Terdengar sangat puitis, aku menyunggingkan kedua bibir, rasanya lucu entah sejak kapan ia berubah menjadi seorang pujangga.*Suasana dingin pagi menyambut, perlahan sinar sang surya menyinari bumi.Pagi ini aku masih diam di dalam kamar, rasanya malas untuk keluar bergabung sarapan dengan mereka.Tak lama berselang pintu di ketuk, lalu terbuka kala aku menyahut, nampaklah Mbok Minah membawa satu nampan berisi satu mangkuk bubur ayam dan teh manis hangat."Sarapan dulu ya, Bu, Mbok bikinin bubur sesuai pesenan Neng Carla," ucapnya sambil meletakkan makanan di nakas."Ya, Bi terima kasih." lalu perempuan itu keluar dari kamarku.Ketika siang menjelang, aku dan Carla bersiap untuk menemui Bang Surya, walau sebenarnya malas tapi apa boleh buat, baik bapak ataupun Kak Shanaz mereka tak ada yang mau mengantarkan Carla.30 Menit kemudian kami telah tiba di halaman rumah Bang Surya, ternyata ada Sonia di rumah ini. Kami berdiam sejenak di dalam mobil menyaksikan mereka yang terlihat saling
"Terserah."Satu kata yang kuucapkan, rasanya tidak pantas seorang mantan suami berbagi cerita masalah pribadi dengan mantan istrinya,meski Bang Surya tak merasa canggung dengan hal itu, tapi tetap saja rasanya itu tidak etik.Aku kembali fokus pada layar ponsel, ber chat ria bersama kawanku juga rekan-rekan bisnis.Tak lama masuklah satu pesan dari pria yang beberapa hari lalu kutolak pinangannya secara halus.[Sarah, aku dengar Bapakmu ada di Jakarta, aku izin akan bertamu ke rumahmu sore nanti]Bunyi pesan dari Izwan, lelaki itu begitu sopan.[Silakan] Balasku singkat, aku memang seperti itu selalu bersikap dingin pada lelaki asing, meski Izwan pernah mengisi hari di masa kecilku, tapi tetap saja lelaki itu menjadi asing kembali selepas beberapa tahun tak saling bertegur sapa, hanya sesekali berjumpa itu tak lantas membuat hubungan diantara kami seakrab dulu.Makan siang telah tersaji, ibu mertuaku memasak makanan kesukaanku dan Carla dengan suka hati, baginya aku adalah seorang
Matanya memerah, sangat persis dengan yang kulihat hari kemarin ketika ia akan menodaiku."Engga, Mas, aku mau kita cerai, lepasin aku!" balas Kak Shanaz disertai air mata yang berlinang."Pergi dari sini, Hadi atau aku akan berteriak meminta tolong pada warga," sergahku seraya berlari ke halaman rumah dan berteriak sekencang mungkin hingga ke luar gerbang.Tak berselang lama, nampaklah sebuah mobil Honda SUV yang hendak masuk ke rumahku, sang pengemudi membuka setengah kacanya hingga terlihat jelas jika yang mengemudi mobil itu Izwan, pria itu tersenyum hormat kepadaku.Namun, karena rasa cemas yang bergulung dalam dada aku tak sempat membalas senyumnya, lantas aku berlari mendekatinya."Izwan, tolong Kak Shanaz dia mau di culik mantan suaminya, sekarang mereka ... itu dia cepet tolong! Cepet halangi lelaki itu," ungkapku terengah-engah sambil menjerit menunjuk Kak Shanaz yang hendak di bawa paksa oleh Kak Hadi.Seketika Izwan keluar dari mobil lalu berlari kencang menyelamatkan Kak
Bab 43.A hu"Bapaaak!" Aku dan Kak Shanaz berteriak bersamaan.Saat sudah di depan pintu terdengar suara bapak menggebrak-gebrak pintu dengan pelan, aku semakin panik."Ini dimana kuncinya, Kak?" tanyaku gelisah."Aduh di mana ya?" Kak Shanaz tak kalah gelisahnya dariku."Saraah, tolongin Bapak sesak ini," teriak bapak dengan suara yang melemah."Sama Hadi tadi di lempar coba cari," jawab Kak Shanaz, semuanya mencari-cari kunci di sudut lantai."Bapak bentar kuncinya hilang!" teriakku sembari menggebrak pintu.Dalam hati aku merutukki lelaki jahat itu. tega-teganya dia mengurung orang tua di kamar mandi sempit tanpa ada celah ventilasi, rasanya ingin sekali memasukkannya ke jeruji besi."Sarah, kunci cadangannya emang ga ada?" tanya Kak Shanaz sambil berjongkok mencari kunci."Mana aku tahu, Kak!""Aku coba dobrak ya," ujar Izwan dan aku hanya mengangguk."Bapak, mundur ke belakang aku mau dobrak pintunya!" teriak Izwan di balik daun pintu.Bukkk! Bukkk! Bukk!Sudah tiga kali Izwan me
