Nicholas membuka pintu kamarnya dengan rasa malas. Pria itu sudah berusaha untuk tidak mengindahkan panggilan dari balik pintu, tetapi suara adiknya yang berteriak, sedikit mengganggu ketenangan pria Italia itu.
“Ada apa?” tanya Nicholas tanpa basa basi ketika melihat Alicia berada di depan pintu.
Alicia terlihat bingung, tetapi sorot malas dari mata Nicholas membuat gadis itu berusaha berbicara. “Daddy sudah pulang. Mommy meminta Kakak untuk turun, dan makan malam bersama.”
Nicholas mengangguk patuh. Pria itu sedang tidak ingin berdebat dengan siapa pun. Tanpa menunggu Alicia lagi, Nicholas kembali menutup pintu kamarnya.
Namun, sebelum itu terjadi Alicia menghentikan gerakan pintu yang akan tertutup. “Kakak, bagaimana dengan Sofia?” tanya Alicia pada akhirnya.
Rasa penasarannya jauh lebih besar dari segalanya. Dia ingin tahu apa yang sudah terjadi di antara mereka berdua—Nicholas dan juga Sofia.
Ni
Sofia menatap bayangan dirinya sendiri di depan cermin. Wajah kuyu itu masih terlihat jelas. Meskipun sudah hampir satu minggu dia mengurung diri di dalam rumah, mengabaikan panggilan dari Nicholas, tetapi tetap saja Sofia masih merasa sulit untuk melupakan semua yang sudah terjadi.Sejak memutuskan pergi dari Nicholas, dia baru tahu betapa berartinya pria itu bagi dirinya. Namun, Sofia juga tidak mungkin kembali kepada Nicholas meski pria itu terus saja menghubunginya, dan mengirim pesan permintaan maaf—meminta Sofia agar kembali.Sofia merasa tidak memiliki wajah lagi untuk bertemu dengan Nicholas. Dia merasa sudah terlalu kotor untuk pria sebaik Nicholas.Tentang Arnold, untuk saat ini Sofia bisa sedikit bernapas. Dia akui kejadian malam itu adalah kesalahan fatal yang tidak mungkin bisa diperbaiki. Meski hari itu Arnold berkata akan bertanggung jawab untuk semua yang sudah terjadi, tetapi hati Sofia tetap tidak bisa menerima pria itu.Anggap saj
Suasana sore terasa begitu hangat. Ettan berdiri di tepi jendela besar yang ada di dalam ruangan kerjanya. Menatap kendaraan yang berlalu lalang di luaran sana.Padat merayap, begitulah suasana ibu kota di sore hari seperti ini. Banyak orang yang terburu-buru untuk bisa cepat pulang. Mengerjakan pekerjaan mereka agar cepat selesai, dan bisa bersantai di rumah.Namun, berbeda dengan Ettan. Sejak lima tahun lalu tidak ada lagi kehangatan di dalam rumahnya. Tidak ada lagi tawa dan suasana gaduh di dalam rumahnya.Rasanya pria itu begitu rindu dengan suasana dulu. Masa di mana dia masih sering melihat keluarganya bercengkerama, dan menghabiskan banyak waktu bersama di dalam rumah.Sudut bibir tipis itu tertarik, membentuk sebuah lengkungan kecil. Mengingat masa kecilnya yang sangat bahagia, tentu saja membuat pria itu merasa senang. Ingin rasanya dia kembali mengulangi kenangan di masa lalu.Ettan bergeming di tempatnya. Pria itu memasukkan kedua tanga
Arnold menatap lekat-lekat bangunan yang ada di hadapannya saat ini. Pria yang sedang duduk di dalam mobil dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya itu, membuat Arnold terlihat seperti seorang pengintai.Nyatanya, memang seperti itu. Arnold sengaja berada di tempat ini untuk menjalankan semua rencana yang sudah dia pikirkan bersama dengan Arzan, kemarin.Setelah menunggu beberapa menit, sekumpulan anak-anak mulai keluar dari gerbang pagar. Ada yang langsung pulang bersama dengan orang tua mereka. Ada juga yang sedang menunggu untuk dijemput.Arnold segera turun dari dalam mobilnya. Pria itu berjalan santai, seraya tersenyum ketika melihat anak laki-laki yang sedang duduk di depan pos penjaga sekolah, seperti biasa.“El!” panggil Arnold ketika melihat El duduk diam.Anak laki-laki yang dipanggil namanya itu menoleh. Bibirnya tersungging ketika melihat Arnold berjalan mendekati dirinya.“Uncle!”Arnold bergegas menghampiri El yang sedang berdiri menunggu kedatangannya. Tampakn
Arnold menyentuh dadanya yang berdebar dengan sangat kuat. Manik berwarna abu-abu itu masih menatap lekat ke arah El, yang duduk di dekat pos penjaga keamanan sekolah. “Maafkan aku, El,” gumam Arnold dengan menatap helaian rambut hitam milik El yang dia ambil tanpa sepengetahuan anak itu. Hanya ini yang bisa Arnold lakukan untuk membuktikan apakah El benar-benar putranya. Arnold kembali memakai kacamata hitam miliknya, lalu menginjak pedal gas dan meninggalkan kawasan sekolah. Hari ini dia memang tidak bisa menemani El, tetapi Arnold berjanji setelah semua kebenaran tentang El terungkap, dia tidak akan membiarkan El atau Sofia pergi lagi dari hidupnya. Tidak akan pernah. “Sofia, jika memang benar El adalah putraku yang selama ini tidak kuketahui, aku janji tidak akan pernah melepaskan kalian lagi. Apa pun risikonya, aku sama sekali tidak peduli. Meski harus melawan keluarga Luciano sekali pun.” Arnold menatap jalanan dengan tatapan hampa. Dia akan terus berusaha mencari kebenaran t
