Sofia berjalan di belakang Ettan dengan menggendong El yang masih tertidur. Tubuh mungil wanita itu benar-benar tidak terlihat di belakang tubuh besar Ettan. Rasa takut dan juga khawatir di hati Sofia bercampur menjadi satu. Dia sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Bagas nanti? Apa yang akan ayahnya lakukan jika melihat Sofia? Ettan menghentikan langkahnya secara tiba-tiba, membuat Sofia menabrak punggungnya dan terlonjak kaget. “Kau melamun?” Sofia menggeleng. Dia menatap ke arah pintu yang menuju satu ruangan vvip di rumah sakit. “Papa bilang mama sudah lebih baik dan dirawat di dalam.” Ettan menunjuk ruangan yang di depan mereka melalui ekor matanya. “Kita masuk sekarang. Jangan terlalu gugup.”Sofia menarik baju Ettan seperti anak kecil. Wajah wanita itu sedikit pucat karena rasa takut yang belum benar-benar bisa hilang, meski Ettan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. “Aku tunggu di sini saja, Kak.” Sofia menatap Ettan dengan penuh harap. Bukan dia
Dareen bergerak gelisah di atas tempat tidur. Foto Sofia yang ditunjukkan oleh Arzan benar-benar tidak bisa menghilang dalam benaknya. Jadi, selama ini Sofia yang dimaksud Arnold benar-benar Sofia yang dia kenal. Namun, satu pertanyaan Dareen sejak mengetahui fakta ini. Bagaimana bisa Sofia seperti itu? Dareen tahu bagaimana lingkungan Sofia dulu. Gadis itu juga memiliki kekasih yang sangat menyayanginya, bagaimana bisa Sofia berakhir dengan Arnold?Dareen bangun dan duduk dengan kening berlipat. Dia masih tidak menyangka bahwa dunia ini benar-benar sempit. Pantas saja selama lima tahun terakhir, dia sama sekali tidak pernah melihat Sofia di acara reuni kampus. “Tunggu, apa kakak tahu jika Sofia anak dari keluarga terpandang?” tanya Dareen dengan dirinya sendiri. Mengingat bagaimana status Sofia disembunyikan selama ini, apa mungkin Arnold tidak tahu mengenai latar belakang Sofia? Apa hal itu yang membuat Arnold tidak pernah menemukan Sofia di mana pun. Dareen mengambil ponsel mi
Sofia menatap pemandangan dari kaca jendela mobil dengan tatapan sendu. Untuk sesaat, wanita itu menghembuskan napas lega karena berhasil pergi dari Nicholas. “Apa semuanya benar-benar berakhir seperti ini?” gumam wanita berambut pendek itu dengan angan yang kembali melayang ke malam di mana dia bertemu dengan Bagas. Dia sempat berharap mungkin saja Bagas akan menerima dan membawanya kembali. Namun, ternyata harapan itu berbanding terbalik dengan kenyataan pahit yang harus Sofia terima. Ayahnya masih tetap sama, dan Sofia sama sekali tidak memiliki harapan apa pun lagi. “Nona, kita sudah sampai.” Sofia tersentak mendengar suara sopir taksi yang memanggilnya beberapa kali. “Ah, iya. Maaf, Pak,” jawab Sofia dengan wajah kaget. Wanita itu bergegas turun dan melihat El yang sedang duduk di dekat pos penjaga sekolah. “Pak, bisa tunggu sebentar?” “Bisa, Nona.” Sofia mengangguk dengan senyum khasnya. Wanita itu berjalan menyeberangi jalan dengan mata yang terus menatap ke arah El yan
Ettan meletakkan kembali berkas yang ingin dibubuhi tanda tangannya. Pria itu bergegas pergi dan meninggalkan pekerjaan di kantor, setelah mendapatkan telepon dari Sofia. “Tuan, Anda ada rapat siang ini—“ “Batalkan!” perintah Ettan dengan tegas. Pria itu menyambar ponsel di atas meja lalu pergi begitu saja. Setelah perdebatan di rumah sakit beberapa hari lalu, Ettan kembali kehilangan jejak Sofia. Adiknya itu pergi begitu saja dari villa tanpa memberi kabar apa pun. “Sekarang aku tidak akan memaksamu kembali lagi, Fia.” Ettan bergegas masuk ke dalam mobil, dan menginjak pedal gas dengan kecepatan yang cukup kencang. Demi apa pun, saat ini Ettan akan melakukan apa pun yang diminta Sofia nanti. Ettan tidak akan lagi memaksa Sofia untuk kembali ke rumah, atau keluarga mereka. Perilaku Bagas—ayahnya saat itu sudah lebih dari cukup. “Halo, Ma. Aku akan bertemu dengan Sofia.” Ettan menatap nama ibunya di layar ponsel dengan berbagai macam perasaan. Dia memutuskan untuk memberitahu So
