Bobi terkapar tak sadarkan diri di bawah pohon besar. Pakaiannya penuh dengan bercak lumpur. Topi koboinya hilang entah ke mana. Senapannya tergeletak tak jauh dari tubuhnya.
Terakhir kali Bobi sadar dia dibawa oleh sosok wanita yang berpakaian layaknya ratu kerajaan. Entah apa yang selanjutnya terjadi, tiba-tiba sekarang dia malah terkapar di bawah pohon besar ini.
Kelopak mata Bobi bergerak. Dalam satu hentakan, kedua matanya membelalak. Bobi menarik napas dalam-dalam seperti orang yang baru saja tenggelam. Kemudian napasnya terengah-engah, telinganya berdengung hebat. Ia mengerang-erang sambil menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. Semakin lama telinganya berdengung semakin keras. Bobi berteriak kesakitan. Dengan terburu-buru, dia merogoh botol air minum dari dalam tasnya lalu menyiram telinganya sendiri.Perlahan rasa sakit itu reda. Bobi kembali berbaring. Dia menatap dahan-dahan pohon yang rindang, tapi tatapan itu kosong. Bobi masih bingung dengan apa yang telah dialaminya. Siapa wanita yang berpakaian seperti ratu kerajaan itu? Apakah dia penguasa gunung Pulosari? Tak lama kemudian terdengar suara sesuatu yang mendekat dari balik semak-semak.Bobi dengan sigap meraih senapannya. Sebenarnya senapan itu sudah kehabisan peluru. Tapi, setidaknya Bobi bisa menggunakannya untuk memukul kepala babi hutan.
"Siapa kamu?" tanya Bobi sambil tetap waspada. Dari balik semak-semak muncul seorang anak lelaki yang umurnya kisaran 9 tahun. Dia menjinjing lima botol air yang kosong. Pakaiannya kumal, wajahnya pucat seperti orang yang sedang sakit. "Fatih," kata anak kecil itu dengan suara pelan. "Fatih...," Bobi mengulang jawaban si anak kecil. "Kenapa kamu ada di sini?" tanya Bobi lagi. "Aku penjual air minum buat para pendaki dan aku tersesat. Aku nemuin banyak mayat pendaki di sana Om," kata Fatih sambil menunjuk ke arah Selatan."Antar aku ke sana," Bobi mendekati anak itu.
"Aku lapar, Om," anak itu mendongak, menatap wajah Bobi. Bobi pun langsung merogoh biskuit dari dalam tasnya. "Ini makan dulu. Jangan khawatir kita pasti keluar dari gunung ini," kata Bobi. "Tapi sebelum itu, aku harus menemukan keponakanku dulu. Dia hilang di gunung.""Namanya Mira, bukan?" tanya anak kecil itu sambil mengunyah biskuit. Bobi terkejut. Dia langsung memegang pundak Fatih. "Iya namanya Mira. Kamu lihat dia? Di mana dia sekarang?""Tadi malam aku ketemu sama Mbak Mira. Dia orangnya baik banget," Fatih mengambil kembali sekeping biskuit dari dalam kemasan. "Iya kamu ketemu sama Mira di mana? Aku Om-nya. Dia hilang di gunung ini," nada bicara Bobi meninggi. Dia tidak sabar ingin segera menemukan Mira."Aku lupa tempatnya, Om. Tapi Mbak Mira nggak sendirian. Dia sama suaminya."
"Hah, suami!?" Bobi mengerutkan dahi. Bobi curiga. Jangan-jangan itu bukan Mira yang dia cari. "Miranya sudah tua atau masih muda?" tanya Bobi. "Masih muda, Om."Bobi mengambil sebuah foto dari dalam tasnya, "Apa wajahnya seperti ini?" "Iya, betul itu Mbak Mira.""Tolong ingat-ingat lagi, semalam kamu ketemu dia di mana?" tanya Bobi. Fatih berhenti mengunyah. Matanya melirik ke atas. Dia sedang berusaha mengingat tempat semalam. "Oh... ya, aku lihat ada kuburan. Mbak Mira sama suaminya berziarah di kuburan itu. Kalau nggak salah lokasinya di sebelah sana," Fatih menunjuk ke sebuah arah."Ayo kita ke sana sekarang," Bobi memegang lengan anak itu.
