Bab 13 A"Wooyy ada yang berbuat tidak senonoh disini," teriak seorang lelaki setengah baya, sontak beberapa orang pemuda dan bapak-bapak yang lainnya berduyun-duyun memasuki rumah.Suasana nampak riuh didalam rumah ini. Sedangkan Kak Haris dan ibuku tetap tak menghiraukan, dengan berang mereka menyerang anak dan adiknya masing-masing."Sudah, sudah ... bawa aja ke Pak RT," suara seseorang yang entah siapa memberi usul."Iya, ayok seret aja!""Arak saja mereka keliling kampung!"Mereka menyeret Paksa Bang Surya dan Sonia tanpa memberi celah untuk mereka mengenakan pakaiannya, nampak ibu mertuaku semakin terpukul memikirkan nasib anaknya. Ada rasa bersalah yang terbesit dalam hati.Apakah aku memang wanita kejam?Dengan langkah paksa kami mengikuti kedua pasangan yang sedang diarak warga, mereka berjalan kaki tanpa mengenakan sandal atau pun pakaian.Dari kerumunan warga ada seorang ibu-ibu melemparkan kain jarik lusuh, sontak Sonia meraih lalu membalutkan ke tubuhnya. Warga semakin ba
Bab 13.B"Iya nih keenakan mereka kalau gitu,""Harusnya dirajam sampai mati!""Betull! ... betuuul!""Huuuuu ... Huuuuu." Sorakan demi sorakan terasa memekikkan telinga."Sudah Bapak-bapak, ibu-ibu mohon tenang, saya sudah putuskan untuk menyerahkan mereka pada pihak keluarganya ... dan untuk bapak Haris saya terima permintaan maaf anda, silahkan bawa secepatnya mereka dari sini," ujar Pak RTDengan rasa malu yang menghujam kami melangkah masuk menuju mobil, karena merasa jijik, aku tak izinkan Bang Surya dan Sonia untuk menaiki mobilku mereka memutuskan untuk naik taxi ditemani oleh Kak Haris.Kami putuskan akan berembuk di rumah ibu mertuaku, selama perjalanan tak henti ibuku dan ibu mertuaku menitikkan air matanya, sedangkan air mataku rasanya sudah mengering.*1 jam berlalu mobilku tiba dihalaman rumah ibu, nampak Kak Haris sudah tiba di rumah terlebih dulu. Aku digandeng oleh ibunya Bang Surya untuk masuk ke dalam rumah, bagaiman pun juga harus ada solusi atas masalah ini, da
Bab 14.A"Tanyakan saja sama ibu kamu," pungkas Bapak seraya melirik ibu.Kini wajah ibu yang berubah pucat.*"Ibu?" Pandangan Sonia teralihkan pada ibu.Ia masih diam, ada raut ketegangan dari wajahnya, seperti sedang merasa takut.=================(Pov Ibunya Sarah)Namaku Hartati, biasa dipanggil Tati oleh tetangga dan kerabatku. Suamiku kang Dadang, dalam status pernikahan dia memang suamiku tapi sudah lama kami tak berintetaksi bagaikan pasangan suami istri pada umumnya, tidur tidak lagi bersama dalam satu ranjang.Semua itu berawal dari hadirnya Sonia di rahimku, kenapa begitu?Aku yang melakukan kesalahan, kukira kang Dadang lelaki yang polos tak akan pernah mengetahui kebusukkanku.Semenjak Sarah berusia 4 tahun Kang Dadang menderita penyakit prostat, berobat kesana kemari tak kunjung sembuh, dokter berkata bahwa harus dilakukan tindakan operasi, tapi waktu itu keluarga kami masih terpuruk keadaan ekonominya, belum lagi kedua anakku Satya dan Shanaz masih membutuhkan biaya u
Bab 14.BInilah yang tak aku sukai dari kang Dadang perangainya kasar, jarang sekali ia berlemah lembut atau bersikap romantis seperti pasangan pada umumnya, sangat jauh berbeda dengan Suryadi yang begitu lembut dan romantis.Saat ingin menjawab tanyanya tiba-tiba perutku terasa mual karena mencium aroma terasi goreng, mungkin itu Shanaz yang sedang membuat sambal terasi di dapur."Hooeeekk hooeeeek!" Tak kuhiraukan Kang Dadang, segera bergegas berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi dalam peru. Namun, tanpa belas kasihan Kang Dadang terus menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkanku.Tubuhku lemas rasanya, sudah beberapa hari tak makan nasi, hanya bubur ayam yang selalu mengganjal perutku."Jawab pertanyaanku, Tati!" Ia menjerit kembali dengan keras.Namun, tubuhku semakin melemah kepala pusing berkunang-kunang hingga semuanya gelap. Aku tak sadarkan diri.Setelah beberpa jam kembali tersadar, ada tetanggaku yang sedang memijat-mijat kening, dan ada juga Mak Iroh, pa
