Beranda / Thriller / Hotel Bekas Pembunuhan / Kualat di gunung Pulosari Part 2

Share

Kualat di gunung Pulosari Part 2

Penulis: sekar
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-10 12:23:26

Tanpa pikir panjang lagi, Bobi lari menghampiri Mira. Namun, saat ia akan menyentuh lengan Mira, tiba-tiba saja Mira dan sosok wanita berpakaian kerajaan itu hilang entah ke mana. Keramaian pasar juga lenyap begitu saja.

Pasar itu berubah menjadi lahan kosong yang berbatu. Sedangkan Ajeng masih berdiri di kejauhan sambil terheran-heran dengan apa yang dilihatnya.

“Mira! Mira!” Bobi berteriak ke segala arah mencari Mira. Tapi Mira tak menampakkan wujud lagi. 

“Mas! Kita dipermainkan setan. Ayo pergi dari sini!” teriak Ajeng dari kejauhan. 

Bobi pun menyerah. Ia merasa mungkin Ajeng benar kalau yang dilihatnya tadi hanya jelmaan Mira. Ia meraih kembali senapannya yang tergeletak di tanah, lalu berjalan menghampiri Ajeng. Tanpa berkata apa pun Bobi melanjutkan perjalanan. 

“Kita mau ke mana lagi?” Ajeng mempercepat langkahnya, mengejar Bobi. 

“Sudah kubilang aku mau cari Mira,” kini Bobi jengkel sama Ajeng yang banyak tanya. 

“Iya, tapi ke mana?” tanya Ajeng lagi. 

“Aku tidak tahu.”

Bobi berhenti. Dia membalikkan badan dan menatap Ajeng dengan tatapan marah. 

“Sudah kubilang, jangan ikuti aku! Aku nggak mau ada beban!” bentak Bobi. 

Setelah dibentak seperti itu, Ajeng langsung diam dan tertunduk. Bobi melangkah kembali. Kali ini ia mempercepat langkahnya. Ajeng tergopoh-gopoh mengejarnya dari belakang. 

Sampai sore, mereka malah semakin tersesat di tengah hutan. Bobi kelelahan. Persediaan makanannya sudah habis. Ia duduk di bawah pohon sambil memeriksa ranselnya, mencari-cari sisa makanan. 

“Aku udah kehabisan makanan. Air juga habis,” kata Bobi sambil melirik Ajeng. 

“Aku ada air minum nih,” Ajeng merogoh sebotol air minum dari dalam tasnya. Ia kemudian menyerahkan botol itu pada Bobi. 

“Dari mana kamu dapat air ini?” tanya Bobi. 

“Itu air hujan, Mas. Nama kamu siapa sih, Mas?” Ajeng malah balik tanya. 

“Bobi.”

Ajeng mengangguk-angguk. Tak lama kemudian terdengar suara petir dari kejauhan. Awan hitam pun perlahan mendekat membuat suasana menjadi mendung. 

“Sepertinya akan hujan. Kita bikin tenda di sini saja,” Bobi bangkit lalu mengeluarkan tenda dome miliknya. 

Tak sengaja Ajeng melihat seekor ular sanca yang melintas dari balik semak-semak. Wanita itu pun dengan sigap mengeluarkan pisau dari dalam tasnya. Ia mendekati ular itu pelan-pelan. 

“Kamu mau apa?” Bobi yang sedang sibuk mendirikan tenda, tiba-tiba perhantiannya tertuju pada Ajeng. 

“Ada makanan, Mas.”

Tanpa ancang-ancang lagi, Ajeng memegang kepala ular sanca itu lalu memotongnya. Tubuhnya sempat dililit, tapi Ajeng berhasil melepaskan diri. 

***

Malam itu ternyata hujan tak kunjung turun. Ajeng membakar potongan ular sanca hasil buruannya tadi sore, sementara Bobi tidak sanggup makan ular itu. Ia lebih baik menahan lapar daripada harus makan ular. 

“Enak, Mas. Cobain deh,” Ajeng menyodorkan sepotong daging ular pada Bobi. 

“Kamu saja. Aku tidak biasa makan ular,” jawab Bobi. Ia melamun, tatap matanya kosong memandangi api unggun. Ia masih memikirkan nasib istrinya di rumah.

“Ya sudah kalau nggak mau,” Ajeng pun memakan potongan daging ular itu. 

Malam semakin larut. Api unggun dibiarkan menyala. Bobi dan Ajeng masuk ke dalam tenda, mereka tidur dengan posisi saling membelakangi satu sama lain.

Namun, tengah malam entah jam berapa, ada bayangan seorang lelaki yang melintasi tenda mereka. Lelaki itu berlalu-lalang, membuat suara berisik di semak-semak.

Bobi pun bangun. Ia seketika menyadari kalau ada seseorang di luar tenda. Buru-buru ia meraih senapannya. Dengan hati-hati dia mengintip dari celah pintu tenda. Di luar, Bobi melihat ada lelaki yang sangat ia kenal. Itu adalah Eldi. Dia berdiri tepat di depan tenda. 

“Eldi?” tanya Bobi. 