Kini dalam pencariannya Bobi tidak sendirian. Dia ditemani Fatih, anak kecil si penjual air yang juga tersesat di gunung Pulosari. Mereka terus berjalan menembus semak belukar. Sesekali Bobi menebas pohon-pohon kecil yang rantingnya menghalangi jalan. "Kamu yakin jalannya ke arah sini?" tanya Bobi. "Iya, Om. Seingatku ke sini," kata Fatih. "Tapi ini semak belukar. Fatih?" tiba-tiba Fatih menghilang. Bobi menoleh ke segala arah mencari keberadaan anak itu. "Om..., hahaha," Fatih sudah ada di atas dahan pohon besar. Wujudnya berubah, ia telanjang bulat. Tubuhnya putih semua, matanya besar dan juga bertaring. "Sini main, Om!"Melihat kejadian itu, Bobi langsung lari tanpa arah. Ia menerjang semak belukar. Bobi tak menyangka kalau anak kecil itu adalah jelmaan setan.
Malam pun tiba. Hujan mengguyur dengan sangat deras. Petir berkelebatan menyambar pohon-pohon besar di gunung Pulosari. Bobi mendirikan tenda di tengah hutan. Dari luar tenda, bayangan Bobi terlihat jelas, ia sedang sibuk mengotak-atik smartphone-nya agar dapat sinyal. Dia mau meghubungi istrinya di rumah dan mengabarkan kalau kondisinya saat ini baik-baik saja.Akhirnya Bobi berhasil mendapatkan sinyal. Ia coba menghubungi nomor telepon istrinya, namun tidak akatif. Lalu ia coba menghubungi telepon rumah dan akhirnya tersambung. Bobi meletakkan smartphone dan power bank di dekat pintu tenda dome agar sinyalnya stabil. Tak lama kemudian istrinya Bobi mengangkat telepon itu.
“Halo?” terdengar suara dari seberang telepon.“Halo Mah. Ini papah, kamu baik-baik aja kan?” nada bicaranya terburu-buru. "Papah?" "Iya ini aku Mah. Gimana kandungan kamu, baik-baik aja kan?" tanya Bobi."Pah bukannya dua hari lalu papah udah pulang dari gunung?" tanya istrinya Bobi dengan nada bicara seperti orang yang sedang kebingungan.Jelas saja Bobi kaget mendengar pernyataan istrinya. “Aku belum pulang Mah. Aku masih di gunung! Aktifkan smartphone kamu, kita video call,” pinta Bobi. Tak lama berselang, Bobi melakukan video call dengan istrinya. Sinyalnya sangat lemah dan kadang buffering.“Ini aku Mah. Lihat aku masih di gunung,” jelas Bobi. “Astagfirullah Pah! Terus yang sekarang di rumah sama aku siapa?” wanita itu tampak panik.“Kamu tenang Mah, jangan berisik. Di mana lelaki itu sekarang?”“Di kamarku Pah. Lagi tidur…,” jawab wanita itu. “Coba kamu ke kamar. Papah mau lihat,” kata Bobi. “Aku takut Pah,” wanita itu malah menangis.“Kamu jangan nangis Mah. Nanti dia bangun. Coba papah mau lihat sosok lelaki itu Mah,” pinta Bobi. Layar di smartphone-nya bobi bergerak tidak stabil, istrinya Bobi melangkah perlahan ke kamarnya sambil mengarahkan kamera ke depan.“Aku takut Pah,” rengek wanita yang sedang hamil itu.
“Jangan berisik Mah,” Bobi tetap fokus ke layar smartphone. Dari layar smartphone itu Bobi melihat sosok yang menyerupai dirinya sedang tertidur pulas. “Itu Pah…,” bisik istrinya Bobi. Bobi merinding dengan apa yang dilihatnya, lelaki itu benar-benar menyerupai wajah Bobi.“Kamu tenang Mah. Papah mau minta bantuan ustadz buat usir makhluk gaib itu,” ujar Bobi.Wanita itu mengarahkan kembali kamera ke wajahnya sendiri. “Aku harus bagaimana sekarang Pah?” tanya wanita itu sambil menangis kecil. Belum sempat Bobi menjawabnya, tiba-tiba ia melihat ada sesuatu yang sedang berdiri di belakang istrinya. Sosok itu bertubuh besar dan menjulang tinggi sampai kepalanya menyentuh langit-langit kamar.“Mah lari Mah!” teriak Bobi.
