Sudah kuputuskan hari ini akan ke kantor, aku akan tunggu Bang Surya disana. bergegas aku menelpon Shanaz_kakakku-- yang kebetulan belum memiliki buah hati.
"Assalamualaikum, Dek," ucap Kak Shanaz di sebrang sana.
"Waalaikumsalam, Kak. Hari ini aku mau ke kantor, tolong kakak jemput Carla ya di sekolahnya," pintaku
"Bukannya urusan kantor sudah kamu serahkan sama Surya ya?"
memang betul semenjak lahirnya Carla aku menyerahkan perusahaan yang aku bangun itu pada suamiku, tapi sekarang aku ragu.
"Emmm ... iya tapi ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan di kantor, Kak," jawabku gugup. Untuk saat ini aku akan merahasiakan ini dahulu pada keluargaku.
"Oh, yasudah. Nanti kakak jemput Carla di sekolahnya kalau gitu." hatiku lega mendengar kakakku mau membantu.
Sekarang aku tengah siap-siap memakai pakaian kantoran, entah kapan terakhir kali aku memakai pakaian ini. Semenjak Perusahaan di pegang oleh Bang Surya sepenuhnya aku menjadi Ibu Rumah Tangga, mengurus anak dan suami.
penampilanku telah sempurna, gegas aku menuju mobil ... hampir satu jam aku pun tiba di kantor karena jalanan lumayan padat, semua karyawan tersenyum dan menganggukan kepala sebagai tanda hormat padaku, ada juga beberapa karyawan yang menyapaku, tetapi ada juga yang acuh, mungkin itu karyawan baru, ia belum mengetahui siapa aku sebenarnya.
Tiba di ruangan aku tersenyum untuk menutupi rasa sesakku.
"Bu, ini laporan yang ibu minta!" ucap seorang karyawan yang memegang bagian keuangan, aku lupa siapa namanya, kuanggukan kepala ia pun bergegas keluar dari ruanganku.
Netraku terus bergulir membaca isi laporan sedetail mungkin, memang tak ada pengeluaran dana yang mencurigakan, kuamati dengan seksama gajih Sonia pun masih wajar, masih sama seperti layaknya seorang sekretaris, ada kelegaan dalam hati sepertinya Bang Surya memang tak memanfaatkan uang perusahaan untuk kepentingan pribadinya.
Cekrekk!
Pintu ruanganku terbuka, rupanya Zylan yang bertandang ke ruanganku.
"hay, Rah." Ia menghampiri sambil tersenyum ke arahku, kemudian duduk saling berhadapan denganku.
"ya, Zy. Aku mau tanya tolong jawab jujur, apakah Bang Surya sering bolos dari pekerjaannya?" tanyaku dengan serius.
Nampak Zylan menghela nafas pelan. "Sebenarnya udah hampir dua bulan Surya suka bolos, dan anehnya jika Surya tak masuk kantor maka Sonia juga ga masuk. Gimana kita semua ga curiga. Dan kalau habis istirahat kadang menjelang sore lho mereka kembalinya."
kutelan saliva mendengar penuturan Zylan. Tega kalian, Mas!
"Terus selama di kantor mereka seakrab apa?" tanyaku dengan serak. Air mataku terus meronta ingin mengalir dengan derasnya."aku ga tega sebenarnya menceritakan ini, Rah. tapi ... ya, mungkin kamu harus tau hubungan mereka sangat dekat, bahkan Sonia bisa berjam-jam ada di ruangan Surya, OB kita Mbak Runi pernah lho mergokin Sonia lagi duduk di pangkuan Surya bermesraan, Rah," ungkap Zylan setengah ragu.Kuanggukkan kepala, fix, mereka memang menjalin hubungan gelap di belakangku. Hening, antara aku atau pun Zylan tak ada yang bersuara. Jika kufikir memang rasanya ini tidak mungkin, mengingat semua perlakuan Bang Surya yang sangat baik padaku atau pun Carla.
