Heri duduk termangu di meja resepsionis. Semenjak kematian para mahasiswa itu, pengunjung hotel jadi sepi, sekali pun ada paling hanya 2 pengunjung sehari, itu pun jarang. Heri jadi banyak menganggur, setiap hari kerjaannya hanya duduk di meja itu sambil sesekali memainkan hp-nya. Sekitar jam 2 dini hari, telepon berbunyi. Segera Heri mengangkat telepon itu.
“Dengan resepsionis, ada yang dapat saya bantu?”“Pintu kamar saya susah dibuka, kayaknya pintunya rusak. Saya tidak bisa keluar,” kata lelaki diseberang telepon. “Baik, di kamar nomor berapa ya?” tanya Heri dengan ramah. “99, Pak.”“Baik, mohon ditunggu ya.”Itu suara bule dengan logat bahasa Indonesia yang khas orang asing. Sudah dua hari dia menginap di hotel itu, pasti bule itu tidak tentang kasus kematian para mahasiswa. Heri bergegas mencari kunci cadangan untuk kamar nomor 99. Dia terlihat bersemangat karena akhirnya ada hal yang bisa ia kerjakan. “Tiara, gua ke atas dulu ya. Ada tamu yang minta bantuan.”Tiara tidak menjawab, ia ternyata sudah tidur pulas di meja itu. Heri menggelengkan kepalanya.“Kerja kok tidur mulu,” gumam Heri.
Ia pun langsung naik ke lantai dua. Namun, saat berjalan di lorong koridor tiba-tiba saja seluruh lampu di sana padam. Heri pun terkejut, buru-buru ia merogoh hp-nya lalu menyalakan senter. Satu persatu ia lewati kamar di koridor itu, langkahnya terhenti ketika mendengar suara aneh dari kejauhan. Heri lalu meruncingkan telinganya, itu jelas suara wanita yang sedang menangis. Bulu kuduknya mulai merinding. Ia takut, tapi juga penasaran. Heri pun melangkah kembali, sekarang ia mengikuti sumber suara itu. Tepat di sudut koridor, ada seorang perempuan yang duduk sambil memeluk dengkulnya sendiri. Kepalanya menunduk, ia menangis sesenggukan. Perempuan itu berambut sebahu, ia mengenakan jaket warna kuning dan juga celana levis.“Mbak?” Heri perlahan mendekat, ia mengarahkan cahaya senternya pada wanita itu.
“Mbak kenapa?”Tidak ada jawaban, perempuan itu masih saja menangis. Heri coba menyentuh pundak perempuan itu. “Mbak?” “Temani aku...,” akhirnya perempuan itu berbicara. Suaranya lirih, tapi kepalanya masih menunduk. “Temani?”Wanita itu lalu mendongakkan kepala. Heri kenal betul siapa dia, fotonya sudah tersebar di mana-mana. Dia adalah Hilda, mahasiswa yang beberapa hari lalu dikabarkan hilang. “Kamu Hilda?” Heri mengerutkan dahi, sambil menyorotkan senter ke wajah wanita itu. Ia mengangguk.“Dari mana aja? Semua orang panik nyari kamu.”“Temani aku. Aku takut...,” wajah Hilda pucat. “Ayo kita ke bawah. Kita lapor polisi, biar kamu dijemput.”Heri meraih tangan Hilda dan terasa dingin.
“Kok dingin banget, kamu sakit ya?” Hilda mengangguk sambil menyeka air matanya. Heri lalu menuntunnya perlahan, ia harus segera menolong tamu yang terkunci di kamar nomor 99. Setibanya di kamar itu, Heri berhasil membuka pintunya. Muncullah seorang lelaki bule dengan kepala botak dan perut buncit. “Ah, finally,” kata lelaki itu. Heri meneteskan pelumas pada kunci itu agar tidak macet lagi. “Oke, sudah lancar kembali kuncinya, Pak,” kata Heri sambil tersenyum. “Lampunya mati ya?” tanya bule yang sudah mahir bahasa Indonesia itu. “Oh, ini sedang diperbaiki sama tim teknik kami, Pak. Maap atas kendala ini ya.”“Jangan terlalu lama. Saya harus charging laptop.”“Ya sebentar lagi pasti menyala. Kami punya mesin diesel, jangan khawatir,” Heri berusaha agar si bule itu tidak kecewa.
