendu membuat Alana me
Tiga hari kemudianBudi menunggu dengan gelisah kabar tentang keberadaan Sinta di rumah kontrakan Alana. Ingin sekali ia sendiri pulang ke Semarang dan pergi ke Klaten untuk mencari di mana keberadaan sahabat anaknya tersebut. Namun, ia juga tidak bisa melakukannya, Alana dan Anita, istrinya membutuhkan support darinya. Ia tidak tega meninggalkan mereka sendirian di Jakarta. Telepon genggam Budi berdering. Ia sangat bersemangat saat mengetahui kalau Randy yang meneleponnya. Berita yang ditunggu-tunggunya akhirnya datang juga. Budi mengangkat telepon dan mendengar kabar dari Randy. Namun, kabar dari Randy membuat wajahnya berubah jadi pucat saat mendapatkan kabar tentang di mana keberadaan Sinta di Klaten. “Pakde, pangapunten. Aku sudah berusaha mencari keberadaan Sinta selama 3 hari ini di Klaten, tapi keluarganya di sana sama sekali tidak mengetahui di mana Sinta,” ucap Randy dibalik telepon. -Pakde, maaf.-Budi terdiam. Lidahnya terasa begitu kelu untuk mengucapkan satu patah kat
Seorang pria di kegelapan malam menghembuskan asap rokok dengan santai. Ia menatap keluar jendela lantai 18 melihat lampu-lampu tampak gemerlap. Perasaannya begitu dendam ingin segera menghancurkan hidup wanita yang telah membuat kehidupannya tidak lagi sama seperti dulu. Suara ketukan pintu terdengar membuatnya melirik ke samping saat asistennya, Wildan masuk ke dalam ruangannya. “Ada apa?” tanya Reynar dengan suara datar. “Pak, saya sudah menjalankan perintah anda untuk membuat perusahaan yang bekerjasama dengan percetakan Budi Utama memutuskan kontrak mereka dan harus membayar biaya kompensasi yang cukup besar.” Reynar tersenyum licik saat asistennya, Wildan memberitahukan kalau percetakan orang tua Alana mengalami kebangkrutan bahkan harus membayar kompensasi yang cukup besar. “Jadi sekarang si Budi itu memiliki banyak hutang,” ucap Reynar menyeringai. “Iya Pak Reynar. Tanah dan mobilnya sudah dijual untuk menutupi semua pembayaran dan untuk gaji karyawan,” ucap Wildan. “Ba
3 bulan kemudianTanpa terasa waktu terus berjalan, hari pun berganti, sudah 3 bulan pemeriksaan kasus Alana semua berkas-berkas sudah lengkap dan ia mengalami berbagai macam tekanan baik psikis dan fisik. Ia tak sanggup lagi menahan semua masalah yang ada, walau sudah mengatakan hal yang sebenarnya, tapi tidak ada seorang pun yang mempercayainya ucapannya.Sudah seminggu Budi kembali ke Semarang. Usaha percetakannya mengalami gulung tikar. Akibat berita yang meliput kehidupan pribadi anaknya membuat orang-orang ikut menghujat dan tidak ada yang mau menggunakan jasa percetakan Budi. Budi terpaksa menjual tanahnya untuk membayar gaji karyawan, biaya hidup, dan bia
Pernikahan yang sudah dinantikan keluarga Adiwangsa pun akan terlaksana. Meskipun, Reynar dan Alana sudah menikah dan sudah tercatat di pemerintah, tapi baru hari inilah pesta pernikahan mereka terlaksana. Alana menatap wajahnya di depan cermin. Gaun putih gading yang dikenakannya dengan kerah sabrina yang memperlihatkan pundaknya semakin membuatnya tampak begitu cantik dan anggun. Make up nya yang bernuansa warm natural dengan polesan warna nude di bibirnya semakin membuatnya tampak mempesona. Sekarang ia bisa menunjukan dirinya di depan semua orang tanpa rasa malu lagi. “Aku harus bahagia demi anak dalam kandunganku,” ucapnya memberikan dirinya sendiri semangat. Venna dan Anita masuk ke dalam ruang make up bersama - sama. Sang mempelai wanita sudah tampil cantik dengan balutan gaun pengantin yang indah melekat di tubuhnya. "Aku sangat senang ternyata anak sahabatku menjadi menantuku," ucap Venna melirik Anita. "Aku juga bahagia, anak kita bisa bersanding di dalam ikatan cinta y