Mereka memang pintar bersandiwara. Tetapi mereka tidak tahu bahwa aku pun lebih pintar bersandiwara daripada mereka. Silahkan saja kalian saat ini bersenang-senang diatas rasa sakitku. Akan ada masanya kalian merasakan penyesalan hingga ke ubun-ubun.
"Zy, aku percaya kamu, tolong bantu aku untuk terus memantau mereka ya, karena aku ga akan tiap hari juga datang ke kantor, dan tolong kasih tau, euuh siapa tuh ... Karina yang bagian keuangan untuk melapor jika Surya meminta sejumlah uang yang tidak wajar." Zylan menganggukan kepala pertanda ia mengerti."Ok, siap. Aku akan mendukungmu, Rah," jawabnya seraya menggenggam kedua tanganku.
*Waktu telah menunjukkan pukul setengah lima sore. Namun, tak ada tanda-tanda jika Bang Surya akan kembali ke kantor, tak masalah akan aku tunggu sampai selepas maghrib.
Adzan Maghrib berkumandang tapi sialnya mereka tak kunjung datang. Baiklah kali ini kalian selamat, aku tunggu kalian berdua di rumah ...
Jalanan sangat macet, terpaksa aku menunaikan shalat maghrib di masjid pinggir jalan.
Pukul setengah delapan malam aku tengah sampai di rumah. Namun, tak ada tanda-tanda mereka telah pulang, mobil Bang Surya tak nampak di halaman atau pun di garasi. Ya Allah, ada dimana mereka saat ini?Aku berjalan menuju rumah dengan gontai, kakiku seraya kehilangan kekuatan untuk berpijak.
"Mamaa! ..." Carla berlari menghampiriku. Aku pun bersimpuh kemudian memeluk bocah berumur 6 tahun itu.
"Kok pulangnya telat, Rah? emang ada masalah apa sih?" Kak Shanaz menatap penuh selidik, mungkin ia curiga. Tapi aku harus tetap tenang belum saatnya ia mengetahui kebusukan adik bungsu kami itu.
"Ada masalah keuangan," jawabku datar, ia hanya mangut-mangut merespon jawabanku.
"Ya sudah, tuh kakak ipar kamu udah jemput, kakak pulang dulu ya," ucapnya seraya menepuk bahuku kemudian beranjak.
"Thanks, Kak!" ia pun mengacungkan sebelah ibu jarinya.
*Kutunggu mereka di ruang keluarga, mataku memang menatap layar televisi tapi fikiranku melayang-layang memikirkan nasib pernikahan ini. Kulirik Carla telah tertidur karena terlalu asyik menonton acara kesukaannya, gegas aku menggendong kemudian membawanya ke kamar untuk menidurkannya.
Terus ku tunggu mereka, berkali-kali aku menelpon Bang Surya dan Sonia namun sepertinya ponsel keduanya telah mati. Sampai pukul sepuluh malam barulah terdengar deru mesin mobil Bang Surya memasuki garasi.
Selarut ini mereka baru pulang, sengaja aku mematikan lampu juga televisi sehingga ruangan menjadi gelap. Terdengar keduanya membuka pintu secara perlahan dan melangkah mengendap-ngendap bak seorang maling, kemudian.
Cetrekk!
Lampu kunyalakan sehingga ruangan kembali terang benderang, kupandang satu per satu raut wajah menjijikan itu, mereka terlihat kikuk dan tertawa cengengesan.
"Jam berapa ini? kenapa kalian baru pulang jam segini?"
Mereka nampak saling memandang.
"Kita abis meeting ketemu client," jawab Bang Surya dengan mantap plus dengan expresi wajah seolah-olah ia telah kelelahan. Mungkin memang betul mereka sedang kelelahan, tapi kelelahan bercinta tepatnya.
"Aku masuk kamar duluan ya, Kak," pinta Sonia seraya beranjak dari hadapanku.
Bagus sekali aktingnya, netraku terus menatap tubuhnya yang mulai menjauh, nampak ia salah tingkah karena merasa ada sepasang mata yang sedang memperhatikannya, kemudian ia berlari kecil menuju kamarnya.
Buukk!
Dengan keras Sonia membanting pintu.
