ANAK KEDUA
Nico menatap langit Jakarta cukup lama dari jendela besar yang berada di samping meja kerjanya. Entah kenapa dia diberi ruangan dengan jendela sebesar ini. Terkadang panasnya matahari terasa hingga ke pori-pori saat Nico duduk di tempat kerjanya tersebut. Terkadang bahkan suara hujan terdengar cukup riuh ketika deburannya membentur kaca jendela di lantai lima belas, tempatnya bekerja.
“Nic!”
Suara yang tidak asing itu terdengar lagi di ruang kerja Nico.
“Sibuk?” tanya pria yang sudah membuka lebar pintu ruang kerja Nico. “Gue mau minta tolong nih.” Pria berambut ikal itu sudah berbicara lagi sebelum Nico sempat menjawab pertanyaannya.
“Apa?” jawab Nico, acuh tak acuh.
“Meeting ke Amazed Company besok.”
“Amazed?” kening sedikit berkerut. Dia baru mendengar nama perusahaan yang Alex sebutkan barusan.
“Perusahaan baru yang gantiin Jolly entertainment.”
“Oh.” Nico mulai sedikit paham. Dia tahu jika Jolly entertainment yang selama ini bekerja sama dengan perusahaannya untuk mengiklankan produk-produk dari perusahaan keluarga Alexander dan Nicholas.
“Jam 10 ya,” sambung Alex lalu melangkah pergi.
“Lex!” kejar Nico. “Lu pribadi kan yang pilih company itu. Jadi sebaiknya lu lah yang meeting sama mereka. Gue kan gak tau apa yang mau lu kerjain sama mereka.”
Alex berjalan kembali mendekati Nico yang sedang berdiri di depan pintu ruang kerjanya. “Gak ada yang pribadi kalau urusan kantor, bro!” Alex menepuk pundak Nico. “Lagian, mereka cuma company kecil,” Alex mendekatkan bibirnya ke telinga Nico. “Lu cukup kasih produk-produk kita yang gak laku ke mereka. Setelah itu, salahin mereka karena gak bisa pasarin produk kita sampai laku. Kalau perlu, kasih penalty dan suruh mereka bayar…” Alex memberikan senyumnya pada Nico. “Come on! Lu pasti bisa ngurus masalah receh kayak gini. Biar gue yang urus masalah-masalah besar.”
Nico mengatupkan bibirnya. Bukannya dia tidak bisa membantah ucapan Alex, tetapi Nico merasa tidak pantas untuk membantahnya.
Alexander Biolanda adalah putra pertama dari William Biolanda. Keluarga Biolanda pertama kali datang ke Indonesia sekitar lima puluh tahun yang lalu. Konon, keluarga Biolanda adalah cikal bakal dari perusahaan minyak di negara ini.
Nenek moyang Biolanda membeli ratusan hektar pekerbunan kelapa sawit di beberapa daerah di Indonesia. Mereka pernah menjadi raja minyak yang cukup terkenal. Ekspansi perusahaan keluarga Biolanda tidak lantas hanya di bidang minyak saja. Lambat laun, mereka juga menghasilkan banyak kebutuhan rumah tangga. Mulai dari produk makanan, minuman, bahkan detergen, kini sudah bisa mereka ciptakan. Biolanda company pun berganti nama menjadi Bio Group setelah perusahaan mereka menguasi hampir seluruh pasar di negeri ini.
“Maaf, Pak…” Fathan, asisten Nico bergegas mengekori bosnya setelah melihat Alex pergi. “Padahal saya udah bilang kalau Pak Nico lagi ada meeting. Tapi Pak Alex main nerobos aja.”
Nico kembali duduk ke meja kerjanya. “No choice,” ucap Nico sebelum mendesah. “Jadwalin saya Amazed besok.”
“Baik, Pak.” Fathan tidak banyak bicara lagi.
Fathan sudah hampir sepuluh tahun bekerja dengan Nico. Sebelumnya mereka teman satu kampus dan satu jurusan. Ketika William Biolanda memberikan Nico jabatan sebagai Wakil Direktur, Nico meminta Fathan untuk bekerja dengannya.
Bukan hal yang baru bagi Fathan melihat tingkah semena-mena Alex pada Nico. Pria itu memang sengaja memberikan Nico banyak pekerjaan ‘receh’. Begitulah yang biasa Alex katakan.
