"Aku sponge cake, Mbak 2 yang bentuknya cinta, ya," pinta seorang remaja laki-laki pada wanita yang berdiri di belakang meja kasir.
Nasha, si pemilik bakery yang hari ini turun tangan menjaga kasir langsung mencatat pesanan pelanggannya dalam sebuah tablet.
"Spesial buat kamu cintanya saya kasih bertumpuk-tumpuk," balas Nasha dengan senyum manisnya lalu menyerahkan sekotak roti pada pengunjung setianya itu.
Remaja laki-laki yang hampir setiap hari mampir untuk membeli sponge cake itu menerimanya dengan senang hati lalu memberikan sejumlah uang untuk membayar kue pesanannya.
Sudah 2 tahun ini Nasha fokus mengelola bakery miliknya. Dia yang semula bekerja di sebuah agen properti memilih untuk resign dan membuat usaha sendiri. Ya, meskipun tidak mudah. 2 tahun Nasha membangun bakerynya dan baru setahun ini pelanggannya meningkat pesat.
"Saya cheesecake satu."
Senyum Nasha langsung berganti dengan wajah ketusnya. Dengan pongah Nasha menyebutkan harga yang harus dibayar oleh pria tadi.
Pria tadi adalah Satria Bimantara. Teman Nasha Aqila. Well, teman dalam segala bidang maksudnya.
Teman SMA, teman kuliah, teman curhat, teman kondangan bahkan teman serumah alias housemate. Roommate? Bisa iya bisa juga tidak. Nasha sendiri tidak yakin.
Hanya yang dia tahu Satria adalah teman yang sangat bisa diandalkan dalam berbagai situasi dan kondisi.
Ya, terkecuali semalam. Hal yang membuat Nasha gondok setengah mati. Satria tidak bisa menemaninya ke acara pernikahan mantan kekasihnya.
God! Ego Nasha rasanya tersentil saat menghadiri pernikahan mantan seorang diri. Mau bagaimana lagi, Satria juga memiliki urusan lain yang tidak bisa ditinggalkan.
"Nas, masih ngambek?" tanya Satria begitu sepotong cheesecake dihidangkan di depannya. Bahkan sekarang pria itu menarik sebuah kursi agar bisa bertahan lebih lama lagi di depan meja kasir.
"Sat, really kamu tanya gitu? Itu mantanku, Satria. Oh my god!"
Dengan kesal Nasha meninggalkan meja kasir dan memberi kode pada salah seorang pegawai untuk menggantikan posisinya. Rambut panjangnya yang semula diikat menjadi satu kini diurai.
Dia sangat ingin menyembur Satria dengan berbagai umpatan, tapi tentunya bukan di depan khalayak umum. Bakerynya baru naik daun. Jangan sampai dia menjatuhkan usaha yang sudah dibangunnya dengan susah payah.
"Saya udah bilang saya gak bisa, Nas. Keisha lulus SMA dan semalam keluarga lagi makan-makan. Saya udah ajak kamu juga kan, tapi kamu gak mau."
Tentu Nasha menolak dan lebih memilih untuk menghadiri pesta pernikahan mantan kekasihnya. Jelas Nasha tidak mau diberi cap gagal move on.
"Ya ampun, Satria. Andai kamu tahu aku sama sekali gak berminat datang kesana. Aku terpaksa datang." Belum sempat Nasha merampungkan kalimatnya Satria sudah menyela lebih dulu.
"Itu pilihan kamu sendiri, Nas. Kamu bisa menolak, tapi kamu tetap datang. Memangnya ada kenangan apa sih sama mantanmu yang itu?"
Langsung saja Nasha terdiam. Apa dia harus jujur bahwa mantan kekasihnya yang kemarin menikah adalah laki-laki pertama yang pernah mencumbunya?
"Mbak Nasha," panggil Jihan, pegawai bakery yang memasuki dapur dengan terburu-buru. "Bantuin di depan dong, Mbak! Rame banget itu."