Netraku bergulir menatap wajah Bang Surya, ia tersenyum kecut dengan terpaksa. karena muak, kutinggalkan ia yang masih berdiri mematung menatapku yang sedang menaiki anak tangga.
Biasanya ketika ia pulang kerja larut malam, aku selalu setia menunggunya, menyambut dengan senyuman sehangat mungkin, kemudian membuatkan teh untuk menghangatkan perutnya, tapi rupanya saat ini itu hanyalah sebuah kenangan.
Ingin sekali aku memakinya mengatakan jika seharian ini aku telah menunggunya di kantor. Tapi ini belum saatnya, terlalu dini, aku akan tunggu hingga gelora asmara diantara mereka benar-benar memuncak, saat itulah aku akan membongkar kebusukkan mereka.
"Dek, kok abang ditinggalin gitu aja dibawah," sapa Bang Surya seraya memeluk pinggangku dari belakang.
Karena rasa jijik tak kuhiraukan sentuhannya itu, aku tetap dalam posisi tidur membelakanginya, merasa jengah karena diacuhkan, ia pun diam dan menumpukan tangannya diatas pinggangku.
*Pagi berkunjung, kami semua tengah sarapan bersama.
"Sonia, ada yang mau kakak bicarakan," ucapku datar.
"Bicara apa?"
Ia bertanya sembari memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Sesantai itu rupanya kamu!
"Begini Sonia, mohon maaf sebelumnya. Mulai saat ini kamu lebih baik pulang ke kampung tinggal bersama ibu dan bapak, bukannya kakak keberatan kamu tinggal disini tapi secara agama kamu tidak di perbolehkan tinggal satu atap bersama kami, kenapa? karena ada Bang Surya, dia bukan mahrom kamu, kamu sudah terlalu lama tinggal disini, itu ga baik," ucapku panjang lebar.
Nampak ia tercengang mendengar penuturanku, kemudian netranya bergulir mentap Bang surya, dan akhirnya mereka saling menatap di hadapanku.
"Aku ga mau, Kak, kalau tinggal di kampung. mau kerja apa disana? ngurus sapi-sapinya Kang Satya gitu?" Ia merajuk
Satya adalah Kakak tertua kami, di kampung ia telah sukses menjadi seoarang peternak sapi. Jelas saja ia tak mau tinggal di kampung bukan karena tak ingin mengurus sapi tapi, karena tak ingin berjauhan dengan kekasih gelapnya itu tentunya.
"iya, Dek. kalau begitu biarkan Sonia mengontrak rumah saja, yang penting tidak tinggal di rumah ini kan?" Bang Surya membela.
Kuhembuskan nafas, sesak rasanya dada ini menyaksikan Bang Surya mempertahankan Sonia agar selalu berada di dekatnya.
"Tinggal mengontrak sendirian juga lebih berbahaya, Bang. Sonia ini masih gadis aku khawatir, lebih baik tinggal di kampung saja bersama ibu dan bapak, kasihan mereka kesepian. Sonia tolong mengerti kakak ya," balasku membujuk.
Ia diam sembari mengunyah pelan makanannya. Mungkin ini salah satu usahaku untuk memisahkan mereka, bagaimana pun juga aku tak ingin kebagian dosa karena perzinahan mereka. Dan aku ingin menilai seberapa jauh hubungan diantara mereka jika telah terpisahkan oleh jarak.
"Soni ... kok malah diem, kamu setuju 'kan?" tanyaku seraya menatap wajahnya yang pucat.