1 hari sebelum pernikahan Alana berjalan mondar mandir resah dan gelisah sendiri. Ia akan melaksanakan pesta pernikahan besok, tapi tak ada orang yang paling penting dalam hidupnya yaitu, Anita, Ibunya. Reynar yang mengambil cuti dari segala kepenatan pekerjaan kantornya sedang menikmati waktu santai, tapi istrinya yang bolak - balik di hadapannya membuatnya merasa terganggu. “Kamu kok mondar - mandir begitu. Kamu kenapa Sayang?” tanya Reynar. “Aku gelisah besok kita mau nikah,” ucal Alana. “Loh, kita kan memang sudah menikah Sayang. Besok itu baru pestanya.” “Eh, iya itu maksudku.” “Kamu bohong yaa. Ayo ngomong kamu ada apa?” Alana meremas - remas tangannya. Ia bingung harus mengatakan apa pada suaminya. “Aku kangen sama Mama,” ucapnya sedih. “Sudahlah santai - santai dulu masih siang ini,” ucap Reynar. Alana menatap Reynar tidak percaya. Kenapa suaminya sangat santai saat ia mengatakan rindu pada orang tuanya. Apakah keluarganya memang tidak berarti bagi Reynar sampai suami
Pagi ini Reynar dan Alana datang ke rumah keluarga Adiwangsa. Reynar memperhatikan Alana yang berada di sampingnya yang terlihat jelas istrinya gelisah. “Kamu kenapa?” tanya Reynar. “Aku… aku ga apa - apa kok,” jawab Alana menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. “Kamu gelisah ya.” Alana menatap Reynar. “Aku takut.” “Takut kenapa?” “Takut Papa dan Mamamu ga bisa menerimaku.” “Bukannya kamu sudah bicara di telepon sama Mama.” “Sudah sih, tapi ketemu langsung seperti ini kan beda. Hmm, Mama suka perempuan yang gimana? Apa kalem, lemah lembut, lucu, cerewet, atau apa?” Reynar menggenggam tangan Alana. “Jangan khawatirkan apapun. Kamu jadilah dirimu sendiri bukan orang lain.” “Tapi kalau jadi diri sendiri aku itu judes, cerewet, ga lemah lembut malah kadang bisa bar - bar, dan egois sih.” “Nah, itulah kamu. Kamu memang seperti itu mau gimana lagi. Yang penting bagi aku yaa jadi diri kamu sendiri. Aku aja bisa jatuh cinta sama kamu yang sudah begini.” “Iya Sayang.” Tak lama
Yudi segera kembali ke kantornya untuk mencari tahu tentang Frans dan kebetulan Joe sudah tiba di Jakarta. Selama beberapa hari ini Joe menyelidiki siapa Julia dan sekarang sudah selesai mencari tahu tentang Julia. Joe memberitahukan kalau yang semua Julia katakan adalah kebohongan. Di salah satu desa di Semarang tidak satupun orang mengenal Julia, bahkan tak pernah tahu siapa Julia. “Jadi gadis itu menipuku,” ucap Yudi sangat kesal. “Iya Tuan. Kayaknya Julia bukan gadis biasa deh meskipun penampilannya biasa saja,” ujar Joe. “Apa jangan - jangan ini ulah Benny?” Yudi langsung terikat pada Papanya. “Iya ya Tuan. Kan aneh kalau wanita incaran Tuan Benny ga dicari kalau menghilang. Bukannya Tuan bilang si Julia mau jadi istri kesekiannya Tuan Benny.” “Eh, tumben otakmu encer Joe.” “Hehehe… Tuan inilah yang dinamakan efek dari holiday. Kalau kerja sambil jalan - jalan itu semua terasa santai dan menyenangkan loh, Tuan. Coba deh sekali - sekali healing - healing biar ga spaneng Tuan
Reynar bersama dengan Yudi secepat mungkin datang ke apartemen Aira. Tadi ia diberi kabar oleh Rendi kalau Venna datang ke apartemen Aira dan Chester juga mengatakan kalau ada orang jahat ke tempat mereka. Reynar mencoba menghubungi telepon genggam Alana, tapi tidak ada jawaban. “Cepetan Wil, aku khawatir sama Mama dan Alana nih,” ucap Reynar gelisah. “Tenang Rey. Jangan terlalu tergesa - gesa,” ujar Yudi mencoba menenangkan Reynar. Tak membutuhkan waktu lama mereka tiba di apartemen Aira yang kebetulan pintunya terbuka dan mereka langsung masuk begitu saja. Reynar hanya dapat melihat Alana yang terlihat begitu tertekan. “Sayang, kamu baik - baik saja?” tanya Reynar langsung membawa Alana ke dalam dekapannya. Alana merasakan sangat lega saat kehadiran Reynar. Sudah sedari tadi ia merasa sangat tertekan pada Aira dan juga Venna. “Rey…” Venna memanggil Reynar. Reynar menoleh mendengar suara Venna. “Mama kenapa Mama di sini?” tanyanya heran. “Kamu ada hubungan apa sama Alana?” tan