“Om, tolongin Mira, Om!” kata Eldi, raut wajahnya tampak panik.

Segera Bobi keluar dari dalam tenda. 

“Mira?! Di mana dia?” 

“Di sana, Om!” Eldi menunjuk ke Barat. 

“Ayo antar aku,” pinta Bobi sambil merogoh senter dari dalam kantong celananya. Ia tidak curiga sedikit pun pada Eldi. Bobi kira Eldi memang masih hidup. Padahal si Eldi ini udah meninggal. 

Bobi mengikuti Eldi dari belakang. Mereka berdua pun tiba di sebuah tempat yang asing bagi Bobi. Ini masih di tengah hutan, banyak pohon-pohon besar di sekeliling Bobi. 

“Di sana, Om,” tunjuk Eldi ke atas pohon. 

Bobi mengarahkan cahaya senternya ke atas. Di sana ia melihat ada puluhan orang yang lehernya digantung. Mereka semua mati mengenaskan, matanya melotot dan lidahnya terjulur. 

“Mereka siapa? Siapa yang melakukan ini? Dan, di mana Mira?” dengan ekspresi wajah terkejut Bobi menoleh kepada Eldi. 

Tampak wujud Eldi yang sangat menyeramkan. Kepalanya hanya sisa sepotong. Lidahnya menjulur keluar, darahnya juga tercecer ka tubuhnya. Bobi terkejut dan langsung lari tunggang-langgang tanpa arah. 

***

Sementara itu, di dalam tenda, ada yang memeluk tubuh Ajeng. Wanita itu pun bangun. Dia membalikkan badan. Dengan mata terpicing, ia melihat Bobi sedang memeluknya. 

“Kamu bangun,” kata Bobi sambil menatap Mira dalam-dalam. 

Ajeng benar-benar gugup. Bobi semakin meringsut mendekatinya. 

“Jangan, Mas…,” kata Ajeng pelan. 

“Kamu kedinginan kan?” tanya Bobi sambil tersenyum.

Ajeng berusaha melepas pelukan lelaki itu. Namun, keadaan semakin tak terkendali. Ajeng kesulitan melepas pelukan lelaki yang menyerupai Bobi. Ajeng pun pasrah begitu saja. Demit itu meniduri Ajeng. 

=====

Bobi kesulitan mencari lokasi tendanya. Dia benar-benar disesatkan jin yang menyerupai Eldi. Sampai esok pagi, Bobi tidak mampu menemukan tendanya itu. Dia terus berteriak memanggil nama Ajeng. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan Ajeng. 

Bobi jelas saja kebingungan karena semua peralatan campingnya ada di dalam ransel itu. Yang ia punya sekarang hanya senapan angin yang sudah kehabisan peluru. 

“Ajeng! Ajeng!” teriaknya, memanggil nama Ajeng. Ia berteriak sambil mendongak ke langit agar suaranya menggema.

Keringat mulai membasahi wajahnya. Kondisi Bobi semakin lemah. Dari kemarin dia belum makan apa pun. Bobi terus berjalan tanpa arah, dia tidak tahu mau ke mana.

Baginya pendakian ini malah semakin rumit. Belum lagi nasib istrinya di rumah. Bobi tidak tahu apa yang terjadi dengan istrinya yang sedang hamil. 

“Ampun, Nyai…,” tiba-tiba Bobi mendengar lirih suara perempuan. 

Ia langsung waspada. Senapan angin yang ujungnya sudah diberi pisau ia arahkan ke depan. Bobi siap menusuk siapa pun yang mengganggunya lagi. 

“Ampun, Nyai!”

Bobi meruncingkan daun telinganya dengan telapak tangan kanan untuk mencari sumber suara itu. Ia pun melangkah pelan ke arah sumber suara. Semakin Bobi melangkah ke arah Barat, suara itu semakin terdengar jelas.

Ia menyibakkan semak belukar yang menghalangi pandangannya. Dari balik semak itu, Bobi melihat seorang nenek tua sedang sujud di atas tanah. 

Penampilan nenek itu kacau sekali. Rambutnya yang penuh uban sangat acak-acakan. Ia mengenakan kain jarik dan berbaju kebaya yang sudah usang. Warnanya juga pudar. 

Nenek itu menyadari kalau ada seseorang yang datang. Ia bangun dari sujudnya, lalu menoleh ke arah Bobi. Seketika saja Bobi mengarahkan moncong senapan ke wajah nenek itu. 

“Jangan mendekat!” ancam Bobi. 

Namun, tatapan nenek itu kosong. Seolah tak memedulikan Bobi, dia justru terus meminta ampun kepada seseorang yang disebutnya 'Nyai'. 

Bobi mundur beberapa langkah. Sebab, nenek itu terus mendekat ke arahnya.

“Semua orang di gunung ini kualat!” kata nenek itu. 

Dia adalah Nyi Amah, wanita tua yang dulu pernah mengingatkan rombongan Mira agar tidak mendaki gunung Pulosari. Nyi Amah memang terkenal sebagai orang gila yang berkeliaran di kaki gunung Pulosari. 

Bobi menurunkan senapannya. Ia merasa nenek yang sedang berdiri di hadapannya itu tidaklah berbahaya. 