Mengangguk singkat Nasha langsung mengikuti langkah Jihan dan dengan sigap kembali berdiri di belakang meja kasir. Tanpa sadar Satria kembali mengikutinya dan duduk di kursi yang tadi sempat dipakainya.
Mencoba acuh dengan keberadaan Satria Nasha terus melempar senyum pada pelanggannya. Sampai seorang pria lain yang datang membuat Nasha tertegun. Nasha tidak menyangka pria itu akan datang ke bakerynya.
"Tiramisu 2 dan roll cake pandan 1," ucapnya nyaris tanpa nada. Pun demikian dengan sorot wajahnya yang datar.
Dengan kaku Nasha mengangguk. Tatapan matanya tak luput mengawasi interaksi antara Satria dengan pria yang merupakan kakak tirinya, Agarish.
Bibirnya tersenyum miris. Agarish bisa tersenyum tipis dan mengobrol santai dengan Satria. Sedang dengan dirinya? Agarish hanya akan menampilkan wajah datarnya. Entah kesalahan apa yang pernah Nasha perbuat hingga Agarish selalu acuh padanya.
Padahal kalau diingat-ingat lagi Nasha belum pernah membuat satupun masalah di keluarga barunya. Bagaimana bisa membuat masalah kalau sejak awal pernikahan bunda dengan pak Tanubrata, papa Agarish Nasha jarang sekali berada di kediaman Tanubrata.
Masa SMA-nya dia habiskan dengan tinggal bersama ayah. Lalu setelah ayahnya meninggal Nasha dimasukkan ke asrama sampai dia lulus kuliah, bukannya ikut tinggal di kediaman papa sambungnya.
Setidaknya dalam seminggu hanya 2 kali Nasha mampir ke rumah itu. Ya, Nasha menyebutnya mampir.
Lalu dimana Nasha tinggal? Tentu di tempat kos dengan alasan menghemat biaya transportasi yang sebenarnya juga tidak seberapa. Kemudian saat memiliki bakery yang diberi nama 'Aqila's Bakery' tersebut Nasha memanfaatkan salah satu ruang sebagai tempat tinggal.
"Udah, Bang," ujar Nasha sambil menyerahkan pesanan Agarish. Sesuai dugaan Agarish hanya memandangnya datar lalu pergi usai berpamitan dengan Satria.
Dia hanya berpamitan dengan Satria. Tidak dengan Nasha. Dipandanginya punggung tegap tersebut sampai tidak sadar Satria sudah memanggilnya beberapa kali.
"Gak nyoba buat ngajak ngobrol?" Satria jelas tahu betul sepak terjang kehidupan Nasha.
"Takut, Sat. Dia kelihatan gak tertarik sama kehadiran aku." Suara Nasha lirih terdengar.
Bisa Satria tangkap dengan jelas nada kesedihan disana. Mereka saudara tiri, tapi lebih terlihat seperti 2 orang asing. Satria sendiri kurang paham apa yang membuat Agarish bersikap kelewat acuh terhadap Nasha.
Seolah teringat satu hal Satria langsung menandaskan cakenya dan berpamitan, "Saya ada kerjaan lagi, Nas. Nanti balik lagi."
Tangan Satria bergerak mengusap kepala Nasha pelan. Pria itu nampak terburu-buru.
"Take care, Satria," ucap Nasha dengan senyumnya. Ya, meskipun tadi dia sempat sinis terhadap Satria, tapi Nasha tidak bisa berlama-lama sinis dan ketus pada Satria. Bagaimanapun juga Satria itu seperti penyelematnya.
Penyelamat saat Nasha merasa kesepian, sendirian, maupun dalam segala situasi yang terasa sulit Nasha lewati. Nyatanya Nasha bisa melewati semua itu karena Satria masih setia berdiri disampingnya. Memberinya sebuah lengan untuk berpegangan saat Nasha merasa dunianya akan runtuh.
Senyum Nasha mengembang sempurna kala melihat mobil Satria keluar area parkir bakery. Tidak masalah kakak tirinya seakan tak pernah menganggapnya ada. Yang terpenting dia masih mempunyai Satria.