Seketika video call itu terputus seperti ada yang memukul smartphone istrinya Bobi. “Mah! Mah!”Ia coba menghubungi kembali istrinya, tapi tidak bisa. Nomor istrinya tidak aktif. Dia coba menghubungi telepon rumah, tapi tidak ada yang mengangkatnya. “Bangsat!” Bobi marah, napasnya terengah-engah. Dia lalu keluar dari dalam tenda. Menerobos hujan yang begitu lebat. Bobi mendongak ke langit sambil berteriak. “Bangsat kalian semua! Kalian akan tahu akibatnya kalau berani menyakiti istriku!” Tak lama setelah Bobi berteriak, petir menyambar sebatang pohon yang dekat sekali dari tempat Bobi berdiri. Ia pun terpental jauh, tubuhnya menabrak batang pohon sampai akhirnya dia pingsan. Bobi tidak melihat kalau di atas batang pohon itu banyak sekali dedemit yang bergelantungan. Dari tadi kawanan dedemit itu memperhatikan Bobi yang sedang marah-marah.***Keesokan paginya, seorang wanita muda yang umurnya kisaran 25 tahun mengguncangkan bahu Bobi. “Mas….”“Mas….”Kata wanita itu. Perlahan Bobi membuka kedua matanya. Samar-samar ia melihat seorang wanita berambut hitam sebahu sedang memperhatikan Bobi. “Astaga!” Bobi terperanjak kaget, dia menjauh dari wanita asing itu. “Setan kau ya?!” bentak Bobi. “Hah? Setan? Bukan Mas. Saya orang hilang. Akhirnya saya ketemu manusia di gunung ini. Tolongin saya Mas. Bawa saya keluar dari gunung ini,” wanita itu malah merengek. Bobi masih terdiam. Dia sangat waspada terhadap wanita asing di depannya itu. “Masih nggak percaya kalau aku manusia?” wanita itu berdiri lalu menghentak-hentakkan kakinya. “Tuh lihat kakiku nggak ngambang, kan?”Sambil tetap waspada Bobi perlahan berdiri. Ia masuk ke dalam tenda lalu kembali dengan membawa senapannya. Ada pisau yang diikatkan pada ujung moncong senapan itu, mirip seperti senapan tentara Jepang. “Ampun Mas! Sumpah saya bukan setan, saya pendaki yang nyasar di gunung ini dan teman-teman saya semuanya mati,” wanita itu melindungi wajahnya dengan kedua tangan. Dia kira senapan itu masih ada pelurunya. Padahal Bobi hanya menggertak wanita itu. “Siapa nama kamu?” “Ajeng Mas,” jawab wanita itu singkat. “Balik badan,” pinta Bobi sambil menggerakkan senapannya. “Ampun Mas jangan bunuh saya,” wanita itu malah nangis. Bobi menyentuh punggung wanita itu. Ternyata dia benar-benar manusia. Bobi kembali ke tendanya, dia merobohkan tenda dome lalu memasukkan kembali ke dalam ransel.
“Maap aku tidak bisa menolongmu. Aku sedang mencari keponakanku,” kata Bobi sambil terus membereskan peralatan kemahnya.
“Aku ikut Mas," pinta Ajeng.“Nggak bisa, aku nggak mau ada beban. Kamu cari bantuan orang lain saja,” Bobi menggendong ranselnya lalu beranjak pergi begitu saja. Wanita itu malah mengikuti Bobi. “Pokoknya aku ikut. Aku takut sendirian.”Bobi tidak menanggapi wanita yang sedang mengikutinya dari belakang. Dia terus berjalan tanpa arah sambil berteriak memanggil nama Mira. Tidak ada pilihan bagi Bobi, dia juga sekarang tersesat. Bobi tidak tahu jalan pulang. Sesekali Bobi menghubungi nomor telepon istrinya, sialnya tidak ada sinyal. Smartphone itu ia acungkan ke arah kanan untuk mencari sinyal. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada istrinya Bobi masih sibuk mencari sinyal. Dia berusaha menghubungi istrinya di rumah. Sayangnya smartphone Bobi mulai kehabisan daya baterai dan mati seketika. Bobi berdecak kesal. Dia merogoh power bank dari dalam ranselnya dan ternyata power bank itu juga sudah kehabisan daya.“Kamu bawa hp?” Bobi menghentikan langkahnya. Dia menoleh kepada Ajeng.
“Bawa, tapi baterainya habis,” Ajeng mengeluarkan hp dari dalam saku celananya. Bobi menggelengkan kepala. Tak ada cara untuk mengubungi istrinya. Dia pun kembali melanjutkan perjalanan. “Kita mau ke mana?” tanya Ajeng. “Sudah aku bilang kalau aku mau cari keponakanku.”“Mas yakin dia masih hidup? Bertahan hidup di hutan nggak mudah,” timpal Ajeng. “Lalu kenapa kau masih hidup?” tanya Bobi sambil terus jalan. “Aku bisa berburu. Selama tersesat di gunung ini, aku makan hewan apa pun yang kujumpai, termasuk monyet,” kata Ajeng. “Jorok kau, makan monyet,” kata Bobi tanpa menoleh pada Ajeng.“Daripada mati kelaparan,” timpal Ajeng.Bobi menghentikan langkahnya, “Ssstt…, berhenti!” pinta Bobi.