“Kualat? Kualat kenapa?” Bobi mengerutkan dahi. 

“Ada yang buang darah haid sembarangan di Curug Puteri,” bentak Nyi Amah dengan ekspresi wajah mengancam. Tapi, Bobi tidak menimpali apa pun. 

“Nyai ratu gunung ini marah,” lanjut Nyi Amah. 

“Nenek tahu di mana Mira? Keponakan saya hilang di gunung ini,” tanya Bobi. 

Nenek itu malah tersenyum sambil tertawa cekikikan. 

“Mira…, dia ada di alam gaib,” 

“Kalau gitu saya mau masuk ke alam gaib. Bagaimana caranya?” tanya Bobi. 

Seketika raut wajah Nyi Amah menjadi muram. Dia menggelengkan kepala sambil balik badan. Ia lalu pergi dari hadapan Bobi. 

Bobi mengejar Nyi Amah. Tapi wanita tua itu tak peduli. Dia terus jalan sambil tertawa sendiri. Sesekali Nyi Amah memohon ampun kepada Nyai penguasa gunung Pulosari.

Setelah cukup jauh mengikuti nenek itu, akhirnya Bobi menyerah. Dia pun membiarkan Nyi Amah pergi begitu saja. 

Bobi mendongak ke atas pohon. Di dahan-dahan itu ada koloni monyet yang sedang bergelantungan. Bobi lalu mengembuskan napas berat dan menunduk. Perutnya semakin lapar, tenggorokannya juga kering.

Namun, saat itu juga terlintas di benaknya sebuah cara agar dia bisa masuk ke alam gaib. Ya sebuah cara yang sebenarnya cukup gila.

“Aku harus kualat,” gumam Bobi. “Ya aku harus kualat. Dengan begitu penghuni gunung ini akan membawaku ke alam gaib.”

Yang menjadi pertanyaan di benak Bobi adalah bagaimana dia bisa kualat. Ia ingin membuat makhluk halus penghuni gunung ini marah. 

“Curug Puteri,” gumam Bobi, teringat sebuah tempat yang sempat disebutkan Nyai Amah. 

Dia harus mencari lokasi curug itu. Tapi bagaimana dia bisa menemukan lokasi Curug Puteri? Pertanyaan bermunculan di benak Bobi.

Dia pun mendongak ke langit. Di atas sana Bobi melihat kawanan burung cekakak melintas ke arah barat. Setahu Bobi, kalau burung terbang berkoloni seperti itu pasti mereka sedang menuju sumber air.

Dengan sisa tenaga yang ada, Bobi pun mengikuti arah burung itu. Ternyata cara Bobi berhasil. Tepat sebelum matahari terbenam, Bobi tiba di Curug Puteri. Dia pun mandi dan minum di curug itu. Tanpa ragu-ragu lagi Bobi sengaja buang hajat di sana. 

Anehnya, setelah dia buang hajat tidak ada apa pun yang terjadi dengan dirinya. Bahkan, dia sampai berteriak menantang semua demit yang ada di curug itu. Namun, usaha Bobi nihil. Tak ada demit yang mendatanginya. 

Di dekat Curug Puteri ada sebuah saung kecil. Bobi berbaring di saung itu sambil menunggu demit yang mau membawanya ke alam gaib. Tak terasa Bobi ketiduran di saung itu.

Namun, saat bangun… Bobi mendapati dirinya berada di sebuah perkampungan gaib. Dia melihat orang-orang berwajah pucat sedang berlalu-lalang. Suasananya seperti di zaman kerajaan. Di sana, Bobi juga melihat kereta kuda mondar-mandir membawa penumpang. 

Ia meraba lehernya. Ada tali yang melingkar di sana. Tak lama kemudian, tali itu ditarik paksa oleh seseorang. Ia memegangi ikatan tali di lehernya.

Bobi tidak dapat melihat siapa yang menyeretnya dengan paksa. Ia juga tidak tahu mau di bawa ke mana. Ia diseret melewati kerumunan orang. Dan, saat itulah mata Bobi melihat Mira sedang berdiri di pinggir jalan bersama sosok genderuwo.

***

Lain halnya yang terjadi dengan Ajeng. Pagi-pagi sekali dia sudah bangun, sedangkan sosok yang menyerupai Bobi masih tertidur pulas. Tidurnya aneh lantaran liurnya banyak sekali sampai-sampai pakaian Ajeng basah. Ajeng pun mengguncangkan punggung lelaki itu. 

“Mas, bangun udah siang,” kata Ajeng. 

Lelaki itu bangun. Kedua matanya merah sekali. 

“Kamu sakit mata, Mas?” tanya Ajeng. 

“Nggak, kok,” sosok itu malah tersenyum. 

“Ayo kita harus cari keponakanmu lagi, Mas. Dan, kita harus keluar dari gunung ini.” 

Sosok lelaki itu bangkit. Layaknya Bobi, dia pun dengan apik membereskan kembali tenda dome, lalu memasukkannya ke dalam ransel.

Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan, tapi bukan untuk mencari Mira. Demit yang menyerupai Bobi itu punya maksud tersendiri. Malangnya Ajeng, dia diikuti demit berotak mesum.