Ia nampak berfikir, menimbang-nimbang."A-aku udah betah disini, Kak," lirihnya sambil menundukan wajah.Bersambung."Sonia ... ini demi kebaikan bersama."Aku kembali membujuknya selembut mungkin."Kalau kakak ngerasa aku menjadi beban disini bilang saja, Kak. tak usah banyak berkilah," ucapnya seraya berdiri dan menatap tajam padaku.Sepertinya ia marah, kucoba mengontrol rasa agar terlihat setenang mungkin. Aku tak boleh terlihat emosi."Bukan begitu, Sonia ....""Sudahlah, aku berangkat dulu, aku fikir-fikir dulu!" selanya memotong ucapanku kemudian ia beranjak keluar rumah dan duduk di bangku teras, mungkin sedang menunggu Bang Surya."Tuh 'kan, Dek. Sonia jadi marah," sahut Bang Surya dengan tatapan tak suka."Emang kenapa kalau Sonia marah, kok kamu kaya gelisah gitu sih? aneh kamu, Bang!" jawabku seraya mendelikan mata, nampak ia belingsatan tetapi berusaha setenang mungkin di hadapanku."Ya sudah Abang berangkat sekarang," balasnya seraya beranjak.Nampak raut wajah gelisah, ia berjalan setengah berlari, ak
Mereka gelagapan, karena kesal aku kembali menggebrak meja, mereka tersentak kaget."Ga ngapa-ngapain, Dek. Barusan Abang mau ambil minum, eh ada Sonia duduk disini. Abang cuma nanya aja kenapa tadi dia pulang larut," jawabnya santai, sedangkan Sonia ia tampak acuh. Ingin aku membicarakan soal kepulangannya ke kampung. Namun, sebelum membuka mulut ia sudah dahulu melenggang meninggalkan kami berdua tanpa kata. Benar-benar tak punya sopan santun Tak mengapa akan aku tanyakan esok pagi. Setelah mengisi air kedalam gelas berukuran besar, kembali aku melangkah menuju kamar, Bang Surya mengekor di belakang seraya menggaruk-garuk kepalanya. Tiba di pembaringan, aku kembali tidur membelakangi Bang Surya, menarik selimut hingga menutupi leher, sakit, sedih, kecewa juga marah bercampur jadi satu, tak terasa air mataku meleleh, karena mendengar suara sesenggukan, Bang Surya menyapaku, "Dek, kamu nangis? kenapa?" Ia bertanya seraya mengguncangkan pelan bahuku. Aku diam, malas rasanya untuk
Tanpa berfikir aku menelpon Bang Surya ... tak diangkat, lalu aku menelpon Sonia, namun tidak aktif rupanya aku kecolongan lagikemana mereka?*Aku terus menelpon Bang Surya berkali-kali ... diangkat."Halo, Bang kamu dimana?" ucapku diiringi dengan degupan jantung yang tak menentu."Di-di jalan ... sudah ya Abang lagi nyetir," jawabnya kemudian panggilan terputus.Geram, kulemparkan ponsel ke sofa lalu memijat-mijat kening sambil mondar-mandir."Mama kenapa?" Carla bertanya menghampiri."Mama ga papah," jawabku seraya bersimpuh mengimbanginya. Ia pasti resah melihat tingkahku barusan.Aku masuk kamar melangkah dengan lunglai, kupandang photo pernikahanku dan Bang Surya, aku tersenyum begitupun dengannya, siapa yang menyangka jika kebahagiaan kami akan sirna oleh orang ketiga, dan yang lebih membuatku teriris adikku lah orang ketiga itu.Adzan Ashar berkumandang gegas aku mengambil air wudhu, langkahku terhenti karena mendengar deru mobil Bang Surya, aku melangkah cepat menghampiriny