"Mbak, kenapa gak jadian aja sama mas Satria?" Kemudian pertanyaan itu membuat senyum Nasha berganti dengan raut wajah keheranan.
"Mbak Nasha sama mas Satria kelihatan cocok. Daripada nanti cari calon lain terus ternyata dalam sama luarnya beda. Mending sama mas Satria aja, Mbak. Udah hapal luar dalam."
Ucapan asal dari pegawai bakerynya itu ternyata mampu mengetuk sisi lain dari Nasha. Menikah. Apa dia masih bisa bergantung pada Satria kalau pada akhirnya pria itu akan menikah? Tuhan bahkan belum memberitahunya siapa jodoh Satria kelak. Lalu jika wanita beruntung itu bukan dirinya, Nasha harus berbuat apa?
Jantung Nasha berdesir halus. Sebelah tangannya diletakkan di atas dada sebelah kiri seolah sedang menenangkan debaran jantungnya yang menggila. Sudah hampir 10 menit motor maticnya berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar. Rumah keluarga bundanya, rumah papa sambungnya. Sudah hampir sebulan ini Nasha tak pernah datang dan tadi siang dengan rendah hati papa sambungnya datang ke bakery. Memintanya berkunjung ke kediaman Tanubrata. "Nas, sudah lama disini? Kok gak langsung masuk aja?" Suara itu membuat Nasha terkejut. Matanya mengerjap pelan melihat kakak tirinya yang lain, Januar melangkah menghampirinya dengan penuh wibawa. "Eh, baru sampai, Bang," balas Nasha. Senyum manisnya membuat Nasha terpaku. Senyum yang selalu dia dapat dari Januar, tapi tidak dari Agarish. "Ayo masuk, Nas!" ajak Januar. Dengan langkah ragu Nasha mengikuti Januar. Perasaannya ca
"Wow, gak nyangka pagi gini udah ada cowok ganteng yang lagi masak." Nasha yang baru bangun tidur mendengar bunyi bising dari dapurnya. Saat dihampiri ternyata Satria berada disana. Memanfaaatkan peralatan masak untuk menyiapkan sarapan mereka. "Nasinya udah matang. Ini telurnya dikit lagi matang. Kamu mandi dulu, Nas," ujar Satria masih memainkan spatula. Membalikkan telur ceplok buatannya agar matang dengan merata. Bukannya menuruti apa kata Satria Nasha malah berjalan mendekat. Melihat menu apa yang Satria siapkan. "Gak masalah sih tiap hari makan telur ceplok sama nasi hangat," gumamnya. Nasha acuh pada Satria yang sedikit terganggu dengan kehadirannya. Bukan terganggu sebenarnya, hanya kurang nyaman saja dengan penampilan Nasha yang masih berantakan. Pasti gadis itu belum mencuci muka. Bahkan selimut yang dipakainya meninggalkan jejak di pipi dan dahi. Berantakan. "Masuk, Na
Netra Nasha tak lepas mengawasi pintu masuk bakery. Bukan, dia bukannya mengawasi orang yang mencurigakan. Dia menunggu Satria. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore yang artinya Satria seharusnya sudah datang ke bakery. Biasanya Nasha tidak mempermasalahkan sekalipun Satria datang tengah malam. Masalahnya sekarang adalah hari dimana Satria harus bertemu kembali dengan Ajeng dengan alasan pekerjaan. Nasha mendengus mengingat bagaimana Ajeng dengan terang-terangan mengutarakan ketertarikannya pada Satria. "Mbak, aku kebelet. Tungguin bentar ya," pamit Jihan lalu melenggang pergi. "Donat sekotak, Mbak. Mix aja." Kepala Nasha mengangguk singkat dan langsung membungkus pesanan pelanggannya usai mencatatnya di tablet. " Yang biasanya jaga kemana, Mbak?" Setelah mendapat pesanannya laki-laki tersebut tidak langsung beranjak. Malah menanyakan Jihan. "Masih di kamar mandi sebentar. Kamu ada