Ajeng masih bersama sosok yang menyerupai Bobi. Walaupun tingkah lelaki itu agak aneh, tapi Ajeng sama sekali tidak menaruh curiga. Kadang suara lelaki itu sangat besar, tidak mirip dengan suara Bobi. Tapi, sesekali suaranya mirip kembali seperti Bobi. 

Di tengah perjalanan, Ajeng menemukan jasad ketiga temannya terkapar di atas semak-semak. Jasad itu sudah membusuk. Tubuh mereka sedang digerogoti belatung.

Ajeng seketika menangis. Terakhir kali ia melihat teman-temannya itu saat berkemah di dekat kawah gunung Pulosari. Dari kawah itu biasanya para pendaki akan naik ke puncak pada jam tiga dini hari agar bisa melihat matahari terbit, termasuk Ajeng dan tiga orang temannya.

Sialnya tiga orang teman Ajeng itu tergelincir. Mereka mati terbentur bebatuan. Namun, saat Ajeng turun ke daerah kawah, ketiga jasad temannya itu hilang entah ke mana. Seperti ada yang muncuri mereka.

Semenjak itulah Ajeng tersesat di gunung ini. Dan, sekarang di hadapan Ajeng ada jasad ketiga temannya, satu orang perempuan dan dua lelaki yang tak lain adalah teman sekampus Ajeng. 

“Mereka temanmu?” tanya sosok lelaki itu. 

“Iya, Mas…,” Ajeng masih menangis meratapi teman-temannya. 

“Kasihan ya mereka,” sosok itu jongkok di samping Ajeng sambil memperhatikan ketiga mayat yang terkapar di hadapannya. 

Ajeng bangkit. Dia mencari kayu untuk menggali tanah. Ia akan mengubur teman-temannya itu di gunung ini. Sosok menyerupai Bobi itu kemudian membantu Ajeng. Dengan cepat ia menggali tiga buah lubang. 

“Sudah selesai nih,” kata sosok itu. Ajeng yang dari tadi sibuk menggali tanah seketika terheran-heran melihat tiga lubang yang digali dengan sangat cepat. 

"Cepat banget, Mas," kata Ajeng. 

"Iya, aku kan laki-laki," timpal sosok itu sambil tersenyum.

Ajeng pun mengubur ketiga jasad temannya. Dia lalu berdoa di atas kuburan teman-temannya, sementara sosok lelaki itu hanya berdiri sambil senyum-senyum sendiri. 

“Malam ini kita berkemah di sini saja,” ujar lelaki itu. 

“Terserah kamu, Mas,” timpal Ajeng. 

Tenda pun didirikan tidak jauh dari tempat teman-teman Ajeng dikubur. Dan, tengah malam sebelum tidur, Ajeng menceritakan kejadian tragis yang membuat temen-temannya itu meninggal. Namun, sosok lelaki itu tidak peduli dengan cerita Ajeng. Dia malah menatap wajah Ajeng dengan penuh birahi. 

Malam itu berlangsung seperti malam sebelumnya. Demit berotak mesum tersebut berhasil merayu Ajeng. Ajeng pun terkapar, dia tidur dengan nyenyak.

Tengah malam, tiba-tiba Ajeng terbangun. Dia mendengar ada suara orang yang sedang mengunyah. Ajeng menoleh ke sampingnya. Sosok lelaki yang menyerupai Bobi itu tidak ada di tenda.

Di luar tenda, malam itu bulan sedang bersinar terang sehingga dari dalam tenda Ajeng dapat melihat bayangan lelaki. Siluet lelaki itu sedang duduk sambil memakan sesuatu. Buru-buru Ajeng mengenakan kembali pakaiannya lalu mengintip dari celah pintu tenda. 

Di luar sana, Ajeng melihat sosok Bobi yang sedang memakan jasad teman-temannya. Ia mencabik-cabik bagian perut dan mengeluarkan isinya, lalu mengunyahnya dengan lahap.

Sosok Bobi itu menoleh ke Ajeng. Kedua matanya merah menyala, mulutnya penuh bercak darah. Seketika Ajeng menutup kembali pintu tendanya. Dia baru sadar kalau yang selama ini bersamanya bukanlah Bobi. Pantas saja tingkahnya aneh.  

Napas Ajeng terengah-engah. Keringat pun mulai membasahi dahinya. Dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Ajeng melihat bayangan lelaki itu mendekat ke arah tenda. Tapi, semakin mendekat bayangan itu berubah menjadi sosok yang sangat besar. 

Segera Ajeng keluar dari tenda. Ia kemudian lari sekuat tenaga. Ia menerjang belukar yang menghalangi jalannya. Bahunya berdarah tergores ranting yang tajam. Ia terus berlari tanpa arah sambil memegangi bahunya.

Dari kejauhan Ajeng mendengar raungan demit yang semakin mendekat. Sosok itu mengejarnya.