Suasana alun-alun kota nampak ramai, banyak pedagang kaki lima berjejer rapi dengan aneka ragam jajanan yang menggiurkan. Tak lupa aku pun mengabadikan kebersamaan kami dalam bentuk vidio singkat dan photo, lalu kuunggah semuanya ke story Whatsapp, dan lima menit kemudian terlihat Sonia melihat semua photo dan vidio kemesraan kami bertiga, hihi ia pasti tengah terbakar api cemburu, semoga saja di rumah tak terjadi kebakaran.Derrrrrt! Derrrrrt! Ponsel Bang Surya terus berdering, itu pasti panggilan dari Sonia tapi, bukan Sarah namanya kalau tidak membalas kecurangan dengan licik, kurampas paksa ponsel Bang Surya lalu merijek panggilan Sonia dan mematikan ponselnya."E-eh kenapa diambil, Dek?itu telpon dari siapa?" Ia terlihat khawatir."Dari nomor ga dikenal, paling orang iseng. Udahlah kita lagi bersama jadi nikmati kebersamaan ini tanpa ada gangguan dari orang lain," jawabku tegas, terlihat ia menghela nafas. Ada raut gelisah dari wajahnya.Ketika menghadapi pelakor tak harus selal
"Bang!" Ia terperanjat mendengar gertakanku. "Eem i-iya, tadi dia lari sambil nangis ga tau kenapa makanya abang cekal tangannya, maksud Abang mau tanya dia kenapa nangis gitu lho," jawabnya sedikit gelagapan. Pecundang banget kamu, Bang. Berani berselingkuh di belakangku tapi tak berani untuk mengakuinya, apa mungkin ia belum siap hidup miskin kembali? jika tanpa aku Bang Surya masih jadi karyawan biasa seperti tempo hari, dia hanya beruntung saja menikah denganku bisa berubah jadi bos secara tiba-tiba. Bukan hanya hidupnya saja yang enak tapi kehidupan keluarganya pun terjamin karena uangku. "Sonia, kamu 'kan lagi beres-beres kok ditinggalin gitu aja sih kerjaannya," ucapku dengan ketus. Sonia tak menanggapi ia berlari menuju kamarnya dengan derai air mata. Dibantingnya pintu kamar dengan keras, Bang Surya nampak kebingungan, mungkin kalau aku tak ada disini ia pasti sudah membujuk dan merayu kekasih gelapnya itu dengan mesra. "Lihat, Dek, Sonia marah gara-gara kamu suruh ber
Sampai di pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta, aku memiliih-milih pakaian yang indah nan mahal walau sebenarnya aku tak sedang membutuhkannya. Bang Surya disibukkan oleh Carla sementara Sonia ia bagaikan patung berjalan mengikuti langkahku kemanapun aku menuju. "Kak aku pegel," ungkap Sonia kesal, wajahnya merenggut tanda tak nyaman. "Satu toko lagi, sabar," jawabku sambil melenggang, terpaksa ia pun mengikuti. Tanganku terus menggandeng Bang Surya, sementara Carla berdiri beriringan tak jauh dengan kami. Dan Sonia berjalan di belakang mengekor, kudengar beberapa kali dia mendengus kesal tapi tak kuhiraukan. Sebisa mungkin aku berpura-pura romantis di hadapan Sonia, pasti dia terbakar api cemburu, untung ga jadi abu tuh hati. Memasuki toko pakaian netra Sonia tertuju pada sebuah lingerie merah, ia pasti menginginkan lingerie itu, tak mau kalah lekas aku meraih lingerie merah itu lalu mencocokannya ke tubuhku. "Bagus ga, Bang?" Bang Surya mengukir senyum secara paksa, "Bagus
Bab 8Kuputuskan untuk mengajak Carla ke kamarnya, tak mengapa untuk saat ini kalian berdua selamat, di lain waktu aku berjanji akan memergoki mereka jika perlu di hadapan seluruh keluarga besar kami, agar semua anggota keluarga tau dan secara terang-terangan membenci mereka. Kutuntun Carla melalui pembaringan lalu mendekapnya dengan erat.Air mata meleleh kembali mengingat apa yang barusan mereka lakukan, beraninya mereka berlaku semesra itu di rumahku. Selama ini aku berusaha menjadi istri yang baik dimatanya, bahkan aku serahkan perusahaan pada Bang Surya untuk menjunjung harga dirinya sebagai kepala tumah tangga.Dari segi fisik aku tak kalah menarik dari Sonia hanya saja tubuhku tinggi kurus tak seperti Sonia yang sedikit berisi, aku hanya unggul dari warna kulit saja, kulitku putih seperti ayah. Sedangkan Sonia kulitnya sawo matang seperti ibu, usiaku dan Sonia terpaut empat tahun.Carla telah terlelap dan suara petir tak lagi terdengar, perlahan aku menidurkan kepalanya ke ban