“Ada apa?” Ajeng penasaran. Bobi melihat ada bekas telapak kaki di atas lumpur. Tapak itu mengarah ke sebelah kanan. Dengan hati-hati Bobi dan Ajeng mengikuti tapak itu. Dari ukurannya, bekas telapak kaki itu pasti milik orang dewasa. “Ada orang ya?” Ajeng memang banyak tanya. “Jangan banyak tanya!” desis Bobi sambil menoleh dengan kesal pada Ajeng. Semakin mereka mengikuti bekas telapak kaki itu, semakin terdengar sayup-sayup suara keramaian. “Kau dengar itu?” Bobi berhenti dan menoleh pada ajeng.“Iya, itu pasti petugas tim SAR. Asyik kita selamat!” Ajeng sumringah. Dia tak sabar ingin cepat keluar dari gunung ini.“Jangan gegabah, kita cek dulu!” saran Bobi.
Dengan sangat hati-hati mereka kembali mengikuti tapak kaki itu. Saat Bobi menyibakkan sebuah daun besar, dari sana ia melihat ada pasar yang ramai pengunjung. “Ada pasar,” kata Bobi tanpa menoleh pada Ajeng. “Hah!? Di tengah hutan seperti ini ada pasar?” Ajeng terheran-heran sambil mengerutkan dahi.Kemudian Ajeng ikut mengintip dari balik daun besar, seketika Ajeng terkejut. Di pasar itu dia melihat ada tiga orang temannya yang sudah mati. Mereka sedang bertransaksi di pasar misterius itu. Dengan raut wajah ketakutan Ajeng bersembunyi lagi di belakang Bobi. “Kenapa?” tanya Bobi. “Ada teman saya yang udah mati, Mas. Itu pasti pasar setan.”Dan saat Bobi mengintip kembali, pandangannya terhalang oleh sebuah kaki. Ternyata ada seseorang yang berdiri di hadapan Bobi, tapi anehnya kaki itu hanya ada satu.
“Mas! Lihat, Mas!” Ajeng menepuk pundak Bobi sambil menunjuk ke atas. Saat Bobi mendongak, dilihatnya ada sebuah kaki yang menjulang tinggi. Entah berapa meter, kaki itu hanya satu dan tanpa tubuh. Ukurannya seperti kaki orang dewasa, tapi tingginya tak wajar. “Lari!” teriak Bobi. Ajeng pun lari sekuat tenaga, sedangkan Bobi mengikutinya dari belakang. Bobi merasa mereka sudah jauh dari pasar setan itu. Tapi, anehnya mereka malah balik lagi ke tempat semula.Bobi kesal. Dia sudah bosan dipermainkan seperti ini. Dia malah sengaja lari ke tengah-tengah keramaian pasar sambil menenteng senapannya.“Mas, jangan, Mas!” teriak Ajeng dari kejauhan.
Bobi sekarang berada di tengah kerumunan orang yang sedang melakukan transaksi jual-beli. Napas Bobi terengah-engah, keringat membasahi wajahnya. Bobi heran kenapa siang bolong seperti ini ada pasar setan. “Kalian dengarkan ini! Aku tidak takut sama kalian!” Bobi menceracau, tapi orang-orang di pasar itu tidak ada yang peduli sama sekali. Bobi menyentuh salah seorang lelaki yang sedang berdiri di dekatnya. Dan, ternyata Bobi tidak dapat menyentuh lelaki itu. Tubuh lelaki itu membias seperti embun. Bobi lalu menyentuh setiap orang yang ada di sana. Ternyata orang-orang itu juga tidak dapat Bobi sentuh. Bobi menyerah. Dia malah menangis sambil mendongak ke langit. Wajahnya kumal dan penuh bercak lumpur.“Aku mohon tolong kembalikan Mira dan jangan ganggu keluargaku.”
