Dia mengerem mobilnya secara mendadak membuat tubuhku hampir terhuyung ke depan."Ih kamu kenapa sih kok ngerem ga bilang-bilang! Untung kepalaku ga kejedot," cetusku kesal."Maaf, Sayang eh salah mulu, Sarah maksudku kita beli buah dulu ya, tunggu bentar," jawabnya lalu bergegas keluar dan berlari menuju kios buah yang lumayan besar.Tak lama ia kembali dengan sekeranjang buah di bentuk parsel."Harusnya aku yang beli, ngapa jadi kamu sih," ujarku cemberut."Ga apa-apa biar cepet, biasanya 'kan kalau cewe suka lama belanjanya," jawabnya sambil melajukkan mobil."Ih ga semua cewe begitu kali," cetusku sembari mencubitnya.Beberapa menit kemudian aku dan Daniel tiba di tempat tujuan, dengan dada yang berdebar aku melangkah masuk ke dalam rumahnya.Semoga ibunya Daniel bisa luluh hatinya dan mau menerimaku, doaku dalam hati."Ayok masuk. Sarah," ucap Daniel, lalu aku melangkah menuju kamar ibunya, di sana wanita paruh bata itu sedang tergeletak di atas pembaringan.Aku tercengang kala m
(Pov Daniel)"Sarah!" aku berteriak meratapi kepergiannya.Ingin aku mengejarnya. Namun, Safira mencegahku, padahal aku sangat muak melihat perangainya "Daniel jangan pergi! Itu Tante Raya manggil-manggil kamu," ucapnya kala tangan ini hendak membuka pintu mobil.Aku ingin mengejar Sarah, cintaku yang sempat hilang. Tak kuhiraukan ucapannya tapi tangan mulus itu menghalangiku."Daniel! Jangan buat Ibumu makin setres, mau gula darahnya naik lagi? kamu harus lihat ke dalam Tante Raya manggil-manggil kamu sambil megangin kepala dia pasti merasa pusing."Aku menghela napas dan mengurungkan niat untuk mengejar Sarah, walau berat tapi tetap kuseret kaki ini menuju kamar ibu.Bagaimanapun juga aku tak ingin dirundung rasa sesal seumur hidup karena mengabaikan orang yang telah membesarkan dan melahirkanku demi seorang wanita, meski aku sangat mencintainya.Suara high heels Safira seolah pisau belati yang menghunus dada ini, wanita berambut sebahu itu berjalan di belakangku dengan tegak seola
Wanita bermuka dua itu mengancam dan menjadikan ibu sebagai tamengnya, semakin muak saja pada perangai buruknya itu.Aku membalikkan badan lalu menatapnya penuh emosi, kaki ini melangkah mendekat hingga berjarak kurang dari satu meter.Wajahnya yang dipoles make-up hingga terkesan menor kini nampak jelas terlihat oleh mataku, wanita ini sangat berbeda dengan Sarah, walau Sarah itu seorang janda tapi ia sama sekali tak pernah terlihat berdandan berlebihan, itulah yang membuat hatiku semakin tertarik padanya."Jangan pernah ikut campur urusanku! Urus saja selingkuhanmu itu, sampai kapan sih kamu mau berpura-pura jadi pahlawan di mata ibu? sampai kapanpun aku ga akan pernah mau lagi kembali sama kamu."Beberapa kalimat itu kuucapkan pelan. Namun, penuh penekanan di tambah dengan sorotan mataku yang tajam sukses membuat wajahnya menunduk seketika."Walaupun keluargamu banyak membantuku, itu bukan berarti aku harus membalas budi dengan menikahimu, beberapa bulan lalu aku coba membuka hati
"Pak, Hasan jika ada orang ini yang mencariku bilang saja ga ada di sini dan kamu ga tahu," ucapku sembari memperlihatkan photo Daniel dan Hadi pada Security yang menjaga rumah.Ia mengangguk, bukan hanya dia yang kuberitahu. Namun, hampir semua kerabat termasuk orang-orang kantor.Semua pekerjaan kini di alihkan untuk sementara waktu kepada Pak Asraf --orang kepercayaanku di kantor-- demi untuk menghindar dari Daniel dan gangguan dari Kak Hadi.Memblokir nomor kontak dan akunnya, kurasa itulah jalan yang terbaik untuk kami, maafkan aku, Daniel.Aku, Kak Shanaz dan bapak akan tinggal di apartemen untuk sementara waktu, setelah bapak memberi izin aku akan tinggal di Amerika bersama Carla, mengurus cabang baru perusahaanku di sana.Beberapa jam kemudian tibalah di tempat tujuan, di mana tempat ini tak diketahui oleh Daniel dan siapapun, bagaimanapun juga aku tak ingin terganggu oleh kehadirannya.*"Halo, Assalamualaikum, Sarah apa kamu sudah tidur?" tanya ibu di balik telpon."Baru aja