"Aku ga mau aja membebani kalian, lagian dia juga sempet ngancam akan menyakiti keluarga kita kalau sampai aku ngadu."Mendengar jawaban Kak Sahanz kami semua serempak menghela napas menahan rasa kesal. Sedalam itu deritanya hingga ia tak sanggup lagi berbagi dengan saudaranya."Ya sudah kamu masuk kamar ya, mulai sekarang jangan kemana-mana dulu, pintu rumah harus selalu terkunci," titah bapak."Iya Bapak bener, sebaiknya rumah ini mempekerjakan satu atau dua orang satpam agar aman," sahut Izwan memberi usul."Iya nanti aku cari," jawabku."Izwan, kok kamu tahu alamat rumah Sarah?" tanya Kak Shanaz yang membuat Izwan gelagapan."Emm, iya tahu aku ada perlu sama Sarah," jawabnya lalu tersenyum paksa.Seketika kulihat raut wajah Kak Shanaz berubah muram, sulit di artikan."Yasudah kalian ngobrol di luar ya, Bapak mau mandi dulu, kamu juga mandi dulu Shanaz belum salat juga 'kan?" Bapak dan Kak Shanaz berlalu menuju kamar masing-masing.Dan kami berdua berjalan beriringan menuju teras m
"Siapa dia, Rah?" tanya Izwan sembari menatap Daniel yang hendak memasuki mobil.Aku terus memandang hingga mobilnya hilang dari pandangan, ingin sekali mengejarnya. Namun, ini bukan saat yang tepat."Dia ... dia temen aku," jawabku datar memendam rasa kecewa, Daniel pasti akan salah faham."Apa lelaki itu yang melamar kamu?" ia bertanya sembari menelisik wajahku.Mulutku membisu berat untuk mengatakan iya. Hanya anggukan kepala sebagai jawaban, sesaat ia terlihat menghela napas."Hati kamu condong sama dia?" pertanyaan yang sukses membuatku bimbang, ingin kukatakan iya. Namun, bagaimana? cinta kami terhalang restu seorang Ibu.Aku menatap wajahnya memberanikan diri menatap lelaki bermata teduh itu, diantara kami tak ada rintangan yang menghadang, ia juga bisa dibilang lelaki yang sempurna. Namun, aku takut jika kejadian masa lalu akan terulang kembali, aku tidak bisa menikah dengan mantan kekasih saudaraku sendiri."Baiklah silakan kamu kejar lelaki itu, aku pulang dulu," tuturnya de
Dia mengerem mobilnya secara mendadak membuat tubuhku hampir terhuyung ke depan."Ih kamu kenapa sih kok ngerem ga bilang-bilang! Untung kepalaku ga kejedot," cetusku kesal."Maaf, Sayang eh salah mulu, Sarah maksudku kita beli buah dulu ya, tunggu bentar," jawabnya lalu bergegas keluar dan berlari menuju kios buah yang lumayan besar.Tak lama ia kembali dengan sekeranjang buah di bentuk parsel."Harusnya aku yang beli, ngapa jadi kamu sih," ujarku cemberut."Ga apa-apa biar cepet, biasanya 'kan kalau cewe suka lama belanjanya," jawabnya sambil melajukkan mobil."Ih ga semua cewe begitu kali," cetusku sembari mencubitnya.Beberapa menit kemudian aku dan Daniel tiba di tempat tujuan, dengan dada yang berdebar aku melangkah masuk ke dalam rumahnya.Semoga ibunya Daniel bisa luluh hatinya dan mau menerimaku, doaku dalam hati."Ayok masuk. Sarah," ucap Daniel, lalu aku melangkah menuju kamar ibunya, di sana wanita paruh bata itu sedang tergeletak di atas pembaringan.Aku tercengang kala m
