Sia melempar benda apa saja yang tampak di depan matanya, ketika terbangun tanpa Rigel didekatnya.
“Pria berengsek! Ke mana dia?” Sia berteriak marah, turun dari ranjang hanya dengan selimut yang menggulung tubuh telanjangnya. Hampir tersandung karena menginjak ujung selimut, sebuah tangan menangkap pinggangnya.
“Yap! Aku tepat waktu, kan?” Rigel menyeringai, memperlihatkan barisan giginya yang berujung runcing.
“Dari mana saja kau? Setelah bercinta denganku berulang kali kau berniat … hmmphh—” Mulut Sia terbekap rapat, Rigel melakukannya sambil mendorong tubuh Sia hingga menubruk dinding.
Satu telapak tangan Rigel yang lainnya melindungi kepala Sia dari benturan. “Aku hanya menemui teman sebentar.”
Sia memeluk Rigel setelah pria itu membebaskan mulutnya. “Kau membuatku ketakutan saat terbangun tanpa kau di sisiku.”
“Para penjagamu tidak memberitahu apapun?”
“Kau datang terlalu cepat.” Adlin berdecak kesal. Sinyal kedatangan Rigel yang menembus awan sampai kepadanya hingga dia bisa tahu Rigel datang lebih awal.“Ada apa? Kenapa Ares memintaku menemuimu?”Adlin mendengus mendengar ucapan Rigel, penyebutannya. “Berani sekali kau memanggil nama Pemimpin kita seperti itu.”“Memang itu namanya. Ares Vanth Dier. Kusebutkan, mungkin kau tidak tahu siapa nama lengkapnya.” Rigel balas dengan tersenyum dan berucap sinis.“Dasar sombong! Karena Pemimpin menyukaimu, kau jadi bersikap semaumu.”“Sudah. Hentikan saja basa-basinya. Aku tahu pekerjaanmu bukan hanya untuk meladeniku. Cepat katakan apa yang Ares perintahkan padamu.”Adlin berdecak lagi. Padahal Miria sudah dibangunkan dari tidurnya, tapi wanita itu tidak dibiarkan untuk bertugas dan menangani hal apapun.Dia merasa sangat tidak cocok untuk bicara dengan Rigel Auberon,
“Kau akan pergi sepagi ini?” Sia terbangun, berusaha melawan kantuk dan lelah usai bercinta.Tampak rapi dan tampan, Rigel mengangguk dengan senyum sekilas.“Apa kau ditekan oleh atasanmu?”Rigel terbahak. “Apa yang kau bicarakan? Tidak ada yang seperti itu.”Sia memajukan bibirnya. Menghela napas dan membuang ingatan tentang mimpi buruknya. “Ini hari kedua kita. Kau tidak ingin melakukan sesuatu atau pergi ke suatu tempat bersamaku?”Rigel tersenyum, menaikkan dua alis, tertawa sambil bicara. “Kupikir kau hanya peduli dengan urusan ranjang dan selama apa kita bisa bertahan dalam bercinta. Ternyata kau juga perhatian pada hal lainnya.”Bibir Sia semakin mengerucut dan ada gerutu pelan di dalamnya. “Salahmu sendiri. Kenapa kau begitu menggairahkan?”“Apa katamu?” Rigel mendekat, tapi seketika mendapat pelukan.“Tolong cepat kembali. Aku sud
“Austin Cadee.”“Gre—ah, maksudku, Galexia Pandora.” Sia kikuk. Padahal diawal tadi dia sudah coba menyebut namanya saat sedang berprofesi sebagai salah satu pekerja di rumah Teratai.Austin tersenyum. Harusnya saat ini dia berada di rumah menjaga Disi, tapi wanita itu bersikeras untuk mengusirnya dari sana dan memintanya bekerja seperti pria normal lainnya.Padahal tadi dia sedang memilih satu gaun kejutan untuk dikenakan Disi pada saat makan malam yang direncanakannya nanti, ketika seorang gadis kecil dan wanita dewasa yang cantik sedang bermain air di taman samping toko yang langsung menarik perhatiannya.“Jika tidak cocok, kau boleh pilih yang lainnya Nona Gale.” Austin menunjuk ke arah gantungan pakaian yang berjajar disepanjang ruangan.“Oh, tidak perlu, Tuan Ausi. Ini sudah sangat bagus. Cantik dan mewah.” Sia tersenyum. Pilihan Austin atau bukan, dia akan tetap merasa berterima kasih.