“Oke, thank you.”Heri pun beranjak dari hadapan bule itu, ia menuntun kembali lengan Hilda. Si bule heran dengan tingkah Heri yang seolah sendang menuntun seseorang, tapi si bule tidak melihat siapa pun di samping Heri. Bule itu tidak mau ambil pusing, ia lalu menutup pintu kamarnya. ***Sesampainya di lobi, Heri masih menuntun perempuan itu. Ia terkejut saat melihat Tiara, rekan kerjanya, berdiri di atas meja resepsionis. Mulutnya menganga lebar, tatapannya lurus ke arah pintu masuk hotel, wajahnya seperti sedang melihat sesuatu yang mengerikan di pintu masuk itu. Kedua mata Tiara melotot.“Tiara, lu kenapa?” Heri melepas genggamannya dari lengan hilda, lalu lari ke arah meja Tiara.
Namun, sesaat sebelum Heri tiba di meja kerjanya, tubuh Tiara lunglai. Ia jatuh berdebam ke lantai. Apa sebenarnya yang sudah Tiara lihat?Lampu hotel menyala kembali. Heri membopong Tiara ke ruang istirahat. Saking paniknya dia lupa pada Hilda yang barusan ia bawa dari lantai dua. Anehnya Hilda sudah menghilang. Jelas itu bukan sosok Hilda yang sebenarnya, tapi makhluk halus yang menyerupai Hilda.
“Tadi lu lihat apa?” tanya Heri setelah Tiara siuman.
“Lu benar, Her. Ada setan di hotel ini.” Heri terkejut mendengar pernyataan Tiara. “Apa yang lu lihat barusan?"“Cewek. Mukanya penuh darah. Setelah itu gua enggak sadar,” jawab Tiara dengan suara parau. “Kayaknya gua mau resign aja. Gua enggak sanggup lagi kerja di sini,” tambah Tiara. Heri mengembuskan napas berat. Dia tahu pasti itu setan wanita yang pernah jadi korban pembunuhan di hotel ini. “Gua juga tadi ketemu sama Hilda, mahasiswa yang hilang itu. Tapi, anehnya dia sekarang hilang lagi entah ke mana. Gua juga yakin sih yang gua bawa itu setan.” “Sekarang hati-hati. Hotel ini angker. Lu mau tetap kerja di sini?” tanya Tiara.“Enggak ada pilihan lain, Ra. Gua harus tetap kerja,” jawab Heri.
Seorang service room muncul dari pintu. Ia tampak terburu-buru. “Mas Heri, ada tamu yang mau check in,” kata seorang service room itu. Heri mengerutkan dahi. Dia heran, tumben sekali ada tamu tengah malam seperti ini. Ia pun bergegas ke meja kerjanya. Di sana ada seorang lelaki yang penampilannya kumal. Ia mengenakan topi koboi, menenteng senapan angin, dan menggendong tas ransel. Pakaiannya kotor penuh bercak lumpur yang mengering. Lelaki itu seperti baru saja pulang dari ekspedisi hutan belantara. Di samping lelaki itu ada seorang perempuan yang umurnya berkisar 21 tahun. Penampilannya tidak kalah kumal. Rambutnya kusut dan ada bercak lumpur kering di wajahnya. Perempuan itu terlihat murung. Dia menunduk dengan tatapan kosong.“Kami pesan dua kamar, ya,” kata lelaki itu sembari mengeluarkan sebuah kartu debit dari dompetnya.
“Baik, Pak.” Tanpa banyak tanya lagi, Heri melayani kedua orang itu dengan ramah. Heri pun mengantar kedua tamunya ke kamar nomor 112 dan 113. Lelaki itu tak banyak bicara. Walau Heri menerangkan jenis layanan yang ada di hotel ini, tapi tampaknya kedua tamu itu sama sekali tidak peduli.Jauh dari hotel, ada kabar buruk mengenai Zainal. Semenjak kepulangannya dari Ajang Pemilihan Duta Bahasa, dia jatuh sakit. Setiap hari ia merasakan perutnya perih seperti ditusuk-tusuk. Dia juga sering merasa sakit kepala.
Ia berkali-kali pergi ke dokter. Tapi, tetap tidak kunjung sembuh. Zainal juga sempat di rawat di rumah sakit. Namun, itu hanya beberapa hari saja karena keluarganya tidak sanggup lagi membayar biaya rawat inap.Tengah malam seperti ini, seluruh keluarga Zainal berkumpul. Mereka menangisi Zainal yang sedang sekarat tak berdaya di atas kasur, tidak terkecuali Fadil. Sudah dua hari ia mendampingi temannya.