"Engga, Nak kakimu masih ada," jawab Ibu meyakinkan, wanita paruh baya itu terlihat letih."Aku ga mau jadi cacat, Bu?" kali ini nada suaranya melemah."Sonia kaki kamu itu cuma patah hampir remuk tulangnya, tapi kamu harus yakin akan sembuh seperti semula," jawab ibu seakan putus asa.Sonia menangis hingga sesenggukan, tangannya mengepal dan memukul-mukulkannya ke pembaringan."Aku pengen cepet sembuh, Bu," rintihnya sembari menangis."Iya kamu banyak berdoa dan jangan putus asa ya," jawab ibu memberikan ketenangan."Semua ini gara-gara kamu, Bang!" Ia mengalihkan pandangan pada Bang Surya, sontak saja ia membulatkan mata saat menyadari kehadiranku yang sedang berdiri di samping Bang Surya."Kamu juga ngapain ke sini hah?! Mau ngetawain aku?" Sonia berteriak disertai isak tangis."Astaghfirullah, Sonia aku ke sini mau jenguk kamu, jangan berfikir buruk dulu," jawabku sedikit kesal pada tuduhannya."Pinter akting," ucapnya ketus seraya mendelikkan mata.Karena kesal aku berlalu mening
"Sarah, ternyata Sonia harus di larikan ke rumah sakit yang lebih besar karena dia harus di operasi, Ibu bingung harus gimana? biaya operasi itu mahal ....""Ka-kamu bisa 'kan bantu Sonia bayar biaya operasinya?" tanya ibu yang membuat tenggorokanku tercekat.Haruskah aku menolongnya? selepas perlakuan buruk dari Sonia yang sudah kuterima?."Sarah, kok diem," tegur ibu kembali."I-iya nanti aku transfer," jawabku ragu."Kamu memang baik, Sarah, terima kasih ya," ucap ibu lalu telpon di matikan.Aku mencoba berdamai dengan perasaan ini, walau rasanya berat membantunya. Namun,tak seharusnya aku bersikap setega itu."Ikhlaskan saja, Rah, anggap sedekah," sahut bapak yang sejak tadi diam menyimak."Iya, Pak, besok kita nyusul ya nengok Sonia lagi," jawabku sambil melajukan mobil kembali."Iya, sekarang kita pulang dulu kasian anakmu sendirian di appartemen," sahut bapak.*Malam semakin larut. Namun, mata ini enggan terpejam. Fikiranku melayang memikirkan Daniel, entah dia juga memiliki
Aku tak dapat mengucap kata, hanya memandangnya dengan sendu sambil menelisik raut wajahnya, apakah ia sungguh-sungguh meminta maaf atau hanya sekedar formalitas semata, karena aku sudah membantu biaya operasinya."Aku sungguh minta maaf, Kak, sudah menghancurkan rumah tanggamu, dan sudah memakimu habis-habisan, maafkan aku," ungkapnya kembali sambil terisak.Sepertinya permohonan maaf itu tulus dari lubuk hatinya, perasaanku terhanyut hingga mata ini ikut-ikutan meneteskan buliran-buliran bening."Kalau kamu tulus meminta maaf, maka Kakak ga ada hak untuk tidak memaafkan, tapi Kakak minta kamu harus berubah dan jangan pernah ulangi perbuatan itu," jawabku seraya mengusap bahunya."Terima kasih kak ...." Ia terisak kembali hingga kedua bahunya terguncang akibat isakan itu."Aku sudah dapat karmanya, Kak, pernikahanku dan Bang Surya tak pernah tentram dan bahagia malah berakhir begitu saja," ucapnya kembali sambil sesenggukan.Hatiku berdesir mendengar keluh kesahnya, rasa iba tiba-ti