Yurim sedikit bergidik ketika merasakan seorang pencabut nyawa yang kembali pada takdirnya, kini berdiri dibelakangnya, berbisik untuk memprovokasinya.“Senang kau datang kembali pada takdirmu, Malaikat pencabut nyawa,” sambut Yurim, tanpa berbalik.Disi mendengar mereka, meski kedua matanya tidak bisa menangkap jelas utuh gambaran wajah Rigel, dia tahu Yurim baru saja menyebut seseorang sebagai Malaikat pencabut nyawa.Sedang apa lagi jika bukan ingin mengambil nyawanya? Meski masih ada kurang dari enam puluh hari dari sekarang, tetap saja Disi pesimis. Sesuatu selalu bisa saja keliru.Melangkah mundur, Disi terus menjauh, tidak menyadari bahwa langkahnya terus mendekati jalanan berlalu lalang kendaraan, meski tidak terlalu padat terisi.Baik Yurim atau Rigel sama-sama berusaha untuk meraih tangan Disi, bahkan Rigel bergerak cepat untuk menarik tubuh Disi. Tapi ada seseorang yang lebih cepat dari itu, Austin Cadee.Putra Dewa Ai
Austin membaringkan Disi yang masih gemetaran karena kejadian tadi.Memutuskan untuk tidak bertanya apapun sampai Disi sendiri yang berinisiatif untuk bicara, menjadi penekanan dalam benak Austin, walau dia sangat ingin tahu apa yang dikatakan Kakak perempuannya pada Disi.“Kau marah padaku?” Suara bergetarnya terasa menyentuh kulit Austin.“Itu tidak ada gunanya.” Austin menyelimuti Disi, hatinya terasa sakit melihat Disi yang semakin kurus dengan penglihatan yang memburuk sedikit demi sedikit.“Aku keluar karena mendapat panggilan dari wanita yang akan menyerahkan bayinya pada kita.”Austin mengernyit. Wanita itu sedang hamil dan tinggal menanti kelahiran bayinya. Dia ingin bertemu Disi karena akan memeras dengan alasan untuk kebutuhan bayinya.Wanita yang tidak menginginkan bayi itu ada sejak kali pertama dia menyadari bahwa dirinya hamil, dipertemukan dengan Disi dan Austin beberapa hari lalu lewat seo
Rigel mendapatkan amplop hitam keduanya di atas meja kerja tanpa siapapun yang menyadarinya. Membuka dan menarik isinya keluar, seperti sebelumnya, semua tertulis dengan jelas di secarik kertas putih. Menghela napas, Rigel meletakkan begitu saja amplop itu kembali di atas mejanya. Tidak akan ada mata manusia yang bisa melihat benda itu. Rigel menghindari Yoan ketika dia melihat pria itu keluar dari elevator. Tugasnya tiba lebih cepat. Dia tidak harus mendengar omong kosong sangat tidak berguna Yoan hari ini. Yang isinya selalu tentang Greet dan Greet! Rigel tiba di tempat tujuan lima menit lebih cepat. Sepuluh meter dibelakang rumahnya. Suasana berdarah, mencekam, terlihat suram. Rita Adeline. Padang alang-alang. Jam enam kurang sebelas menit. Diperkosa, disiksa, dan dipukul menggunakan batu. Dua dari sahabat Disi Melani Truder di masa sebelumnya sudah mati lebih dulu. Dan Rita Adeline saat ini.
