"Sonia ... ini demi kebaikan bersama."
Aku kembali membujuknya selembut mungkin.
"Kalau kakak ngerasa aku menjadi beban disini bilang saja, Kak. tak usah banyak berkilah," ucapnya seraya berdiri dan menatap tajam padaku.
Sepertinya ia marah, kucoba mengontrol rasa agar terlihat setenang mungkin. Aku tak boleh terlihat emosi.
"Bukan begitu, Sonia ...."
"Sudahlah, aku berangkat dulu, aku fikir-fikir dulu!" selanya memotong ucapanku kemudian ia beranjak keluar rumah dan duduk di bangku teras, mungkin sedang menunggu Bang Surya.
"Tuh 'kan, Dek. Sonia jadi marah," sahut Bang Surya dengan tatapan tak suka.
"Emang kenapa kalau Sonia marah, kok kamu kaya gelisah gitu sih? aneh kamu, Bang!" jawabku seraya mendelikan mata, nampak ia belingsatan tetapi berusaha setenang mungkin di hadapanku.
"Ya sudah Abang berangkat sekarang," balasnya seraya beranjak.
Nampak raut wajah gelisah, ia berjalan setengah berlari, aku pun menyusulnya. Tak akan aku biarkan mereka berangkat bersama-sama kali ini.
"Tunggu, Bang!" dua orang yang hendak masuk ke dalam mobil pun terhenti sambil memegang pintu mobil, wajah Sonia nampak merenggut tak suka, jika ia bukan adikku sudah pasti aku melabrakmu, Dek.
"Hari ini ada acara perpisahan di sekolah Carla, dia akan tampil melantunkan ayat-ayat suci Al quran, kita harus hadir untuk menyaksikannya. Itu permintaan Carla," ucapku setengah berteriak.
Ia nampak membuka mulut untuk berkata tapi, Carla terlebih dulu belari menghampiri ayahnya, "Iya, Pa. Hadir ya sama mama!"
Ia diam, kemudian melirik wajahku, "Sudahlah, Bang. Tinggalkan dulu pekerjaan kamu barang satu hari ini, demi Carla, demi anak kamu," ucapku meyakinkannya.
Dan akhirnya berkat gaya manjanya Carla, ia pun mengiakan, Bang Surya nampak menutup kembali pintu mobil, lalu menggendong putrinya menghampiriku, terlihat wajah Sonia makin merenggut dibantingnya pintu mobil dengan keras, aku tak mau kalah, kuhampiri Bang Surya yang sedang menggendong Carla, menyentuh lengannya seraya tersenyum, sekilas kami terlihat seperti keluarga bahagia tanpa ada keretakan.
"Terus aku gimana, Kak Surya?" sontak kami bertiga memalingkan wajah pada Sonia yang tengah cemberut. Ia nampak jengkel lalu menghentakkan sebelah kakinya ke tanah.
"Kamu pesen taxi atau ojek online aja, didepan gank juga banyak ojeg, kalau kamu tak mau menunggu lama," jawabku dengan tenang.Mana mau anak manja ini naik ojek, ia makin cemberut menatapku dan Bang Surya bergantian. Biarlah aku tak peduli.
"Masa naik ojek, lihat kak aku pakai rok," jawabnya seraya memegang rok yang dikenakan.
Kulirik sekilas sepertinya Bang Surya akan mengatakan sesuatu pada Sonia. Namun, dengan cepat aku memotong ucapannya,
"Makanya kalau kerja itu pake baju yang bener, kamu mau kerja apa mau menggoda suami orang sih, sexy banget tampilannya!"
Ia tak menanggapi perkataanku, lekas pergi berjalan kaki menuju ujung gank, sesekali ia melirik kebelakang dengan mendelikan mata, mungkin berharap Bang Surya akan mengejarnya, hem kepedean!
Kami telah sampai di Sekolah Carla, suasana nampak ramai banyak orang tua murid yang hadir, aku dan Bang Surya duduk di deretan bangku paling depan menyaksikan putri tercinta kami sedang melantunkan ayat-ayat suci al-Qur'an.