Fathan tahu jika Alex tidak akan membiarkan Nico ikut campur dalam urusan penting di Bio Group. Alex tidak akan membiarkan Nico atau siapapun mengusik jabatan Direktur Utama yang kini Alex miliki.
Terlebih lagi, Nico hanyalah anak dari selingkuhan William. Selingkuhan! Ya, kata itu yang biasa Alex gunakan untuk menghina Nico dan latar belakangnya. William, ayah Alex dan Nico itu memang tidak pernah menikahi Ibu Nico secara resmi.
Setelah Ibu Alex meninggal, William memilih untuk berganti-ganti pasangan secara tidak resmi. Dan Ibu Nico adalah salah satu gadis yang mampu memberikan William keturunan tanpa pernah menuntut untuk diresmikan.
Ava memijat keningnya sendiri. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat Ava akhirnya tersadar jika dia hanya tinggal sendiri di ruang kerjanya. Ava menarik kedua tangannya ke atas sebagai peregangan. Dia juga memijit leher dan pundaknya yang terasa tegang.
Sudah seminggu lebih Ava lembur. Dia sedang sibuk mempersiapkan beberapa proposal iklan yang akan dia presentasikan di depan perwakilan dari Bio Group besok.
“Brengsek!” Ava melirik pada ruang kerja manajernya yang sudah gelap.
Kadang Ava ingin bersumpah serapah. Dia yang selalu mengerjakan semua pekerjaan sendiri. Tetapi saat presentasi, si bos akan berlaga sebagai orang yang berbuat banyak di dalam proposal yang Ava buat.
“It’s okay.” Ava berusaha tersenyum lebar. “Aku pasti bisa!” Ava berusaha menguatkan dirinya.
Dia sudah bersusah payah untuk mendapatkan tender kerjasama dengan Bio Group. Ava tidak akan membiarkan kemarahan menghancurkan kerja kerasnya.
“Aku harus datang pagi besok!” Ava memasang alarm pengingat di ponselnya sembari berjalan meninggalkan gedung kantornya yang sudah sepi.
Isi kepalanya tidak bisa berhenti berpikir meskipun pekerjaannya sudah selesai dia kerjakan.
Pakai baju apa besok? Warna merah? Hitam? Sepatu high heels atau hak rendah? Rambut di gerai atau di kuncir? Lipstik warna merah, maroon, atau pink? Wah! Banyak sekali yang harus Ava pikirkan.
“Dia…” bisik Nico sambil menurunkan jendela kaca mobilnya.
“Ya, Pak?” tanya Fathan, menyadari jika bosnya mengatakan sesuatu. “Bapak kenal sama cewek itu?” tanya Fathan, melihat Nico sedang menatap seorang wanita yang tengah duduk di halte bus sembari memakai headphone di telinganya.
“Sepertinya,” jawab Nico tidak yakin.
“Saya gak ingat kalau Bapak pernah ketemu sama cewek itu.”
Nico mengangguk-angguk. Fathan memang tidak ada di malam itu. Nico datang ke club karena diminta oleh Alex. Namun Nico bergegas pergi ketika dia tahu jika Alex hanya berusaha membuat Nico mengkonsumsi narkoba bersama di malam itu.
Dan beruntungnya, Ava mengajak Nico bermalam bersama saat itu. Nico jadi punya alasan tepat untuk menolak ajakan Alex.
“Nia.” Nico mengingat nama wanita yang sedang ditatapnya.
“Nia?” Fathan tersenyum kecil. “Kayaknya spesial banget,” ledek Fathan. “Lu bukan tipe orang yang ingat nama cewek yang pernah lu tidurin.”
Nico mengangguk. Setuju dengan ucapan Fathan. Dia memang tidak pernah ingat nama wanita yang pernah kencan dengannya.
“Mau diajak bareng?” tanya Fathan.
Nico tidak langsung menjawab. Kenangan manis bersama Ava yang Nico kenal dengan nama Nia, tiba-tiba terbesit kembali di memori Nico. Lekukan tubuh Ava, aroma tubuh, hingga suara desahan Ava masih bisa Nico ingat dengan jelas di benaknya.
Mungkin hal itu yang membuat Nico mengingat nama Ava dengan cukup baik. Gadis cantik itu bukan sekedar teman tidur satu malam. Tetapi juga berhasil meninggalkan kesan di pikiran Nico.
