Bab 8Kuputuskan untuk mengajak Carla ke kamarnya, tak mengapa untuk saat ini kalian berdua selamat, di lain waktu aku berjanji akan memergoki mereka jika perlu di hadapan seluruh keluarga besar kami, agar semua anggota keluarga tau dan secara terang-terangan membenci mereka. Kutuntun Carla melalui pembaringan lalu mendekapnya dengan erat.Air mata meleleh kembali mengingat apa yang barusan mereka lakukan, beraninya mereka berlaku semesra itu di rumahku. Selama ini aku berusaha menjadi istri yang baik dimatanya, bahkan aku serahkan perusahaan pada Bang Surya untuk menjunjung harga dirinya sebagai kepala tumah tangga.Dari segi fisik aku tak kalah menarik dari Sonia hanya saja tubuhku tinggi kurus tak seperti Sonia yang sedikit berisi, aku hanya unggul dari warna kulit saja, kulitku putih seperti ayah. Sedangkan Sonia kulitnya sawo matang seperti ibu, usiaku dan Sonia terpaut empat tahun.Carla telah terlelap dan suara petir tak lagi terdengar, perlahan aku menidurkan kepalanya ke ban
Entah drama apalagi yang dimainkan mereka, seakan tak ada habis-habisnya. Sonia gadis yang manis ia bisa mendapatkan lelaki yang pantas dan lebih baik ketimbang Bang Surya, ia juga berpendidikan tinggi dan cukup cerdas entah apa yang ada dalam fikirannya sehingga tertarik pada Bang Surya, ia memang lelaki yang gagah dan berwibawa tapi tampilannya tak akan sekeren itu jika tak memakai uangku.Cetrekk!Pintu kamarku terbuka nampaknya Bang Surya memasuki kamar kemudian membaringkan tubuhnya di sampingku. Merasa jijik tubuhku sedikit bergeser menghindar.Hening, netranya menatap langit, aku muak ada didekatnya saat ini kemudian beranjak ke toilet yang ada didalam kamar. Setelah kembali aku lihat Bang Surya mengangkat kasur, dia pasti mencari buku tabungan dan ATM itu."Nyari apa?" tanyaku datar, ia gelagapan."Mbok Minah beres-beres di kamar kita ya?" jawabnya, ia menggaruk kepala seraya celingukan."Enggak," jawabku acuh. Khusus kamar ini memang aku sendiri yang selalu membersihkan."It
Bab 10Pantas saja Bang Surya selalu pulang malam, rupanya ia bermain-main lagi dibelakangku. Entah wanita mana lagi yang ia mangsa saat ini.*"Sarah! ... haloo," sahut Alisa membuatku tersentak.Lagi-lagi aku melamun rasanya lelah sekali memikirkan tingkah Bang Surya."Iya, Alisa," "Kok diem sih, kenapa? ada masalah? cerita aja!" Alisa adalah teman terdekatku, bahkan disaat jarak yang memisahkan saja ia seakan tahu jika aku sedang dirundung masalah yang pelik.Meski dulu ia adalah bawahanku. Namun, tak ada jarak diantara kami sehingga apa pun kesulitanku pasti aku bercerita padanya, entah itu masalah perusahaan atau pun masalah percintaan, tangannya terbuka lebar untuk merangkul dikala aku sedih."Ada, Sa. Nanti aku main ke rumahmu ya, aku butuh solusi nih," ucapku lesu.Seyakin itu aku mempercayainya, bisa dikatakan dia adalah teman rasa saudara. "Ok deh, rencana sih besok pulang, ke rumahnya sore aja biar aku siap-siap," jawabnya semangat.Ia memang begitu selalu memperlakukank
10.BKuputuskan untuk tidur bersama Carla, dengan derai air mata aku mencium pipinya, memandangi wajah mungilnya hatiku terenyuh, sebentar lagi keluarga utuh ini akan hancur.Karena egois, karena napsu.'Nak, kita harus kuat jika hari esok dan seterusnya kehidupan ini hanya akan dijalani berdua denganmu saja', lirihku dalam hatiSudah hampir dua jam aku mencoba memejamkan mata tapi tak jua terlelap. Baiklah mungkin sang pencipta menginginkan aku untuku lebih mendekatkan diri padanya. Gegas aku mengambil air wudhu, setelah itu mengenakan mukena menggelar sajadah kemudian berniat dalam hati untuk shalat tahajud.Karena dengan mengingat allah hatiku bisa tenang kembali, selepas shalat tahajud dan witir aku mengucap istighfar berulang-ulang kali, dirasa cukup aku melafazkan dzikir memuji dan mengagungkan sang pencipta kemudian membaca shalawat pada Nabi kita Muhammad Shalaallahu A'laihi Wasallam lalu mengangakat tangan ke langit, memohon dan meminta apa yang kuinginkan, dan berkeluh kesah