Aku bahagia dan bangga padanya, diusia sekecil ini sudah bisa membaca Al-Quran, ia juga menghafal surat-surat pendek juz 30. Merasa tak sia-sia selama ini dalam mendidiknya.
Dengan sudut mata aku melirik Bang Surya begitu khidzmat dan serius memperhatikan putrinya, mungkin ia juga merasa bangga sama sepertiku. Aku harap ada sesal di hatinya karena mencoba merusak kebahagiaan keluarga kecil kami, hati kecilku bergumam.
'Lihatlah, Bang, anak kita sudah tumbuh besar nan pintar'
Kurogoh ponsel yang tersimpan dalam tas, mengirimkan pesan pada Zylan.
[Zy, Sonia ada di kantor 'kan?] Send.
Centang satu, mungkin Zylan sedang sibuk bekerja, makanya nomor Watshapnya tidak aktif, kumasukkan kembali ponsel kedalam tas. Dan kembali pandanganku tertuju pada Carla, ia sudah selesai melantunkan ayat suci Al-Qur'annya. Para hadirin bertepuk tangan dengan meriah.
Saat acara hampir selesai terdengar suara ponselku berdenting, iya balasan dari Zylan.
[Ada, Rah. Dari pagi mukanya di tekuk terus] balasnya disertai emotikon tertawa berderet diujung pesan.
[Bagus, buat dia sesibuk mungkin ya, Zy] balasku.
[Ok] dengan cepat Zylan membalas pesanku.
Acara telah selesai, kami bertiga hendak menuju pulang, ada binar kebahagiaan yang terpancar dari wajah Bang Surya dan Carla. Tak terasa putriku itu sudah besar sebentar lagi ia akan memasuki Sekolah Dasar. Seandainya Sonia tak hadir di tengah-tengah kebahagiaan kita.
Secara hukum Islam memang kita tidak diperbolehkan untuk tinggal satu atap bersama ipar, aku mengetahui hal itu, tapi ibu dia bersikukuh menyuruhku menampung Sonia untuk sementara katanya.
Awalnya aku menolak, begitu pun dengan Bapak, tapi ibu terus meyakinkanku untuk menerima Sonia dengan tujuan agar dia juga bisa belajar merintis usaha sepertiku.
"kalau Sonia tinggal di kampung, mau apa dia, disini tak ada pekerjaan."
Ucapan ibu yang masih terngiang di telingaku. Rupanya keputusanku membawa petaka bagi rumah tanggaku sendiri. Dan akhirnya terjadilah hal yang di takutkan, tak ada guna aku menyesali.
"Pa, kita jalan-jalan dulu yuk." Carla membujuk papanya yang tengah melamun. Apa dia memikirkan Sonia?."Pa!" Dia tersentak mendengar gertakanku.
"Em, iya kenapa? jalan-jalan ya, Sayang," jawabnya gelagapan.
"Jalan-jalannya yang deket aja ya, ke mall, kamu bisa main dan beli mainan sepuasnya," ucapnya lagi seraya menengok ke belakang.
Carla pun bersorak dengan gembira, ada perih di hatiku menyaksikan betapa bahagianya Carla padahal hanya diajak jalan-jalan ke mall saja, aku tak sanggup melihat kekecewaannya kelak, jika Bang Surya lebih memilih Sonia dan meninggalkan kami.
Aku menatap kosong kearah jalan, hening suasana dalam mobil ini. Padahal biasanya jika kami berada dalam mobil selalu saja ada tawa dan canda menyelimuti.
Tak terlalu lama kami telah sampai di pusat perbelanjaan yang besar nan megah ini, Carla menuntun tangan kami menuju wahana permainan yang ia sukai.
"Aku mau naik itu ya, Ma," ucap Carla dengan gaya khasnya.
Carla bermain dengan riangnya, sesakali ia melambaikan tangan pada kedua orang tuanya yang sedang saling diam membisu ini, raga Bang Surya bersamaku tapi fikirannya pasti sedang memikirkan Sonia yang jauh disana. Ia terlihat diam menatap lurus dengan pandangan kosong.
Hampir satu jam Carla bermain, ia pun akhirnya kembali menghampiri kami.
"Ma, Pa, Carla laper. Kita makan yuk."