Bab terkait

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Kualat Di Gunung Pulosari Part3

    Ajeng masih lari sekuat tenaga untuk menjauh dari genderuwo itu. Kini suara raungan itu seperti ada di atas kepala Ajeng. Wanita itu berteriak minta tolong, dia berharap ada seseorang yang muncul dan menyelamatkannya. Ketika Ajeng melewati akar pohon besar, kakinya tersandaung, dia pun jatuh dan bagian kepalanya membentur akar pohon dengan sangat keras.Masih dalam keadaan sadar, Ajeng terkapar tak berdaya di bawah pohon itu. Darah mengalir keluar dari kepalanya dan saat Ajeng berkedip, genderuwo itu sudah ada di hadapannya. Makhluk itu tidak lagi menyerupai Bobi, tubuhnya besar dan berbulu, kukunya panjang berwarna hitam pekat, taringnya menjulur hingga ke perut dan kedua matanya merah menyala.Genderuwo itu menjilati wajah Ajeng yang penuh darah. Ia ternyata suka dengan darah Ajeng. Ingin sekali Ajeng berteriak, tapi dia tidak sanggup. Suaranya seakan hilang begitu saja, Ajeng hanya bisa pasrah. Rasanya dia ingin mati saja sekarang juga.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-10
  • Hotel Bekas Pembunuhan   Kualat Di gunung Pulosari Part 4

    Mira jangan melamun. Ini di gunung, bahaya," Riki menyadarkan Mira."Tapi, jelas-jelas tadi gua lihat Ayah ada di sana," ia menunjuk ke arah semak-semak."Udah Mir. Kita jalan lagi aja. Itu pasti cuma halusinasi lu," kataku.Kami kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah pendakian, Mira minta istirahat dulu sejenak. Napasnya terengah-engah, wajahnya sangat berkeringat.Aku duduk di atas batu besar sambil menikmati pemandangan yang menyejukkan. Ada batang-batang pohon besar dan suara burung bersahutan dengan monyet. Gunung Pulosari memang mejadi habitat nyaman bagi koloni monyet. Di sepanjang perjalanan tadi, aku selalu melihat monyet bergelantungan di dahan pohon.Selesai istirahat, Riki mengajak kami kembali melanjutkan perjalanan. Ia membagikan tongkat kayu yang baru saja ia buat sendiri. Tongkat itu berguna untuk membantu pendakian."Kira-kira berapa jam lagi kita sampai ke Curug Putri?" tanyaku."Udah deket

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-10
  • Hotel Bekas Pembunuhan   Kualat Di gunung Pulosari Part 5

    Nek jalan pulang ke arah mana ya?” aku bertanya dengan sangat hati-hati.Ia menyeringai seolah ingin mengatakan sesuatu. Tangannya menunjuk ke arah Timur sambil tersenyum ramah. Tapi, tiba-tiba wajahnya berubah menjadi sangat ketakutan saat melihat bola api melayang di langit.“O... ocos, ocos,” katanya terbata-bata.Dia sangat panik. Nenek itu lalu melihat lagi ke arahku. Kali ini dia mendekat. Langkahnya berat karena punggungnya menggendong kayu bakar.“I... ikut. i... ikut. Itu ocos,” dia selalu terbata-bata.Mungkin karena sudah tua, jadi dia mengalami gangguan dalam berbicara. Nenek itu menarik lenganku. Sepertinya dia mau membawaku ke suatu tempat. Sesekali dia mendongak ke langit melihat bola api yang terus mengikutiku.“Kita mau ke mana, Nek.”“Em... sana. Ke... sana. Rumah...,” katanya sambil menepuk dadanya sendiri.Aku tahu mungkin aku akan dibawa

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-10
  • Hotel Bekas Pembunuhan   Kualat Di gunung Pulosari Part 6

    Aku bersembunyi di balik batu yang berlumut. Masih dapat kulihat cahaya senter mereka berayun-ayun dari kejauhan. Langkah mereka semakin mendekat. Aku berlari lagi untuk menjauh dari mereka.“Itu dia!” teriak salah satu anak buah Pak Jaro.Kaki kananku tersangkut akar pohon. Aku terjungkal ke semak-semak. Aku tidak sanggup lagi berlari. Mereka semakin mendekat ke arahku. Wajah Pak Jaro mulai terlihat. Aku merangkak untuk menjauh. Mereka malah tertawa melihat penderitaanku.Seorang lelaki berbadan tambun mendekat. Ia mengikat kedua kaki dan tanganku. Lelaki satu lagi menyiapkan sebatang kayu lalu memasukkannya di antara pergelangan tangan dan kakiku. Mereka berdua menggotong tubuhku dalam posisi terbalik seperti babi hasil buruan. Entah aku akan dibawa ke mana.“Ampuni aku Pak Jaro, jangan bunuh aku.”“Kalau aku tidak menumbalkanmu. Bola api itu yang akan membunuh orang banyak,” Pak Jaro menunjuk ke

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-10
  • Hotel Bekas Pembunuhan   Kualat Di gunung Pulosari Part 7