“Udah mau jalan nih!” Fathan menegaskan kembali. Lampu lalu lintas akan segera berubah dan Fathan harus memutuskan apakah dia mesti memakirkan mobilnya atau terus berjalan ke tujuan.
“No!” Nico menolak. “Next time. Kalau gue bisa ketemu lagi sama tu cewek, pasti akan gue ajak bareng,” jawab Nico yang langsung merubah gaya bicaranya menjadi santai saat sedang berdua saja dengan sahabatnya.
Bersambung…
PERTEMUAN YANG TIDAK DIDUGAAva sudah sibuk di ruang meeting sejak dua jam sebelum waktu meeting dengan perwakilan dari Bio Group. Dia harus memastikan banyak hal. Ruang meeting dingin, meja kursi bersih, makanan dan minuman tersaji, hingga proposal presentasinya dapat digunakan dan bekerja dengan baik.Aldo Aksara datang sepuluh menit sebelum pukul 10 pagi. Gayanya seperti biasa. Mengantongi sebelah tangan, berjalan santai, menatap sekeliling ruangan seolah sedang memastikan jika Ava tidak membuat cela.“Udah beres semua kan untuk meeting hari ini?” tanya Aldo pada Ava yang sedang berdiri di depan layar projector.“Sudah, Pak,” jawab Ava, berusaha untuk tetap sopan di depan atasannya.Mata Aldo menatap tubuh Ava dari ujung kepala hingga ujung kaki.“Kamu keliatan cantik banget hari ini,” goda Aldo. “Kamu keliatan sexy pakai baju warna merah.”Ava berusaha tersenyum manis untuk menanggapi godaan Aldo.“Tapi sayang, yang datang bukan Dirut Bio Group.”“Oh ya?” Ava terlihat kecewa. Pada
MENCARI YANG TERSEMBUNYIAva mematung cukup lama di balik pintu kaca ruang meeting kantornya. Matanya menatap lurus pada dua pria yang sedang berbicara dengan Aldo di pintu depan. Satu pria berjas hitam dan satunya lagi berjas biru dongker. Keduanya terlihat gagah dan tampan. Tapi pria berjas biru terlihat … familiar.“Ah, sial!” Ingatan Ava akhirnya mampu menemukan pria berjas biru itu. “Sial! Sial! Sial!.” Ava mengumpat terus menerus.Fix! Pria berjas biru itu Nico. Pria yang Ava ajak bercinta secara random. Ava sadar, suatu saat mereka pasti bakalan ketemu lagi. Jakarta memang tidak seluas yang dibayangkan. Tapi, bukan di momen seperti ini. Dimana Ava adalah penjual, dan pria itu pembelinya.Tangan Ava bergerak cepat untuk mengambil ponselnya. Ava mengetik ‘Nico Bio Group’ di situs pencarian google.“Hah!” Ava menutup mulutnya sendiri dengan tangan. Wajah Nico muncul bertebaran di layar ponsel Ava. Jadi pria yang Ava ajak bercinta, ternyata Wakil Direktur dari Bio Group.“Gila! Gil
TANDA TANYA YANG MENGANGA Sepanjang mendengarkan penjelasan Ava, Nico terus berpikir keras. Nico sudah tahu permainan Alex selama menjabat menjadi Direktur Utama setelah ayah mereka memutuskan untuk pension di usia enam puluh lima tahun. Alex bukanlah seorang pebisnis yang jujur. Meski tidak bisa dipungkiri jika Alex mampu menaikkan pendapatan Bio Group sepanjang dirinya mengepalai perusahaan besar tersebut. Selama ini Nico memilih untuk menutup mata, telinga, bahkan suaranya oleh semua tindak tanduk Alex. Nico juga memilih untuk tidak pernah mau ikut campur terlalu dalam pada manajemen perusahaan. Mungkin karena itu, Nico dianggap tidak memperdulikan perusahaan keluarganya. “Jadi, bagaimana menurut Bapak dengan konsep iklan yang kami tawarkan?” tanya Ava di ujung penjelasannya. Nico menatap Ava untuk beberapa lama. Entah apa yang Alex inginkan dari Amazed Company. Nico tahu betul, jika Alex sudah memilih salah satu perusahaan untuk dijadikan mitra, pasti Alex sedang mengincar ses