Irene keluar dari rumah yang tampak sederhana dari luar, namun luar biasa pada bagian dalam itu sembari tersenyum sinis. Nyonya rumah ternyata sudah memiliki keberaniannya sendiri. Tenang, dia tidak akan menyerah! Masuk ke mobil tua yang dipinjamnya dari pemilik bar, saat sudah menutup pintu dan duduk sempurna dibalik kemudi, jendela kaca mobilnya diketuk dari luar. Menoleh, Austin Cadee ada di sini. Si wajah rupawan yang bersinar setiap saat walau dalam ekspresi marah sekalipun. “Waktu yang sempurna untuk mengancam seorang wanita lemah. Aku benar?” Austin bertanya sembari melirik melalui kaca spion bagian dalam. Dia yang memaksa untuk mengemudikan mobil tua butut yang bahkan hampir mempertemukan puncak kepalanya dengan langit-langit mobil. “Aku tidak mengancam. Hanya berusaha membuatnya sepakat.” “Dia menerima kesepakatanmu?” “Sayangnya tidak.” Irene mengeluh. Merasa tidak nyaman karena bertemu langsung dengan Austin C
Disi memegangi daun pintu dengan sekuat tenaga hanya untuk memastikan bahwa benar, Austin membawa pulang seorang wanita dan bayi melewati pintu yang dibukanya.Kedua matanya memicing tiada henti hingga menyebabkan kepalanya sakit.Austin menggendong Irene, dan seorang perawat mengantarkan bayi itu ke kamar.“Disi, ayo ke sini, kita lihat bayinya.” Austin membawa Disi ke kamar bayi yang memang sudah Disi siapkan semenjak dia menginginkan bayi untuk mereka.Austin sudah membaringkan tubuh Irene dan meninggalkannya tanpa berucap apapun.Dan sekarang, Irene berbaring di ranjang kamar tamu yang luar biasa nyaman. Masuk ke rumah ini, menjadi bagian dari Austin sudah berhasil dilakukannya.“Aku hanya perlu membuatnya melihatku, sekali saja.” Irene bicara dalam hati.Sementara di kamar bayi, Austin membantu Disi untuk bisa menggendong bayi mungil Irene.“Siapa namanya?” Dengan sangat hati-hati Disi b
Ratu Nimfa. Wanita culas yang tidak menginginkan siapa pun berada didekat Penguasa langit selain dirinya. Janji Vanth untuk mencabut nyawa wanita itu benar-benar diwujudkan, meski akhirnya Penguasa langit melindungi Ratu Nimfa demi dirinya dan kerajaan yang mereka bangun bersama.Minerva tidak menyangka bahwa Vanth mengikutinya ke dunia langit, mengumpulkan banyak tenaga demi bisa menghunuskan belati ke dada kiri Minerva.“Pergilah. Mulai hari ini, kau bukan Putriku. Dan tidak akan ada bahagia yang kau dapatkan setelah berani melakukan banyak hal buruk pada kami. Satu hal yang harus kau ingat, apa pun yang terjadi padamu dan Putra-Putrimu, itu tidak akan ada lagi hubungannya denganku.” Penguasa Langit berbalik, membawa tubuh Ratu Nimfa yang sekarat, tapi wanita itu tidak akan mati. Sekali lagi, mereka bukan manusia. Hidup abadi adalah salah satu hal paling membosankan yang tidak bisa mereka banggakan.“Kau tidak menyesalinya?” Vanth terba
“Dia bukan cinta lamaku,” protes Vanth. Kenyataannya memang begitu.“Ya, aku percaya itu.” Yemima mencibir. Menyeringai dibalik punggung Rigel.“Susul Hortensia. Dia mungkin tidak bisa berada di satu ruangan yang sama dengan Sia.” Vanth menatap Rigel yang mulai menggerakkan tangannya.“Yeah, dua wanitamu bersatu.”“Diam dan pergilah.” Vanth dibuat kesal setiap waktu oleh Yemima, meski dia membutuhkan rekan seperti wanita itu di sisinya.Yemima pergi sembari menyeringai, dia tahu Vanth hanya mencintai Minerva, tapi terjebak birahi dengan Aura. Dan dirinya sendiri tidak pernah peduli untuk jatuh cinta, apalagi berkembang biak.*****Sia memperhatikan dua wajah yang terbaring di kiri dan kanannya. Vanth memang baru saja memejamkan kedua matanya, pria itu lelah pastinya. Sementara Rigel sudah terbaring tidur lebih dulu sebelum dirinya merangkak ke sisi