(Pov Daniel)"Sarah!" aku berteriak meratapi kepergiannya.Ingin aku mengejarnya. Namun, Safira mencegahku, padahal aku sangat muak melihat perangainya "Daniel jangan pergi! Itu Tante Raya manggil-manggil kamu," ucapnya kala tangan ini hendak membuka pintu mobil.Aku ingin mengejar Sarah, cintaku yang sempat hilang. Tak kuhiraukan ucapannya tapi tangan mulus itu menghalangiku."Daniel! Jangan buat Ibumu makin setres, mau gula darahnya naik lagi? kamu harus lihat ke dalam Tante Raya manggil-manggil kamu sambil megangin kepala dia pasti merasa pusing."Aku menghela napas dan mengurungkan niat untuk mengejar Sarah, walau berat tapi tetap kuseret kaki ini menuju kamar ibu.Bagaimanapun juga aku tak ingin dirundung rasa sesal seumur hidup karena mengabaikan orang yang telah membesarkan dan melahirkanku demi seorang wanita, meski aku sangat mencintainya.Suara high heels Safira seolah pisau belati yang menghunus dada ini, wanita berambut sebahu itu berjalan di belakangku dengan tegak seola
Aku dan Daniel berpandangan lalu tersenyum haru."Benarkah, Dok, kalau istri saya hamil?" Daniel takjub tak percaya."Benar, Pak, tuh kantung janinnya sudah kelihatan, usianya baru lima minggu," ucap Dokter Ratih.Aku dan Daniel mengucap hamdalah sebagai bentuk rasa syukur, setelah enam bulan menanti akhirnya janin itu hadir di rahimku, membawa kebahagiaan baru.Apalagi Carla, sudah sejak lama ia merindukan seorang adik,tak kubayangkan bagaimana reaksinya jika ia mengetahui jika adik kecil yang didambakan akan hadir dalam waktu beberapa bulan ke depan.*"Sayang, terima kasih ya, sudah menghadirkan malaikat kecil untukku," ucapnya bahagia, kali ini aku sedang di dalam mobil menuju perjalanan pulang."Iya, sama-sama Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya Allah mengabulkan doa kita.""Iya, Sayang, oh ya kita ke rumah kamu dulu yuk, keluarga besar kamu harus tahu tentang kabar gembira ini," ucap Daniel antusias.Mobil pun berbelok menuju rumahku yang sekarang di tempati oleh keluarga besarku.T
Enam bulan berlalu, mahligai rumah tanggaku berjalan sempurna, kami bahagia walau belum kunjung memiliki buah hati.Ada Carla yang selalu menemani rasa sepi di relung hati suamiku, ia amat menyayangi anak tirinya bagaikan anak kandung, putriku juga merasa nyaman seolah Daniel adalah ayah kandungnya."Aku mau berangkat ya, Sayang, kamu ke kantor ga?" tanya Daniel duduk di tepi ranjang sedangkan aku masih terbaring di atas pembaringan karena sakit kepala yang berdenyut."Engga kayanya, aku pusing banget ini.""Ya sudah istirahat di rumah saja ya, 'kan di kantor ada Shanaz masa udah enam bulan belum faham juga."Ia begitu pengertian padaku, walau terkadang seluruh waktuku di habiskan di kantor menemani Kak Shanaz dan membimbingnya memimpin perusahaan.Semenjak perceraiannya dengan Kak Hadi, entah mengapa ia selalu menutup diri terhadap laki-laki, padahal di luar sana masih banyak yang mengantri meminangnya termasuk Izwan--pria yang pernah melabuhkan cintanya padaku--"Pusing kenapa emang