Bab 15 A HIbu masih diam, wajah bringasnya berubah menjadi pucat."S-sonia ... emm sebaiknya kita bicarakan ini di rumah, ini masalah keluarga," jawab ibu gelagapan.Nampak raut ketegangan yang terpancar dari wajah ibu."Ga mau! Aku maunya disini, aku mau secepatnya dinikahkan dengan Kak Surya, Bu!" pungkas Sonia sambil terisak.Begitu bucinnya dia terhadap Bang Surya, bahkan ia tak menyadari jika lelaki yang saat ini sedang ia dambakan masih milik orang lain. Apakah Sonia tak melihat akan rasa sakit hatiku? ah, bukankah sedari dulu ia memang egois selalu mementingkan dirinya sendiri."Sudahlah kita bicarakan ini di rumahnya Sarah," jawab ibu kekeh."Tidak bisa, Bu!" Tegasku semua netra kini tertuju padaku."Aku ga mau wanita ini menginjakkan kaki di rumahku lagi," seraya menunjuk wajah Sonia.Walau ia adikku tak sudi rasanya jika mengizinkannya kembali untuk menginjakkan kaki di rumahku."Sudahlah, Tati, tak usah berkelit bilang saja Sonia itu sebenarnya anak siapa, akui kesalahanmu
Bab 15.B HuNampak Bang Surya semakin dilanda rasa bimbang, ia mengacak rambutnya dengan kasar. Syukurin siapa suruh selingkuh, dia fikir aku wanita bodoh gitu, bisa seenaknya ia porotin lalu pergi gitu aja membawa aset-aset milikku. Udah hidup numpang, banyak tingkah pula!"Kak Surya!" teriak Sonia, Orang yang sedang termenung itu terperanjat mendengar teriakan yang memekikIa menatapku sendu, setelah itu menatap wajah Bapak."Bapak, mohon maafkan Surya. Mulai detik ini Surya kembalikan Sarah pada Bapak ..." ucapannya terhenti seraya memalingkan wajah kearahku, tatapan kami bertemu namun secepat kita aku membuang muka.Ia menghirup nafas dalam seakan lidahnya kelu untuk mengucap kata."Sarah Hendrawan binti Dadang Hendrawan ... detik ini aku jatuhkan talak satu padamu," ucapnya terbata tapi terdengar begitu tegas.Kupejamkan mata, mengharap sedikit kekuatan dalam jiwa, talak telah terucap, kalimat yang sangat dibenci oleh sang pencipta, aku meyakinkan diri jika hal ini terjadi bukanl
Bab 16.A HU(Pov Surya)Namaku Surya Wijaya, aku hanya tamatan Sekolah menengah atas, sebenarnya ibu dan ayahku menyekolahkan aku dan juga Kak Haris hingga ke perguruan tinggi, bahkan kami belajar di universitas yang sama.Namun, aku tak seperti Kak Haris yang pintar, entah mengapa otakku tak bisa menyerap setiap pelajaran di kampus, sangat kesulitan hingga tertinggal beberapa semester, selain itu aku juga sering bolos kuliah malas rasanya setiap hari pergi kuliah tapi otakku tak pintar-pintar juga, melelahkan mending main bersama teman-temanku, bisa balapan liar dan dapat uang.Pada akhirnya ayahku mengetahui kelakuanku selama ini yang sering bolos kuliah, ia pun memutus biaya kuliahku hingga pendidikanku terputus di tengah jalan, tapi itu tak masalah, dengan lapang dada aku menerima keputusan ayah, jadi aku bisa bermain dengan bebas tanpa ada beban dari tugas-tugas kuliah itu yang membuat kepalaku sakit.Awal mula bertemu dengan Sarah ketika di kantor, saat itu aku bekerja sebagai a