MENCARI NIA“Wah, tingginya!” Ava menatap gedung Bio Group yang berdiri gagah di tengah kota Jakarta. “Perusahaan elit emang beda.” Ava menghenal napasnya cukup panjang.Tepat jam sembilan lewat tiga puluh menit, Ava sudah tiba di loby gedung perkantoran Bio Group. Dia sengaja datang lebih awal dari janji temu di jam sepuluh pagi. Ava tidak pernah membiarkan dirinya datang terlambat di janji temu dengan klien-kliennya. Untuknya, ketepatan waktu adalah hal yang utama.“Silahkan. Pak Nico sudah menunggu di lantai lima belas,” pegawai resepsionis di gedung Bio Group memberikan kartu akses agak Ava bisa memasuki gedung dan menaiki lift.Sejujurnya, Ava tidak ingin menemui Nico lagi. Tapi Ava tidak punya alasan untuk menolak permintaan Nico. Lagipula, Nico adalah kliennya. Lebih tepatnya, klien besar di kantornya. Klien yang membuat Ava bisa menduduki jabatan asisten manajer seperti saat ini.“Selamat pagi…” sapa Ava sambil membuka pintu ruang kerja Nico.“Come!” suruh Nico dari meja kerja
TERBUKANYA RAHASIA“Video?!” Ava berpikir keras setelah Nico mengatakan jika dirinya memiliki video mereka di malam itu.Tidak. Tidak! Ava ingat betul jika tidak ada rekaman yang dibuat Nico. Tapi … Ava kembali berpikir. Yakin tidak yakin dengan pikirannya sendiri. Bisa jadi, Nico merekamnya dengan diam-diam.“Sial!” Ava meremas jari jemarinya sendiri. Dia mencoba mengingat, dimana Nico meletakkan ponsel malam itu.Mungkin lewat ponsel Nico? Jadi Ava tidak menyadarinya. “Brengsek!” Ava lantas mengumpat. Pantas aja, Nico semudah itu diajak tidur bersama. Mungkin konglomerat ini memang ingin memanfaatkan Ava sejak awal.Isi kepala Ava hanya berkutat dengan pertanyaanya sendiri.Apa iya? Mungkin tidak. Tapi, bisa jadi iya? Ah, gak mungkin.Kalimat -kalimat itu berputar terus menurus di pikirannya.“Sepertinya, itu jalan satu-satunya untuk menemukan Nia.” Nico merogoh kantongnya dan mengeluarkan ponsel miliknya.“Jangan!” Ava berusaha mengambil ponsel Nico.“Kenapa jadi kamu yang panik?”
EKSISTENSI ATAU POTENSI Seorang pelayanan pria berpakaian rapi dan bersih mendatangi Ava dengan ramah. Tangannya dengan sigap membuka napkin yang sebelumnya terlipat di atas meja untuk kemudian di s***k dan di simpan di atas pangkuan Ava. Ini memang bukan pertama kalinya Ava makan malam dengan konsep ‘Fine Dining’. Sebelumnya Ava pernah Fine Dining, tepatnya saat dia mengikuti kursus Table Manner setelah lulus sekolah. Itupun, karena tantenya yang memaksa. Katanya, seorang wanita harus mengerti tata krama, entah dari cara bicara, bersikap, bahkan saat makan. Saat itu, Ava pikir kursus yang terpaksa dia ikuti hanyalah sia-sia belaka. Kursus seperti itu lebih cocok untuk anak pengusaha, bukan anak biasa macam dirinya. Tapi, ternyata moment untuk menggunakan hasil kursus tiba juga. “Saya udah pilihan makanan untuk kita. Semoga kamu gak keberatan,” ucap Nico dengan santun. “Gak pa-pa,” balas Ava singkat. Entah karena tempatnya, entah karena suasanya, atau entah karena tamu-tamunya ya
