Beranda / Thriller / Hotel Bekas Pembunuhan / Hotel Bekas Pembunuhan part 1

Share

Hotel Bekas Pembunuhan
Hotel Bekas Pembunuhan
Penulis: sekar

Hotel Bekas Pembunuhan part 1

Penulis: sekar
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-07 23:28:04

Tengah malam sekitar jam dua belas, seorang wanita berparas cantik bersama dua orang lelaki berbadan besar masuk ke dalam lobi hotel, langkah mereka tampak tergesa-gesa dan langsung menghampiri dua orang resepsionis yang sedang berjaga. 

Dari penampilan wanita yang mereka bawa, orang pasti bisa menilai kalau wanita itu adalah pelacur. Dandannya menor, ginju merah tebal menempel di bibirnya, bedak murahan melapisi wajahnya, baju yang ia pakai menampakkan pusar atau udel perut, celananya juga pendek sepaha dan hampir seselangkangan. 

“Kamar nomor 111,” tanpa menyapa lagi, lelaki itu menjulurkan tangan untuk meminta kunci.

“Sudah booking ya, Pak?” tanya Heri, si resepsionis.

“Iya jangan banyak tanya, cepat!” lelaki botak yang satu lagi malah membentak.

"Maaf Pak bisa tunjukkan KTP-nya," Pinta Heri.

Salah satu dari mereka menyerahkan KTP dengan wajah kesal. Heri dibantu rekan kerjanya langsung memeriksa data diri lelaki itu di komputer. 

“Baik, Pak. Mari saya antar,” setelah ketemu, Heri langsung mengantar pria itu.

Mereka naik ke lantai dua, melintasi koridor kamar hotel.

“Ini kamarnya, Pak,” Heri membukakan pintu kamar sambil tersenyum ramah. 

Tanpa berterima kasih, mereka langsung masuk ke dalam kamar itu. Heri seperti sudah biasa menerima perlakuan seperti itu dari tamu, dia pun beranjak pergi. Ia kembali berjaga bersama di meja resepsionis bersama Tiara, rekan kerjanya. Sesaat kemudian, ia melihat sesuatu tergeletak di lantai; itu jelas dompet.  

“Tiara, ada dompet tuh,” tunjuk Heri sambil menyenggol Tiara yang sedang mengantuk. 

“Wah, itu pasti punya tamu barusan,” Tiara bangkit dari tempat duduknya lalu mengambil dompet tersebut. Ia membuka dompet itu lalu mencomot sebuah KTP dari dalamnya. Tiara memperhatikan foto KTP tersebut, wajahnya sama persis dengan tamu yang datang barusan. 

“Ini punya si bapak yang barusan check in. Sana antarkan,” suruh Tiara pada Heri. 

Heri berdecak kesal, “Kenapa nggak lu aja sih,” kata Heri. 

“Malas gua. Lu aja sana sekalian, tadi kan elu yang antar mereka ke kamar.”

“Biar gua panggil room service aja,” kata Heri sambil meraih telepon, tapi tidak ada satu orang pun yang menjawab teleponnya. 

“Sialan pada ke mana sih,” ia menutup telepon itu.

“Udah lu aja sana, cuman nganterin dompet doang. Siapa tahu lu dapat uang tip,” Tiara memaksa.

Akhirnya Heri mengalah, dia meraih dompet itu lalu beranjak dari meja resepsionis. Setibanya di depan kamar nomor 111, ia heran kenapa pintu kamarnya tidak dikunci, pintu itu terbuka sedikit, mungkin sejengkal tangan. Dari dala kamar, Heri mendengar suara erangan seorang wanita dan desah dua orang lelaki. 

“Bangsat,” gumam Heri sambil menggelengkan kepala.

Ia urung mengetuk pintu itu lalu melangkah lagi menuju lift. Heri akan tunggu dua jam lagi setelah mereka selesai bermain.  Saat Heri menunggu lift,  tiba-tiba ia mendengar jeritan wanita seperti dipukuli dari dalam kamar nomor 111. Beberapa kali wanita itu menjerit, suaranya terdengar sangat keras. 

Heri tidak punya nyali untuk melihat apa yang sedang terjadi. Dalam satu jeritan terakhir,  terdengar suara berdebam seperti benda tumpul yang dihantamkan ke tubuh. Setelah itu, jeritan tidak lagi terdengar. Buru-buru Heri masuk ke dalam lift.

Di lobi, lelaki itu heboh menceritakan apa yang didengarnya barusan. Tiara tampak tidak peduli, kedua matanya mengantuk. Tiara bilang, jangan terlalu mencampuri urusan orang. Wanita itu tahu kalau hotel ini memang sering digunakan sebagai tempat prostitusi. 

“Ra, kita harus lapor. Itu cewek tadi kayak dianiaya.”

“Udah jangan pusing-pusing. Kita di sini hanya resepsionis,” Tiara kembali tidur di atas meja. 

Selang beberapa saat, dua lekaki muncul dari lift dan langsung menghampiri resepsionis.