Aku dan Bang Surya pun hanya menganggukan kepala seraya tersenyum. Carla memandang dengan tatapan heran. Mungkin ia juga merasakan ada yang aneh diantara aku dan Bang Surya.
Kuputuskan untuk makan di salah satu cafe yang berada dalam pusat perbelanjaan ini, aku yang tak berselara makan dengan terpaksa menyuapkan sedikit makanan kedalam mulut, Nampak Carla makan dengan lahapnya sedangkan Bang Surya hanya mengaduk-adukan makanan sambil menunduk.
Ada pilu dalam hati mengingat biasanya ada canda ketika kami sedang makan bersama, terkadang kami juga saling menyuapkan makanan dengan tertawa. Tapi kali ini berbeda kami tengah disibukkan dengan fikiran dan kegelisahan masing-masing.
Entah mendapat ide dari mana aku mengajak Carla dan papanya untuk photo-photo selfi. Akan aku unggah photo yang terlihat harmonis ini ke story Whatsappku, tidak hanya satu photo yang aku unggah tetapi ada lim sampai enam photo dengan berbagai macam gaya.
Kami bertiga tersenyum ke arah kamera menutupi kegelisahan masing-masing, sengaja aku unggah agar Sonia melihatnya kemudian terbesit sesal dalam hatinya untuk menjauhi Bang Surya, aku sih tak berharap banyak, satidaknya aku telah berusaha mempertahankan rumah tanggaku walau akhirnya akan kandas juga, itu tak masalah bagiku. Aku harus kuat menghadapi kenyataan nanti walau sepahit apapun tak boleh jika sampai terpuruk karenanya.
Selama masih bisa bernafas kehidupan harus tetap berlanjut dengan atau tanpa seorang suami, roda kehidupan akan terus berputar.
Sampai di rumah, Bang Surya lebih banyak diam, ia nampak gelisah seperti sedang menunggu seseorang, terlihat dari pancaran wajahnya ia selalu melirikkan mata ke halaman rumah.
Adzan isya berkumandang. Namun, Sonia tak kunjung pulang, entahlah tak ada sedikitpun rasa khawatir yang kurasakan. Bang Surya mondar mandir dari ruang tengah, ruang keluarga dan kamar ia susuri.
Sebenarnya aku pun sama sedang menanti Sonia, ingin menanyakan tentang kepulangannya ke kampung halaman, aku tak ingin ia berlama-lama ada di rumahku. Jengah melihatnya.
Sampai pukul setengah sepuluh Sonia tak kunjung pulang, Bang Surya terlihat semakin gelisah. Ada rasa sakit dalam hati melihat suamiku sedang gelisah memikirkan wanita lain. Aku membujuknya untuk masuk ke dalam kamar, dengan sedikit paksaan akhirnya ia mengikutiku masuk ke kamar kami.
*Tengah malam aku terbangun karena rasa haus yang mendera tenggorokan, aku melangkah untuk mengambil air minum ke dapur, semakin mendekat telingaku mendengar samar suara sesorang yang sedang berbicara, sepertinya itu suara Sonia dari arah meja makan. Aku melangkah mengendap-ngendap demi menguping pembicaraannya."Kamu harus berterus terang sama Kak Sarah, kalau kamu masih tak bisa tegas dalam bersikap dan mengambil keputusan, maka aku akan kembali ke Korea dan melupakanmu selamanya, dan Kak Surya akan kehilangan aku yang kedua kalinya," ucap Sonia dengan terisak.
Degh!
Hatiku berdegup dengan kencang, apa maksudnya ini. Hatiku dipenuhi berbagai tanya, apakah Sonia mantan kekasih Bang Surya, atau apa?.
Bang Surya bersuara, "Beri aku sedikit waktu, Sonia.
Dengan tegak aku melenggang melangkah menghampiri dua insan yang sedang saling meratapi
"Ngapain kalian berduaan disini tengah malam begini?" tanyaku, sorot mataku tajam memandang mereka bergantian.
Mereka terperangah melihat kedatanganku yang tiba-tiba, dengan kompak mereka saling menjauhkan diri menggeser kursi yang sedang di duduki.
"Bang ... Sonia kenapa kalian diam," ucapku kembali seraya menggebrak meja.