CURIGARokok dengan harga mahal yang Nico beli dari luar negeri, mendadak jadi terasa tidak nikmat. Mungkin karena teman merokoknya adalah Alex. Atau mungkin karena isi pembicaraannya dengan Alex yang tidak enak hingga membuat rokok di tangannya juga jadi terasa tidak nikmat.Nico tidak menjawab pertanyaan terakhir Alex. Bisa dibilang sengaja – tidak sengaja Nico tidak menjawabnya. Nico kebingungan alasan. Dia khawatir, alasan-alasan yang dia paksakan justru akan menjadi boomerang untuk dirinya.Seperti pertanyaan Alex tadi. Nico sendiri yang mengatakan jika Amazed punya potensi, makanya Nico menyarankan Alex untuk membeli perusahaan yang sedang berkembang itu. Namun, ucapan Alex ada benarnya. Jika Amazed memang sudah punya potensi, untuk apa lagi Nico membantu Ava.“Shitt!” kata itu yang terbersit di pikiran Nico saat mendengarkan ucapan Alex. Alex memang selalu bisa memutarbalikkan ucapan Nico. Membuat Nico jadi termakan oleh ucapannya sendiri.“Belum selesai juga makannya?” tanya N
Mr. AROGAN“Ada yang aneh ya di muka saya?” tanya Alex tiba-tiba.“Eh. Oh. Gak, pak. Gak ada,” Ava jadi malu sendiri.Sepertinya Ava terlalu lama menatap Alex. Sampai dia tidak sadar jika Alex memperhatikannya.“Terpesona ya sama saya?”Ava tersenyum malu. “Sepertinya sih begitu,” Ava mengakuinya. “Abisnya Bapak hebat ya. Pak Alex bukan cuma bisa jadi pemimpin yang berwibawa, tapi sayang banget sama keluarga. Terutama Pak Nico.”Alex tersenyum bangga pada pujian Ava.“One more thing…” ucap Alex saat mobilnya berhenti di depan sebuah rumah dengan cat berwarna merah. “Saya kasih project Amazed ke Nico bukan karena saya gak percaya sama kemampuan kamu ataupun Amazed. Tapi karena saya juga ingin Nico punya andil di perusahaan kami. Jadi, kamu jangan tersinggung ya karena tiba-tiba Nico yang handle project kamu.”“Gak kok, Pak.” Ava mengangkat kedua tangannya. “Saya sama sekali gak tersinggung. Saya malah merasa terhormat karena Wakil Direktur seperti pak Nico masih mau mengurusi project ke
PACARAN?! Tya merebahkan tubuhnya di atas ranjang tidurnya yang besar. Kepalanya terasa sakit, layaknya ada ribuan kerikil yang bertumpang tindih di dalam otaknya. Tya merasa bersalah, gundah, gelisah, dan entah apalagi istilahnya. Rasanya dia ingin mengucapkan sumpah serapah, tapi hanya diam yang lantas mampu dia ungkapkan. Air matanya menetes tanpa diminta. Tya merasa sudah gagal menjadi ibu dan bapak untuk Ava. Pengorbanannya, kerja kerasnya, dan lelahnya dibayar dengan luka dan nista. "Huh..." napas Tya terasa berat. Matanya mencoba terpejam meski air matanya terus mengalir dengan kejam. "Tan, makan dulu. Ava bikin telor dadar kesukaan Tante." ucap Ava dari depan pintu kamar Tya yang tertutup rapat. Hening. Tanpa balasan apalagi jawaban. Tante Tya masih juga tidak mau meladeni Ava yang sedari tadi berusaha untuk membuatnya keluar dari dalam kamar. Ava menggulung rambutnya yang panjang. Mengikatnya dengan tali karet berwana hitam. Dia berencana untuk membuat mie rebus d
MENIKAH DENGAN ORANG ASINGSuasana di ruang tamu rumah Tya mendadak hening setelah Ava mengeluarkan kalimat ampuhnya.Nico merasa lega, tapi entah kenapa, dia juga merasa kecewa. Ada sisi dari dirinya yang benar-benar ingin memiliki Ava. Menikahi gadis itu untuk menjadi pendamping hidupnya. Tapi sisi lain dari Nico juga mencoba melawan. Ingin tetap memegang prinsip bahwa pernikahan bukanlah jalan keluar dari cinta.Tante Tya mulai bisa bernafas lega. Keponakan satu-satunya tidak hamil di luar nikah. Dia tidak perlu merasa salah karena tidak becus dalam mendidik anak dari kakak satu-satunya.Sedangkan Ashanti, mungkin satu-satunya orang yang terpaksa harus menanggung marah. Dia kehilangan alasan kuat untuk memaksa Ava menikah dengan puteranya. Ashanti sebenarnya tidak terlalu peduli dengan kehamilan Ava. Dia hanya butuh alasan untuk menyelamatkan puteranya dari kehancuran yang dia yakini diperbuat oleh Alex.“Jadi…” Ava membuka suaranya lagi. “Pembicaraan soal pernikahan sebaiknya tida