Zainal sebenarnya sudah sekarat dari sehari sebelumnya. Tidak jelas penyakit apa yang diidapnya. Sebab, dia tiba-tiba sakit parah kemudian kondisinya seperti itu. Beberapa saat kemudian, kedua mata Zainal terpejam. Dadanya turun-naik, nyawanya sudah di tenggorokan. Sang ibu membisikkan kalimat tauhid di telinga anaknya sambil menangis. Dalam satu embusan napas, Zainal meninggal dunia. Seluruh keluarga histeris, termasuk Fadil. Ia juga meneteskan air mata. Entah kenapa Fadil dari awal curiga kalau penyakit temannya itu bawaan dari hotel angker. Tapi, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Sekarang Zainal sudah meninggal. Bisa jadi selanjutnya Fadil atau teman-teman lainnya yang pernah jadi peserta di hotel itu.Surat Yasin tidak henti-hentinya dilantunkan keluarga Zainal dan para tetangga. Tepat jam 4 dini hari, tiba-tiba jasad Zainal bergetar. Semua panik sambil mengucap istighfar. Kapas yang disumpal di lubang Zainal mental begitu saja. Matanya melotot. Ia bangun seperti ada yang mengendalikan jasadnya.
“Tolong aku! Sempurnakan jasadku!” Itu suara wanita. Fadil mengenali suaranya itu. Ya, itu jelas suara Hilda.Hanya pesan itu saja yang diucapkan Zainal. Kemudian ia mati kembali. Semua orang di ruangan itu tidak berhenti mengucap istighfar. Ibu Zainal menangis histeris sambil menyentuh wajah anaknya tersebut. Ia berharap anaknya masih hidup. Sayangnya, tidak ada tanda-tanda kehidupan dalam tubuh Zainal.
Ada hal yang ingin disampaikan Hilda. Fadil yakin pesan itu merupakan sebuah petunjuk tentang keberadaan jasad wanita itu. Dan, kamar itulah satu-satunya jawaban. Fadil akan kembali ke hotel itu untuk mencari tahu keberadaan jasad Hilda.
Sementara itu di hotel, seorang pria yang tadi datang tengah malam tidak bisa tidur. Senapan angin disandarkan dekat dengan tempat tidurnya. Sementara topi koboinya ia letakkan di atas meja. Ia masih syok dengan apa yang telah ia alami beberapa hari lalu di Gunung Pulosari. Bayangan demi bayangan terlintas di benaknya. Ia berhasil membunuh koloni babi yang menyerangnya. Ia juga sempat dibawa ke alam jin oleh seorang wanita yang berpakaian seperti ratu. Hingga akhirnya Bobi berhasil menemukan Mira di sebuah perkampungan jin.Tidak mudah baginya untuk bisa menyelamatkan saudaranya itu. Dia harus melawan sosok genderuwo yang tak lain adalah suami Mira. Senapan angin yang ia bawa sudah tidak berguna di alam jin. Untungnya Bobi berhasil mengalahkan genderuwo itu.
Entah apa yang terjadi pada dirinya. Tiba-tiba saja Bobi seperti punya kesaktian dalam tubuhnya. Dia tidak pernah menyadari kalau di dalam tubuhnya ada energi gaib yang sangat kuat. Ia berhasil membunuh dan melenyapkan genderuwo itu. Bobi keluar dari alam gaib itu dengan membawa Mira. Bobi tidak tahu kalau dia merupakan keturunan dari seorang kepala desa Pulosari yang melegenda. Ya, kepala desa yang dulu pernah menaklukkan kerajaan jin gunung Pulosari. Selama kepala desa yang sakti itu menjabat, tidak ada koloni babi yang menyerang perkebunan warga. Kekuatan gaib yang Bobi miliki merupakan ilmu turunan dari kepala desa sakti itu. Sang Ratu gunung Pulosari pun tidak berani menyakiti Bobi. Ia berhasil membawa Mira keluar dari gunung itu.ADVERTISEMENTSayangnya, Bobi tidak menemukan jalan setapak tempat motornya diparkirkan. Ia keluar dari gunung itu melalui jalan yang tak pernah ia tahu sebelumnya. Tengah malam, Bobi dan Mira tiba di sebuah jalan raya. Tidak ada perkampungan warga di sana. Sejauh mata memandang hanya ada pepohonan yang berjejer di pinggir jalan. Mereka berdua duduk di pinggir jalan berharap ada mobil yang melintas.