Semakin hari perasaan kami semakin menggebu, aku selalu mengantar Sonia pulang kampung hampir setiap akhir pekan, dan anehnya Sarah tak pernah keberatan dengan hal itu. Namun sangat berbeda dengan Bapaknya Sarah, berulang kali ia menegur kebersamaan kami. Mungkin ia merasa curiga akhirnya aku tak pernah lagi mengantar Sonia ke kampung halamannya, kami selalu menyempatkan untuk bertemu dimana pun itu yang terpenting bisa melepas rasa rindu.*Suatu hari aku mengajak ibu dan ayah untuk ke rumah Sarah, mereka menyangka jika aku akan meminang Sarah namun nyatanya Sonia lah gadis yang akan kupinang.Setelah mengutarakan isi hati dan tujuan kedatanganku, mereka semua marah besar ketika mendengar jika aku akan melamar Sonia, terutama ibu ia teramat menyayangi Sarah.Kami semua pulang membawa rasa kekecewaan masing-masing, karena Bapak Sarah pun tak menyetujui keinginanku menikah dengan Sonia.Tiba dirumah, kembali keluargaku melanjutkan tengkar."Ibu ga setuju kamu nikahin adiknya Sarah, ib
Aku dan Daniel berpandangan lalu tersenyum haru."Benarkah, Dok, kalau istri saya hamil?" Daniel takjub tak percaya."Benar, Pak, tuh kantung janinnya sudah kelihatan, usianya baru lima minggu," ucap Dokter Ratih.Aku dan Daniel mengucap hamdalah sebagai bentuk rasa syukur, setelah enam bulan menanti akhirnya janin itu hadir di rahimku, membawa kebahagiaan baru.Apalagi Carla, sudah sejak lama ia merindukan seorang adik,tak kubayangkan bagaimana reaksinya jika ia mengetahui jika adik kecil yang didambakan akan hadir dalam waktu beberapa bulan ke depan.*"Sayang, terima kasih ya, sudah menghadirkan malaikat kecil untukku," ucapnya bahagia, kali ini aku sedang di dalam mobil menuju perjalanan pulang."Iya, sama-sama Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya Allah mengabulkan doa kita.""Iya, Sayang, oh ya kita ke rumah kamu dulu yuk, keluarga besar kamu harus tahu tentang kabar gembira ini," ucap Daniel antusias.Mobil pun berbelok menuju rumahku yang sekarang di tempati oleh keluarga besarku.T
Enam bulan berlalu, mahligai rumah tanggaku berjalan sempurna, kami bahagia walau belum kunjung memiliki buah hati.Ada Carla yang selalu menemani rasa sepi di relung hati suamiku, ia amat menyayangi anak tirinya bagaikan anak kandung, putriku juga merasa nyaman seolah Daniel adalah ayah kandungnya."Aku mau berangkat ya, Sayang, kamu ke kantor ga?" tanya Daniel duduk di tepi ranjang sedangkan aku masih terbaring di atas pembaringan karena sakit kepala yang berdenyut."Engga kayanya, aku pusing banget ini.""Ya sudah istirahat di rumah saja ya, 'kan di kantor ada Shanaz masa udah enam bulan belum faham juga."Ia begitu pengertian padaku, walau terkadang seluruh waktuku di habiskan di kantor menemani Kak Shanaz dan membimbingnya memimpin perusahaan.Semenjak perceraiannya dengan Kak Hadi, entah mengapa ia selalu menutup diri terhadap laki-laki, padahal di luar sana masih banyak yang mengantri meminangnya termasuk Izwan--pria yang pernah melabuhkan cintanya padaku--"Pusing kenapa emang