DIDATANGI CALON MERTUABukan Ashanti namanya jika hanya menerima. Ashanti mungkin bisa sabar saat dijadikan istri simpanan. Dia juga masih terima saat anak semata wayangnya dicatatkan sebagai anak dari istri sah suaminya. Tapi, Ashanti tidak bisa terima jika anaknya tidak bisa mendapatkan harta warisan suaminya.“Kita pergi ke rumah Ava,” perintah Ashanti kepada supir pribadinya.Ashanti sudah mengantongi alamat rumah Ava dari Fathan. Meskipun Ashanti harus memaksa dan meninggikan suaranya di depan asisten pribadi Nico, tapi Ashanti berhasil mendapatkan alamat Ava.“Tumben kamu mau nemenin tante lari pagi,” ucap Tya dengan nafas terengah-engah.“Aku butuh udara segar supaya berpikir tenang,” balas Ava sekenanya.Sebenarnya bukan itu alasan utama Ava menemani Tya olah raga pagi. Ava ingin memastikan tantenya tidak membuka me
MENANTU YANG TAK DIINGINKAN Dugaan Ava benar terjadi. Video keributan dirinya dengan Aluna tersebar dalam hitungan detik. Netizen Indonesia terbukti tidak pernah tidur. Ratusan bahkan mungkin ribuan komentar bermunculan di semua media social yang menayangkan video tersebut. Ratu viral ‘Aluna’ memang tengah disorot atas kasus kehamilannya di luar nikah. Jadi berita apapun yang berhubungan dengan nama Aluna, sudah pasti ikutan viral. Nico menaruh ponselnya di atas meja kerja yang ada di dalam kamar tidurnya. Tangannya memijit keningnya yang tiba-tiba terasa sakit setelah melihat video dan membaca beragam artikel yang membicarakan tentang isi dari keributan Aluna dan Ava. Nico mengingat salah satu komentar yang menyebutkan bahwa Nico ternyata sudah menghamili dua wanita dalam kurun waktu yang hampir sama. Sekarang namanya bukan lagi disebut sebagai pria yang tidak bertanggung jawab. Tetapi sudah dicap sebagai pria ‘Red Flag’ yang meniduri wanita disana sini. Namun bukan sebutan ‘Red
BENCANA ATAU RENCANAAva berdiri cukup lama di depan televisi yang sedang menampilkan berita skandal Nico dan Aluna. Sebenarnya, hingga saat ini Aluna belum memberikan konfirmasi apapun terkait ayah dari bayi yang dikandungnya. Namun foto-foto Nico dan Aluna di hotel sudah cukup untuk membuat natizen berkesimpulan bahwa Nico adalah pria tidak bertanggung jawab.“Udah hampir sebulan, tapi beritanya masih panas aja.” Agnes berkomentar di samping Ava yang sama-sama sedang menonton berita di televisi.“Gimana gak panas, beritanya di gosok terus.” Suara Gita terdengar menyahut, membuat Ava dan Agnes bergegas meninggalkan tontonan mereka.“So, gimana?” tanya Ava, penasaran.Gita menganggukkan kepala beberapa kali. “Gue beneran hamil.” Senyum cantik Gita tersembul.Ava, Agnes, dan Tiwi bersamaan memeluk Gita. Mereka tidak tahu apa arti pelukan itu. Entah pelukan sayang atau pelukan kasihan. Mereka juga belum tahu, apakah kehamilan Gita akan menjadi bencana atau justru rencana indah dari Tuha
HAMILNico hanya mematung. Menatap punggung Ava yang pergi menjauh hingga menghilang ditelan lift yang membawa gadis itu semakin jauh darinya.Nico tersenyum tipis.Lucu tapi juga dongkol. Ini pertama kalinya dia merasa tidak dihargai oleh seorang wanita. Wanita yang bukan apa-apa, bahkan siapa-siapa. Nico jadi menyesal karena sudah berusaha memberikan penjelasan pada Ava. Tapi, dia juga yakin jika dirinya akan lebih menyesal jika hanya diam sama, tanpa berusaha memberikan penjelasan kepada gadis itu.Lucu. Nico tersenyum lagi. Dia merasa seperti orang bodoh saat ini.Ava duduk terdiam di kursi halte bus yang sudah sepi. Gigi depannya mengigit ujung kuku jari tangannya tanpa dia sadari sepenuhnya. Pikirannya melayang. Merasa bersalah karena sudah bersikap kasar pada Nico. Tapi batinnya juga terus berteriak, memastikan apa yang dilakukannya sudah benar.Matanya lantas tertuju pada sebuah mobil yang melintas lambat di depan halte bus. Mobil yang bisa langsung Ava kenali pemiliknya. Mobil