Bobi merengek di tengah keramaian pasar setan. Dan, saat itu juga dari kejauhan, Bobi melihat sosok wanita yang berpakaian layaknya ratu kerjaan. Bobi ingat kalau wanita itu yang pernah ia jumpai beberapa hari lalu.Tepat di samping wanita itu ada Mira yang sedang berdiri menatap Bobi. Mira tersenyum. Tapi, wajahnya pucat seperti orang yang sudah mati. “Mira…,” desis Bobi. =====Tanpa pikir panjang lagi, Bobi lari menghampiri Mira. Namun, saat ia akan menyentuh lengan Mira, tiba-tiba saja Mira dan sosok wanita berpakaian kerajaan itu hilang entah ke mana. Keramaian pasar juga lenyap begitu saja.Pasar itu berubah menjadi lahan kosong yang berbatu. Sedangkan Ajeng masih berdiri di kejauhan sambil terheran-heran dengan apa yang dilihatnya.“Mira! Mira!” Bobi berteriak ke segala arah mencari Mira. Tapi Mira tak menampakkan wujud lagi.“Mas! Kita dipermainkan setan. Ayo pergi dari sini!” teriak Ajeng dari kejauhan.Bobi pun menyerah. Ia merasa mungkin Ajeng benar kalau yang dilihatnya tadi hanya jelmaan Mira. Ia meraih kembali senapannya yang tergeletak di tanah, lalu berjalan menghampiri Ajeng. Tanpa berkata apa pun Bobi melanjutkan perjalanan.“Kita mau ke mana lagi?” Ajeng mempercepat langkahnya, mengejar Bobi.“Sudah kubilang aku mau cari Mira,” kini Bobi j
Ajeng masih lari sekuat tenaga untuk menjauh dari genderuwo itu. Kini suara raungan itu seperti ada di atas kepala Ajeng. Wanita itu berteriak minta tolong, dia berharap ada seseorang yang muncul dan menyelamatkannya. Ketika Ajeng melewati akar pohon besar, kakinya tersandaung, dia pun jatuh dan bagian kepalanya membentur akar pohon dengan sangat keras.Masih dalam keadaan sadar, Ajeng terkapar tak berdaya di bawah pohon itu. Darah mengalir keluar dari kepalanya dan saat Ajeng berkedip, genderuwo itu sudah ada di hadapannya. Makhluk itu tidak lagi menyerupai Bobi, tubuhnya besar dan berbulu, kukunya panjang berwarna hitam pekat, taringnya menjulur hingga ke perut dan kedua matanya merah menyala.Genderuwo itu menjilati wajah Ajeng yang penuh darah. Ia ternyata suka dengan darah Ajeng. Ingin sekali Ajeng berteriak, tapi dia tidak sanggup. Suaranya seakan hilang begitu saja, Ajeng hanya bisa pasrah. Rasanya dia ingin mati saja sekarang juga.
Mira jangan melamun. Ini di gunung, bahaya," Riki menyadarkan Mira."Tapi, jelas-jelas tadi gua lihat Ayah ada di sana," ia menunjuk ke arah semak-semak."Udah Mir. Kita jalan lagi aja. Itu pasti cuma halusinasi lu," kataku.Kami kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah pendakian, Mira minta istirahat dulu sejenak. Napasnya terengah-engah, wajahnya sangat berkeringat.Aku duduk di atas batu besar sambil menikmati pemandangan yang menyejukkan. Ada batang-batang pohon besar dan suara burung bersahutan dengan monyet. Gunung Pulosari memang mejadi habitat nyaman bagi koloni monyet. Di sepanjang perjalanan tadi, aku selalu melihat monyet bergelantungan di dahan pohon.Selesai istirahat, Riki mengajak kami kembali melanjutkan perjalanan. Ia membagikan tongkat kayu yang baru saja ia buat sendiri. Tongkat itu berguna untuk membantu pendakian."Kira-kira berapa jam lagi kita sampai ke Curug Putri?" tanyaku."Udah deket
Nek jalan pulang ke arah mana ya?” aku bertanya dengan sangat hati-hati.Ia menyeringai seolah ingin mengatakan sesuatu. Tangannya menunjuk ke arah Timur sambil tersenyum ramah. Tapi, tiba-tiba wajahnya berubah menjadi sangat ketakutan saat melihat bola api melayang di langit.“O... ocos, ocos,” katanya terbata-bata.Dia sangat panik. Nenek itu lalu melihat lagi ke arahku. Kali ini dia mendekat. Langkahnya berat karena punggungnya menggendong kayu bakar.“I... ikut. i... ikut. Itu ocos,” dia selalu terbata-bata.Mungkin karena sudah tua, jadi dia mengalami gangguan dalam berbicara. Nenek itu menarik lenganku. Sepertinya dia mau membawaku ke suatu tempat. Sesekali dia mendongak ke langit melihat bola api yang terus mengikutiku.“Kita mau ke mana, Nek.”“Em... sana. Ke... sana. Rumah...,” katanya sambil menepuk dadanya sendiri.Aku tahu mungkin aku akan dibawa