“Teman kami masih di kamar. Besok dia baru check out,” ujar salah satu dari mereka lalu pergi begitu saja.

“Oh..., ia Pak. Ini dompet bapak tadi jatuh di lantai,” ragu-ragu Heri menyerahkan dompet itu, lelaki berkepala botak plontos mengambilnya dan lagi-lagi tanpa ucapan terima kasih. Mereka pun pergi dari hotel. 

“Itu mereka orangnya, Ra,” Heri menunjuk ke arah dua lelaki itu.

“Hus! udah jangan tunjuk-tunjuk.”

“Tiara, bagaimana kalau cewek tadi udah mati?” Heri ketakutan, ia menyentuh bahu Tiara. 

“Kan dua cowok tadi udah bilang kalau si cewek masih di dalam kamar.”

“Periksa yuk?” ajak Heri. 

“Nggak ah. Udah jangan parnoan gitu,” Tiara semakin kesal, ia menggibaskan tangan Heri dari bahunya.

Tiba-tiba telepon berdering, Heri segera mengangkatnya. 

“Dengan Resepsionis, ada yang dapat kami bantu?”

“Hai, aku pesan nasi goreng dong,” terdengar suara imut dari seberang telepon. 

“Baik, antar ke kamar nomor berapa, ya?” tanya Heri sambil mencatat pesanan.

“Nomor 111,” saat mendengarnya, hati Heri lega. Ternyata benar kata Tiara kalau wanita itu masih hidup. 

“Ada lagi yang mau dipesan?”

“Sama jus jeruk.”

“Baik,” Heri kembali mencatat pesanan.

Setelah telepon ditutup, Heri langsung menghubungi room service untuk memproses makanan yang dipesan wanita itu. Beberapa saat kemudian, nasi goreng berhasil diantarkan oleh petugas, tapi Heri masih penasaran dengan kondisi wanita itu. 

“Eh, Ndre. Lu tadi antar makanan ke kamar nomor 111, ya? Gimana keadaan cewek itu?” 

“Dia baik-baik aja, kok. Katanya dia juga mau renang,” jelas Andre, petugas room service. 

“Berenang? Malam-malam begini?” Heri mengerutkan dahi. 

“Iya,” Andre mengangguk.

“Bisa antar aku ke kolam ranang, nggak?” sebelum mereka selesai bercakap, seorang wanita muncul dari lift. Ia sudah mengenakan bikini yang diselimuti handuk kimono. 

“Oh, baik Bu.” Andre dengan sigap menghampiri wanita itu lalu mengantarnya ke kolam renang. 

Heri mengikuti dari belakang, diperhatikannya wanita yang sedang berenang itu. Jarang sekali ada tamu yang mau berenang tengah malam seperti ini. Entah kenapa, Heri masih penasaran. Ia naik ke lantai dua lalu buru-buru menghampiri kamar nomor 111. 

Kali ini, pintunya terbuka lebar. Dan... betapa terkejutnya Heri saat melihat mayat wanita terkapar di atas kasur. Mayat itu melotot, kepalanya retak seperti habis dihantam benda tumpul, darah membasahi tempat tidur. 

Buru-buru Heri lari ke ujung koridor, ia menyibakkan tirai jendela kaca yang mengarah langsung ke kolam renang di belakang hotel. Dilihatnya wanita itu masih asyik main air di kolam renang. Padahal, jelas-jelas wanita itu sudah mati. 

Saat Heri masih tercengang dengan apa yang dilihatnya, tiba-tiba pintu kamar nomor 111 tertutup sendiri dengan keras, seperti ada yang membantingnya. Sontak saja, Heri lari kocar-kacir sambil berteriak minta tolong.

Hotel yang mengarah langsung ke pantai itu memang tidak pernah sepi pengunjung. Mungkin karena merupakan hotel paling mewah di kawasan itu. Sehingga bukan hanya digunakan sebagai tempat menginap saja, tapi juga  sering digunakan untuk berbagai kegiatan. 

Walau beberapa minggu lalu pernah terjadi pembunuhan terhadap seorang pelacur, hotel ini tak lantas dihindari pengunjung. Kamar nomor 111 yang bekas pembunuhan itu hanya ditutup selama lima hari.

Pihak hotel membuka kembali pemesanan untuk kamar nomor 111 setelah kasusnya selesai. Pelaku berhasil diindentifikasi melalui CCTV. Mereka pun ditangkap dan diadili.

Belum ada yang menempati kamar itu semenjak terjadi pembunuhan. Namun, akhirnya tepat pada bulan Oktober pemerintah pusat mengadakan sebuah acara untuk memperingati Bulan Bahasa. Acara tahunan itu dinamakan pemilihan duta Bahasa seprovinsi. Kebetulan sekali hotel bekas pembunuhan terpilih sebagai tempat perhelatannya. 

“Wah, bagus banget hotelnya, ya,” Fadil sumringah saat tiba di halaman hotel. Dia adalah salah satu mahasiswa yang menjadi perwakilan kampusnya. 

Iya, Dil. Makan enak nih kita, timpal Zainal. Dia satu kampus dengan Fadil. 