Entah drama apalagi yang dimainkan mereka, seakan tak ada habis-habisnya. Sonia gadis yang manis ia bisa mendapatkan lelaki yang pantas dan lebih baik ketimbang Bang Surya, ia juga berpendidikan tinggi dan cukup cerdas entah apa yang ada dalam fikirannya sehingga tertarik pada Bang Surya, ia memang lelaki yang gagah dan berwibawa tapi tampilannya tak akan sekeren itu jika tak memakai uangku.Cetrekk!Pintu kamarku terbuka nampaknya Bang Surya memasuki kamar kemudian membaringkan tubuhnya di sampingku. Merasa jijik tubuhku sedikit bergeser menghindar.Hening, netranya menatap langit, aku muak ada didekatnya saat ini kemudian beranjak ke toilet yang ada didalam kamar. Setelah kembali aku lihat Bang Surya mengangkat kasur, dia pasti mencari buku tabungan dan ATM itu."Nyari apa?" tanyaku datar, ia gelagapan."Mbok Minah beres-beres di kamar kita ya?" jawabnya, ia menggaruk kepala seraya celingukan."Enggak," jawabku acuh. Khusus kamar ini memang aku sendiri yang selalu membersihkan."It
Aku dan Daniel berpandangan lalu tersenyum haru."Benarkah, Dok, kalau istri saya hamil?" Daniel takjub tak percaya."Benar, Pak, tuh kantung janinnya sudah kelihatan, usianya baru lima minggu," ucap Dokter Ratih.Aku dan Daniel mengucap hamdalah sebagai bentuk rasa syukur, setelah enam bulan menanti akhirnya janin itu hadir di rahimku, membawa kebahagiaan baru.Apalagi Carla, sudah sejak lama ia merindukan seorang adik,tak kubayangkan bagaimana reaksinya jika ia mengetahui jika adik kecil yang didambakan akan hadir dalam waktu beberapa bulan ke depan.*"Sayang, terima kasih ya, sudah menghadirkan malaikat kecil untukku," ucapnya bahagia, kali ini aku sedang di dalam mobil menuju perjalanan pulang."Iya, sama-sama Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya Allah mengabulkan doa kita.""Iya, Sayang, oh ya kita ke rumah kamu dulu yuk, keluarga besar kamu harus tahu tentang kabar gembira ini," ucap Daniel antusias.Mobil pun berbelok menuju rumahku yang sekarang di tempati oleh keluarga besarku.T
Enam bulan berlalu, mahligai rumah tanggaku berjalan sempurna, kami bahagia walau belum kunjung memiliki buah hati.Ada Carla yang selalu menemani rasa sepi di relung hati suamiku, ia amat menyayangi anak tirinya bagaikan anak kandung, putriku juga merasa nyaman seolah Daniel adalah ayah kandungnya."Aku mau berangkat ya, Sayang, kamu ke kantor ga?" tanya Daniel duduk di tepi ranjang sedangkan aku masih terbaring di atas pembaringan karena sakit kepala yang berdenyut."Engga kayanya, aku pusing banget ini.""Ya sudah istirahat di rumah saja ya, 'kan di kantor ada Shanaz masa udah enam bulan belum faham juga."Ia begitu pengertian padaku, walau terkadang seluruh waktuku di habiskan di kantor menemani Kak Shanaz dan membimbingnya memimpin perusahaan.Semenjak perceraiannya dengan Kak Hadi, entah mengapa ia selalu menutup diri terhadap laki-laki, padahal di luar sana masih banyak yang mengantri meminangnya termasuk Izwan--pria yang pernah melabuhkan cintanya padaku--"Pusing kenapa emang