Bersambung.Mereka gelagapan, karena kesal aku kembali menggebrak meja, mereka tersentak kaget."Ga ngapa-ngapain, Dek. Barusan Abang mau ambil minum, eh ada Sonia duduk disini. Abang cuma nanya aja kenapa tadi dia pulang larut," jawabnya santai, sedangkan Sonia ia tampak acuh. Ingin aku membicarakan soal kepulangannya ke kampung. Namun, sebelum membuka mulut ia sudah dahulu melenggang meninggalkan kami berdua tanpa kata. Benar-benar tak punya sopan santun Tak mengapa akan aku tanyakan esok pagi. Setelah mengisi air kedalam gelas berukuran besar, kembali aku melangkah menuju kamar, Bang Surya mengekor di belakang seraya menggaruk-garuk kepalanya. Tiba di pembaringan, aku kembali tidur membelakangi Bang Surya, menarik selimut hingga menutupi leher, sakit, sedih, kecewa juga marah bercampur jadi satu, tak terasa air mataku meleleh, karena mendengar suara sesenggukan, Bang Surya menyapaku, "Dek, kamu nangis? kenapa?" Ia bertanya seraya mengguncangkan pelan bahuku. Aku diam, malas rasanya untuk
Tanpa berfikir aku menelpon Bang Surya ... tak diangkat, lalu aku menelpon Sonia, namun tidak aktif rupanya aku kecolongan lagikemana mereka?*Aku terus menelpon Bang Surya berkali-kali ... diangkat."Halo, Bang kamu dimana?" ucapku diiringi dengan degupan jantung yang tak menentu."Di-di jalan ... sudah ya Abang lagi nyetir," jawabnya kemudian panggilan terputus.Geram, kulemparkan ponsel ke sofa lalu memijat-mijat kening sambil mondar-mandir."Mama kenapa?" Carla bertanya menghampiri."Mama ga papah," jawabku seraya bersimpuh mengimbanginya. Ia pasti resah melihat tingkahku barusan.Aku masuk kamar melangkah dengan lunglai, kupandang photo pernikahanku dan Bang Surya, aku tersenyum begitupun dengannya, siapa yang menyangka jika kebahagiaan kami akan sirna oleh orang ketiga, dan yang lebih membuatku teriris adikku lah orang ketiga itu.Adzan Ashar berkumandang gegas aku mengambil air wudhu, langkahku terhenti karena mendengar deru mobil Bang Surya, aku melangkah cepat menghampiriny
Suasana alun-alun kota nampak ramai, banyak pedagang kaki lima berjejer rapi dengan aneka ragam jajanan yang menggiurkan. Tak lupa aku pun mengabadikan kebersamaan kami dalam bentuk vidio singkat dan photo, lalu kuunggah semuanya ke story Whatsapp, dan lima menit kemudian terlihat Sonia melihat semua photo dan vidio kemesraan kami bertiga, hihi ia pasti tengah terbakar api cemburu, semoga saja di rumah tak terjadi kebakaran.Derrrrrt! Derrrrrt! Ponsel Bang Surya terus berdering, itu pasti panggilan dari Sonia tapi, bukan Sarah namanya kalau tidak membalas kecurangan dengan licik, kurampas paksa ponsel Bang Surya lalu merijek panggilan Sonia dan mematikan ponselnya."E-eh kenapa diambil, Dek?itu telpon dari siapa?" Ia terlihat khawatir."Dari nomor ga dikenal, paling orang iseng. Udahlah kita lagi bersama jadi nikmati kebersamaan ini tanpa ada gangguan dari orang lain," jawabku tegas, terlihat ia menghela nafas. Ada raut gelisah dari wajahnya.Ketika menghadapi pelakor tak harus selal