"Sudah, Bu, aku ga mau ngerepotin Kak Sarah lagi, biar nanti kita tinggal di rumahku saja," ucap Sonia yang membuatku lega.Tentu saja aku setuju dengan keputusannya, memaafkan bukan berarti melupakan perbuatannya begitu saja, walaupun katanya dia sudah berubah."Maksudnya di rumah yang sering kamu tempatin sama Surya itu? bukannya rumah itu belum lunas ya?" sepertinya ibu masih keberatan dengan keputusan Sonia."Iya itu, Bu," jawab Sonia."Begini saja, kamu tinggal di rumah itu jangan di rumah Sarah, nanti Kakak yang bayar biaya perbulannya," sahut Kak Satya memberi solusi."Iya, setuju, nanti juga aku bantu kalian buat biaya yang lainnya," sahut Kak Shanaz memperkuat usulan kakak pertama kami."Oh, ya sudah kalau gitu, kita tinggal di sana aja," ucap ibu setuju."Kalau gitu aku pulang dulu ya, takut Carla nyariin." "Iya, Sarah, hati-hati ya," jawab Ibu sambil tersenyum.Aku melangkah keluar, dan berjalan menuju parkiran mobil, di lorong rumah sakit langkahku terhenti saat ada seseo
Aku dan Daniel berpandangan lalu tersenyum haru."Benarkah, Dok, kalau istri saya hamil?" Daniel takjub tak percaya."Benar, Pak, tuh kantung janinnya sudah kelihatan, usianya baru lima minggu," ucap Dokter Ratih.Aku dan Daniel mengucap hamdalah sebagai bentuk rasa syukur, setelah enam bulan menanti akhirnya janin itu hadir di rahimku, membawa kebahagiaan baru.Apalagi Carla, sudah sejak lama ia merindukan seorang adik,tak kubayangkan bagaimana reaksinya jika ia mengetahui jika adik kecil yang didambakan akan hadir dalam waktu beberapa bulan ke depan.*"Sayang, terima kasih ya, sudah menghadirkan malaikat kecil untukku," ucapnya bahagia, kali ini aku sedang di dalam mobil menuju perjalanan pulang."Iya, sama-sama Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya Allah mengabulkan doa kita.""Iya, Sayang, oh ya kita ke rumah kamu dulu yuk, keluarga besar kamu harus tahu tentang kabar gembira ini," ucap Daniel antusias.Mobil pun berbelok menuju rumahku yang sekarang di tempati oleh keluarga besarku.T
Enam bulan berlalu, mahligai rumah tanggaku berjalan sempurna, kami bahagia walau belum kunjung memiliki buah hati.Ada Carla yang selalu menemani rasa sepi di relung hati suamiku, ia amat menyayangi anak tirinya bagaikan anak kandung, putriku juga merasa nyaman seolah Daniel adalah ayah kandungnya."Aku mau berangkat ya, Sayang, kamu ke kantor ga?" tanya Daniel duduk di tepi ranjang sedangkan aku masih terbaring di atas pembaringan karena sakit kepala yang berdenyut."Engga kayanya, aku pusing banget ini.""Ya sudah istirahat di rumah saja ya, 'kan di kantor ada Shanaz masa udah enam bulan belum faham juga."Ia begitu pengertian padaku, walau terkadang seluruh waktuku di habiskan di kantor menemani Kak Shanaz dan membimbingnya memimpin perusahaan.Semenjak perceraiannya dengan Kak Hadi, entah mengapa ia selalu menutup diri terhadap laki-laki, padahal di luar sana masih banyak yang mengantri meminangnya termasuk Izwan--pria yang pernah melabuhkan cintanya padaku--"Pusing kenapa emang