Sejak pagi Nasha sudah sibuk di dapur bakery. Bukan hanya Nasha, tapi ada juga Jihan dan mbak Asti. Beliau adalah mantan ART di rumah ayah. Sampai sekarang wanita paruh baya tersebut sering datang ke bakery untuk membantu Nasha membuat kue. "Mana ada bakery jualan jajanan pasar," protes Nasha begitu Jihan memberi saran untuk menyediakan jajanan pasar di bakery. Well, jajanan pasar itu bukan termasuk dalam list makanan yang ada di dalam bakery dan Jihan malah dengan entengnya mengatakan ingin membuat beberapa jenis jajanan pasar. Memangnya dimana sih bisa ditemukan bakery yang menjual jajanan pasar? Jajanan pasar itu mudah ditemui di pasar. "Gak setiap hari, Mbak. Kita kayak bikin menu spesial tiap hari apa gitu. Misal tiap hari Minggu ada jajanan gitu." Ini yang punya bakaey siapa sih? Jihan ngotot sekali ingin membuat menu baru yang mengusung konsep kaki lima. "Donat sama roti kukus masih mend
"Kamu serius, Nas?" tanya Satria, lagi. Begitu Nasha mengungkapkan keinginannya untuk mengambil kursus menjadi barista. "Iya, Sat. Jadi, namanya nanti berubah jadi 'Aqila's Bakery and Coffee' dan aku bakal nambahin meja kursi buat pelanggan. I mean, semacam kafe gitu." Nasha menjelaskan dengan mata berbinar. Membayangkan rupa bakerynya dalam beberapa bulan ke depan kalau dia betulan mengambil kursus barista.'Bugh''Bugh' Lamunan Satria yang ikut membayangkan masa depan bakery milik Nasha langsung buyar begitu suara adonan donat yang dibanting-banting oleh Nasha terdengar. Seperti biasa Nasha bangun pagi untuk menanak nasi di rice cooker dan menyiapkan lauk sederhana untuk sarapan. Telur ceplok dan ayam goreng misalnya. Lalu dilanjut membuat kue yang akan memenuhi etasale depan. Pagi ini Nasha tidak perlu bekerj
"Maaf, saya kira kamu pelayan kafe sini," kata Satria dengan datar. Sontak Nasha melongo. Cara Satria mencegah Bian menciumnya sangat tidak elegan. Apa katanya tadi? Pelayan kafe? Hei, jelas berbeda baju yang dipakai Bian dengan pelayan kafe. Bian memakai kemeja abu-abu, sedangkan pelayan kafe itu memakai kaos berkerah warna abu-abu. Dengan mendengus Bian menjauhkan diri dari Nasha dan duduk dengan tegak di kursinya sendiri. Meskipun misinya menggagalkan ciuman Nasha dan Bian sudah berhasil. Namun, Satria belum mau beranjak. Dia malah mengambil tempat duduk didepan Nasha dan menatap tajam pada gadis itu. Nasha berdehem-dehem singkat begitu menyadari tatapan tajam Satria. 'Bego banget sih, Nas. Bisa-bisanya mau kissing pas ada Satria,' rutuknya dalam hati. "Permisi! Woy, bro, udah lama nunggunya?" tanya seorang laki-laki yang baru saja masuk ke ruangan tersebut. Dengan gaya santain
Nasha mengerucutkan bibirnya. Satria tidak mengajaknya mengobrol sama sekali. Memang apa salahnya, sih bertanya seperti itu?Satria kan juga cowok. Berarti berduaan dengan Satria juga tidak boleh."Satria," panggil Nasha namun, tak digubris Satria sama sekali. "Satria, ih," rengek Nasha karena Satria masih konsisten diam."Mending kamu tidur aja deh, Nas. Nanti kalau sampai dibangunin," jawab Satria tanpa may repot-repot menoleh pada gadis disampingnya. Membuat Nasha gondok.Karena kesal diacuhkan terus Nasha memutuskan untuk tidur saja. Biar saja nanti Satria kerepotan membopongnya ke rumah.Tak lama setelahnya Nasha benar-benar tertidur. Dengan tangan bersedekap dada karena tadi kekesalannya tadi.Melihat Nasha benar-benar tertidur Satria memutuskan untuk menepikan mobilnya dan mengatur sandaran Nasha agar gadis itu bisa tidur dengan nyaman. Sebab tak membawa selimut Satria melepas jaketnya dan meletakkan di atas tubuh Nasha.Tangan