“Mira!” sapa Bobi.Sepanjang perjalanan dari alam gaib sampai turun dari gunung, Mira tidak berbicara sepatah kata pun. Tatapannya kosong. Dia seperti orang yang kehilangan akal. Sesampainya di rumah nanti, Bobi akan membawa Mira ke rumah sakit. Tidak lama berselang, dari kejauhan terlihat sebuah mobil pikap yang tengah mengangkut sayuran. Segera Bobi berdiri lalu melambaikan tangannya. Mobil itu berhenti tepat di hadapannya. ADVERTISEMENT“Boleh numpang, Pak?” tanya Bobi kepada sopir yang berperawakan kurus itu.
“Mau ke mana ya?” “Ke Kananga Selatan,” jawab Bobi. “Oh, saya enggak ke sana. Saya mau ke pasar Curug nganterin sayuran ini.”“Enggak apa-apa, Pak, kami ikut saja.”Yang terpenting bagi Bobi saat itu adalah pergi dari kawasan gunung. Urusan pulang itu gampang. Dia bisa cari penginapan dulu di perjalanan. Setelah satu jam berlalu, Bobi sadar kalau mobil pikap itu membawanya semakin jauh dari Kananga Selatan. Untung saja dia melihat ada sebuah hotel megah di pinggir jalan itu.“Pak, kami turun di sini saja,” pinta Bobi. Dia akan menginap untuk semalam di hotel itu. Besoknya baru dia akan mencari kendaraan umum untuk pulang. Lagipula, Bobi sudah sangat lelah dan ingin segera istirahat.***
Malam itu Bobi benar-benar tidak bisa tidur. Ia bangkit dari tempat duduknya lalu mengambil kunci kamar Mira. Dia berjalan ke kamar Mira dan membuka pintu kamar. Di dalam sana, Mira juga tidak tidur. Ia hanya duduk termangu di tepi tempat tidurnya. Bobi khawatir saudaranya itu malah jadi gila. Tidak lama berselang terdengar suara teriakan dari kamar nomor 111. Bobi terkejut. Ia lari ke kamarnya sendiri lalu meraih senapan angin. Tinggal tersisa tiga peluru. kalau ada orang jahat di dalam kamar itu, Bobi harus menggunakan sisa pelurunya dengan sebaik mungkin. Pintu kamar nomor 111 terbuka sedikit. Teriakan itu terdengar semakin keras dan terkesan seperti orang sedang dipukuli. Pelan-pelan Bobi mendekat sambil menyodorkan moncong senapannya ke pintu kamar itu.“Jangan masuk!” Heri tiba-tiba muncul dari belakang Bobi.
Lanjut Heri, “Kamar itu angker.”***·
Angker? Bobi mengerutkan dahi.Iya, Pak. Jangan dekat-dekat dengan kamar itu!Halah... persetan dengan angker.Bobi malah menendang pintu kamar. Itu membuat Heri lari ketakutan. Bobi heran lantaran tidak ada siapa-siapa di sana. Ia pun menutup kembali pintunya. Bobi sama sekali tidak takut. Sebab, yang ia alami di Gunung Pulosari jauh lebih mengerikan.Sesaat sebelum Bobi masuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang seperti mencakar-cakar pintu. Bobi pun menoleh. Tepat dari celah pintu kamar nomor 111 ada darah mengalir perlahan membasahi lantai. Bobi menggelengkan kepala.“Sebaiknya kau tidak menggangguku. Aku sudah pernah membunuh jin seperti kau,” kata Bobi.Dengan penuh emosi, dia tendang kembali pintu kamar itu. Kali ini tampaklah seorang wanita dengan wajah penuh darah.“Kenapa kau mengganggu manusia?” tanya Bobi.Yang ditanya diam saja. Wajahnya datar menat
Bobi terkapar tak sadarkan diri di bawah pohon besar. Pakaiannya penuh dengan bercak lumpur. Topi koboinya hilang entah ke mana. Senapannya tergeletak tak jauh dari tubuhnya.Terakhir kali Bobi sadar dia dibawa oleh sosok wanita yang berpakaian layaknya ratu kerajaan. Entah apa yang selanjutnya terjadi, tiba-tiba sekarang dia malah terkapar di bawah pohon besar ini.Kelopak mata Bobi bergerak. Dalam satu hentakan, kedua matanya membelalak. Bobi menarik napas dalam-dalam seperti orang yang baru saja tenggelam. Kemudian napasnya terengah-engah, telinganya berdengung hebat. Ia mengerang-erang sambil menutup kedua telinganya dengan telapak tangan.Semakin lama telinganya berdengung semakin keras. Bobi berteriak kesakitan. Dengan terburu-buru, dia merogoh botol air minum dari dalam tasnya lalu menyiram telinganya sendiri.Perlahan rasa sakit itu reda. Bobi kembali berbaring. Dia menatap dahan-dahan pohon yang rindang, tapi tatapan itu kosong.