"Kok aku sih, menyentuhmu saja aku tak pernah, sudah jelas-jelas Joe yang sudah menyentuhmu, walaupun satu kali ya bisa saja langsung jadi, jangan ngaco kamu ya, sekarang cepat pergi dari sini." Nampaknya suamiku mulai meradang, jangankan Daniel akupun sama jengahnya menyaksikan sikap Safira yang tak bijak."Ayo kita pulang." Joe menarik paksa tangan Safira, beberapa kali wanita itu meronta, tapi tetap tak dihiraukannya.Setelah kepergian mereka Daniel nampak bernapas lega, ia menatapku dengan tersenyum."Terbukti 'kan, Sayang, kalau aku ini buka ayah dari bayi yang dikandung Safira," ungkapnya meyakinkanku."Iya aku percaya, tapi kok kamu bisa kenal Joe." pertanyaan ini yang begitu mengganjal sejak tadi.Ia terkikik. "Joe itu temenku, Sayang," jawabnya dengan santai."Jadii ... waktu itu Safira selingkuh sama temen kamu," jawabku lalu terkekeh, karena merasa lucu sekaligus kasihan.Ia nampak menghela napas pelan. "Ya gitu, coba kamu bayangkan Safira yang waktu itu masih kekasihku be
"Terus apa hubungannya dengan suamiku?" dengan mulut bergetar aku menanyakan hal itu."Ini anaknya Daniel, dia harus tanggung jawab," jawab Safira dengan isak tangis.Entah itu tangis sungguhan atau hanya kepura-puraan."Enak aja, aku tuh ga pernah menyentuhmu, jangan ngaku-ngaku ya," sanggah Daniel tak menerima.Aku diam membisu merasakan hati yang sakit bagai di tusuk pisau belati, mereka saling bersitegang saling mempertahankan argumennya."Tapi malam itu, apa kamu sudah lupa, Daniel," ucap Safira, yang membuat hatiku semakin sakit."Malam itu aku ga ingat apapun, Safira, mana mungkin bisa men**aulimu." Daniel masih bersikeras enggan mengakui benih yang tumbuh di rahim Safira.Sesak rasanya dada ini, baru saja kemarin kami berbahagia lalu sekarang, kebahagiaan itu harus terkoyak oleh seseorang yang pernah mengisi masa lalunya."Sayang, percaya sama aku, anak ini bukan benihku." Daniel menyentuh pergelangan tanganku, dan mencoba meraihnya. Namun, secepat kilat kutepis.Aku tak tahu
"Gini saja, pokoknya untuk sementara kalian di sini sampe Sonia sembuh, gimana? lagian aku sih ga masalah kalau tinggal di sini, justru bagus rumah ini ada yang nempatin.""Iya, Rah, Kakak setuju usul kamu kita di rumah ini sampe Sonia sembuh, oh ya soal tawaran kerja di kantor kamu Kakak menyanggupi," ujar Kak Shanaz yang membuatku merasa lega.Akhirnya perusahaanku berada di tangan yang tepat."Alhamdulillah, terima kasih ya, Kak, sudah mau bantu jangan khawatir nanti sesekali aku akan ke kantor kok bantu kakak," jawabku."Iya, pokoknya kita kelola usaha kamu bareng-bareng."Keputusan telah di tetapkan, dan semua barang telah terkemas rapi, Daniel dan Bapak membantu menaikkan barang-barangku ke dalam bagasi, setelah kami berpamitan akhirnya mobil Daniel membawaku dan Carla menuju rumahnya."Hati-hati ya, Kak," ucap Sonia dengan raut wajah kecewa.Entahlah apakah prasangka buruk ini benar atau salah, jika Sonia merasa kecewa karena berjauhan dengan suamiku, semoga saja ini hanya seke
"Sayang, Mas bantuin Sonia tadi jatoh dari kursi roda," ujar Daniel meyakinkan.Aku mengucapkan istighfar dalam hati, mata ini terpejam beberapa saat, lalu mencerna setiap prasangka buruk ini, tak seharusnya aku bersikap berlebihan."Sayang." Sapaan Daniel membuyarkan lamunan."I-iya, emang Sonia kenapa? kok bisa jatuh?" entahlah, logikaku sulit mencerna alasannya.Mengapa bisa jatuh? tak dapat dipungkiri hati ini memanas melihat mereka."Katanya mau ambil makanan di atas bupet itu, Sayang, dia berusaha berdiri terus jatoh," jawab Daniel dengan tenang, aku menelisik wajahnya memang tak nampak raut kebohongan.Mataku bergulir menatap Sonia ia nampak biasa saja tanpa menunjukkan rasa bersalah, apa mungkin aku saja yang terlalu berlebihan karena takut kejadian masa lampau aka terulang kembali?.Oh Tuhan, tolong yakinkan hati ini jika pernikahan kami akan baik-baik saja, kuharap rumah tangga kami takkan diuji oleh hadirnya orang ketiga, karena aku takkan sanggup bersabar ataupun bertahan.