Bab 11Bergegas aku dan Alisa menyusuri jalan, ia mengatakan akan menemui para bapak-bapak yang sedang berkumpul main kartu di pos ronda, aku mengekor dibelakangnya.Sampai di tempat tujuan, nampak ada 5 orang lelaki dewasa sedang minum kopi dan main kartu, Alisa menyapa dan mulai berbicara mengenai apa yang kami maksud."Lihat, Pak. Ini buktinya poto pernikahan teman saya, dan suaminya sekarang sedang dirumah itu berduaan dengan perempuan lain," ucap Alisa seraya menyodorkan ponselku yang menampilkan poto pernikahan kami."Ya udah, tapi jangan rame-rame dulu kami berlima juga cukup untuk menjadi saksi," ujar bapak yang mengenakan baju hijauAku dan Alisa menyanggupi, lagian jika mereka terbukti maka semua warga akan berhamburan keluar rumah.Berjalan bersama langkah kami sedikit dipercepat.Tiba di rumah yang dihuni oleh dua manusia tak tahu diri itu, para bapak-bapak menggedor pintu dengan keras, ada pula yang berteriak. Dalam keadaan cemas aku mempersiapkan diri untuk sekuat mungk
Bab 12.APagi berkunjung, aku tengah bersiap menuju kampung halamanku, Carla aku titipkan bersama Kak Shanaz dan Mbok Minah.Tak banyak yang kubawa hanya satu set perhiasan emas yang sudah aku beli jauh hari dan memang diniatkan untuk ibuku, satu stel baju untuk Bapak dan mainan untuk 2 keponakanku anaknya Kak Satya.Memacu kendaraan dengan kecepatan sedang, sebisa mungkin menetralisir rasa yang tengah terombang ambing.Tiba di tempat tujuan, ibu menyambutku dengan senyum mengembang, wanita paruh baya itu sangat senang jika aku mengunjunginya karena kedatanganku selalu membawa buah tangan yang ia sukai"Ya ampun bagus banget perhiasannya, Sarah, kamu emang anak kebanggaan ibu paling tau kesukaan ibu, kamu memang yang terbaik." Ibu terpana melihat satu set perhiasan emas dalam kotak merah. Dia selalu menyanjungku bahkan dihadapan saudara-saudaraku, dari sifat ibu yang berlebihan inilah timbul iri dan dengki dalam relung hati Sonia. Gadis itu tak seperti saudaraku yang lain, ia memang
Entah mengapa terbesit dorongan untuk membuka lemari lama milik Sonia, dengan menutup hidung kubuka lemari yang berdebu itu, menjamah setiap benda yang tersimpan.Ditumpukkan paling bawah aku menemukan sebuah buku harian, ini milik Sonia. Cepat aku membuka buku harian yang sedikit usang itu lembar demi lembar aku susuri, dilembar terakhir ia menuliskan sesuatu yang membuatku berfikir ringan.'Minggu 17 Maret, aku kehilanganmu dan cintamu, semoga kita bisa dipertemukan di kehidupan yang lain'Tanggal ini adalah tanggal pernikahanku, pantas saja ia tak nampak ketika acara akad nikahku waktu itu, rupanya ia tengah patah hati.Tokk! Tokk! Tokk!"Sarah cepat keluar kita ke Jakarta sekarang untuk menemui Sonia," ucap bapak dibalik pintu.Aku bangkit melangkah keluar nampak Ibu dan Bapak beserta Kak Satya sudah bersiap.Suasana jalanan ibu kota nampak padat, kami sampai menunaikan shalat dzuhur di masjid pinggir jalan. Setelah selesai melaksanakan kewajiban dzuhur kami bergegas menuju rumah