"Kok aku sih, menyentuhmu saja aku tak pernah, sudah jelas-jelas Joe yang sudah menyentuhmu, walaupun satu kali ya bisa saja langsung jadi, jangan ngaco kamu ya, sekarang cepat pergi dari sini." Nampaknya suamiku mulai meradang, jangankan Daniel akupun sama jengahnya menyaksikan sikap Safira yang tak bijak."Ayo kita pulang." Joe menarik paksa tangan Safira, beberapa kali wanita itu meronta, tapi tetap tak dihiraukannya.Setelah kepergian mereka Daniel nampak bernapas lega, ia menatapku dengan tersenyum."Terbukti 'kan, Sayang, kalau aku ini buka ayah dari bayi yang dikandung Safira," ungkapnya meyakinkanku."Iya aku percaya, tapi kok kamu bisa kenal Joe." pertanyaan ini yang begitu mengganjal sejak tadi.Ia terkikik. "Joe itu temenku, Sayang," jawabnya dengan santai."Jadii ... waktu itu Safira selingkuh sama temen kamu," jawabku lalu terkekeh, karena merasa lucu sekaligus kasihan.Ia nampak menghela napas pelan. "Ya gitu, coba kamu bayangkan Safira yang waktu itu masih kekasihku be
"Terus apa hubungannya dengan suamiku?" dengan mulut bergetar aku menanyakan hal itu."Ini anaknya Daniel, dia harus tanggung jawab," jawab Safira dengan isak tangis.Entah itu tangis sungguhan atau hanya kepura-puraan."Enak aja, aku tuh ga pernah menyentuhmu, jangan ngaku-ngaku ya," sanggah Daniel tak menerima.Aku diam membisu merasakan hati yang sakit bagai di tusuk pisau belati, mereka saling bersitegang saling mempertahankan argumennya."Tapi malam itu, apa kamu sudah lupa, Daniel," ucap Safira, yang membuat hatiku semakin sakit."Malam itu aku ga ingat apapun, Safira, mana mungkin bisa men**aulimu." Daniel masih bersikeras enggan mengakui benih yang tumbuh di rahim Safira.Sesak rasanya dada ini, baru saja kemarin kami berbahagia lalu sekarang, kebahagiaan itu harus terkoyak oleh seseorang yang pernah mengisi masa lalunya."Sayang, percaya sama aku, anak ini bukan benihku." Daniel menyentuh pergelangan tanganku, dan mencoba meraihnya. Namun, secepat kilat kutepis.Aku tak tahu
"Gini saja, pokoknya untuk sementara kalian di sini sampe Sonia sembuh, gimana? lagian aku sih ga masalah kalau tinggal di sini, justru bagus rumah ini ada yang nempatin.""Iya, Rah, Kakak setuju usul kamu kita di rumah ini sampe Sonia sembuh, oh ya soal tawaran kerja di kantor kamu Kakak menyanggupi," ujar Kak Shanaz yang membuatku merasa lega.Akhirnya perusahaanku berada di tangan yang tepat."Alhamdulillah, terima kasih ya, Kak, sudah mau bantu jangan khawatir nanti sesekali aku akan ke kantor kok bantu kakak," jawabku."Iya, pokoknya kita kelola usaha kamu bareng-bareng."Keputusan telah di tetapkan, dan semua barang telah terkemas rapi, Daniel dan Bapak membantu menaikkan barang-barangku ke dalam bagasi, setelah kami berpamitan akhirnya mobil Daniel membawaku dan Carla menuju rumahnya."Hati-hati ya, Kak," ucap Sonia dengan raut wajah kecewa.Entahlah apakah prasangka buruk ini benar atau salah, jika Sonia merasa kecewa karena berjauhan dengan suamiku, semoga saja ini hanya seke
"Sayang, Mas bantuin Sonia tadi jatoh dari kursi roda," ujar Daniel meyakinkan.Aku mengucapkan istighfar dalam hati, mata ini terpejam beberapa saat, lalu mencerna setiap prasangka buruk ini, tak seharusnya aku bersikap berlebihan."Sayang." Sapaan Daniel membuyarkan lamunan."I-iya, emang Sonia kenapa? kok bisa jatuh?" entahlah, logikaku sulit mencerna alasannya.Mengapa bisa jatuh? tak dapat dipungkiri hati ini memanas melihat mereka."Katanya mau ambil makanan di atas bupet itu, Sayang, dia berusaha berdiri terus jatoh," jawab Daniel dengan tenang, aku menelisik wajahnya memang tak nampak raut kebohongan.Mataku bergulir menatap Sonia ia nampak biasa saja tanpa menunjukkan rasa bersalah, apa mungkin aku saja yang terlalu berlebihan karena takut kejadian masa lampau aka terulang kembali?.Oh Tuhan, tolong yakinkan hati ini jika pernikahan kami akan baik-baik saja, kuharap rumah tangga kami takkan diuji oleh hadirnya orang ketiga, karena aku takkan sanggup bersabar ataupun bertahan.