"Kok aku sih, menyentuhmu saja aku tak pernah, sudah jelas-jelas Joe yang sudah menyentuhmu, walaupun satu kali ya bisa saja langsung jadi, jangan ngaco kamu ya, sekarang cepat pergi dari sini." Nampaknya suamiku mulai meradang, jangankan Daniel akupun sama jengahnya menyaksikan sikap Safira yang tak bijak."Ayo kita pulang." Joe menarik paksa tangan Safira, beberapa kali wanita itu meronta, tapi tetap tak dihiraukannya.Setelah kepergian mereka Daniel nampak bernapas lega, ia menatapku dengan tersenyum."Terbukti 'kan, Sayang, kalau aku ini buka ayah dari bayi yang dikandung Safira," ungkapnya meyakinkanku."Iya aku percaya, tapi kok kamu bisa kenal Joe." pertanyaan ini yang begitu mengganjal sejak tadi.Ia terkikik. "Joe itu temenku, Sayang," jawabnya dengan santai."Jadii ... waktu itu Safira selingkuh sama temen kamu," jawabku lalu terkekeh, karena merasa lucu sekaligus kasihan.Ia nampak menghela napas pelan. "Ya gitu, coba kamu bayangkan Safira yang waktu itu masih kekasihku be
"Terus apa hubungannya dengan suamiku?" dengan mulut bergetar aku menanyakan hal itu."Ini anaknya Daniel, dia harus tanggung jawab," jawab Safira dengan isak tangis.Entah itu tangis sungguhan atau hanya kepura-puraan."Enak aja, aku tuh ga pernah menyentuhmu, jangan ngaku-ngaku ya," sanggah Daniel tak menerima.Aku diam membisu merasakan hati yang sakit bagai di tusuk pisau belati, mereka saling bersitegang saling mempertahankan argumennya."Tapi malam itu, apa kamu sudah lupa, Daniel," ucap Safira, yang membuat hatiku semakin sakit."Malam itu aku ga ingat apapun, Safira, mana mungkin bisa men**aulimu." Daniel masih bersikeras enggan mengakui benih yang tumbuh di rahim Safira.Sesak rasanya dada ini, baru saja kemarin kami berbahagia lalu sekarang, kebahagiaan itu harus terkoyak oleh seseorang yang pernah mengisi masa lalunya."Sayang, percaya sama aku, anak ini bukan benihku." Daniel menyentuh pergelangan tanganku, dan mencoba meraihnya. Namun, secepat kilat kutepis.Aku tak tahu
"Gini saja, pokoknya untuk sementara kalian di sini sampe Sonia sembuh, gimana? lagian aku sih ga masalah kalau tinggal di sini, justru bagus rumah ini ada yang nempatin.""Iya, Rah, Kakak setuju usul kamu kita di rumah ini sampe Sonia sembuh, oh ya soal tawaran kerja di kantor kamu Kakak menyanggupi," ujar Kak Shanaz yang membuatku merasa lega.Akhirnya perusahaanku berada di tangan yang tepat."Alhamdulillah, terima kasih ya, Kak, sudah mau bantu jangan khawatir nanti sesekali aku akan ke kantor kok bantu kakak," jawabku."Iya, pokoknya kita kelola usaha kamu bareng-bareng."Keputusan telah di tetapkan, dan semua barang telah terkemas rapi, Daniel dan Bapak membantu menaikkan barang-barangku ke dalam bagasi, setelah kami berpamitan akhirnya mobil Daniel membawaku dan Carla menuju rumahnya."Hati-hati ya, Kak," ucap Sonia dengan raut wajah kecewa.Entahlah apakah prasangka buruk ini benar atau salah, jika Sonia merasa kecewa karena berjauhan dengan suamiku, semoga saja ini hanya seke
"Sayang, Mas bantuin Sonia tadi jatoh dari kursi roda," ujar Daniel meyakinkan.Aku mengucapkan istighfar dalam hati, mata ini terpejam beberapa saat, lalu mencerna setiap prasangka buruk ini, tak seharusnya aku bersikap berlebihan."Sayang." Sapaan Daniel membuyarkan lamunan."I-iya, emang Sonia kenapa? kok bisa jatuh?" entahlah, logikaku sulit mencerna alasannya.Mengapa bisa jatuh? tak dapat dipungkiri hati ini memanas melihat mereka."Katanya mau ambil makanan di atas bupet itu, Sayang, dia berusaha berdiri terus jatoh," jawab Daniel dengan tenang, aku menelisik wajahnya memang tak nampak raut kebohongan.Mataku bergulir menatap Sonia ia nampak biasa saja tanpa menunjukkan rasa bersalah, apa mungkin aku saja yang terlalu berlebihan karena takut kejadian masa lampau aka terulang kembali?.Oh Tuhan, tolong yakinkan hati ini jika pernikahan kami akan baik-baik saja, kuharap rumah tangga kami takkan diuji oleh hadirnya orang ketiga, karena aku takkan sanggup bersabar ataupun bertahan.