Bab 13 A"Wooyy ada yang berbuat tidak senonoh disini," teriak seorang lelaki setengah baya, sontak beberapa orang pemuda dan bapak-bapak yang lainnya berduyun-duyun memasuki rumah.Suasana nampak riuh didalam rumah ini. Sedangkan Kak Haris dan ibuku tetap tak menghiraukan, dengan berang mereka menyerang anak dan adiknya masing-masing."Sudah, sudah ... bawa aja ke Pak RT," suara seseorang yang entah siapa memberi usul."Iya, ayok seret aja!""Arak saja mereka keliling kampung!"Mereka menyeret Paksa Bang Surya dan Sonia tanpa memberi celah untuk mereka mengenakan pakaiannya, nampak ibu mertuaku semakin terpukul memikirkan nasib anaknya. Ada rasa bersalah yang terbesit dalam hati.Apakah aku memang wanita kejam?Dengan langkah paksa kami mengikuti kedua pasangan yang sedang diarak warga, mereka berjalan kaki tanpa mengenakan sandal atau pun pakaian.Dari kerumunan warga ada seorang ibu-ibu melemparkan kain jarik lusuh, sontak Sonia meraih lalu membalutkan ke tubuhnya. Warga semakin ba
Aku dan Daniel berpandangan lalu tersenyum haru."Benarkah, Dok, kalau istri saya hamil?" Daniel takjub tak percaya."Benar, Pak, tuh kantung janinnya sudah kelihatan, usianya baru lima minggu," ucap Dokter Ratih.Aku dan Daniel mengucap hamdalah sebagai bentuk rasa syukur, setelah enam bulan menanti akhirnya janin itu hadir di rahimku, membawa kebahagiaan baru.Apalagi Carla, sudah sejak lama ia merindukan seorang adik,tak kubayangkan bagaimana reaksinya jika ia mengetahui jika adik kecil yang didambakan akan hadir dalam waktu beberapa bulan ke depan.*"Sayang, terima kasih ya, sudah menghadirkan malaikat kecil untukku," ucapnya bahagia, kali ini aku sedang di dalam mobil menuju perjalanan pulang."Iya, sama-sama Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya Allah mengabulkan doa kita.""Iya, Sayang, oh ya kita ke rumah kamu dulu yuk, keluarga besar kamu harus tahu tentang kabar gembira ini," ucap Daniel antusias.Mobil pun berbelok menuju rumahku yang sekarang di tempati oleh keluarga besarku.T
Enam bulan berlalu, mahligai rumah tanggaku berjalan sempurna, kami bahagia walau belum kunjung memiliki buah hati.Ada Carla yang selalu menemani rasa sepi di relung hati suamiku, ia amat menyayangi anak tirinya bagaikan anak kandung, putriku juga merasa nyaman seolah Daniel adalah ayah kandungnya."Aku mau berangkat ya, Sayang, kamu ke kantor ga?" tanya Daniel duduk di tepi ranjang sedangkan aku masih terbaring di atas pembaringan karena sakit kepala yang berdenyut."Engga kayanya, aku pusing banget ini.""Ya sudah istirahat di rumah saja ya, 'kan di kantor ada Shanaz masa udah enam bulan belum faham juga."Ia begitu pengertian padaku, walau terkadang seluruh waktuku di habiskan di kantor menemani Kak Shanaz dan membimbingnya memimpin perusahaan.Semenjak perceraiannya dengan Kak Hadi, entah mengapa ia selalu menutup diri terhadap laki-laki, padahal di luar sana masih banyak yang mengantri meminangnya termasuk Izwan--pria yang pernah melabuhkan cintanya padaku--"Pusing kenapa emang