TIDAK ISTIMEWANico sadar, ada yang berbeda di masa tenang saat ini.Hampir tiga minggu, Alex tidak mengganggu Nico banyak permintaan dan suruhan yang kadang di luar nalar. Tapi masa damai seperti ini justru membuat Nico curiga. Terlebih lagi, Alex tidak terlihat bertindak apapun setelah Ava dengan berani mengancam dirinya.“Ada yang salah!” Nico bergumam sendiri di dalam ruangannya.Matanya tanpa sengaja menatap Ava yang sedang mengaitkan tas kerja dan berjalan menjauh dari meja kerjanya. Gadis itupun, memilih untuk tidak menyapa Nico sama sekali. Dan Nico pun, memutuskan mengikuti saran Fathan untuk berdiam diri dan tidak berusaha untuk menyapa Ava sementara ini.Tapi semua ini terasa salah untuk Nico. Genjatan senjata yang Alex lakukan, sangat mencurigakan. Bersikap acuh tak acuh pada Ava, juga bukan hal yang Nico inginkan. Huft! Serba salah.“Problem!”Nico mendapat pesan singkat dari Fathan. Dibawahnya, ada sebaris link website yang membawa Nico ke sebuah laman Youtube.“Masa tena
KEMARAHAN AVASeorang wanita setengah baya terlihat sedang berdiri di dekat pintu masuk kamar tamu ketika Ava membalikkan badannya setelah puas mengomel pada Nico. Di tangan wanita itu ada sepasang pakaian Ava yang sudah tergantung rapi di gantungan pakaian berwarna hitam."Maaf, itu kayaknya baju saja." Ava mendekati wanita itu untuk mengambil pakaian yang dikenalnya."Silahkan." Kepala pelayan di rumah Nico itu tidak banyak bicara meskipun dia sudah cukup banyak melihat hal yang tidak biasa di hari ini."Makasih banyak udah di cuciin dan di gosokin bajunya." Ava mendadak canggung.Wanita itu tidak menjawab apapun. Hanya tersenyum manis pada Ava yang lantas pergi ke kamar tamu, tempat dia bermalam tadi.Walaupun tidak banyak bicara, tetapi lirikan wanita itu sudah berarti banyak untuk Nico. "I don't know. Dia marah-marah." Nico mengangkat bahunya. Berbicara pelan kepada wanita yang setia menjaganya selama ini.Wanita itu hanya mengangkat dagunya dan mengarahkannya ke kamar tamu. Mem
CANGGUNGNico menatap wajah gadis yang tidur disebelahnya dengan serius. Jadi, seperti ini rasanya punya istri?Ada seseorang yang akan ditatap saat bangun pagi. "Konyol!" Nico lantas tersenyum sendiri. Bisa-bisanya dia berpikir soal istri. Padahal selama ini, dia berprinsip untuk tidak ingin menikah.Nico beranjak dari atas ranjang dengan perlahan. Dia tidak ingin membangunkan Ava yang masih tertidur dengan pulas. Gadis itu benar-benar terlihat menggemaskan saat sedang tidur. Membuat Nico enggan untuk pergi.Namun Nico tetap pergi juga. Meninggalkan kamar tamu yang sebenarnya tidak pernah digunakan untuk menerima tamu. Nico memang tidak suka ada orang lain yang menyambangi rumahnya. Dia suka ketenangan. Dia memilih untuk menjauhkan diri dari orang-orang yang hanya ingin mengambil keuntungan dari hidupnya."Tolong cuci cepat ya." Nico memberikan pakaian Ava kepada seorang pelayan wanita yang bekerja di rumahnya. "Hmm, kamar tamu gak usah di bersihin. Saya lagi ada tamu." "Baik, Pak."