Mereka berdua tiba di hotel tersebut setelah menempuh perjalanan selama satu jam. Halaman hotel mulai ramai. Para peserta dari berbagai kampus seprovinsi mulai berdatangan. Satu persatu mereka melakukan check in di lobi hotel.

Lu kamar nomor berapa? tanya Zainal sambil memegang kunci kamar Fadil. 

111 nih, jawab Fadil. 

“Wah nomor cantik. Tukeran mau enggak?” tawar Zainal.

“Emang lu nomor berapa?” Fadil meraih kunci di tangan Zainal.

“Nomor 80. Tukeran ya. Kamar lu pasti di lantai atas. Jadi pemandangannya pasti indah banget,” Zainal memaksa. 

“Ya udah, terserah lu aja.”

Bagi Fadil tidak masalah mau tidur di kamar nomor berapa pun. Yang penting bisa istirahat. Perjalanan dari kampus ke hotel lumayan membuatnya lelah. Dia ingin segera membaringkan diri di kasur hotel yang empuk. 

Zainal diantarkan ke lantai dua oleh Heri si resepsionis yang pernah melihat mayat di kamar itu. Wajah Heri terlihat gugup. Sebenarnya dia khawatir pada tamu yang sedang diantarnya.

Heri yakin kalau wanita yang pernah mati di kamar itu masih bergentayangan. Sebab, Heri sering mendengar suara gaduh di dalam kamar nomor 111. Kadang ada suara tawa perempuan, kadang menangis, kadang seperti ada yang sedang menonton televisi. Padahal jelas-jelas kamar itu kosong. Tidak berpenghuni. 

“Ini kamarnya, Mas,” Heri membuka pintu sambil tersenyum ramah. 

Kamar itu rapi. Ada spring bed warna putih dan dua bantal. Di dindingnya menempel tv led 40 inch. Ada kulkas kecil di samping tempat tidur. Juga ada meja dan kursi kasual di dekat jendela.

Kamar itu juga dilengkapi sebuah kamar mandi yang terbilang cukup mewah. Di atas meja sudah disiapkan sepasang sendal selop tipis ala hotel.

“Wow!” Zainal terkagum-kagum. Ini memang baru pertama kalinya ia menginap di hotel. 

“Ada apa ya, Mas?” tanya Heri. 

“Bagus banget kamarnya,” Zainal membuka sepatu, dia lalu membaringkan badan di atas spring bed yang empuk.

“Ini kan hotel, Mas,” kata Heri. 

Zainal nyengir. “Mantap, Pak!” ia lalu mengacungkan jempol ke arah Heri. 

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba terngiang di telinga Heri suara tawa seorang wanita. 

“Kenapa, Pak?” tanya Zainal yang heran melihat ekspresi si resepsionis. 

“Enggak apa-apa. Kalau butuh apa-apa, telepon aja ya. Itu nomornya sudah tertera.” 

“Sip!” Zainal nyengir lagi. 

Heri kemudian menutup pintu kamar tersebut. 

***

Setelah mengikuti pembekalan di ballroom selama berjam-jam, Zainal pulang ke kamarnya. Dia sangat lelah. Lampu ia matikan dan hanya menyalakan lampu tidur saja. Televisi dibiarkan menyala menayangkan channel khusus olahraga. Tidak lama kemudian, dia tertidur. Sementara televisi masih menyala. 

Entah pada jam berapa, Zainal terbangun. Ia mendengar tawa seorang wanita seperti sedang asyik menonton televisi. Dalam keadaan mengantuk, ia meraba-raba remote televisi. Matanya memicing ke arah layar.

Zainal heran kenapa tayangannya berganti ke serial drama Korea. Tanpa berpikir macam-macam, ia langsung mematikannya. Ia pun kembali tidur. 

Sebelum terlelap kembali, tiba-tiba dia mencium bau parfum wanita yang sangat menyengat. Ia mengendus-enduskan hidungnya lalu mengernyitkan dahi. Zainal pun bangun dan melangkah ke kamar mandi karena bau parfum itu berasal dari sana.

Zainal membuka pintu kamarnya. Ia menoleh ke sekeliling, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Pikir Zainal, mungkin tadi ada orang yang iseng. Pintu ditutup kembali.

Masih penasaran dengan bau parfum yang ia endus, ia akhirnya perlahan membuka pintu kamar mandi itu. Anehnya, tidak ada apa-apa di dalam sana. Zainal mendongak ke atas. Tapi tetap saja tidak ada apa pun. 

Ia berdecak kesal lalu kembali kembali ke tempat tidurnya. Malam itu ia akhirnya bisa tidur dengan nyenyak. Namun, lagi-lagi saat ia bangun di pagi hari, televisi itu sudah menyala. Ia mencoba mengingat-ingat dan yakin tidak menyalakan televisi sebelum tidur.

“Pasti televisinya rusak,” gumam Zainal. Diraihnya remote televisi, lalu mematikannya.