Entah mengapa aku merasa risih dengan tingkahnya, ia tersenyum begitu hangatnya kepada Daniel, seolah bayang masa lalu kembali merasuk memoriku.Sonia tertunduk sekejap lalu kembali memamerkan senyumannya.Aku menyinduk nasi ke dalam piring beserta lauk pauknya. "Habisin ya," ujarku pada Daniel."Terima kasih istriku." Tanpa rasa malu ia ucapkan itu di hadapan seluruh keluargaku.Lagi-lagi pandanganku tertuju pada Sonia, ia mencebik kala Daniel berkata mesra kepadaku. Namun, dalam sekejap ia mampu menyembunyikan itu dari hadapan kami semua."Sarah, Daniel, kapan kalian bulan madu?" tanya Kak Shanaz.Beberapa detik kemudian Sonia nampak tersedak, tangannya dengan cepat meraih satu gelas air minum."Lho itu 'kan air minum suamiku," sanggahku tak terima karena ia mengambil gelas air minum yang tinggal setengah itu."Oh maaf-maaf, Kak, aku ga lihat dulu," jawabnya masih terbatuk.Seketika rasa kesal menyeruak ke dalam dada. Namun, tangan Daniel menggenggam erat jemariku memberikan sedikit
"Sayang kamu ok, 'kan?" tanya Daniel khawatir.Aku menganggukan kepala seraya tersenyum, senyum palsu tentunya, karena dalam hati merasa merana, ingin sekali menghajar perempuan itu habis-habisan."Nanti kita temui ya, Sayang, apa maunya dia kita tanya, kaya ga ada cowo lain aja masih tergila-gila sama aku." Ia mengempaskan dirinya ke atas pembaringan.Kemudian menarik tanganku hingga ke pelukannya. "Sabar ya, Sayang, ini ujian pernikahan kita, di depan sana masih ada ujian-ujian lainnya yang menanti, kita harus kuat, ok." Ia membisikkan itu ke telinga.Mendengarnya hati yang sebelumnya memanas kini berubah menjadi sejuk, betul apa katanya setiap biduk rumah tangga takkan lepas dari ujian, tinggal bagaimana kita menghadapinya apakah akan bersabar ataukah sebaliknya."Semoga kita di berikan kekuatan ya, untuk menjalani semuanya," jawabku seraya mengelus pipinya.Ia meraih tanganku lalu mengecupnya, lepas itu ia tersenyum sambil memandang wajahku mesra."Aku mau kamu jadi istriku seutuh
Sarapan telah usai, aku sibuk merapikan barang-barang karena hendak pulang ke rumah, rasanya segan untuk menginap lama-lama, aku takut jika Carla sedang menanti kedatanganku di rumah sana."Jadi kita mau pulang sekarang?" Daniel seolah masih ingin berlama-lama di tempat ini."Iya, Sayang, kita pulang dulu setelah itu kamu bebas mengajak aku ke manapun." Ia membawa tubuh ini ke dalam dekapannya."Serius?" "Duarius, kita temui Carla dulu ya, takut dia lagi nungguin." Dalam hati aku tak ingin terlena sendiri dalam merasakan kebahagiaan ini, karena di sana ada seorang putri yang menanti kasih sayang kami.Jika aku bahagia maka putri kecilku harus merasa bahagia, jangan sampai ia merasa terabaikan karena kami terlalu sibuk memadu kasih.Beberapa menit kemudian mobil milik Daniel melaju membelah jalanan, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemariku, sedangakan sebelah tangannya di gunakan untuk menyetir."Horee Mama dan Papa sudah pulang," teriak bocah kecil itu dengan girangnya, lalu s