Sofia menggenggam erat tangan mungil El ketika turun dari taksi yang ditumpanginya tadi. Wanita itu menatap restoran mewah di hadapannya dengan perasaan gugup. “Mommy baik-baik saja?” tanya El dengan wajah bingung melihat Sofia. Dia juga bertanya-tanya mengapa Sofia tidak langsung membawanya pulang? Sofia menatap El lalu tersenyum tipis dengan mengangguk. “Ayo, kita masuk!”“Kenapa kita ke sini, Mom?” El menarik tangan Sofia sehingga wanita bertubuh mungil itu menghentikan langkah kakinya. “Kita akan bertemu dengan seseorang. Ayo, El!”El berjalan mengikuti Sofia dengan sedikit malas. Memangnya mereka akan bertemu dengan siapa? Apa mungkin mereka akan bertemu dengan Nicholas? El menggeleng pelan dengan tangan yang terus digenggam oleh Sofia. Tidak mungkin! Nicholas selalu datang ke kafe jika ingin bertemu dengan mereka. Sofia menghentikan langkah kakinya setelah masuk, dia menatap sekeliling dengan tangan yang semakin erat menggenggam tangan putranya. Manik berwarna cokelat itu m
Sofia menatap bangunan megah di hadapannya dengan sedikit bingung. Setelah berdebat dengan Ettan tadi, akhirnya dia kalah dan pergi bersama dengan kakaknya. Sofia sempat berpikir buruk jika Ettan akan membawanya kembali ke rumah, tetapi ternyata itu tidak terjadi. “Villa? Ini villa siapa, Kak?” tanya Sofia dengan wajah bingung yang terus menatap bangunan berlantai dua di tengah perkebunan. Tempat yang cukup jauh dari pusat kota, tetapi terasa menenangkan bagi Sofia. “Ayo masuk!” Tangan kanan Ettan menarik lengan Sofia, sedangkan tangan kirinya menggendong El yang sudah tertidur karena kelelahan. Siang tadi setelah mereka makan siang bersama, Ettan mengajak El bermain. Mereka menghabiskan banyak waktu, lalu Ettan membawa Sofia ke villa pribadinya. Pria itu sudah berjanji tidak akan melepaskan Sofia lagi. Mulai saat ini hingga seterusnya Sofia dan El adalah tanggung jawab Ettan. “Kak!” Sofia menghentikan langkah kakinya ketika Ettan akan membuka pintu. Wajah wanita itu jelas terli
Nicholas mendesah kasar di depan pintu rumah Sofia. Sudah berulang kali dia mengetuk pintu rumah, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Ponsel wanita itu juga sama sekali tidak bisa dihubungi. “Halo, Ken. Bagaimana kau sudah mengetahui keberadaan Sofia?” tanya Nicholas begitu ponselnya berbunyi. “Dia tidak ada di kafe.” Kenzo menjawab dengan sedikit ragu, seolah tahu jika jawabannya pasti akan membuat Nicholas kesal. “Shit!” umpat Nicholas setelah mendengar jawaban Kenzo. Pria itu segera memutuskan panggilan secara sepihak, lalu melihat rumah Sofia yang terlihat begitu sunyi. Sebenarnya, ke mana Sofia pergi? Bahkan dia juga tidak pulang. Nicholas menghembuskan napas dengan wajah putus asa. Pria itu menutup pagar rumah Sofia, lalu masuk ke dalam mobil dengan sedikit kesal. “Aku rasa aku benar-benar bisa gila hidup tanpa Sofia.” Nicholas melemparkan ponselnya di kursi penumpang, lalu menyandarkan tubuh dengan mata tertutup. Seharusnya, dia sudah pulang dan tidur di apartemen, teta
Sofia berjalan di belakang Ettan dengan menggendong El yang masih tertidur. Tubuh mungil wanita itu benar-benar tidak terlihat di belakang tubuh besar Ettan. Rasa takut dan juga khawatir di hati Sofia bercampur menjadi satu. Dia sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Bagas nanti? Apa yang akan ayahnya lakukan jika melihat Sofia? Ettan menghentikan langkahnya secara tiba-tiba, membuat Sofia menabrak punggungnya dan terlonjak kaget. “Kau melamun?” Sofia menggeleng. Dia menatap ke arah pintu yang menuju satu ruangan vvip di rumah sakit. “Papa bilang mama sudah lebih baik dan dirawat di dalam.” Ettan menunjuk ruangan yang di depan mereka melalui ekor matanya. “Kita masuk sekarang. Jangan terlalu gugup.”Sofia menarik baju Ettan seperti anak kecil. Wajah wanita itu sedikit pucat karena rasa takut yang belum benar-benar bisa hilang, meski Ettan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. “Aku tunggu di sini saja, Kak.” Sofia menatap Ettan dengan penuh harap. Bukan dia