Hari ini akan ada seminar tentang Sejarah Bulan Bahasa. Ia harus segera mandi dan sarapan. Beberapa saat kemudian telepon berbunyi. Saat itu Zainal sedang mengenakan pakaian. Buru-buru ia mengangkatnya. 

“Halo!” 

“Zainal, kita ketemu di bawah, ya. Udah disiapin sarapan tuh. Orang-orang juga udah pada kumpul.” 

“Oh... oke, Dil.” 

Zainal menutup telepon. Ia mempercepat geraknya, mematut diri di depan cermin. Tak lupa, ia juga menyisir rambutnya sampai klimis. Setelah rapi dengan mengenakan batik keemasan, celana bahan, dan sepatu pantofel, ia kemudian bergegas ke lobi.

Di sana sudah ramai oleh para peserta. Mereka mengambil sendiri makanan yang sudah disajikan oleh pihak hotel. Zainal dan Fadil bergabung satu meja dengan dua peserta lain yang berasal dari Tangerang. 

“Kalian tahu enggak sih kalau pernah ada pembunuhan di hotel ini?” tanya Santi.

“Seriusan?” Fadil penasaran.  

“Iya. Tapi, kamar hotelnya dirahasiakan. Enggak ada yang tahu pembunuhan itu terjadi di kamar nomor berapa,” lanjutnya.

“Menurut gua, hotel ini memang angker,” ujar Hilda, lalu menyeruput lemon tea. 

“Ya, setiap hotel pasti ada saja penghuni gaibnya. Selama kita tidak mengganggu mereka, gua yakin kita baik-baik saja,” timpal Zainal. Ia enggan menceritakan kejadian aneh yang dialaminya semalam. 

Acara hari itu berjalan sesuai rencana. Ada sesi seminar, perkenalan masing-masing peserta dan interview bersama para juri. Selepas acara, Zainal kembali ke kamar. Ia sangat lelah setelah mengikuti rangkaian acara seharian. 

Namun setibanya di kamar, ia heran lantaran kamarnya acak-acakan seperti kapal pecah. Padahal tadi siang ia sudah merapikannya. Lebih parahnya lagi ada bungkusan makanan ringan yang berserak di lantai. Itu makanan yang sengaja ia bawa dari kampus.

"Siapa yang sudah memakannya?" tanya Zainal dalam hati.

Yang lebih membuatnya kaget, ada jejak kaki berlumur darah di kamar. Jejak itu mengarah ke koridor sebelah kanan. Karena penasaran, ia pun mengikuti jejak kaki tersebut. Tetapi, di depan jendela hotel, jejak itu terputus.

Dari jendela itu, Zainal melihat ada seorang wanita. Ia sedang asyik berenang di kolam renang belakang hotel.

“Nal?” seseorang menyentuh pundaknya. Itu membuat Zainal terkejut bukan main. 

“Ah, ngagetin aja lu, Dil!” ternyata itu Fadil. Zainal berdecak kesal. 

“Gua boleh tidur di kamar lu, enggak?” tanya Fadil.

“Emang kenapa kamar lu?” Zainal mengerutkan dahi.

“Gua enggak bisa tidur, takut setan. Gara-gara waktu siang ada yang cerita korban pembunuhan.”

“Yaelah, Dil. Gitu aja takut,” Zainal melirik jejak kaki di lantai. Anehnya jejak itu sudah tidak ada. 

Sebisa mungkin Zainal menyembunyikan ketakutannya. Ia tidak mau membuat suasana semakin kacau. Dalam hatinya, ia sebenarnya bersyukur si Fadil mau numpang tidur di kamarnya.

“Gila, berantakan banget kamar lu, Nal?” 

“Em... ia nih. Maklum lah namanya juga cowok,” jawab Zainal. Ia berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa pun di kamarnya. 

Malam itu, Fadil tidur di kamarnya Zainal. Mereka tidur sangat nyenyak. Tidak ada makhluk halus yang mengganggu mereka.

Tepat jam enam pagi, telepon berbunyi membangunkan Zainal. Sementara itu, Fadil masih tidur nyenyak. Dalam kondisi masih mengantuk, Zainal mengangkat telepon itu. 

“Nal, cepat mandi! Sarapan ke bawah ya. Hari ini ada acara presentasi dari masing-masing peserta,” itu suara Fadil dari seberang telepon. 

Seketika jantung Zainal berdegup kencang. Ia mulai merinding. Keringat dingin mulai keluar. Kantuk itu seketika sirna, berganti dengan rasa takut dan ngeri.

Lantas, siapa lelaki yang sedang tidur di sampingnya?