Entah mengapa aku merasa risih dengan tingkahnya, ia tersenyum begitu hangatnya kepada Daniel, seolah bayang masa lalu kembali merasuk memoriku.Sonia tertunduk sekejap lalu kembali memamerkan senyumannya.Aku menyinduk nasi ke dalam piring beserta lauk pauknya. "Habisin ya," ujarku pada Daniel."Terima kasih istriku." Tanpa rasa malu ia ucapkan itu di hadapan seluruh keluargaku.Lagi-lagi pandanganku tertuju pada Sonia, ia mencebik kala Daniel berkata mesra kepadaku. Namun, dalam sekejap ia mampu menyembunyikan itu dari hadapan kami semua."Sarah, Daniel, kapan kalian bulan madu?" tanya Kak Shanaz.Beberapa detik kemudian Sonia nampak tersedak, tangannya dengan cepat meraih satu gelas air minum."Lho itu 'kan air minum suamiku," sanggahku tak terima karena ia mengambil gelas air minum yang tinggal setengah itu."Oh maaf-maaf, Kak, aku ga lihat dulu," jawabnya masih terbatuk.Seketika rasa kesal menyeruak ke dalam dada. Namun, tangan Daniel menggenggam erat jemariku memberikan sedikit
"Sayang kamu ok, 'kan?" tanya Daniel khawatir.Aku menganggukan kepala seraya tersenyum, senyum palsu tentunya, karena dalam hati merasa merana, ingin sekali menghajar perempuan itu habis-habisan."Nanti kita temui ya, Sayang, apa maunya dia kita tanya, kaya ga ada cowo lain aja masih tergila-gila sama aku." Ia mengempaskan dirinya ke atas pembaringan.Kemudian menarik tanganku hingga ke pelukannya. "Sabar ya, Sayang, ini ujian pernikahan kita, di depan sana masih ada ujian-ujian lainnya yang menanti, kita harus kuat, ok." Ia membisikkan itu ke telinga.Mendengarnya hati yang sebelumnya memanas kini berubah menjadi sejuk, betul apa katanya setiap biduk rumah tangga takkan lepas dari ujian, tinggal bagaimana kita menghadapinya apakah akan bersabar ataukah sebaliknya."Semoga kita di berikan kekuatan ya, untuk menjalani semuanya," jawabku seraya mengelus pipinya.Ia meraih tanganku lalu mengecupnya, lepas itu ia tersenyum sambil memandang wajahku mesra."Aku mau kamu jadi istriku seutuh
Sarapan telah usai, aku sibuk merapikan barang-barang karena hendak pulang ke rumah, rasanya segan untuk menginap lama-lama, aku takut jika Carla sedang menanti kedatanganku di rumah sana."Jadi kita mau pulang sekarang?" Daniel seolah masih ingin berlama-lama di tempat ini."Iya, Sayang, kita pulang dulu setelah itu kamu bebas mengajak aku ke manapun." Ia membawa tubuh ini ke dalam dekapannya."Serius?" "Duarius, kita temui Carla dulu ya, takut dia lagi nungguin." Dalam hati aku tak ingin terlena sendiri dalam merasakan kebahagiaan ini, karena di sana ada seorang putri yang menanti kasih sayang kami.Jika aku bahagia maka putri kecilku harus merasa bahagia, jangan sampai ia merasa terabaikan karena kami terlalu sibuk memadu kasih.Beberapa menit kemudian mobil milik Daniel melaju membelah jalanan, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemariku, sedangakan sebelah tangannya di gunakan untuk menyetir."Horee Mama dan Papa sudah pulang," teriak bocah kecil itu dengan girangnya, lalu s