Rigel pernah punya kenangan di rumah ini. Rumah pertama kali dia dipertemukan kembali dengan Sia, dan rumah yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama Yoan Bailey.Beruntung dia tidak pernah membiarkanYoan menjual rumah ini. Walau tampak tidak berpenghuni, tapi Rigel ingat, Yoan mempekerjakan sepasang suami istri untuk menjaga dan merawat rumah ini, serta menyantuni mereka setiap bulan.Mereka disambut, benar, sepasang suami istri yang ramah. Rigel tidak mengenal mereka. Yoan yang selalu mengurus hal yang sering kali tidak dia ketahui.“Jadi selama ini siapa yang membayar gaji kalian?” Rigel bicara tanpa basa-basi, setelah tadi dia mengantarkan Sia masuk ke kamar, agar wanita itu bisa beristirahat.“Tuan Vanth Dier.”Ah, seketika Rigel tidak lagi curiga. Ares Vanth Dier memang selalu bisa diandalkan.*****Vanth menginjak kepala penyerang terakhir, yang lebih tepat disebut pem
Selama sepekan, Vanth dan Rigel terus ada di sisi Sia dengan bergantian berjaga, bahkan mereka tidur di ranjang bersama, bertiga.Malam itu, Sia merasa gerah. Dia meminta Rigel melepas pakaiannya dan menggantinya dengan gaun tidur tipis. Saat dengan hati-hati Rigel melakukannya, Vanth sedang berada di dapur bersama Aura, dan Yemima yang baru saja pergi keluar rumah karena bosan.Dua wanita itu sudah diminta pulang ke negeri atas awan, tapi mereka bersikeras tinggal dengan alasan ingin berjaga-jaga jika kemungkinan buruk yang bisa datang dari luar rumah.“Dia akan baik-baik saja, bukan?” Suara halus Aura, terdengar di dapur Sia yang tidak luas, juga tidak sempit.Sejak tadi, Vanth lebih banyak diam. Aura tahu, itu bukan pertanda yang baik.“Pasti.” Hanya itu jawaban Vanth.“Aku merindukanmu,” ucap Aura dengan sadar posisi, tempat, dan waktu saat dia mengakuinya.“Lalu, apa yang kau inginkan?&rd
Sia melihat perseteruan di depan matanya. Berkali-kali dia memutar tubuh ke kiri dan kanan hanya untuk memastikan keberadaannya.Mimpi dan penglihatan itu lagi. Anehnya kali ini, ada pihak lain yang tampak tidak terima dan menyulitkan Rigel.Sia ingin mendekat, tapi rasa kram di perutnya menahan dia untuk melakukan itu. Dia hanya bisa berada di jarak lima meter untuk memandangi mereka, dan terasa aman bagi kondisi perutnya.Saat umpatan wanita histeris itu mengudara, saat itulah Sia bisa melihat cahaya putih sangat menyilaukan, menghantam mereka.Rigel terpental, lalu menghilang di udara yang membuat tubuhnya sempat mengambang. Begitu juga dengan dua lainnya yang sudah hilang tidak berjejak apa pun.Sia tersedot dari sana dan terlempar untuk membuka kedua matanya kembali. Sensasi seolah ini perjalanan waktu.Terengah, Sia membulatkan sepasang matanya dalam kengerian teramat sangat.“Kau bermimpi buruk lagi?” Yemima hadir d