Bab terkait

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Hotel Bekas Pembunuhan Part 2

    Zainal perlahan meletakkan kembali gagang telepon itu, ia menelan ludahnya sendiri lalu membalikkan badan. Lelaki yang barusan tidur di sampingnya sudah menghilang. Zainal terperanjat, dadanya turun naik. Segera ia pergi ke kamar mandi, ia mandi dengan sangat cepat seperti bebek. Kurang dari sepuluh menit, ia keluar dari kamar mandi dan langsung mengenakan pakaian tanpa mematut diri di depan cermin.Penampilan Zainal acak-acakan, dia bahkan belum sempat memasukkan baju kemejanya ke dalam celana. Di tangannya ada sebuah stopmap yang berisi bahan untuk prensentasi. Wajah Zainal terlihat panik saat ia duduk di meja makan bersama Fadil.“Lu kenapa?” Fadil heran melihat penampilan temannya yang acak-acakan itu.“Dil, di kamar gua ada setannya.”“Hah! Serius lu?” jelas saja Fadil kaget.“Tadi malam setan itu menyerupai lu. Dia tidur sama gua.”Mendengar pernyataan temannya, Fadil

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-07
  • Hotel Bekas Pembunuhan   Hotel Bekas Pembunuhan Part3

    Heri duduk termangu di meja resepsionis. Semenjak kematian para mahasiswa itu, pengunjung hotel jadi sepi, sekali pun ada paling hanya 2 pengunjung sehari, itu pun jarang. Heri jadi banyak menganggur, setiap hari kerjaannya hanya duduk di meja itu sambil sesekali memainkan hp-nya. Sekitar jam 2 dini hari, telepon berbunyi. Segera Heri mengangkat telepon itu.“Dengan resepsionis, ada yang dapat saya bantu?”“Pintu kamar saya susah dibuka, kayaknya pintunya rusak. Saya tidak bisa keluar,” kata lelaki diseberang telepon.“Baik, di kamar nomor berapa ya?” tanya Heri dengan ramah.“99, Pak.”“Baik, mohon ditunggu ya.”Itu suara bule dengan logat bahasa Indonesia yang khas orang asing. Sudah dua hari dia menginap di hotel itu, pasti bule itu tidak tentang kasus kematian para mahasiswa. Heri bergegas mencari kunci cadangan untuk kamar nomor 99. Dia terlihat bersemangat karena a

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-07
  • Hotel Bekas Pembunuhan   Hantu Bekas Pembunuhan Tamat

    Angker? Bobi mengerutkan dahi.Iya, Pak. Jangan dekat-dekat dengan kamar itu!Halah... persetan dengan angker.Bobi malah menendang pintu kamar. Itu membuat Heri lari ketakutan. Bobi heran lantaran tidak ada siapa-siapa di sana. Ia pun menutup kembali pintunya. Bobi sama sekali tidak takut. Sebab, yang ia alami di Gunung Pulosari jauh lebih mengerikan.Sesaat sebelum Bobi masuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang seperti mencakar-cakar pintu. Bobi pun menoleh. Tepat dari celah pintu kamar nomor 111 ada darah mengalir perlahan membasahi lantai. Bobi menggelengkan kepala.“Sebaiknya kau tidak menggangguku. Aku sudah pernah membunuh jin seperti kau,” kata Bobi.Dengan penuh emosi, dia tendang kembali pintu kamar itu. Kali ini tampaklah seorang wanita dengan wajah penuh darah.“Kenapa kau mengganggu manusia?” tanya Bobi.Yang ditanya diam saja. Wajahnya datar menat

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-07
  • Hotel Bekas Pembunuhan   Kualat Di Gunung Pulosari Part 1

    Bobi terkapar tak sadarkan diri di bawah pohon besar. Pakaiannya penuh dengan bercak lumpur. Topi koboinya hilang entah ke mana. Senapannya tergeletak tak jauh dari tubuhnya.Terakhir kali Bobi sadar dia dibawa oleh sosok wanita yang berpakaian layaknya ratu kerajaan. Entah apa yang selanjutnya terjadi, tiba-tiba sekarang dia malah terkapar di bawah pohon besar ini.Kelopak mata Bobi bergerak. Dalam satu hentakan, kedua matanya membelalak. Bobi menarik napas dalam-dalam seperti orang yang baru saja tenggelam. Kemudian napasnya terengah-engah, telinganya berdengung hebat. Ia mengerang-erang sambil menutup kedua telinganya dengan telapak tangan.Semakin lama telinganya berdengung semakin keras. Bobi berteriak kesakitan. Dengan terburu-buru, dia merogoh botol air minum dari dalam tasnya lalu menyiram telinganya sendiri.Perlahan rasa sakit itu reda. Bobi kembali berbaring. Dia menatap dahan-dahan pohon yang rindang, tapi tatapan itu kosong.

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-07
  • Hotel Bekas Pembunuhan   Kualat di gunung Pulosari Part 2

    Tanpa pikir panjang lagi, Bobi lari menghampiri Mira. Namun, saat ia akan menyentuh lengan Mira, tiba-tiba saja Mira dan sosok wanita berpakaian kerajaan itu hilang entah ke mana. Keramaian pasar juga lenyap begitu saja.Pasar itu berubah menjadi lahan kosong yang berbatu. Sedangkan Ajeng masih berdiri di kejauhan sambil terheran-heran dengan apa yang dilihatnya.“Mira! Mira!” Bobi berteriak ke segala arah mencari Mira. Tapi Mira tak menampakkan wujud lagi.“Mas! Kita dipermainkan setan. Ayo pergi dari sini!” teriak Ajeng dari kejauhan.Bobi pun menyerah. Ia merasa mungkin Ajeng benar kalau yang dilihatnya tadi hanya jelmaan Mira. Ia meraih kembali senapannya yang tergeletak di tanah, lalu berjalan menghampiri Ajeng. Tanpa berkata apa pun Bobi melanjutkan perjalanan.“Kita mau ke mana lagi?” Ajeng mempercepat langkahnya, mengejar Bobi.“Sudah kubilang aku mau cari Mira,” kini Bobi j