"Itu Nasha?" Papa Satria memicingkan matanya. Kacamatanya belum dipakai. Jadi, beliau tidak terlalu jelas melihat siapa yang tidur di ranjang anaknya."Itu, Pa, ekhem, tadi—""Santai, Son. Jangan panik gitu." Papa berujar santai. Tangannya menepuk singkat bahu anaknya.Satria meringis pelan lalu terdiam untuk beberapa saat di tengah pintu. Mendadak linglung. Bingung apa yang mau dilakukannya. Apa ke-gap menyembunyikan perempuan di dalam kamar bisa berpengaruh pada kewarasan otak?"Sat, ngapain?" Tiba-tiba Nasha berdiri di belakang Satria.Matanya masih menyipit dan sebagian rambutnya ada yang berdiri. Kusut. Dahinya berkerut melihat Satria yang hanya terdiam di tengah pintu."Balik sana, mandi." Dengan tidak berperasaan Satria mendorong bahu Nasha untuk keluar dari kamarnya. Begitu usahanya berhasil Satria kembali masuk ke kamarnya dan menutup pintunya. Oh, tidak lupa menguncinya agar iblis yang menjelma perempuan cantik itu tidak bisa
Menginjakkan kaki di kediaman Tanubrata Nasha dibuat terheran-heran. Bunda dan pak Tanubrata terlihat bahagia sekali duduk menunggu di ruang tamu. Apa ada berita bagus?Bisa jadi eforia pertunangan Januar yang masih terasa. Mungkin mereka berdua merasa senang karena Januar akan segera menikah. Bisa jadi sih."Nah, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga," sambut Januar dengan gembira. Bunda dan pak Tanubrata yang sedang duduk di ruang tamu juga ikut tersenyum.Nasha berpikir apa dia ini habis pulang dari membela negara? Kenapa mereka terlihat riang sekali menyambutnya?"Bunda sama Papa apa kabar?" Nasha mencium pipi Bundanya dan mengangguk singkat pada pak Tanubrata."Baik, Nas. Makin baik begitu dapat kabar gembira nih."Kabar baik? Nasha melirik Januar yang juga tampak tersenyum cerah. Pernikahan Januar memang sudah direncanakan sejak pertunangannya digelar. Kenapa senangnya baru sekarang?"Bang Janu udah nemu tanggal nikahnya ya?
Berpikir keras adalah hal yang dilakukan Satria sejak Nasha memberitahunya kalau dia diundang ke kediaman Tanubrata. Bingung dan gugup. Dia sedang memikirkan apa yang harus dia katakan nanti.Tak jauh dari Satria ada Nasha yang sibuk bermain dengan adonan sambil sesekali menatap aneh pada Satria. Satria jarang terlihat seperti itu.Terakhir dia melihat ekspresi itu saat Satria hendak wawancara kerja di salah satu kantor notaris. Lalu sekarang ekspresi itu muncul lagi. Membuat otak Nasha berpikir yang tidak-tidak.Tidak mau terus berpikir ngawur Nasha langsung menghampiri Satria begitu adonannya masuk oven."Ekhem, Satria," panggil Nasha. "Kamu ada masalah ya di kantor?" lanjut Nasha begitu berhasil mendapat atensi Satria."Kenapa mikir gitu?" Satria sudah biasa dihadapkan pada masalah bukan? Dia malah tinggal satu atap dengan masalah."Mukamu kelihatan bingung gitu. Jasa notaris kamu sepi job ya? Apa mau gulung tikar?"Satria cuma bis