"Bang!" Ia terperanjat mendengar gertakanku. "Eem i-iya, tadi dia lari sambil nangis ga tau kenapa makanya abang cekal tangannya, maksud Abang mau tanya dia kenapa nangis gitu lho," jawabnya sedikit gelagapan. Pecundang banget kamu, Bang. Berani berselingkuh di belakangku tapi tak berani untuk mengakuinya, apa mungkin ia belum siap hidup miskin kembali? jika tanpa aku Bang Surya masih jadi karyawan biasa seperti tempo hari, dia hanya beruntung saja menikah denganku bisa berubah jadi bos secara tiba-tiba. Bukan hanya hidupnya saja yang enak tapi kehidupan keluarganya pun terjamin karena uangku. "Sonia, kamu 'kan lagi beres-beres kok ditinggalin gitu aja sih kerjaannya," ucapku dengan ketus. Sonia tak menanggapi ia berlari menuju kamarnya dengan derai air mata. Dibantingnya pintu kamar dengan keras, Bang Surya nampak kebingungan, mungkin kalau aku tak ada disini ia pasti sudah membujuk dan merayu kekasih gelapnya itu dengan mesra. "Lihat, Dek, Sonia marah gara-gara kamu suruh ber
Sampai di pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta, aku memiliih-milih pakaian yang indah nan mahal walau sebenarnya aku tak sedang membutuhkannya. Bang Surya disibukkan oleh Carla sementara Sonia ia bagaikan patung berjalan mengikuti langkahku kemanapun aku menuju. "Kak aku pegel," ungkap Sonia kesal, wajahnya merenggut tanda tak nyaman. "Satu toko lagi, sabar," jawabku sambil melenggang, terpaksa ia pun mengikuti. Tanganku terus menggandeng Bang Surya, sementara Carla berdiri beriringan tak jauh dengan kami. Dan Sonia berjalan di belakang mengekor, kudengar beberapa kali dia mendengus kesal tapi tak kuhiraukan. Sebisa mungkin aku berpura-pura romantis di hadapan Sonia, pasti dia terbakar api cemburu, untung ga jadi abu tuh hati. Memasuki toko pakaian netra Sonia tertuju pada sebuah lingerie merah, ia pasti menginginkan lingerie itu, tak mau kalah lekas aku meraih lingerie merah itu lalu mencocokannya ke tubuhku. "Bagus ga, Bang?" Bang Surya mengukir senyum secara paksa, "Bagus
Bab 8Kuputuskan untuk mengajak Carla ke kamarnya, tak mengapa untuk saat ini kalian berdua selamat, di lain waktu aku berjanji akan memergoki mereka jika perlu di hadapan seluruh keluarga besar kami, agar semua anggota keluarga tau dan secara terang-terangan membenci mereka. Kutuntun Carla melalui pembaringan lalu mendekapnya dengan erat.Air mata meleleh kembali mengingat apa yang barusan mereka lakukan, beraninya mereka berlaku semesra itu di rumahku. Selama ini aku berusaha menjadi istri yang baik dimatanya, bahkan aku serahkan perusahaan pada Bang Surya untuk menjunjung harga dirinya sebagai kepala tumah tangga.Dari segi fisik aku tak kalah menarik dari Sonia hanya saja tubuhku tinggi kurus tak seperti Sonia yang sedikit berisi, aku hanya unggul dari warna kulit saja, kulitku putih seperti ayah. Sedangkan Sonia kulitnya sawo matang seperti ibu, usiaku dan Sonia terpaut empat tahun.Carla telah terlelap dan suara petir tak lagi terdengar, perlahan aku menidurkan kepalanya ke ban
Entah drama apalagi yang dimainkan mereka, seakan tak ada habis-habisnya. Sonia gadis yang manis ia bisa mendapatkan lelaki yang pantas dan lebih baik ketimbang Bang Surya, ia juga berpendidikan tinggi dan cukup cerdas entah apa yang ada dalam fikirannya sehingga tertarik pada Bang Surya, ia memang lelaki yang gagah dan berwibawa tapi tampilannya tak akan sekeren itu jika tak memakai uangku.Cetrekk!Pintu kamarku terbuka nampaknya Bang Surya memasuki kamar kemudian membaringkan tubuhnya di sampingku. Merasa jijik tubuhku sedikit bergeser menghindar.Hening, netranya menatap langit, aku muak ada didekatnya saat ini kemudian beranjak ke toilet yang ada didalam kamar. Setelah kembali aku lihat Bang Surya mengangkat kasur, dia pasti mencari buku tabungan dan ATM itu."Nyari apa?" tanyaku datar, ia gelagapan."Mbok Minah beres-beres di kamar kita ya?" jawabnya, ia menggaruk kepala seraya celingukan."Enggak," jawabku acuh. Khusus kamar ini memang aku sendiri yang selalu membersihkan."It