"Kok aku sih, menyentuhmu saja aku tak pernah, sudah jelas-jelas Joe yang sudah menyentuhmu, walaupun satu kali ya bisa saja langsung jadi, jangan ngaco kamu ya, sekarang cepat pergi dari sini." Nampaknya suamiku mulai meradang, jangankan Daniel akupun sama jengahnya menyaksikan sikap Safira yang tak bijak."Ayo kita pulang." Joe menarik paksa tangan Safira, beberapa kali wanita itu meronta, tapi tetap tak dihiraukannya.Setelah kepergian mereka Daniel nampak bernapas lega, ia menatapku dengan tersenyum."Terbukti 'kan, Sayang, kalau aku ini buka ayah dari bayi yang dikandung Safira," ungkapnya meyakinkanku."Iya aku percaya, tapi kok kamu bisa kenal Joe." pertanyaan ini yang begitu mengganjal sejak tadi.Ia terkikik. "Joe itu temenku, Sayang," jawabnya dengan santai."Jadii ... waktu itu Safira selingkuh sama temen kamu," jawabku lalu terkekeh, karena merasa lucu sekaligus kasihan.Ia nampak menghela napas pelan. "Ya gitu, coba kamu bayangkan Safira yang waktu itu masih kekasihku be
"Terus apa hubungannya dengan suamiku?" dengan mulut bergetar aku menanyakan hal itu."Ini anaknya Daniel, dia harus tanggung jawab," jawab Safira dengan isak tangis.Entah itu tangis sungguhan atau hanya kepura-puraan."Enak aja, aku tuh ga pernah menyentuhmu, jangan ngaku-ngaku ya," sanggah Daniel tak menerima.Aku diam membisu merasakan hati yang sakit bagai di tusuk pisau belati, mereka saling bersitegang saling mempertahankan argumennya."Tapi malam itu, apa kamu sudah lupa, Daniel," ucap Safira, yang membuat hatiku semakin sakit."Malam itu aku ga ingat apapun, Safira, mana mungkin bisa men**aulimu." Daniel masih bersikeras enggan mengakui benih yang tumbuh di rahim Safira.Sesak rasanya dada ini, baru saja kemarin kami berbahagia lalu sekarang, kebahagiaan itu harus terkoyak oleh seseorang yang pernah mengisi masa lalunya."Sayang, percaya sama aku, anak ini bukan benihku." Daniel menyentuh pergelangan tanganku, dan mencoba meraihnya. Namun, secepat kilat kutepis.Aku tak tahu
"Gini saja, pokoknya untuk sementara kalian di sini sampe Sonia sembuh, gimana? lagian aku sih ga masalah kalau tinggal di sini, justru bagus rumah ini ada yang nempatin.""Iya, Rah, Kakak setuju usul kamu kita di rumah ini sampe Sonia sembuh, oh ya soal tawaran kerja di kantor kamu Kakak menyanggupi," ujar Kak Shanaz yang membuatku merasa lega.Akhirnya perusahaanku berada di tangan yang tepat."Alhamdulillah, terima kasih ya, Kak, sudah mau bantu jangan khawatir nanti sesekali aku akan ke kantor kok bantu kakak," jawabku."Iya, pokoknya kita kelola usaha kamu bareng-bareng."Keputusan telah di tetapkan, dan semua barang telah terkemas rapi, Daniel dan Bapak membantu menaikkan barang-barangku ke dalam bagasi, setelah kami berpamitan akhirnya mobil Daniel membawaku dan Carla menuju rumahnya."Hati-hati ya, Kak," ucap Sonia dengan raut wajah kecewa.Entahlah apakah prasangka buruk ini benar atau salah, jika Sonia merasa kecewa karena berjauhan dengan suamiku, semoga saja ini hanya seke
"Sayang, Mas bantuin Sonia tadi jatoh dari kursi roda," ujar Daniel meyakinkan.Aku mengucapkan istighfar dalam hati, mata ini terpejam beberapa saat, lalu mencerna setiap prasangka buruk ini, tak seharusnya aku bersikap berlebihan."Sayang." Sapaan Daniel membuyarkan lamunan."I-iya, emang Sonia kenapa? kok bisa jatuh?" entahlah, logikaku sulit mencerna alasannya.Mengapa bisa jatuh? tak dapat dipungkiri hati ini memanas melihat mereka."Katanya mau ambil makanan di atas bupet itu, Sayang, dia berusaha berdiri terus jatoh," jawab Daniel dengan tenang, aku menelisik wajahnya memang tak nampak raut kebohongan.Mataku bergulir menatap Sonia ia nampak biasa saja tanpa menunjukkan rasa bersalah, apa mungkin aku saja yang terlalu berlebihan karena takut kejadian masa lampau aka terulang kembali?.Oh Tuhan, tolong yakinkan hati ini jika pernikahan kami akan baik-baik saja, kuharap rumah tangga kami takkan diuji oleh hadirnya orang ketiga, karena aku takkan sanggup bersabar ataupun bertahan.