Tanpa pikir panjang lagi, Bobi lari menghampiri Mira. Namun, saat ia akan menyentuh lengan Mira, tiba-tiba saja Mira dan sosok wanita berpakaian kerajaan itu hilang entah ke mana. Keramaian pasar juga lenyap begitu saja.Pasar itu berubah menjadi lahan kosong yang berbatu. Sedangkan Ajeng masih berdiri di kejauhan sambil terheran-heran dengan apa yang dilihatnya.“Mira! Mira!” Bobi berteriak ke segala arah mencari Mira. Tapi Mira tak menampakkan wujud lagi.“Mas! Kita dipermainkan setan. Ayo pergi dari sini!” teriak Ajeng dari kejauhan.Bobi pun menyerah. Ia merasa mungkin Ajeng benar kalau yang dilihatnya tadi hanya jelmaan Mira. Ia meraih kembali senapannya yang tergeletak di tanah, lalu berjalan menghampiri Ajeng. Tanpa berkata apa pun Bobi melanjutkan perjalanan.“Kita mau ke mana lagi?” Ajeng mempercepat langkahnya, mengejar Bobi.“Sudah kubilang aku mau cari Mira,” kini Bobi j
Ajeng masih lari sekuat tenaga untuk menjauh dari genderuwo itu. Kini suara raungan itu seperti ada di atas kepala Ajeng. Wanita itu berteriak minta tolong, dia berharap ada seseorang yang muncul dan menyelamatkannya. Ketika Ajeng melewati akar pohon besar, kakinya tersandaung, dia pun jatuh dan bagian kepalanya membentur akar pohon dengan sangat keras.Masih dalam keadaan sadar, Ajeng terkapar tak berdaya di bawah pohon itu. Darah mengalir keluar dari kepalanya dan saat Ajeng berkedip, genderuwo itu sudah ada di hadapannya. Makhluk itu tidak lagi menyerupai Bobi, tubuhnya besar dan berbulu, kukunya panjang berwarna hitam pekat, taringnya menjulur hingga ke perut dan kedua matanya merah menyala.Genderuwo itu menjilati wajah Ajeng yang penuh darah. Ia ternyata suka dengan darah Ajeng. Ingin sekali Ajeng berteriak, tapi dia tidak sanggup. Suaranya seakan hilang begitu saja, Ajeng hanya bisa pasrah. Rasanya dia ingin mati saja sekarang juga.
Mira jangan melamun. Ini di gunung, bahaya," Riki menyadarkan Mira."Tapi, jelas-jelas tadi gua lihat Ayah ada di sana," ia menunjuk ke arah semak-semak."Udah Mir. Kita jalan lagi aja. Itu pasti cuma halusinasi lu," kataku.Kami kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah pendakian, Mira minta istirahat dulu sejenak. Napasnya terengah-engah, wajahnya sangat berkeringat.Aku duduk di atas batu besar sambil menikmati pemandangan yang menyejukkan. Ada batang-batang pohon besar dan suara burung bersahutan dengan monyet. Gunung Pulosari memang mejadi habitat nyaman bagi koloni monyet. Di sepanjang perjalanan tadi, aku selalu melihat monyet bergelantungan di dahan pohon.Selesai istirahat, Riki mengajak kami kembali melanjutkan perjalanan. Ia membagikan tongkat kayu yang baru saja ia buat sendiri. Tongkat itu berguna untuk membantu pendakian."Kira-kira berapa jam lagi kita sampai ke Curug Putri?" tanyaku."Udah deket
Nek jalan pulang ke arah mana ya?” aku bertanya dengan sangat hati-hati.Ia menyeringai seolah ingin mengatakan sesuatu. Tangannya menunjuk ke arah Timur sambil tersenyum ramah. Tapi, tiba-tiba wajahnya berubah menjadi sangat ketakutan saat melihat bola api melayang di langit.“O... ocos, ocos,” katanya terbata-bata.Dia sangat panik. Nenek itu lalu melihat lagi ke arahku. Kali ini dia mendekat. Langkahnya berat karena punggungnya menggendong kayu bakar.“I... ikut. i... ikut. Itu ocos,” dia selalu terbata-bata.Mungkin karena sudah tua, jadi dia mengalami gangguan dalam berbicara. Nenek itu menarik lenganku. Sepertinya dia mau membawaku ke suatu tempat. Sesekali dia mendongak ke langit melihat bola api yang terus mengikutiku.“Kita mau ke mana, Nek.”“Em... sana. Ke... sana. Rumah...,” katanya sambil menepuk dadanya sendiri.Aku tahu mungkin aku akan dibawa