Waktu penjemputan. Rigel harus segera bersiap. Dia melihat Aura Hortensia Dikova yang berdiri di ambang pintu saat dia keluar untuk membuka dan melihat dengan perasaan tidak menentu di sana.“Kau?”“Bukan hanya dia, tapi juga aku.” Yemima Zvon Yolanthe bahkan ikut muncul dibalik punggung Aura.Rigel mengernyit. Dia tahu siapa wanita ini, bahkan keduanya. “Seharusnya kau datang untuk menjaga Sia.”“Yap. Tapi Ratu Nimfa sudah membebaskan aku. Dia memberikan pilihan padaku. Membantunya atau mantan rekanku. Jelas bukan, aku memilih siapa. Aku di sini sekarang.”Mendengus, Rigel meninggalkan pintu, mendekat ke arah kamar Sia. “Kupikir Ratu pendamping Penguasa langit itu tidak akan pernah mudah melepas sanderanya.”“Aku bukan sandera mereka. Aku hanya melakukan kesalahan kecil hingga harus menjalani hukuman.”Aura melangkah maju hingga berada di antara mereka. “Ba
Austin ingin tertawa mendengarnya. Ini kesalahpahaman yang bahkan tidak pernah terjadi padanya dan Disi. Kenapa bisa Irene berpikir terlalu jauh seperti itu? “Aku punya kesibukan yang lain beberapa waktu lalu hingga ketika tiba di rumah, aku lebih mengutamakan bayi Cassie karena dia jarang sekali bisa bertemu denganku. Denganmu, aku bisa melihatmu selalu. Kita tidur bersama sepanjang malam. Jadi kupikir, aku tidak ingin kehilangan momenku sebagai seorang Ayah bersamanya. Dan ... aku memikirkan ini lebih jauh Irene. Ketika kita bercinta, aku selalu lepas kendali. Kekuatanku menindih tubuhmu bisa mematahkan ranjang. Kau sedang hamil, dan aku tidak ingin lepas kendali yang bisa berakhir dengan menyakitimu dan bayinya. Apa hal itu justru menyakiti hatimu?” Austin mengangkat dagu Irene agar berani menatapnya. “Tidak. Kau tidak pernah menyakitiku. Justru aku takut diriku bisa membuatmu terluka dan kecewa.” Irene meraih tangan Austin, menggenggamnya sesaat,
Rigel mengangkat tubuh Sia ke tempat tidur. Wanita itu kembali pingsan untuk kesekian kalinya.“Temani dia. Aku harus kembali sebentar ke negeri atas awan.” Vanth sudah bergerak untuk pergi.“Aku tidak bisa meninggalkan Sia seorang diri saat akan melakukan penjemputan.”“Aku tahu.” Vanth mengusap kusen, merapalkan mantra di sana. “Jika aku terlambat kembali, seorang teman akan datang menemani Sia.”“Harus seseorang yang tahu tentang kondisi kehamilannya.” Rigel memperingatkan. Seorang manusia normal pasti akan panik saat menghadapi situasi kesakitan Sia, dan pasti memilih untuk membawanya ke Rumah Sakit.“Ya. Dia temanku, bukan teman Sia. Jadi sudah pasti dia paham akan kondisinya.” Setelah bicara, Vanth pergi. Ada rasa sedih yang disimpannya rapat-rapat di dalam hati, dia harus kembali karena ada beberapa tugasnya sebagai Pemimpin yang belum selesai.Rigel melihat wajah
Tersadar dari pingsannya, Sia mengalami sesak napas.“Sayang, cobalah bernapas dengan perlahan.” Vanth yang tidak tidur sama sekali dan terus terjaga saat Sia terlelap, tetap tenang walau ada gelisah yang menghantuinya.Sia coba mengikuti saran Vanth, tapi tetap tidak membuahkan hasil apa pun. Sia terus kesulitan bernapas dan Vanth segera membawanya ke Rumah Sakit.“Selain kesulitan bernapas, tubuhnya juga kehilangan cairan cukup banyak. Dan ...” Dokter wanita itu melepas kacamatanya, mencubit pangkal hidungnya, dan bingung harus bagaimana menyampaikannya, “maaf, Tuan.Seperti ada parasit yang coba menyerap darah dan mengganggu kinerja organ tubuh lainnya. Parasit yang sampai saat ini belum bisa kami temukan berada di bagian tubuh mana di dalam tubuh istri Anda. Jujur saja, ini aneh. Seperti di luar akal sehat kami, para Dokter. Bukan tidak mungkin, tapi—”“Aku mengerti.” Vanth menarik diri, per