Aku bersembunyi di balik batu yang berlumut. Masih dapat kulihat cahaya senter mereka berayun-ayun dari kejauhan. Langkah mereka semakin mendekat. Aku berlari lagi untuk menjauh dari mereka.“Itu dia!” teriak salah satu anak buah Pak Jaro.Kaki kananku tersangkut akar pohon. Aku terjungkal ke semak-semak. Aku tidak sanggup lagi berlari. Mereka semakin mendekat ke arahku. Wajah Pak Jaro mulai terlihat. Aku merangkak untuk menjauh. Mereka malah tertawa melihat penderitaanku.Seorang lelaki berbadan tambun mendekat. Ia mengikat kedua kaki dan tanganku. Lelaki satu lagi menyiapkan sebatang kayu lalu memasukkannya di antara pergelangan tangan dan kakiku. Mereka berdua menggotong tubuhku dalam posisi terbalik seperti babi hasil buruan. Entah aku akan dibawa ke mana.“Ampuni aku Pak Jaro, jangan bunuh aku.”“Kalau aku tidak menumbalkanmu. Bola api itu yang akan membunuh orang banyak,” Pak Jaro menunjuk ke
Sekitar jam tujuh pagi, Uswah siuman. Kami diperlakukan dengan sangat baik oleh warga kampung. Banyak dari mereka yang menjenguk dan memberi kami makanan. Bahkan, kami tidak diperbolehkan untuk mengendarai motor. Salah satu petugas desa mengantar kami ke rumah masing-masing. Sementara motorku diangkut pakai mobil pikap.Di hari yang sama, Gunung Pulosari longsor. Pemerintah daerah kemudian menutup secara resmi jalur pendakian ke gunung itu. Om Bobi, yang tak lain adalah Om-nya Mira sangat marah kepadaku. Bahkan, dia membawa perkara ini ke pengadilan. Ia menganggapku lalai menjaga Mira.Untung saja aku bebas dari tuntutan karena aku termasuk korban yang ikut hilang dalam pendakian. Tidak ada bukti kuat kalau aku menyakiti, bahkan membiarkan Mira celaka. Om Bobi yang keras kepala malah berniat mendaki Pulosari untuk mencari Mira. Dia tidak rela kehilangan orang yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri.Setelah kejadian di gunung, aku mengalami trauma. Aku
HARI KE-1Hari ini menjadi waktu paling berat bagi suamiku, Angga. Dia harus kehilangan Ayahnya, setelah 15 tahun silam Ibunya juga meninggal. Sebagai istri, aku pun ikut pulang ke kampung halamannya di Kalimantan.Perjalanan ke rumah orang tua Angga tidaklah singkat, setelah tiba di Bandar Udara Supadio Pontianak, kami masih harus menggunakan mobil untuk menuju sebuah kota kecil di daerah Kalimantan Barat yang memakan waktu 4 jam.Setibanya di sana, aku bisa melihat banyak bendera putih dikibarkan sepanjang jalan. Bendera ini memang menandakan bahwa baru saja ada seseorang yang meninggal, sehingga kerabat atau tetangga tahu dan bisa berpamitan untuk kali terakhir.“Oh iya ini kenapa rumah kamu juga ramai?” Tanyaku heran karena melihat banyak orang, memenuhi teras.“Kan acaranya di rumah.”“Di rumah?” Tanyaku masih bingung. “Kok nggak di rumah duka aja?”“Di sini belum ada Rumah Duka.&rd
Kali ini, kita akan membahas sedikit tentang satu mahluk yang bisa dibilang salah satu urban legend di Indonesia, yaitu tuyul.Ini sekadar berbagi cerita aja, silakan diambil hikmahnya kalo ada.Kayaknya sudah enggak ada yang enggak tau tuyul, hampir semua orang di Indonesia sudah tahu. Jadi saya enggak perlu lagi menjelaskan apa itu tuyul ya.Intinya, tuyul adalah mahluk gaib yang bentuknya anak kecil, gundul, kerjaannya mencuri uang, dan sering kali memiliki tuan.Banyak mitos mengenai tuyul, gue enggak tau pasti itu beneran mitos atau malah fakta. Satu yang pasti, pendapat kebanyakan orang akan bilang kalau tuyul ada tuannya, sang tuan inilah yang memelihara si tuyul, si tuan ini juga yang memerintahkan dan menyuruh tuyul untuk mencuri uang.Tujuannya apa? Ya untuk memperkaya diri.~Ciri-ciri orang yang memelihara tuyul bagaimana sih Brii?Ah, sayq enggak tahu pastinya.Tapi ada beberapa orang yang bilang,