    Sekitar jam tujuh pagi, Uswah siuman. Kami diperlakukan dengan sangat baik oleh warga kampung. Banyak dari mereka yang menjenguk dan memberi kami makanan. Bahkan, kami tidak diperbolehkan untuk mengendarai motor. Salah satu petugas desa mengantar kami ke rumah masing-masing. Sementara motorku diangkut pakai mobil pikap.Di hari yang sama, Gunung Pulosari longsor. Pemerintah daerah kemudian menutup secara resmi jalur pendakian ke gunung itu. Om Bobi, yang tak lain adalah Om-nya Mira sangat marah kepadaku. Bahkan, dia membawa perkara ini ke pengadilan. Ia menganggapku lalai menjaga Mira.Untung saja aku bebas dari tuntutan karena aku termasuk korban yang ikut hilang dalam pendakian. Tidak ada bukti kuat kalau aku menyakiti, bahkan membiarkan Mira celaka. Om Bobi yang keras kepala malah berniat mendaki Pulosari untuk mencari Mira. Dia tidak rela kehilangan orang yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri.Setelah kejadian di gunung, aku mengalami trauma. Aku

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-10
  • Hotel Bekas Pembunuhan   Hantu Dirumah Mertua

    HARI KE-1Hari ini menjadi waktu paling berat bagi suamiku, Angga. Dia harus kehilangan Ayahnya, setelah 15 tahun silam Ibunya juga meninggal. Sebagai istri, aku pun ikut pulang ke kampung halamannya di Kalimantan.Perjalanan ke rumah orang tua Angga tidaklah singkat, setelah tiba di Bandar Udara Supadio Pontianak, kami masih harus menggunakan mobil untuk menuju sebuah kota kecil di daerah Kalimantan Barat yang memakan waktu 4 jam.Setibanya di sana, aku bisa melihat banyak bendera putih dikibarkan sepanjang jalan. Bendera ini memang menandakan bahwa baru saja ada seseorang yang meninggal, sehingga kerabat atau tetangga tahu dan bisa berpamitan untuk kali terakhir.“Oh iya ini kenapa rumah kamu juga ramai?” Tanyaku heran karena melihat banyak orang, memenuhi teras.“Kan acaranya di rumah.”“Di rumah?” Tanyaku masih bingung. “Kok nggak di rumah duka aja?”“Di sini belum ada Rumah Duka.&rd

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-13
  • Hotel Bekas Pembunuhan   Tuyul

    Kali ini, kita akan membahas sedikit tentang satu mahluk yang bisa dibilang salah satu urban legend di Indonesia, yaitu tuyul.Ini sekadar berbagi cerita aja, silakan diambil hikmahnya kalo ada.Kayaknya sudah enggak ada yang enggak tau tuyul, hampir semua orang di Indonesia sudah tahu. Jadi saya enggak perlu lagi menjelaskan apa itu tuyul ya.Intinya, tuyul adalah mahluk gaib yang bentuknya anak kecil, gundul, kerjaannya mencuri uang, dan sering kali memiliki tuan.Banyak mitos mengenai tuyul, gue enggak tau pasti itu beneran mitos atau malah fakta. Satu yang pasti, pendapat kebanyakan orang akan bilang kalau tuyul ada tuannya, sang tuan inilah yang memelihara si tuyul, si tuan ini juga yang memerintahkan dan menyuruh tuyul untuk mencuri uang.Tujuannya apa? Ya untuk memperkaya diri.~Ciri-ciri orang yang memelihara tuyul bagaimana sih Brii?Ah, sayq enggak tahu pastinya.Tapi ada beberapa orang yang bilang,

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-14
  • Hotel Bekas Pembunuhan   Pulang Kampung

    Kisah horor ini berlatar pada pertengah tahun 2017, sebuah kisah pengalan pribadi yang mungkin menurut saya ini horor akan tetapi biasa saja pada sebagian orang.Pada saat itu setelah beberapa bulan menganggur karena habis kontrak dari perusahaan yang berada di sebuah kecamatan di kabupaten Bekasi pikiran sedang buntu karena mencari kerja begitu susahnya.Lembar demi lembar amplop surat lamaran terkirim namun tak kunjung jua mendapat balasan dari perusahaan yang diinginkan. Frustasi tentu saja, terlebih biaya hidup di ibukota yang mahal membuat tabungan semakin menipis karena kebutuhan.Aku yang sebagai anak perantau mengalami keadaan seperti ini tentu menyulitkan, yang di pikirkanku hanya terus berusaha mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan. Sampai akhirnya pulang kampung menjadi pilihan opsi terakhir yang sulit namun hanya itu yang harus dilakukan karena tak kunjung mendapat pekerjaan.Saya pun memutuskan pulang ke kampung halaman menaiki mobil di di

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16

Bab terbaru

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Teror lelembut di gunung karang Part2