Aku bersembunyi di balik batu yang berlumut. Masih dapat kulihat cahaya senter mereka berayun-ayun dari kejauhan. Langkah mereka semakin mendekat. Aku berlari lagi untuk menjauh dari mereka.“Itu dia!” teriak salah satu anak buah Pak Jaro.Kaki kananku tersangkut akar pohon. Aku terjungkal ke semak-semak. Aku tidak sanggup lagi berlari. Mereka semakin mendekat ke arahku. Wajah Pak Jaro mulai terlihat. Aku merangkak untuk menjauh. Mereka malah tertawa melihat penderitaanku.Seorang lelaki berbadan tambun mendekat. Ia mengikat kedua kaki dan tanganku. Lelaki satu lagi menyiapkan sebatang kayu lalu memasukkannya di antara pergelangan tangan dan kakiku. Mereka berdua menggotong tubuhku dalam posisi terbalik seperti babi hasil buruan. Entah aku akan dibawa ke mana.“Ampuni aku Pak Jaro, jangan bunuh aku.”“Kalau aku tidak menumbalkanmu. Bola api itu yang akan membunuh orang banyak,” Pak Jaro menunjuk ke
Sekitar jam tujuh pagi, Uswah siuman. Kami diperlakukan dengan sangat baik oleh warga kampung. Banyak dari mereka yang menjenguk dan memberi kami makanan. Bahkan, kami tidak diperbolehkan untuk mengendarai motor. Salah satu petugas desa mengantar kami ke rumah masing-masing. Sementara motorku diangkut pakai mobil pikap.Di hari yang sama, Gunung Pulosari longsor. Pemerintah daerah kemudian menutup secara resmi jalur pendakian ke gunung itu. Om Bobi, yang tak lain adalah Om-nya Mira sangat marah kepadaku. Bahkan, dia membawa perkara ini ke pengadilan. Ia menganggapku lalai menjaga Mira.Untung saja aku bebas dari tuntutan karena aku termasuk korban yang ikut hilang dalam pendakian. Tidak ada bukti kuat kalau aku menyakiti, bahkan membiarkan Mira celaka. Om Bobi yang keras kepala malah berniat mendaki Pulosari untuk mencari Mira. Dia tidak rela kehilangan orang yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri.Setelah kejadian di gunung, aku mengalami trauma. Aku
Kiai Muntaqo beserta para santrinya berhamburan ke belakang asrama. Semua orang yang ada di sana panik melihat Ririn menggantung di dahan pohon mahoni. Kiai Muntaqo membaca kalimat-kalimat ruqiah sambil mengacungkan telunjuknya ke arah Nurul. Saat itu juga Nurul mulai terlihat kesakitan. Lima orang santri muncul dengan menggotong sebuah spring bed besar untuk menahan tubuh Ririn.Nurul menjatuhkan Ririn dan untung saja wanita itu jatuh tepat di atas spring bed, sementara Nurul masih bertengger di atas dahan pohon mahoni. Kalimat-kalimat ruqiah terus dilantunkan oleh Kiai Muntaqo, Nurul pun terjungkal ke belakang. Dia juga jatuh tepat di atas spring bed sehingga tidak ada luka sedikit pun. Faisal memeriksa keadaan adiknya itu, dia menangis karena tak tega melihat adiknya yang sering sekali kesurupan.***Satu Minggu Kemudian.Sudah lima kali Faisal bermimpi tentang sumur tujuh yang ada di puncak gunung Karang. Dalam mimpinya itu, Faisal didatangi kakek
Sudah dua hari hewan ternak warga kampung Kaduengang hilang secara misterius. Puluhan ayam lenyap dari kandangnya, kambing yang dipelihara bertahun-tahun juga hilang. Belum lagi kerbau, ada sepuluh ekor yang hilang secara misterius. Mereka yakin pasti ada maling di kampung mereka. Warga kampung itu sepakat untuk memperbanyak pos ronda. Setiap malam para pemuda dan bapak-bapak bergantian menjaga kampung. Mereka sangat hati-hati jika ada orang asing yang masuk ke kampung mereka.Anehnya tidak ada tanda-tanda maling di kampung itu. Selama satu minggu berjaga, tak satu pun orang asing yang masuk ke kampung. Kasus hilangnya hewan ternak belum terpecahkan, tapi sudah muncul kasus baru. Banyak warga yang melapor ke ketua RT kalau warung mereka kemalingan. Barang dagangan mereka hilang, tapi si maling hanya mencuri barang yang bisa dimakan saja seperti kue, biskuit, kopi, dan makanan lainnya.Kejadian ini benar-benar menggemparkan seluruh warga kampung. Mereka bahkan m