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-10
  • Hotel Bekas Pembunuhan   Kualat Di Gunung Pulosari Part3

    Ajeng masih lari sekuat tenaga untuk menjauh dari genderuwo itu. Kini suara raungan itu seperti ada di atas kepala Ajeng. Wanita itu berteriak minta tolong, dia berharap ada seseorang yang muncul dan menyelamatkannya. Ketika Ajeng melewati akar pohon besar, kakinya tersandaung, dia pun jatuh dan bagian kepalanya membentur akar pohon dengan sangat keras.Masih dalam keadaan sadar, Ajeng terkapar tak berdaya di bawah pohon itu. Darah mengalir keluar dari kepalanya dan saat Ajeng berkedip, genderuwo itu sudah ada di hadapannya. Makhluk itu tidak lagi menyerupai Bobi, tubuhnya besar dan berbulu, kukunya panjang berwarna hitam pekat, taringnya menjulur hingga ke perut dan kedua matanya merah menyala.Genderuwo itu menjilati wajah Ajeng yang penuh darah. Ia ternyata suka dengan darah Ajeng. Ingin sekali Ajeng berteriak, tapi dia tidak sanggup. Suaranya seakan hilang begitu saja, Ajeng hanya bisa pasrah. Rasanya dia ingin mati saja sekarang juga.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-10
  • Hotel Bekas Pembunuhan   Kualat Di gunung Pulosari Part 4

    Mira jangan melamun. Ini di gunung, bahaya," Riki menyadarkan Mira."Tapi, jelas-jelas tadi gua lihat Ayah ada di sana," ia menunjuk ke arah semak-semak."Udah Mir. Kita jalan lagi aja. Itu pasti cuma halusinasi lu," kataku.Kami kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah pendakian, Mira minta istirahat dulu sejenak. Napasnya terengah-engah, wajahnya sangat berkeringat.Aku duduk di atas batu besar sambil menikmati pemandangan yang menyejukkan. Ada batang-batang pohon besar dan suara burung bersahutan dengan monyet. Gunung Pulosari memang mejadi habitat nyaman bagi koloni monyet. Di sepanjang perjalanan tadi, aku selalu melihat monyet bergelantungan di dahan pohon.Selesai istirahat, Riki mengajak kami kembali melanjutkan perjalanan. Ia membagikan tongkat kayu yang baru saja ia buat sendiri. Tongkat itu berguna untuk membantu pendakian."Kira-kira berapa jam lagi kita sampai ke Curug Putri?" tanyaku."Udah deket

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-10
  • Hotel Bekas Pembunuhan   Kualat Di gunung Pulosari Part 5

    Nek jalan pulang ke arah mana ya?” aku bertanya dengan sangat hati-hati.Ia menyeringai seolah ingin mengatakan sesuatu. Tangannya menunjuk ke arah Timur sambil tersenyum ramah. Tapi, tiba-tiba wajahnya berubah menjadi sangat ketakutan saat melihat bola api melayang di langit.“O... ocos, ocos,” katanya terbata-bata.Dia sangat panik. Nenek itu lalu melihat lagi ke arahku. Kali ini dia mendekat. Langkahnya berat karena punggungnya menggendong kayu bakar.“I... ikut. i... ikut. Itu ocos,” dia selalu terbata-bata.Mungkin karena sudah tua, jadi dia mengalami gangguan dalam berbicara. Nenek itu menarik lenganku. Sepertinya dia mau membawaku ke suatu tempat. Sesekali dia mendongak ke langit melihat bola api yang terus mengikutiku.“Kita mau ke mana, Nek.”“Em... sana. Ke... sana. Rumah...,” katanya sambil menepuk dadanya sendiri.Aku tahu mungkin aku akan dibawa

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-10

Bab terbaru

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Teror lelembut di gunung karang Part2

    Kiai Muntaqo beserta para santrinya berhamburan ke belakang asrama. Semua orang yang ada di sana panik melihat Ririn menggantung di dahan pohon mahoni. Kiai Muntaqo membaca kalimat-kalimat ruqiah sambil mengacungkan telunjuknya ke arah Nurul. Saat itu juga Nurul mulai terlihat kesakitan. Lima orang santri muncul dengan menggotong sebuah spring bed besar untuk menahan tubuh Ririn.Nurul menjatuhkan Ririn dan untung saja wanita itu jatuh tepat di atas spring bed, sementara Nurul masih bertengger di atas dahan pohon mahoni. Kalimat-kalimat ruqiah terus dilantunkan oleh Kiai Muntaqo, Nurul pun terjungkal ke belakang. Dia juga jatuh tepat di atas spring bed sehingga tidak ada luka sedikit pun. Faisal memeriksa keadaan adiknya itu, dia menangis karena tak tega melihat adiknya yang sering sekali kesurupan.***Satu Minggu Kemudian.Sudah lima kali Faisal bermimpi tentang sumur tujuh yang ada di puncak gunung Karang. Dalam mimpinya itu, Faisal didatangi kakek