"Bang," sapa Nasha sambil sedikit menunduk. Kesopanan."Kamu belum jawab pertanyaan saya," balas Agarish dingin."Tadi itu nggak sengaja kok. Bang Janu bantuin aku." Hawa panas di sekeliling Nasha sekarang bertambah panas."Kalau nggak bisa bawa sendiri ajak karyawan. Jangan sok-sokan bawa sendiri."Apakah itu tadi? Perhatian atau ejekan? Nasha sampai tidak bisa berword-word lagi. Agarish langsung pergi setelahnya. Sumpah. Nasha tidak mengerti dengan semua yang berhubungan dengan Agarish."Mbak, ojek, Mbak?" tawar seorang tukang ojek.Karena sedang melamun dan salah tangkap ucapan tukang ojek tadi Nasha malah balas marah-marah, "Enak aja. Saya ini bukan tukang ojek."Bapak ojek yang tak tahu apapun jadi bingung. Dia ini sedang menawarkan jasa ojeknya. Bukan sedang bertanya apakah Nasha ini tukang ojek apa bukan."Dasar anak jaman sekarang," gumam Bapak Ojek.Meskipun hanya bergumam, tapi Nasha bisa mendengarnya dengan je
Pulang dengan dicarikan kendaraan oleh 'mas future' membuat Nasha sudah senang sekali. Apalagi kalau Dewangga sendiri yang mengantar. Pasti hati Nasha sudah 'berflower-flower'."Mbak, aduh, mikirin apa sih," tegur Jihan setengah kesal."Iya-iya maaf. Kenapa?""Ini pesanannya gimana? Jadi siapa yang ngantar?""Gue aja, Han. Gue mau sekalian cuci mata. Lo bagian jaga warung. Oke?" Tanpa menunggu persetujuan Jihan Nasha langsung ngibrit mencari tasnya.Dia dapat pesanan beberapa kotak kue dari sebuah perusahaan. Katanya sih untuk rapat. Di perusahaan itu pasti banyak cowok-cowok cakep kan?"Nanti kalau yang nyariin bilang aja kalo gue baliknya agak maleman ya," pesan Nasha."Itu mau nganter pesanan apa mau mangkal, Mbak? Lama amat. Perasaan sejam udah balik kesini lagi deh," protes Jihan.Sayangnya Nasha bodo amat. Memang tujuan utamanya bukan hanya sekedar mengantar pesanan."Permisi, saya dadi Aqila bakery. Ini pesanannya
"Mau bimbingan skripsi?"Nasha terkejut. Ternyata bukan Dewangga. Ya Tuhan! Jadi dia dikibulin sama mahasiswa tadi? Astaga."Eh, bu-bukan, Pak. Ekhem, saya, saya cari Mas Dewangga." Nasha sampai tergagap saat menjelaskannya. Pria itu kelihatan dingin sekali. Tatapannya juga sangat tidak bersahabat."Oh, cari Dewangga. Kamu bukan anak sini?" Otomatis Nasha menggeleng kuat-kuat. "Masuk saja dulu. Dewangga masih ada kelas."Ternyata itu betulan ruangan Dewangga. Baru saja Nasha ingin bersumpah ingin mencari mahasiswi yang tadi karena membohonginya. Tapi tidak jadi. Itu memang ruangan Dewangga. Hanya saja Dewangga masih ada kelas."Masih berapa lama lagi ya, Pak?" tanya Nasha. Merasa awkward. Begitu dia masuk dan duduk di salah satu kursi belum ada lagi percakapan."Sebentar lagi. Mungkin 10 menit lagi. Kamu tunggu saja ya," jawabnya ramah. Ini membagongkan. Maksudnya membingungkan. Tadi pria itu bersikap kaku, tapi sekarang tersenyum manis seka
"Kamu? Kamu ngapain disini?" tanya Nasha dengan sinis pada salah seorang pelanggan. "Mau beli kue, Mbak. Disini jualan kue 'kan?" balas pelanggan tersebut. "Enggak. Saya jualan minyak goreng." Nada ketus Nasha membuat pelanggan tadi menggaruk tengkuknya. Bingung. Dia ini datang membawa rejeki, loh! Kenapa diketusin? "Mbak, jangan ngadi-ngadi ya. Entar rating bakery kita turun," peringat Jihan sambil berbisik. Merasa sungkan pada pelanggan tersebut. "Cari kue apa, Mbak? Biar saya siapin." Jihan beralih pada wanita berpakaian modis dihadapannya. Pelanggan adalah raja."Ekhem, emm, saya agak bingung sih kue apa. Boleh minta saran?" Nasha masih memasang muka judes. Bersedekap dada mengawasi gerak-gerik Jihan dan pelanggan tersebut. Sedangkan Jihan agak bingung. Kue macam apa yang diinginkan pelanggannya itu. "Kue buat acara apa ya, Mbak? Buat ngemil santai, hantaran, acara besar atau apa?"