Tok…tok…tok…tok…!Sebagian siswa juga masih merasakan hadirnya seseorang di sekitar asrama yang tak terlihat wujudnya. Salah satu yang merasakan hal itu adalah Laila. Siang itu, sekitar jam dua belas siang, Laila memasuki asrama sehabis pelatihan. Aura menyeramkan di ruang tamu terasa sekali hingga bulu kuduknya terasa meremang. Ia merasa di belakangnya ada yang mengikuti, namun begitu menoleh, tak dilihatnya seorang pun di sana. Saat masuk ke kamar tiba-tiba hawa dingin menerpa tubuhnya, padahal suasana siang itu begitu terik. Ia merasa ada yang mengawasi dirinya, namun tak di dapatinya seorang pun di kamar. Untuk mengurangi rasa takut, ia nyalakan musik dari ponsel sekencang-kencangnya.“Aku merasa ada yang memperhatikanku! Tapi, aku tak melihatnya sama sekali! Tapi, aku yakin, dia memperhatikanku aku!” seru Laila. Ternyata, teman-teman lainnya juga merasakan hal yang sama.Hampir seluruh siswa di asrama merasakan hal yang sam
Blok MMelamun sesaat, fokusku hilang dikala hening senyap menjerat kesadaran.Tapi tiba-tiba aku melihat sesuatu di kejauhan, ada bayangan berbentuk orang yang muncul dalam gelap.1Aku yang awalnya kaget, berangsur jadi agak tenang ketika merasa kalau sepertinya yang datang itu benar-benar orang.Ternyata memang benar, aku melihat ada seseorang sedang melangkah mendekat. Karena masih cukup jauh, jadinya aku masih hanya bisa melihat dalam bentuk siluet.Tapi aku sudah bisa yakin kalau orang ini adalah sosok laki-laki, kalau melihat dari posturnya.Ketika sudah cukup dekat, barulah aku bisa melihat dengan jelas kalau ternyata yang mendekat ini adalah seorang sekuriti gedung.Ah leganya, aku jadi bisa segera turun dengan meminta untuk ditemani ke bawah.“Pak, hmmmmm.” Aku menegurnya, ketika kami akhirnya sudah berhadapan. Karena gak familiar, aku melirik ke nametag yang ada di seragamnya, aku membaca nama “Wawan”.Iy
Katanya, Sulis sakit keras. Badannya telah lumpuh total, hanya mampu berbaring di ranjangnya. Matanya selalu melotot, ada borok di sekujur tubuhnya, padahal perutnya semakin membuncit karena janin yang dikandungnya. Bu Sri memohon untuk mengantar Sulis ke Rumah Sakit.Karena waktu itu, hanya keluargaku yang memiliki mobil. Akhirnya tanpa pikir panjang, aku dan suamiku mengantar Sulis saat itu juga.Sulis sudah seperti mayat hidup bila ku lihat. Matanya terbuka, masih bernafas, namun tidak bisa di ajak bicara, dan tidak mampu bergerak. Borok di sekujur tubuhnya berbau sangat busuk.Sesampai di RS, Sulis langsung ditangani oleh dokter. Hampir 3 jam kami menunggu hasil pemeriksaan dokter, setelah itu kami ketahui bahwa Sulis menderita diabetes akut yang membuat sekujur tubuhnya terluka dan bernanah.Setelah satu hari dirawat, Sulis akhirnya menghembuskan napas terakhir. Beruntung kata dokter, janin dalam perutnya belum memiliki nyawa, bentuknya pun belum sempurn