    Kiai Muntaqo beserta para santrinya berhamburan ke belakang asrama. Semua orang yang ada di sana panik melihat Ririn menggantung di dahan pohon mahoni. Kiai Muntaqo membaca kalimat-kalimat ruqiah sambil mengacungkan telunjuknya ke arah Nurul. Saat itu juga Nurul mulai terlihat kesakitan. Lima orang santri muncul dengan menggotong sebuah spring bed besar untuk menahan tubuh Ririn.Nurul menjatuhkan Ririn dan untung saja wanita itu jatuh tepat di atas spring bed, sementara Nurul masih bertengger di atas dahan pohon mahoni. Kalimat-kalimat ruqiah terus dilantunkan oleh Kiai Muntaqo, Nurul pun terjungkal ke belakang. Dia juga jatuh tepat di atas spring bed sehingga tidak ada luka sedikit pun. Faisal memeriksa keadaan adiknya itu, dia menangis karena tak tega melihat adiknya yang sering sekali kesurupan.***Satu Minggu Kemudian.Sudah lima kali Faisal bermimpi tentang sumur tujuh yang ada di puncak gunung Karang. Dalam mimpinya itu, Faisal didatangi kakek

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Teror lelembut di Gunung karang

    Sudah dua hari hewan ternak warga kampung Kaduengang hilang secara misterius. Puluhan ayam lenyap dari kandangnya, kambing yang dipelihara bertahun-tahun juga hilang. Belum lagi kerbau, ada sepuluh ekor yang hilang secara misterius. Mereka yakin pasti ada maling di kampung mereka. Warga kampung itu sepakat untuk memperbanyak pos ronda. Setiap malam para pemuda dan bapak-bapak bergantian menjaga kampung. Mereka sangat hati-hati jika ada orang asing yang masuk ke kampung mereka.Anehnya tidak ada tanda-tanda maling di kampung itu. Selama satu minggu berjaga, tak satu pun orang asing yang masuk ke kampung. Kasus hilangnya hewan ternak belum terpecahkan, tapi sudah muncul kasus baru. Banyak warga yang melapor ke ketua RT kalau warung mereka kemalingan. Barang dagangan mereka hilang, tapi si maling hanya mencuri barang yang bisa dimakan saja seperti kue, biskuit, kopi, dan makanan lainnya.Kejadian ini benar-benar menggemparkan seluruh warga kampung. Mereka bahkan m

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Kuntilanak Penghuni Asrama

    Tok…tok…tok…tok…!Sebagian siswa juga masih merasakan hadirnya seseorang di sekitar asrama yang tak terlihat wujudnya. Salah satu yang merasakan hal itu adalah Laila. Siang itu, sekitar jam dua belas siang, Laila memasuki asrama sehabis pelatihan. Aura menyeramkan di ruang tamu terasa sekali hingga bulu kuduknya terasa meremang. Ia merasa di belakangnya ada yang mengikuti, namun begitu menoleh, tak dilihatnya seorang pun di sana. Saat masuk ke kamar tiba-tiba hawa dingin menerpa tubuhnya, padahal suasana siang itu begitu terik. Ia merasa ada yang mengawasi dirinya, namun tak di dapatinya seorang pun di kamar. Untuk mengurangi rasa takut, ia nyalakan musik dari ponsel sekencang-kencangnya.“Aku merasa ada yang memperhatikanku! Tapi, aku tak melihatnya sama sekali! Tapi, aku yakin, dia memperhatikanku aku!” seru Laila. Ternyata, teman-teman lainnya juga merasakan hal yang sama.Hampir seluruh siswa di asrama merasakan hal yang sam

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Blok M

    Blok MMelamun sesaat, fokusku hilang dikala hening senyap menjerat kesadaran.Tapi tiba-tiba aku melihat sesuatu di kejauhan, ada bayangan berbentuk orang yang muncul dalam gelap.1Aku yang awalnya kaget, berangsur jadi agak tenang ketika merasa kalau sepertinya yang datang itu benar-benar orang.Ternyata memang benar, aku melihat ada seseorang sedang melangkah mendekat. Karena masih cukup jauh, jadinya aku masih hanya bisa melihat dalam bentuk siluet.Tapi aku sudah bisa yakin kalau orang ini adalah sosok laki-laki, kalau melihat dari posturnya.Ketika sudah cukup dekat, barulah aku bisa melihat dengan jelas kalau ternyata yang mendekat ini adalah seorang sekuriti gedung.Ah leganya, aku jadi bisa segera turun dengan meminta untuk ditemani ke bawah.“Pak, hmmmmm.” Aku menegurnya, ketika kami akhirnya sudah berhadapan. Karena gak familiar, aku melirik ke nametag yang ada di seragamnya, aku membaca nama “Wawan”.Iy

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Sumpah Pocong part 2

    Katanya, Sulis sakit keras. Badannya telah lumpuh total, hanya mampu berbaring di ranjangnya. Matanya selalu melotot, ada borok di sekujur tubuhnya, padahal perutnya semakin membuncit karena janin yang dikandungnya. Bu Sri memohon untuk mengantar Sulis ke Rumah Sakit.Karena waktu itu, hanya keluargaku yang memiliki mobil. Akhirnya tanpa pikir panjang, aku dan suamiku mengantar Sulis saat itu juga.Sulis sudah seperti mayat hidup bila ku lihat. Matanya terbuka, masih bernafas, namun tidak bisa di ajak bicara, dan tidak mampu bergerak. Borok di sekujur tubuhnya berbau sangat busuk.Sesampai di RS, Sulis langsung ditangani oleh dokter. Hampir 3 jam kami menunggu hasil pemeriksaan dokter, setelah itu kami ketahui bahwa Sulis menderita diabetes akut yang membuat sekujur tubuhnya terluka dan bernanah.Setelah satu hari dirawat, Sulis akhirnya menghembuskan napas terakhir. Beruntung kata dokter, janin dalam perutnya belum memiliki nyawa, bentuknya pun belum sempurn