Kiai Muntaqo beserta para santrinya berhamburan ke belakang asrama. Semua orang yang ada di sana panik melihat Ririn menggantung di dahan pohon mahoni. Kiai Muntaqo membaca kalimat-kalimat ruqiah sambil mengacungkan telunjuknya ke arah Nurul. Saat itu juga Nurul mulai terlihat kesakitan. Lima orang santri muncul dengan menggotong sebuah spring bed besar untuk menahan tubuh Ririn.Nurul menjatuhkan Ririn dan untung saja wanita itu jatuh tepat di atas spring bed, sementara Nurul masih bertengger di atas dahan pohon mahoni. Kalimat-kalimat ruqiah terus dilantunkan oleh Kiai Muntaqo, Nurul pun terjungkal ke belakang. Dia juga jatuh tepat di atas spring bed sehingga tidak ada luka sedikit pun. Faisal memeriksa keadaan adiknya itu, dia menangis karena tak tega melihat adiknya yang sering sekali kesurupan.***Satu Minggu Kemudian.Sudah lima kali Faisal bermimpi tentang sumur tujuh yang ada di puncak gunung Karang. Dalam mimpinya itu, Faisal didatangi kakek
Sudah dua hari hewan ternak warga kampung Kaduengang hilang secara misterius. Puluhan ayam lenyap dari kandangnya, kambing yang dipelihara bertahun-tahun juga hilang. Belum lagi kerbau, ada sepuluh ekor yang hilang secara misterius. Mereka yakin pasti ada maling di kampung mereka. Warga kampung itu sepakat untuk memperbanyak pos ronda. Setiap malam para pemuda dan bapak-bapak bergantian menjaga kampung. Mereka sangat hati-hati jika ada orang asing yang masuk ke kampung mereka.Anehnya tidak ada tanda-tanda maling di kampung itu. Selama satu minggu berjaga, tak satu pun orang asing yang masuk ke kampung. Kasus hilangnya hewan ternak belum terpecahkan, tapi sudah muncul kasus baru. Banyak warga yang melapor ke ketua RT kalau warung mereka kemalingan. Barang dagangan mereka hilang, tapi si maling hanya mencuri barang yang bisa dimakan saja seperti kue, biskuit, kopi, dan makanan lainnya.Kejadian ini benar-benar menggemparkan seluruh warga kampung. Mereka bahkan m
Tok…tok…tok…tok…!Sebagian siswa juga masih merasakan hadirnya seseorang di sekitar asrama yang tak terlihat wujudnya. Salah satu yang merasakan hal itu adalah Laila. Siang itu, sekitar jam dua belas siang, Laila memasuki asrama sehabis pelatihan. Aura menyeramkan di ruang tamu terasa sekali hingga bulu kuduknya terasa meremang. Ia merasa di belakangnya ada yang mengikuti, namun begitu menoleh, tak dilihatnya seorang pun di sana. Saat masuk ke kamar tiba-tiba hawa dingin menerpa tubuhnya, padahal suasana siang itu begitu terik. Ia merasa ada yang mengawasi dirinya, namun tak di dapatinya seorang pun di kamar. Untuk mengurangi rasa takut, ia nyalakan musik dari ponsel sekencang-kencangnya.“Aku merasa ada yang memperhatikanku! Tapi, aku tak melihatnya sama sekali! Tapi, aku yakin, dia memperhatikanku aku!” seru Laila. Ternyata, teman-teman lainnya juga merasakan hal yang sama.Hampir seluruh siswa di asrama merasakan hal yang sam
Blok MMelamun sesaat, fokusku hilang dikala hening senyap menjerat kesadaran.Tapi tiba-tiba aku melihat sesuatu di kejauhan, ada bayangan berbentuk orang yang muncul dalam gelap.1Aku yang awalnya kaget, berangsur jadi agak tenang ketika merasa kalau sepertinya yang datang itu benar-benar orang.Ternyata memang benar, aku melihat ada seseorang sedang melangkah mendekat. Karena masih cukup jauh, jadinya aku masih hanya bisa melihat dalam bentuk siluet.Tapi aku sudah bisa yakin kalau orang ini adalah sosok laki-laki, kalau melihat dari posturnya.Ketika sudah cukup dekat, barulah aku bisa melihat dengan jelas kalau ternyata yang mendekat ini adalah seorang sekuriti gedung.Ah leganya, aku jadi bisa segera turun dengan meminta untuk ditemani ke bawah.“Pak, hmmmmm.” Aku menegurnya, ketika kami akhirnya sudah berhadapan. Karena gak familiar, aku melirik ke nametag yang ada di seragamnya, aku membaca nama “Wawan”.Iy
Katanya, Sulis sakit keras. Badannya telah lumpuh total, hanya mampu berbaring di ranjangnya. Matanya selalu melotot, ada borok di sekujur tubuhnya, padahal perutnya semakin membuncit karena janin yang dikandungnya. Bu Sri memohon untuk mengantar Sulis ke Rumah Sakit.Karena waktu itu, hanya keluargaku yang memiliki mobil. Akhirnya tanpa pikir panjang, aku dan suamiku mengantar Sulis saat itu juga.Sulis sudah seperti mayat hidup bila ku lihat. Matanya terbuka, masih bernafas, namun tidak bisa di ajak bicara, dan tidak mampu bergerak. Borok di sekujur tubuhnya berbau sangat busuk.Sesampai di RS, Sulis langsung ditangani oleh dokter. Hampir 3 jam kami menunggu hasil pemeriksaan dokter, setelah itu kami ketahui bahwa Sulis menderita diabetes akut yang membuat sekujur tubuhnya terluka dan bernanah.Setelah satu hari dirawat, Sulis akhirnya menghembuskan napas terakhir. Beruntung kata dokter, janin dalam perutnya belum memiliki nyawa, bentuknya pun belum sempurn