Saat itu tahun 2005.[Suara HP berbunyi]"Halo? Assalamualaikum Pak?""Halo, Waalaikumsalam Dung. Gimana kabarmu? Gimana kuliahmu?""Alhamdulillah semua lancar pak, kabar saya sehat. Bapak ibu sehat kan?""Syukurlah nak, bapak ibu sehat,"Kemudian seketika hening, tak ku dengar lagi suara bapak dari telepon. Yang ku dengar hanyalah suara lelaki tengah menahan isak tangisnya.Feeling-ku benar, sepertinya bapak sedang tidak baik-baik saja, sudah kuduga sejak ku angkat gagang telepon, suara dan nada bicara bapak tidak seperti biasanya."Pak, bapak kenapa?,""Gapapa nak, kamu buruan pulang ya. Kalau bisa minggu depan. Bapak mau ngomong sama kamu,""Iya pak insyaallah saya pulang minggu depan,"[Tuut..tuut..tuut..]Sejenak aku berpikir bagaimana agar minggu depan bisa ku penuhi permintaan bapak untuk pulang. Karena jujur saja, aku berkuliah sambil bekerja di kota metropolitan. Aku tidak ingin menambah beban bapak yang hanya seor
Ada apa dengan Guci ini sih?Kenapa banyak kejadian seram setalah ada guciGimana sejarah guci ini?Semakin seram, semakin menakutkan, banyak peristiwa yang terjadi di rumah Jessica.Jessica akan lanjut bercerita di sini, di Briistory.#BriiStoryJangan baca sendirian, lanjut di komentar yaaa!***#1Begitulah, banyak kejadian janggal yang terjadi sejak kehadiran guci itu di rumah. Kejadian janggal dan kadang menyeramkan, yang secara langsung maupun gak langsung mempengaruhi kehidupan kami juga.Setelah banyak kejadian, aku menjadi selalu was-was apa bila harus di rumah sendirian walaupun itu siang hari. Lalu, sebisa mungkin menahan diri untuk gak ke kamar mandi tengah malam, aku akan menahan pipis sampai pagi.Jo jadi semakin jarang tidur di rumah, lebih sering bermalam di rumah teman atau di rumah Om Fendy. Dia bilang, gak tahan dengan penampakan-penampakan seram yang dia lihat gak satu dua kali, tapi sering.Selama k
Rumah, seharusnya menjadi tempat teraman dari rasa takut dan cemas, tapi ternyata gak selalu demikian. Seperti yang dialami oleh Jessica dan keluarganya.ADVERTISEMENTRumah mereka menjadi sumber teror yang menakutkan.Jessica yang akan bercerita sendiri di sini, di Briistory.#BriiStory#MalamJumatLanjut di komentar ya..***#1Sekali lagi aku terjaga, jam setengah dua malam. Penuhnya kandung kemih, memaksaku tersadar dari tidur. Kebelet banget, gak tahan, mau gak mau harus pergi ke toilet.Tapi belakangan, bangun malam jadi hal yang membuatku paranoid, apa lagi ketika terpaksa harus ke luar kamar.Sama seperti malam ini, tiba-tiba terbangun pingin pipis. Padahal sudah berusaha maksimal untuk menahan dan kembali tidur, tapi gak bisa, sudah di ujung.Aku takut, takut dengan hal ganjil dan menyeramkan yang belakangan selalu terjadi ketika melintasi ruang tengah.Kebetulan toilet letaknya di depan kamar Papa Mama, berse
Tahun 2007 awal pernikahan dengan Imas, 3 tahun sebelum aku berganti pekerjaan sebagai tukang cukur (mempunyai pangkas) awalnya aku adalah penjual martabak manis, tempat aku berjualan sekitar satu jam dari rumah, di sebuah kampung dekat dengan sebuah danau, di mana di situlah orang-orang sering ramai, walau yang berjualan bisa terhitung dengan jari.Yogi adalah teman masa sekolahku yang mempunyai resep martabak karena memang turun temurun dari keluarganya, atas persetujuan modal yang aku keluarkan sangat terbatas, akhirnya aku dan Yogi sepakat memulai usaha tersebut, penampilanku sama halnya dengan sekarang tidak pernah rapih sama sekali.Selepas waktu ibadah solat asar, aku dan Yogi yang memang kebetulan tidak jauh rumahnya dari rumah Ibuku (waktu itu masih tinggal bersama Ibu) selalu menjemputku dengan membawa adonan martabak dan segala perlengkapan lainya untuk berdagang.Sudah hampir 3 bulan berjalan, dan memang selalu habis jauh di mana waktu prediksiku yang seha