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Sumpah Pocong Part 1

    Saat itu tahun 2005.[Suara HP berbunyi]"Halo? Assalamualaikum Pak?""Halo, Waalaikumsalam Dung. Gimana kabarmu? Gimana kuliahmu?""Alhamdulillah semua lancar pak, kabar saya sehat. Bapak ibu sehat kan?""Syukurlah nak, bapak ibu sehat,"Kemudian seketika hening, tak ku dengar lagi suara bapak dari telepon. Yang ku dengar hanyalah suara lelaki tengah menahan isak tangisnya.Feeling-ku benar, sepertinya bapak sedang tidak baik-baik saja, sudah kuduga sejak ku angkat gagang telepon, suara dan nada bicara bapak tidak seperti biasanya."Pak, bapak kenapa?,""Gapapa nak, kamu buruan pulang ya. Kalau bisa minggu depan. Bapak mau ngomong sama kamu,""Iya pak insyaallah saya pulang minggu depan,"[Tuut..tuut..tuut..]Sejenak aku berpikir bagaimana agar minggu depan bisa ku penuhi permintaan bapak untuk pulang. Karena jujur saja, aku berkuliah sambil bekerja di kota metropolitan. Aku tidak ingin menambah beban bapak yang hanya seor

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Misteri Guci Diruang Tamu Part 2

    Ada apa dengan Guci ini sih?Kenapa banyak kejadian seram setalah ada guciGimana sejarah guci ini?Semakin seram, semakin menakutkan, banyak peristiwa yang terjadi di rumah Jessica.Jessica akan lanjut bercerita di sini, di Briistory.#BriiStoryJangan baca sendirian, lanjut di komentar yaaa!***#1Begitulah, banyak kejadian janggal yang terjadi sejak kehadiran guci itu di rumah. Kejadian janggal dan kadang menyeramkan, yang secara langsung maupun gak langsung mempengaruhi kehidupan kami juga.Setelah banyak kejadian, aku menjadi selalu was-was apa bila harus di rumah sendirian walaupun itu siang hari. Lalu, sebisa mungkin menahan diri untuk gak ke kamar mandi tengah malam, aku akan menahan pipis sampai pagi.Jo jadi semakin jarang tidur di rumah, lebih sering bermalam di rumah teman atau di rumah Om Fendy. Dia bilang, gak tahan dengan penampakan-penampakan seram yang dia lihat gak satu dua kali, tapi sering.Selama k

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Misteri Guci diruang tamu part 1

    Rumah, seharusnya menjadi tempat teraman dari rasa takut dan cemas, tapi ternyata gak selalu demikian. Seperti yang dialami oleh Jessica dan keluarganya.ADVERTISEMENTRumah mereka menjadi sumber teror yang menakutkan.Jessica yang akan bercerita sendiri di sini, di Briistory.#BriiStory#MalamJumatLanjut di komentar ya..***#1Sekali lagi aku terjaga, jam setengah dua malam. Penuhnya kandung kemih, memaksaku tersadar dari tidur. Kebelet banget, gak tahan, mau gak mau harus pergi ke toilet.Tapi belakangan, bangun malam jadi hal yang membuatku paranoid, apa lagi ketika terpaksa harus ke luar kamar.Sama seperti malam ini, tiba-tiba terbangun pingin pipis. Padahal sudah berusaha maksimal untuk menahan dan kembali tidur, tapi gak bisa, sudah di ujung.Aku takut, takut dengan hal ganjil dan menyeramkan yang belakangan selalu terjadi ketika melintasi ruang tengah.Kebetulan toilet letaknya di depan kamar Papa Mama, berse

  • Hotel Bekas Pembunuhan   Bersembunyi dalam terang part 5

    Tahun 2007 awal pernikahan dengan Imas, 3 tahun sebelum aku berganti pekerjaan sebagai tukang cukur (mempunyai pangkas) awalnya aku adalah penjual martabak manis, tempat aku berjualan sekitar satu jam dari rumah, di sebuah kampung dekat dengan sebuah danau, di mana di situlah orang-orang sering ramai, walau yang berjualan bisa terhitung dengan jari.Yogi adalah teman masa sekolahku yang mempunyai resep martabak karena memang turun temurun dari keluarganya, atas persetujuan modal yang aku keluarkan sangat terbatas, akhirnya aku dan Yogi sepakat memulai usaha tersebut, penampilanku sama halnya dengan sekarang tidak pernah rapih sama sekali.Selepas waktu ibadah solat asar, aku dan Yogi yang memang kebetulan tidak jauh rumahnya dari rumah Ibuku (waktu itu masih tinggal bersama Ibu) selalu menjemputku dengan membawa adonan martabak dan segala perlengkapan lainya untuk berdagang.Sudah hampir 3 bulan berjalan, dan memang selalu habis jauh di mana waktu prediksiku yang seha

DMCA.com Protection Status