Bab 10Pantas saja Bang Surya selalu pulang malam, rupanya ia bermain-main lagi dibelakangku. Entah wanita mana lagi yang ia mangsa saat ini.*"Sarah! ... haloo," sahut Alisa membuatku tersentak.Lagi-lagi aku melamun rasanya lelah sekali memikirkan tingkah Bang Surya."Iya, Alisa," "Kok diem sih, kenapa? ada masalah? cerita aja!" Alisa adalah teman terdekatku, bahkan disaat jarak yang memisahkan saja ia seakan tahu jika aku sedang dirundung masalah yang pelik.Meski dulu ia adalah bawahanku. Namun, tak ada jarak diantara kami sehingga apa pun kesulitanku pasti aku bercerita padanya, entah itu masalah perusahaan atau pun masalah percintaan, tangannya terbuka lebar untuk merangkul dikala aku sedih."Ada, Sa. Nanti aku main ke rumahmu ya, aku butuh solusi nih," ucapku lesu.Seyakin itu aku mempercayainya, bisa dikatakan dia adalah teman rasa saudara. "Ok deh, rencana sih besok pulang, ke rumahnya sore aja biar aku siap-siap," jawabnya semangat.Ia memang begitu selalu memperlakukank
Aku dan Daniel berpandangan lalu tersenyum haru."Benarkah, Dok, kalau istri saya hamil?" Daniel takjub tak percaya."Benar, Pak, tuh kantung janinnya sudah kelihatan, usianya baru lima minggu," ucap Dokter Ratih.Aku dan Daniel mengucap hamdalah sebagai bentuk rasa syukur, setelah enam bulan menanti akhirnya janin itu hadir di rahimku, membawa kebahagiaan baru.Apalagi Carla, sudah sejak lama ia merindukan seorang adik,tak kubayangkan bagaimana reaksinya jika ia mengetahui jika adik kecil yang didambakan akan hadir dalam waktu beberapa bulan ke depan.*"Sayang, terima kasih ya, sudah menghadirkan malaikat kecil untukku," ucapnya bahagia, kali ini aku sedang di dalam mobil menuju perjalanan pulang."Iya, sama-sama Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya Allah mengabulkan doa kita.""Iya, Sayang, oh ya kita ke rumah kamu dulu yuk, keluarga besar kamu harus tahu tentang kabar gembira ini," ucap Daniel antusias.Mobil pun berbelok menuju rumahku yang sekarang di tempati oleh keluarga besarku.T
Enam bulan berlalu, mahligai rumah tanggaku berjalan sempurna, kami bahagia walau belum kunjung memiliki buah hati.Ada Carla yang selalu menemani rasa sepi di relung hati suamiku, ia amat menyayangi anak tirinya bagaikan anak kandung, putriku juga merasa nyaman seolah Daniel adalah ayah kandungnya."Aku mau berangkat ya, Sayang, kamu ke kantor ga?" tanya Daniel duduk di tepi ranjang sedangkan aku masih terbaring di atas pembaringan karena sakit kepala yang berdenyut."Engga kayanya, aku pusing banget ini.""Ya sudah istirahat di rumah saja ya, 'kan di kantor ada Shanaz masa udah enam bulan belum faham juga."Ia begitu pengertian padaku, walau terkadang seluruh waktuku di habiskan di kantor menemani Kak Shanaz dan membimbingnya memimpin perusahaan.Semenjak perceraiannya dengan Kak Hadi, entah mengapa ia selalu menutup diri terhadap laki-laki, padahal di luar sana masih banyak yang mengantri meminangnya termasuk Izwan--pria yang pernah melabuhkan cintanya padaku--"Pusing kenapa emang