Entah mengapa aku merasa risih dengan tingkahnya, ia tersenyum begitu hangatnya kepada Daniel, seolah bayang masa lalu kembali merasuk memoriku.Sonia tertunduk sekejap lalu kembali memamerkan senyumannya.Aku menyinduk nasi ke dalam piring beserta lauk pauknya. "Habisin ya," ujarku pada Daniel."Terima kasih istriku." Tanpa rasa malu ia ucapkan itu di hadapan seluruh keluargaku.Lagi-lagi pandanganku tertuju pada Sonia, ia mencebik kala Daniel berkata mesra kepadaku. Namun, dalam sekejap ia mampu menyembunyikan itu dari hadapan kami semua."Sarah, Daniel, kapan kalian bulan madu?" tanya Kak Shanaz.Beberapa detik kemudian Sonia nampak tersedak, tangannya dengan cepat meraih satu gelas air minum."Lho itu 'kan air minum suamiku," sanggahku tak terima karena ia mengambil gelas air minum yang tinggal setengah itu."Oh maaf-maaf, Kak, aku ga lihat dulu," jawabnya masih terbatuk.Seketika rasa kesal menyeruak ke dalam dada. Namun, tangan Daniel menggenggam erat jemariku memberikan sedikit
"Sayang kamu ok, 'kan?" tanya Daniel khawatir.Aku menganggukan kepala seraya tersenyum, senyum palsu tentunya, karena dalam hati merasa merana, ingin sekali menghajar perempuan itu habis-habisan."Nanti kita temui ya, Sayang, apa maunya dia kita tanya, kaya ga ada cowo lain aja masih tergila-gila sama aku." Ia mengempaskan dirinya ke atas pembaringan.Kemudian menarik tanganku hingga ke pelukannya. "Sabar ya, Sayang, ini ujian pernikahan kita, di depan sana masih ada ujian-ujian lainnya yang menanti, kita harus kuat, ok." Ia membisikkan itu ke telinga.Mendengarnya hati yang sebelumnya memanas kini berubah menjadi sejuk, betul apa katanya setiap biduk rumah tangga takkan lepas dari ujian, tinggal bagaimana kita menghadapinya apakah akan bersabar ataukah sebaliknya."Semoga kita di berikan kekuatan ya, untuk menjalani semuanya," jawabku seraya mengelus pipinya.Ia meraih tanganku lalu mengecupnya, lepas itu ia tersenyum sambil memandang wajahku mesra."Aku mau kamu jadi istriku seutuh
Sarapan telah usai, aku sibuk merapikan barang-barang karena hendak pulang ke rumah, rasanya segan untuk menginap lama-lama, aku takut jika Carla sedang menanti kedatanganku di rumah sana."Jadi kita mau pulang sekarang?" Daniel seolah masih ingin berlama-lama di tempat ini."Iya, Sayang, kita pulang dulu setelah itu kamu bebas mengajak aku ke manapun." Ia membawa tubuh ini ke dalam dekapannya."Serius?" "Duarius, kita temui Carla dulu ya, takut dia lagi nungguin." Dalam hati aku tak ingin terlena sendiri dalam merasakan kebahagiaan ini, karena di sana ada seorang putri yang menanti kasih sayang kami.Jika aku bahagia maka putri kecilku harus merasa bahagia, jangan sampai ia merasa terabaikan karena kami terlalu sibuk memadu kasih.Beberapa menit kemudian mobil milik Daniel melaju membelah jalanan, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemariku, sedangakan sebelah tangannya di gunakan untuk menyetir."Horee Mama dan Papa sudah pulang," teriak bocah kecil itu dengan girangnya, lalu s