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Teror lelembut di Gunung karang

    Sudah dua hari hewan ternak warga kampung Kaduengang hilang secara misterius. Puluhan ayam lenyap dari kandangnya, kambing yang dipelihara bertahun-tahun juga hilang. Belum lagi kerbau, ada sepuluh ekor yang hilang secara misterius. Mereka yakin pasti ada maling di kampung mereka. Warga kampung itu sepakat untuk memperbanyak pos ronda. Setiap malam para pemuda dan bapak-bapak bergantian menjaga kampung. Mereka sangat hati-hati jika ada orang asing yang masuk ke kampung mereka.Anehnya tidak ada tanda-tanda maling di kampung itu. Selama satu minggu berjaga, tak satu pun orang asing yang masuk ke kampung. Kasus hilangnya hewan ternak belum terpecahkan, tapi sudah muncul kasus baru. Banyak warga yang melapor ke ketua RT kalau warung mereka kemalingan. Barang dagangan mereka hilang, tapi si maling hanya mencuri barang yang bisa dimakan saja seperti kue, biskuit, kopi, dan makanan lainnya.Kejadian ini benar-benar menggemparkan seluruh warga kampung. Mereka bahkan m

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Kuntilanak Penghuni Asrama

    Tok…tok…tok…tok…!Sebagian siswa juga masih merasakan hadirnya seseorang di sekitar asrama yang tak terlihat wujudnya. Salah satu yang merasakan hal itu adalah Laila. Siang itu, sekitar jam dua belas siang, Laila memasuki asrama sehabis pelatihan. Aura menyeramkan di ruang tamu terasa sekali hingga bulu kuduknya terasa meremang. Ia merasa di belakangnya ada yang mengikuti, namun begitu menoleh, tak dilihatnya seorang pun di sana. Saat masuk ke kamar tiba-tiba hawa dingin menerpa tubuhnya, padahal suasana siang itu begitu terik. Ia merasa ada yang mengawasi dirinya, namun tak di dapatinya seorang pun di kamar. Untuk mengurangi rasa takut, ia nyalakan musik dari ponsel sekencang-kencangnya.“Aku merasa ada yang memperhatikanku! Tapi, aku tak melihatnya sama sekali! Tapi, aku yakin, dia memperhatikanku aku!” seru Laila. Ternyata, teman-teman lainnya juga merasakan hal yang sama.Hampir seluruh siswa di asrama merasakan hal yang sam

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Blok M

    Blok MMelamun sesaat, fokusku hilang dikala hening senyap menjerat kesadaran.Tapi tiba-tiba aku melihat sesuatu di kejauhan, ada bayangan berbentuk orang yang muncul dalam gelap.1Aku yang awalnya kaget, berangsur jadi agak tenang ketika merasa kalau sepertinya yang datang itu benar-benar orang.Ternyata memang benar, aku melihat ada seseorang sedang melangkah mendekat. Karena masih cukup jauh, jadinya aku masih hanya bisa melihat dalam bentuk siluet.Tapi aku sudah bisa yakin kalau orang ini adalah sosok laki-laki, kalau melihat dari posturnya.Ketika sudah cukup dekat, barulah aku bisa melihat dengan jelas kalau ternyata yang mendekat ini adalah seorang sekuriti gedung.Ah leganya, aku jadi bisa segera turun dengan meminta untuk ditemani ke bawah.“Pak, hmmmmm.” Aku menegurnya, ketika kami akhirnya sudah berhadapan. Karena gak familiar, aku melirik ke nametag yang ada di seragamnya, aku membaca nama “Wawan”.Iy

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Sumpah Pocong part 2

    Katanya, Sulis sakit keras. Badannya telah lumpuh total, hanya mampu berbaring di ranjangnya. Matanya selalu melotot, ada borok di sekujur tubuhnya, padahal perutnya semakin membuncit karena janin yang dikandungnya. Bu Sri memohon untuk mengantar Sulis ke Rumah Sakit.Karena waktu itu, hanya keluargaku yang memiliki mobil. Akhirnya tanpa pikir panjang, aku dan suamiku mengantar Sulis saat itu juga.Sulis sudah seperti mayat hidup bila ku lihat. Matanya terbuka, masih bernafas, namun tidak bisa di ajak bicara, dan tidak mampu bergerak. Borok di sekujur tubuhnya berbau sangat busuk.Sesampai di RS, Sulis langsung ditangani oleh dokter. Hampir 3 jam kami menunggu hasil pemeriksaan dokter, setelah itu kami ketahui bahwa Sulis menderita diabetes akut yang membuat sekujur tubuhnya terluka dan bernanah.Setelah satu hari dirawat, Sulis akhirnya menghembuskan napas terakhir. Beruntung kata dokter, janin dalam perutnya belum memiliki nyawa, bentuknya pun belum sempurn