"Kok aku sih, menyentuhmu saja aku tak pernah, sudah jelas-jelas Joe yang sudah menyentuhmu, walaupun satu kali ya bisa saja langsung jadi, jangan ngaco kamu ya, sekarang cepat pergi dari sini." Nampaknya suamiku mulai meradang, jangankan Daniel akupun sama jengahnya menyaksikan sikap Safira yang tak bijak."Ayo kita pulang." Joe menarik paksa tangan Safira, beberapa kali wanita itu meronta, tapi tetap tak dihiraukannya.Setelah kepergian mereka Daniel nampak bernapas lega, ia menatapku dengan tersenyum."Terbukti 'kan, Sayang, kalau aku ini buka ayah dari bayi yang dikandung Safira," ungkapnya meyakinkanku."Iya aku percaya, tapi kok kamu bisa kenal Joe." pertanyaan ini yang begitu mengganjal sejak tadi.Ia terkikik. "Joe itu temenku, Sayang," jawabnya dengan santai."Jadii ... waktu itu Safira selingkuh sama temen kamu," jawabku lalu terkekeh, karena merasa lucu sekaligus kasihan.Ia nampak menghela napas pelan. "Ya gitu, coba kamu bayangkan Safira yang waktu itu masih kekasihku be
"Terus apa hubungannya dengan suamiku?" dengan mulut bergetar aku menanyakan hal itu."Ini anaknya Daniel, dia harus tanggung jawab," jawab Safira dengan isak tangis.Entah itu tangis sungguhan atau hanya kepura-puraan."Enak aja, aku tuh ga pernah menyentuhmu, jangan ngaku-ngaku ya," sanggah Daniel tak menerima.Aku diam membisu merasakan hati yang sakit bagai di tusuk pisau belati, mereka saling bersitegang saling mempertahankan argumennya."Tapi malam itu, apa kamu sudah lupa, Daniel," ucap Safira, yang membuat hatiku semakin sakit."Malam itu aku ga ingat apapun, Safira, mana mungkin bisa men**aulimu." Daniel masih bersikeras enggan mengakui benih yang tumbuh di rahim Safira.Sesak rasanya dada ini, baru saja kemarin kami berbahagia lalu sekarang, kebahagiaan itu harus terkoyak oleh seseorang yang pernah mengisi masa lalunya."Sayang, percaya sama aku, anak ini bukan benihku." Daniel menyentuh pergelangan tanganku, dan mencoba meraihnya. Namun, secepat kilat kutepis.Aku tak tahu
"Gini saja, pokoknya untuk sementara kalian di sini sampe Sonia sembuh, gimana? lagian aku sih ga masalah kalau tinggal di sini, justru bagus rumah ini ada yang nempatin.""Iya, Rah, Kakak setuju usul kamu kita di rumah ini sampe Sonia sembuh, oh ya soal tawaran kerja di kantor kamu Kakak menyanggupi," ujar Kak Shanaz yang membuatku merasa lega.Akhirnya perusahaanku berada di tangan yang tepat."Alhamdulillah, terima kasih ya, Kak, sudah mau bantu jangan khawatir nanti sesekali aku akan ke kantor kok bantu kakak," jawabku."Iya, pokoknya kita kelola usaha kamu bareng-bareng."Keputusan telah di tetapkan, dan semua barang telah terkemas rapi, Daniel dan Bapak membantu menaikkan barang-barangku ke dalam bagasi, setelah kami berpamitan akhirnya mobil Daniel membawaku dan Carla menuju rumahnya."Hati-hati ya, Kak," ucap Sonia dengan raut wajah kecewa.Entahlah apakah prasangka buruk ini benar atau salah, jika Sonia merasa kecewa karena berjauhan dengan suamiku, semoga saja ini hanya seke
"Sayang, Mas bantuin Sonia tadi jatoh dari kursi roda," ujar Daniel meyakinkan.Aku mengucapkan istighfar dalam hati, mata ini terpejam beberapa saat, lalu mencerna setiap prasangka buruk ini, tak seharusnya aku bersikap berlebihan."Sayang." Sapaan Daniel membuyarkan lamunan."I-iya, emang Sonia kenapa? kok bisa jatuh?" entahlah, logikaku sulit mencerna alasannya.Mengapa bisa jatuh? tak dapat dipungkiri hati ini memanas melihat mereka."Katanya mau ambil makanan di atas bupet itu, Sayang, dia berusaha berdiri terus jatoh," jawab Daniel dengan tenang, aku menelisik wajahnya memang tak nampak raut kebohongan.Mataku bergulir menatap Sonia ia nampak biasa saja tanpa menunjukkan rasa bersalah, apa mungkin aku saja yang terlalu berlebihan karena takut kejadian masa lampau aka terulang kembali?.Oh Tuhan, tolong yakinkan hati ini jika pernikahan kami akan baik-baik saja, kuharap rumah tangga kami takkan diuji oleh hadirnya orang ketiga, karena aku takkan sanggup bersabar ataupun bertahan.