Aira sama sekali tidak menyangka kalau Alana berani melawannya. Dikiranya Alana akan seperti wanita - wanita di sinetron ikan terbang menangis dan ketakutan saat diancam. Meninggalkan suaminya lalu dirinya lah yang akan menang dan berkuasa. “Biasa aja kali Aira melihat aku. Aku bukan setan atau iblis, toh kamu sudah menyerupai itu,” ucap Alana mengejek Aira. Aira sangat kesal dengan ucapan Alana. Mereka terus menerus saling beradu pendapat dan Frans yang ada di sana sama sekali tidak pernah menyangka kalau Alana bisa seperti itu. Ia seperti tidak mengenal Alana yang selalu saja lemah dan tak berdaya. Ia menatap Alana dengan kesal. Rasa cintanya berubah menjadi marah ditambah lagi Alana malah terus menerus membela Reynar. Reynar laki - laki yang sangat dibencinya malah wanita yang dicintainya menjadi buta dan tetap membela Reynar yang sudah terang - terangan memiliki anak dari wanita lain. Rencananya gagal total membuat Alana membenci Reynar dan meninggalkan pria saingannya. “Lana,
Alana sudah tidak memperdulikan apapun lagi. Ia harus segera ke unit apartemen Aira. Ia yakin semuanya hanyalah kebohongan. Reynar sangat mencintainya dan tak mungkin mengkhianatinya. Frans sangat kesal Alana akan mendatangi Aira. Ia khawatir nanti Aira malah mengatakan hal yang sebaliknya jadi memutuskan untuk mengikuti wanita yang dicintainya. Dengan penuh emosi Alana menekan bel pintu apartemen Aira. Aira yang sedang merapikan baju - baju ke koper sangat terkejut bel pintunya dibunyikan berkali - kali. Padahal ia sedang sibuk membereskan semua keperluannya untuk pergi dari keluarga Adiwangsa. “Siapa sih pencet - pencet bel berkali - kali kayak orang kesurupan begitu,” ucap Aira kesal. “Mama itu siapa?” Chester ikutan bertanya karena bunyi bel yang berkali - kali tanpa henti. “Kamu tunggu di sini ya Nak. Di dalam kamar aja ga usah keluar - keluar.” “Apa itu orang jahat Ma? Kok masih bunyi terus jadinya berisik Ma.” “Kayaknya itu orang jahat. Ini telepon genggam Mama, kalau nan
Reynar menghubungi Yudi meminta sahabatnya tersebut untuk datang ke kantornya. Meskipun, Yudi merasa heran namun ia tetap menuruti Reynar agar ia datang ke perusahaan Adiwangsa tanpa ada seorangpun yang menemaninya. “Kenapa Rey? Wajahmu kok serius amat,” ucap Yudi yang baru tiba di kantor Reynar. “Ada seseorang mengancam Aira,” ujar Reynar dengan mimik wajah serius. “Sejak kapan kamu peduli sama Aira? Biarkan saja tuh perempuan diancam malah bisa jadi kesempatanmu ‘kan.” “Bukan itu masalahnya. Kita kan sudah tau kalau anaknya Aira itu bukan anakku, tapi ternyata ada orang lain yang tau tentang si Chester. Dan dia melakukan itu semua karena suruhan orang lain.” Reynar menunjukan pesan Aira Yudi. Yudi membaca pesannya dengan serius, ia jadi yakin ada seseorang dibelakang Aira, tapi apa tujuannya?“Jadi semua yang dilakukan Aira itu ada dalangnya.” Yudi mengangguk - anggukan kepalanya. “Memang sih Aira itu pintar dan licik hampir mirip - miriplah sama Reva, tapi bukan psikopat kayak
Pagi ini bukan pagi yang menyenangkan bagi Aira. Ia gelisah sendiri harus melakukan apa. Apakah ia harus menuruti perkataan pria bertopi hitam itu atau memilih untuk pergi saja dari semuanya. Di tambah lagi sekarang Venna malah sudah berbeda tidak seperti sebelumnya. Di saat ia gelisah telepon genggamnya berdering. Nama Rendi tertera di layar membuatnya terkejut. “Ngapain si kakek tua itu telepon aku pagi - pagi begini?” ucapnya bingung. Aira bimbang harus mengangkat telepon dari Rendi atau tidak. “Angkat ga ya.” Ia terdiam sejenak lalu memutuskan untuk tidak mengangkatnya. “Biarin ajalah. Lebih baik ga angkat telepon, nanti kalau ditanya bilang aja lagi sibuk ngurus Chester,” ucapnya mencoba menenangkan dirinya sendiri. Baru sebentar saja Aira merasa lega. Telepon genggamnya kembali berdering kali ini bukan Rendi, tapi pria bertopi hitam itu kembali menghubunginya. “Waduh, mati aku. Kenapa nih orang telepon aku lagi sih,” ucapnya kesal. Aira memutuskan tidak mengangkat telepon