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Sumpah Pocong Part 1

    Saat itu tahun 2005.[Suara HP berbunyi]"Halo? Assalamualaikum Pak?""Halo, Waalaikumsalam Dung. Gimana kabarmu? Gimana kuliahmu?""Alhamdulillah semua lancar pak, kabar saya sehat. Bapak ibu sehat kan?""Syukurlah nak, bapak ibu sehat,"Kemudian seketika hening, tak ku dengar lagi suara bapak dari telepon. Yang ku dengar hanyalah suara lelaki tengah menahan isak tangisnya.Feeling-ku benar, sepertinya bapak sedang tidak baik-baik saja, sudah kuduga sejak ku angkat gagang telepon, suara dan nada bicara bapak tidak seperti biasanya."Pak, bapak kenapa?,""Gapapa nak, kamu buruan pulang ya. Kalau bisa minggu depan. Bapak mau ngomong sama kamu,""Iya pak insyaallah saya pulang minggu depan,"[Tuut..tuut..tuut..]Sejenak aku berpikir bagaimana agar minggu depan bisa ku penuhi permintaan bapak untuk pulang. Karena jujur saja, aku berkuliah sambil bekerja di kota metropolitan. Aku tidak ingin menambah beban bapak yang hanya seor

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Misteri Guci Diruang Tamu Part 2

    Ada apa dengan Guci ini sih?Kenapa banyak kejadian seram setalah ada guciGimana sejarah guci ini?Semakin seram, semakin menakutkan, banyak peristiwa yang terjadi di rumah Jessica.Jessica akan lanjut bercerita di sini, di Briistory.#BriiStoryJangan baca sendirian, lanjut di komentar yaaa!***#1Begitulah, banyak kejadian janggal yang terjadi sejak kehadiran guci itu di rumah. Kejadian janggal dan kadang menyeramkan, yang secara langsung maupun gak langsung mempengaruhi kehidupan kami juga.Setelah banyak kejadian, aku menjadi selalu was-was apa bila harus di rumah sendirian walaupun itu siang hari. Lalu, sebisa mungkin menahan diri untuk gak ke kamar mandi tengah malam, aku akan menahan pipis sampai pagi.Jo jadi semakin jarang tidur di rumah, lebih sering bermalam di rumah teman atau di rumah Om Fendy. Dia bilang, gak tahan dengan penampakan-penampakan seram yang dia lihat gak satu dua kali, tapi sering.Selama k

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Misteri Guci diruang tamu part 1

    Rumah, seharusnya menjadi tempat teraman dari rasa takut dan cemas, tapi ternyata gak selalu demikian. Seperti yang dialami oleh Jessica dan keluarganya.ADVERTISEMENTRumah mereka menjadi sumber teror yang menakutkan.Jessica yang akan bercerita sendiri di sini, di Briistory.#BriiStory#MalamJumatLanjut di komentar ya..***#1Sekali lagi aku terjaga, jam setengah dua malam. Penuhnya kandung kemih, memaksaku tersadar dari tidur. Kebelet banget, gak tahan, mau gak mau harus pergi ke toilet.Tapi belakangan, bangun malam jadi hal yang membuatku paranoid, apa lagi ketika terpaksa harus ke luar kamar.Sama seperti malam ini, tiba-tiba terbangun pingin pipis. Padahal sudah berusaha maksimal untuk menahan dan kembali tidur, tapi gak bisa, sudah di ujung.Aku takut, takut dengan hal ganjil dan menyeramkan yang belakangan selalu terjadi ketika melintasi ruang tengah.Kebetulan toilet letaknya di depan kamar Papa Mama, berse

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Bersembunyi dalam terang part 5

    Tahun 2007 awal pernikahan dengan Imas, 3 tahun sebelum aku berganti pekerjaan sebagai tukang cukur (mempunyai pangkas) awalnya aku adalah penjual martabak manis, tempat aku berjualan sekitar satu jam dari rumah, di sebuah kampung dekat dengan sebuah danau, di mana di situlah orang-orang sering ramai, walau yang berjualan bisa terhitung dengan jari.Yogi adalah teman masa sekolahku yang mempunyai resep martabak karena memang turun temurun dari keluarganya, atas persetujuan modal yang aku keluarkan sangat terbatas, akhirnya aku dan Yogi sepakat memulai usaha tersebut, penampilanku sama halnya dengan sekarang tidak pernah rapih sama sekali.Selepas waktu ibadah solat asar, aku dan Yogi yang memang kebetulan tidak jauh rumahnya dari rumah Ibuku (waktu itu masih tinggal bersama Ibu) selalu menjemputku dengan membawa adonan martabak dan segala perlengkapan lainya untuk berdagang.Sudah hampir 3 bulan berjalan, dan memang selalu habis jauh di mana waktu prediksiku yang seha

DMCA.com Protection Status