Entah mengapa aku merasa risih dengan tingkahnya, ia tersenyum begitu hangatnya kepada Daniel, seolah bayang masa lalu kembali merasuk memoriku.Sonia tertunduk sekejap lalu kembali memamerkan senyumannya.Aku menyinduk nasi ke dalam piring beserta lauk pauknya. "Habisin ya," ujarku pada Daniel."Terima kasih istriku." Tanpa rasa malu ia ucapkan itu di hadapan seluruh keluargaku.Lagi-lagi pandanganku tertuju pada Sonia, ia mencebik kala Daniel berkata mesra kepadaku. Namun, dalam sekejap ia mampu menyembunyikan itu dari hadapan kami semua."Sarah, Daniel, kapan kalian bulan madu?" tanya Kak Shanaz.Beberapa detik kemudian Sonia nampak tersedak, tangannya dengan cepat meraih satu gelas air minum."Lho itu 'kan air minum suamiku," sanggahku tak terima karena ia mengambil gelas air minum yang tinggal setengah itu."Oh maaf-maaf, Kak, aku ga lihat dulu," jawabnya masih terbatuk.Seketika rasa kesal menyeruak ke dalam dada. Namun, tangan Daniel menggenggam erat jemariku memberikan sedikit
"Sayang kamu ok, 'kan?" tanya Daniel khawatir.Aku menganggukan kepala seraya tersenyum, senyum palsu tentunya, karena dalam hati merasa merana, ingin sekali menghajar perempuan itu habis-habisan."Nanti kita temui ya, Sayang, apa maunya dia kita tanya, kaya ga ada cowo lain aja masih tergila-gila sama aku." Ia mengempaskan dirinya ke atas pembaringan.Kemudian menarik tanganku hingga ke pelukannya. "Sabar ya, Sayang, ini ujian pernikahan kita, di depan sana masih ada ujian-ujian lainnya yang menanti, kita harus kuat, ok." Ia membisikkan itu ke telinga.Mendengarnya hati yang sebelumnya memanas kini berubah menjadi sejuk, betul apa katanya setiap biduk rumah tangga takkan lepas dari ujian, tinggal bagaimana kita menghadapinya apakah akan bersabar ataukah sebaliknya."Semoga kita di berikan kekuatan ya, untuk menjalani semuanya," jawabku seraya mengelus pipinya.Ia meraih tanganku lalu mengecupnya, lepas itu ia tersenyum sambil memandang wajahku mesra."Aku mau kamu jadi istriku seutuh
Sarapan telah usai, aku sibuk merapikan barang-barang karena hendak pulang ke rumah, rasanya segan untuk menginap lama-lama, aku takut jika Carla sedang menanti kedatanganku di rumah sana."Jadi kita mau pulang sekarang?" Daniel seolah masih ingin berlama-lama di tempat ini."Iya, Sayang, kita pulang dulu setelah itu kamu bebas mengajak aku ke manapun." Ia membawa tubuh ini ke dalam dekapannya."Serius?" "Duarius, kita temui Carla dulu ya, takut dia lagi nungguin." Dalam hati aku tak ingin terlena sendiri dalam merasakan kebahagiaan ini, karena di sana ada seorang putri yang menanti kasih sayang kami.Jika aku bahagia maka putri kecilku harus merasa bahagia, jangan sampai ia merasa terabaikan karena kami terlalu sibuk memadu kasih.Beberapa menit kemudian mobil milik Daniel melaju membelah jalanan, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemariku, sedangakan sebelah tangannya di gunakan untuk menyetir."Horee Mama dan Papa sudah pulang," teriak bocah kecil itu dengan girangnya, lalu s