"Masuk." Agarish menyingkir dari pintu. Memberi akses masuk untuk Januar dan Nasha. Tatap tajamnya pada Nasha tak berkurang sedikitpun bahkan sampai makan malam disajikan. "Nasha sekarang masih pacaran sama Bian?" tanya Pak Tanubrata pada Nasha. Setelah sebelumnya menyampaikan kabar yang menggembirakan yaitu pertunangan Januar yang akan digelar dalam waktu dekat. "Udah enggak, Pa." Ya kali dia masih mau pacaran sama Bian yang sudah tertangkap basah grepe-grepean sama perempuan lain dan lanjut nge-room sama perempuan yang sama juga. "Nanti bisa dong kenalan sama anak kenalan papa. Nanti pas Janu tunangan kamu kenalan sama dia ya."Nasha tersedak. Akan dikenalkan pada seorang laki-laki yang mana anak dari teman pak Tanubrata. Man, itu bukan kabar baik. Nasha yakin pak Tanubrata akan menggiringnya dan si lelaki itu ke arah yang lebih serius. Kalau Nasha hanya mempermainkan lelaki itu bisa tamat riwayatnya. Citra pak Tanubrata bisa
"Eh, sorry," ucap Nasha sungkan saat bahunya tak sengaja menyenggol lengan seseorang. Bukan main senggolannya. Dirinya sendiri yang menyenggol malah dirinya sendiri yang hampir terjatuh. "Sekali lagi maaf ya," ulang Nasha. Begitu kepalanya mendongak bisa dia lihat Januar tersenyum manis padanya. "Santai, Nas." Nasha tersenyum canggung. Tidak tahu kalau yang pria itu adalah Januar. "Abang lagi cari apa?" tanya Nasha basa-basi. Tidak enak kalau nyelonong begitu saja. "Cari kopi buat di kantor. Kopi yang dibeli OB nggak cocok buatku." Oke, Nasha tahu. Meskipun jangka waktu mereka tinggal bersama tidaklah lama, tapi Nasha tahu kalau Januar tidak suka kopi sachetan. Dia lebih suka kopinya bapak-bapak alias kopi hitam yang biasanya dibungkus plastik bening. "Kamu belanja banyak, Nas?" Januar melirik sekilas keranjang merah yang dibawa Nasha. "Iya, ini beli sabun sama shampo." Nasha mana pernah
Nasha merasa aneh dengan Satria yang menungguinya mencuci peralatan makan sambil menatapnya tajam. Pertanyaan yang dilemparnya tadi saat Satria kembali usai mengantar Dewangga belum juga mendapatkan jawaban.Oh my God! Gerakan tangan Nasha yang tengah membilas piring terhenti. Dia lupa tidak menanyakan nomor WhatsApp Dewangga. Ck, Nasha sudah semakin tua saja."Kenapa?" "Tadi kamu ngerjain Dewangga 'kan?" Bola mata Nasha seakan mau keluar. Tuduhan macam apa itu? Hei! Sejak kapan Nasha pernah mengerjai cowok ganteng seperti Dewangga. "Ngerjain apa sih, Sat," sanggah Nasha. Satria ngadi-ngadi. "Ck, jangan ngeles ya, Nas. Kalau kamu nggak ngerjain dia nggak mungkin dia buru-buru pergi." Satria memandang Nasha dengan senyuman miringnya. "Nggak percaya ya udah." Nasha membalas dengan santai lalu melenggang pergi begitu saja. Ini pasti Satria sedang melakukan wisata masa lalu saat Nasha