"Kok aku sih, menyentuhmu saja aku tak pernah, sudah jelas-jelas Joe yang sudah menyentuhmu, walaupun satu kali ya bisa saja langsung jadi, jangan ngaco kamu ya, sekarang cepat pergi dari sini." Nampaknya suamiku mulai meradang, jangankan Daniel akupun sama jengahnya menyaksikan sikap Safira yang tak bijak."Ayo kita pulang." Joe menarik paksa tangan Safira, beberapa kali wanita itu meronta, tapi tetap tak dihiraukannya.Setelah kepergian mereka Daniel nampak bernapas lega, ia menatapku dengan tersenyum."Terbukti 'kan, Sayang, kalau aku ini buka ayah dari bayi yang dikandung Safira," ungkapnya meyakinkanku."Iya aku percaya, tapi kok kamu bisa kenal Joe." pertanyaan ini yang begitu mengganjal sejak tadi.Ia terkikik. "Joe itu temenku, Sayang," jawabnya dengan santai."Jadii ... waktu itu Safira selingkuh sama temen kamu," jawabku lalu terkekeh, karena merasa lucu sekaligus kasihan.Ia nampak menghela napas pelan. "Ya gitu, coba kamu bayangkan Safira yang waktu itu masih kekasihku be
"Terus apa hubungannya dengan suamiku?" dengan mulut bergetar aku menanyakan hal itu."Ini anaknya Daniel, dia harus tanggung jawab," jawab Safira dengan isak tangis.Entah itu tangis sungguhan atau hanya kepura-puraan."Enak aja, aku tuh ga pernah menyentuhmu, jangan ngaku-ngaku ya," sanggah Daniel tak menerima.Aku diam membisu merasakan hati yang sakit bagai di tusuk pisau belati, mereka saling bersitegang saling mempertahankan argumennya."Tapi malam itu, apa kamu sudah lupa, Daniel," ucap Safira, yang membuat hatiku semakin sakit."Malam itu aku ga ingat apapun, Safira, mana mungkin bisa men**aulimu." Daniel masih bersikeras enggan mengakui benih yang tumbuh di rahim Safira.Sesak rasanya dada ini, baru saja kemarin kami berbahagia lalu sekarang, kebahagiaan itu harus terkoyak oleh seseorang yang pernah mengisi masa lalunya."Sayang, percaya sama aku, anak ini bukan benihku." Daniel menyentuh pergelangan tanganku, dan mencoba meraihnya. Namun, secepat kilat kutepis.Aku tak tahu
"Gini saja, pokoknya untuk sementara kalian di sini sampe Sonia sembuh, gimana? lagian aku sih ga masalah kalau tinggal di sini, justru bagus rumah ini ada yang nempatin.""Iya, Rah, Kakak setuju usul kamu kita di rumah ini sampe Sonia sembuh, oh ya soal tawaran kerja di kantor kamu Kakak menyanggupi," ujar Kak Shanaz yang membuatku merasa lega.Akhirnya perusahaanku berada di tangan yang tepat."Alhamdulillah, terima kasih ya, Kak, sudah mau bantu jangan khawatir nanti sesekali aku akan ke kantor kok bantu kakak," jawabku."Iya, pokoknya kita kelola usaha kamu bareng-bareng."Keputusan telah di tetapkan, dan semua barang telah terkemas rapi, Daniel dan Bapak membantu menaikkan barang-barangku ke dalam bagasi, setelah kami berpamitan akhirnya mobil Daniel membawaku dan Carla menuju rumahnya."Hati-hati ya, Kak," ucap Sonia dengan raut wajah kecewa.Entahlah apakah prasangka buruk ini benar atau salah, jika Sonia merasa kecewa karena berjauhan dengan suamiku, semoga saja ini hanya seke
"Sayang, Mas bantuin Sonia tadi jatoh dari kursi roda," ujar Daniel meyakinkan.Aku mengucapkan istighfar dalam hati, mata ini terpejam beberapa saat, lalu mencerna setiap prasangka buruk ini, tak seharusnya aku bersikap berlebihan."Sayang." Sapaan Daniel membuyarkan lamunan."I-iya, emang Sonia kenapa? kok bisa jatuh?" entahlah, logikaku sulit mencerna alasannya.Mengapa bisa jatuh? tak dapat dipungkiri hati ini memanas melihat mereka."Katanya mau ambil makanan di atas bupet itu, Sayang, dia berusaha berdiri terus jatoh," jawab Daniel dengan tenang, aku menelisik wajahnya memang tak nampak raut kebohongan.Mataku bergulir menatap Sonia ia nampak biasa saja tanpa menunjukkan rasa bersalah, apa mungkin aku saja yang terlalu berlebihan karena takut kejadian masa lampau aka terulang kembali?.Oh Tuhan, tolong yakinkan hati ini jika pernikahan kami akan baik-baik saja, kuharap rumah tangga kami takkan diuji oleh hadirnya orang ketiga, karena aku takkan sanggup bersabar ataupun bertahan.