Entah mengapa aku merasa risih dengan tingkahnya, ia tersenyum begitu hangatnya kepada Daniel, seolah bayang masa lalu kembali merasuk memoriku.Sonia tertunduk sekejap lalu kembali memamerkan senyumannya.Aku menyinduk nasi ke dalam piring beserta lauk pauknya. "Habisin ya," ujarku pada Daniel."Terima kasih istriku." Tanpa rasa malu ia ucapkan itu di hadapan seluruh keluargaku.Lagi-lagi pandanganku tertuju pada Sonia, ia mencebik kala Daniel berkata mesra kepadaku. Namun, dalam sekejap ia mampu menyembunyikan itu dari hadapan kami semua."Sarah, Daniel, kapan kalian bulan madu?" tanya Kak Shanaz.Beberapa detik kemudian Sonia nampak tersedak, tangannya dengan cepat meraih satu gelas air minum."Lho itu 'kan air minum suamiku," sanggahku tak terima karena ia mengambil gelas air minum yang tinggal setengah itu."Oh maaf-maaf, Kak, aku ga lihat dulu," jawabnya masih terbatuk.Seketika rasa kesal menyeruak ke dalam dada. Namun, tangan Daniel menggenggam erat jemariku memberikan sedikit
"Sayang kamu ok, 'kan?" tanya Daniel khawatir.Aku menganggukan kepala seraya tersenyum, senyum palsu tentunya, karena dalam hati merasa merana, ingin sekali menghajar perempuan itu habis-habisan."Nanti kita temui ya, Sayang, apa maunya dia kita tanya, kaya ga ada cowo lain aja masih tergila-gila sama aku." Ia mengempaskan dirinya ke atas pembaringan.Kemudian menarik tanganku hingga ke pelukannya. "Sabar ya, Sayang, ini ujian pernikahan kita, di depan sana masih ada ujian-ujian lainnya yang menanti, kita harus kuat, ok." Ia membisikkan itu ke telinga.Mendengarnya hati yang sebelumnya memanas kini berubah menjadi sejuk, betul apa katanya setiap biduk rumah tangga takkan lepas dari ujian, tinggal bagaimana kita menghadapinya apakah akan bersabar ataukah sebaliknya."Semoga kita di berikan kekuatan ya, untuk menjalani semuanya," jawabku seraya mengelus pipinya.Ia meraih tanganku lalu mengecupnya, lepas itu ia tersenyum sambil memandang wajahku mesra."Aku mau kamu jadi istriku seutuh
Sarapan telah usai, aku sibuk merapikan barang-barang karena hendak pulang ke rumah, rasanya segan untuk menginap lama-lama, aku takut jika Carla sedang menanti kedatanganku di rumah sana."Jadi kita mau pulang sekarang?" Daniel seolah masih ingin berlama-lama di tempat ini."Iya, Sayang, kita pulang dulu setelah itu kamu bebas mengajak aku ke manapun." Ia membawa tubuh ini ke dalam dekapannya."Serius?" "Duarius, kita temui Carla dulu ya, takut dia lagi nungguin." Dalam hati aku tak ingin terlena sendiri dalam merasakan kebahagiaan ini, karena di sana ada seorang putri yang menanti kasih sayang kami.Jika aku bahagia maka putri kecilku harus merasa bahagia, jangan sampai ia merasa terabaikan karena kami terlalu sibuk memadu kasih.Beberapa menit kemudian mobil milik Daniel melaju membelah jalanan, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemariku, sedangakan sebelah tangannya di gunakan untuk menyetir."Horee Mama dan Papa sudah pulang," teriak bocah kecil itu dengan girangnya, lalu s