Saat itu tahun 2005.[Suara HP berbunyi]"Halo? Assalamualaikum Pak?""Halo, Waalaikumsalam Dung. Gimana kabarmu? Gimana kuliahmu?""Alhamdulillah semua lancar pak, kabar saya sehat. Bapak ibu sehat kan?""Syukurlah nak, bapak ibu sehat,"Kemudian seketika hening, tak ku dengar lagi suara bapak dari telepon. Yang ku dengar hanyalah suara lelaki tengah menahan isak tangisnya.Feeling-ku benar, sepertinya bapak sedang tidak baik-baik saja, sudah kuduga sejak ku angkat gagang telepon, suara dan nada bicara bapak tidak seperti biasanya."Pak, bapak kenapa?,""Gapapa nak, kamu buruan pulang ya. Kalau bisa minggu depan. Bapak mau ngomong sama kamu,""Iya pak insyaallah saya pulang minggu depan,"[Tuut..tuut..tuut..]Sejenak aku berpikir bagaimana agar minggu depan bisa ku penuhi permintaan bapak untuk pulang. Karena jujur saja, aku berkuliah sambil bekerja di kota metropolitan. Aku tidak ingin menambah beban bapak yang hanya seor
Ada apa dengan Guci ini sih?Kenapa banyak kejadian seram setalah ada guciGimana sejarah guci ini?Semakin seram, semakin menakutkan, banyak peristiwa yang terjadi di rumah Jessica.Jessica akan lanjut bercerita di sini, di Briistory.#BriiStoryJangan baca sendirian, lanjut di komentar yaaa!***#1Begitulah, banyak kejadian janggal yang terjadi sejak kehadiran guci itu di rumah. Kejadian janggal dan kadang menyeramkan, yang secara langsung maupun gak langsung mempengaruhi kehidupan kami juga.Setelah banyak kejadian, aku menjadi selalu was-was apa bila harus di rumah sendirian walaupun itu siang hari. Lalu, sebisa mungkin menahan diri untuk gak ke kamar mandi tengah malam, aku akan menahan pipis sampai pagi.Jo jadi semakin jarang tidur di rumah, lebih sering bermalam di rumah teman atau di rumah Om Fendy. Dia bilang, gak tahan dengan penampakan-penampakan seram yang dia lihat gak satu dua kali, tapi sering.Selama k
Rumah, seharusnya menjadi tempat teraman dari rasa takut dan cemas, tapi ternyata gak selalu demikian. Seperti yang dialami oleh Jessica dan keluarganya.ADVERTISEMENTRumah mereka menjadi sumber teror yang menakutkan.Jessica yang akan bercerita sendiri di sini, di Briistory.#BriiStory#MalamJumatLanjut di komentar ya..***#1Sekali lagi aku terjaga, jam setengah dua malam. Penuhnya kandung kemih, memaksaku tersadar dari tidur. Kebelet banget, gak tahan, mau gak mau harus pergi ke toilet.Tapi belakangan, bangun malam jadi hal yang membuatku paranoid, apa lagi ketika terpaksa harus ke luar kamar.Sama seperti malam ini, tiba-tiba terbangun pingin pipis. Padahal sudah berusaha maksimal untuk menahan dan kembali tidur, tapi gak bisa, sudah di ujung.Aku takut, takut dengan hal ganjil dan menyeramkan yang belakangan selalu terjadi ketika melintasi ruang tengah.Kebetulan toilet letaknya di depan kamar Papa Mama, berse
Tahun 2007 awal pernikahan dengan Imas, 3 tahun sebelum aku berganti pekerjaan sebagai tukang cukur (mempunyai pangkas) awalnya aku adalah penjual martabak manis, tempat aku berjualan sekitar satu jam dari rumah, di sebuah kampung dekat dengan sebuah danau, di mana di situlah orang-orang sering ramai, walau yang berjualan bisa terhitung dengan jari.Yogi adalah teman masa sekolahku yang mempunyai resep martabak karena memang turun temurun dari keluarganya, atas persetujuan modal yang aku keluarkan sangat terbatas, akhirnya aku dan Yogi sepakat memulai usaha tersebut, penampilanku sama halnya dengan sekarang tidak pernah rapih sama sekali.Selepas waktu ibadah solat asar, aku dan Yogi yang memang kebetulan tidak jauh rumahnya dari rumah Ibuku (waktu itu masih tinggal bersama Ibu) selalu menjemputku dengan membawa adonan martabak dan segala perlengkapan lainya untuk berdagang.Sudah hampir 3 bulan berjalan, dan memang selalu habis jauh di mana waktu prediksiku yang seha