Entah mengapa aku merasa risih dengan tingkahnya, ia tersenyum begitu hangatnya kepada Daniel, seolah bayang masa lalu kembali merasuk memoriku.Sonia tertunduk sekejap lalu kembali memamerkan senyumannya.Aku menyinduk nasi ke dalam piring beserta lauk pauknya. "Habisin ya," ujarku pada Daniel."Terima kasih istriku." Tanpa rasa malu ia ucapkan itu di hadapan seluruh keluargaku.Lagi-lagi pandanganku tertuju pada Sonia, ia mencebik kala Daniel berkata mesra kepadaku. Namun, dalam sekejap ia mampu menyembunyikan itu dari hadapan kami semua."Sarah, Daniel, kapan kalian bulan madu?" tanya Kak Shanaz.Beberapa detik kemudian Sonia nampak tersedak, tangannya dengan cepat meraih satu gelas air minum."Lho itu 'kan air minum suamiku," sanggahku tak terima karena ia mengambil gelas air minum yang tinggal setengah itu."Oh maaf-maaf, Kak, aku ga lihat dulu," jawabnya masih terbatuk.Seketika rasa kesal menyeruak ke dalam dada. Namun, tangan Daniel menggenggam erat jemariku memberikan sedikit
"Sayang kamu ok, 'kan?" tanya Daniel khawatir.Aku menganggukan kepala seraya tersenyum, senyum palsu tentunya, karena dalam hati merasa merana, ingin sekali menghajar perempuan itu habis-habisan."Nanti kita temui ya, Sayang, apa maunya dia kita tanya, kaya ga ada cowo lain aja masih tergila-gila sama aku." Ia mengempaskan dirinya ke atas pembaringan.Kemudian menarik tanganku hingga ke pelukannya. "Sabar ya, Sayang, ini ujian pernikahan kita, di depan sana masih ada ujian-ujian lainnya yang menanti, kita harus kuat, ok." Ia membisikkan itu ke telinga.Mendengarnya hati yang sebelumnya memanas kini berubah menjadi sejuk, betul apa katanya setiap biduk rumah tangga takkan lepas dari ujian, tinggal bagaimana kita menghadapinya apakah akan bersabar ataukah sebaliknya."Semoga kita di berikan kekuatan ya, untuk menjalani semuanya," jawabku seraya mengelus pipinya.Ia meraih tanganku lalu mengecupnya, lepas itu ia tersenyum sambil memandang wajahku mesra."Aku mau kamu jadi istriku seutuh
Sarapan telah usai, aku sibuk merapikan barang-barang karena hendak pulang ke rumah, rasanya segan untuk menginap lama-lama, aku takut jika Carla sedang menanti kedatanganku di rumah sana."Jadi kita mau pulang sekarang?" Daniel seolah masih ingin berlama-lama di tempat ini."Iya, Sayang, kita pulang dulu setelah itu kamu bebas mengajak aku ke manapun." Ia membawa tubuh ini ke dalam dekapannya."Serius?" "Duarius, kita temui Carla dulu ya, takut dia lagi nungguin." Dalam hati aku tak ingin terlena sendiri dalam merasakan kebahagiaan ini, karena di sana ada seorang putri yang menanti kasih sayang kami.Jika aku bahagia maka putri kecilku harus merasa bahagia, jangan sampai ia merasa terabaikan karena kami terlalu sibuk memadu kasih.Beberapa menit kemudian mobil milik Daniel melaju membelah jalanan, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemariku, sedangakan sebelah tangannya di gunakan untuk menyetir."Horee Mama dan Papa sudah pulang," teriak bocah kecil itu dengan girangnya, lalu s