Sofia menatap pagar rumah mewah di hadapannya dengan bimbang. Entah bagaimana, dan mengapa hingga wanita itu bisa berakhir di tempat ini. Tempat di mana dia pernah menghabiskan masa kecilnya dulu. “Mommy, ini rumah siapa?” tanya El dengan wajah bingung. Sepulang dari sekolah Sofia tidak langsung mengajaknya pulang, melainkan kemari—ke sebuah rumah yang tidak tahu siapa pemiliknya. Sofia berjongkok di hadapan El lalu meraih tangan mungil putranya tersebut. Andai El tahu jika ini adalah rumah keluarga mereka juga. “Mommy menangis?” El mengusap pipi Sofia yang mendadak basah. Kenapa ibunya justru menangis? Anak laki-laki itu terlihat bingung. Akhir-akhir ini ibunya terlihat sering menangis. Sebenarnya siapa yang menyakiti ibunya? “Mom, apa semua orang jahat?” tanya El dengan lembut. Apa semua orang menyakiti ibunya? Sofia mengusap pipinya yang basah dengan senyum tipis. Wanita itu menggeleng pelan, dia sadar dengan pertanyaan El. Mungkin saja anak laki-laki itu sudah terlalu sering
Kenzo berlari dengan terus meneriaki nama Sofia, ketika melihat wanita itu berjalan dengan El. Tidak! Dia tidak mungkin salah. Wanita yang sedang berjalan itu adalah Sofia. “Sofia!” panggil Kenzo dengan napas terengah-engah. Pria itu menatap Sofia dengan heran. Mengapa Sofia bisa ada di bandara? “Sofia, tunggu!” teriak Kenzo, tetapi sepertinya Sofia tidak mendengar sama sekali. Kenzo melihat ke pergelangan tangan kirinya. Jadwal penerbangannya sebentar lagi, tetapi dia juga tidak bisa pergi begitu saja setelah melihat Sofia. Apalagi setelah tahu ada seorang pria yang pergi bersama Sofia. “Shit! Sialan! Dia pergi begitu saja setelah mencampakkan Nicholas!” maki Kenzo dengan wajah kesal. Tangan pria itu mengambil ponsel di dalam saku jasnya. Demi apa pun jika dia tidak ingat bagaimana kondisi Nicholas sekarang, Kenzo tidak ingin memberitahu jika dia melihat Sofia di bandara. “Halo, Nic.” “Kau belum berangkat? Pesawatmu akan lepas landas sebentar lagi, bukan?” “Sofia!” jelas Kenzo d
“Ar!” Arnold tersentak ketika mendengar suara Arzan yang memanggilnya dengan cukup kuat. Pria itu membuang napas dengan kasar lalu menatap Arzan dengan penuh tanya. “Kita ada rapat siang ini. Kau tidak lupa, bukan?” tanya Arzan dengan wajah heran. Arnold terlihat tidak sehat selama beberapa hari ini. “Kau baik-baik saja?” Arzan berjalan mendekati meja kerja Arnold, dan duduk di kursi yang saling berhadapan dengan temannya itu. Arnold mengangguk pelan. “Sudah dapat kabar dari rumah sakit?” “Belum.” Arzan kembali menatap Arnold dan memastikan jika pria itu benar-benar baik-baik saja. “Mereka bilang dalam 2 atau tiga hari lagi hasilnya akan keluar.”Arnold kembali mengangguk dengan wajah gelisah. Pria itu melepaskan kacamata dan meletakkan berkas-berkas yang sedang dibaca. “Bagaimana dengan Sofia? Kalian sudah menemukan di mana dia tinggal?” tanya Arnold dengan penuh harap. Semenjak Sofia pergi begitu saja di hari itu, Arnold sama sekali tidak bisa tenang.Arzan mengambil ponsel yang
Arnold menyetir mobil dengan keadaan tidak karuan. Gugup, panik, marah, dan kecewa. Benaknya selalu bertanya-tanya sejak tadi, mengapa Sofia berniat pergi lagi? Mengapa Sofia melakukan hal ini lagi—meninggalkan dirinya dalam ketidakpastian? “Ah, sial!” Arnold memukul kemudi mobil dengan kuat. Amarah pria itu benar-benar membuncah saat ini. Kemarin-kemarin dia memang sengaja tidak menemui Sofia sampai fakta tentang siapa El jelas, tetapi bukan berarti dia akan melepaskan Sofia lagi, bukan? Sampai kapan pun Arnold tidak akan bisa menerima jika Sofia pergi lagi dari hidupnya, apalagi wanita itu membawa El. Anaknya! Entah apa dan bagaimana pikiran itu terus mengusik Arnold. Apakah saat ini Sofia sudah tahu jika Arnold menyelidiki El? Apa Sofia lari karena merasa takut jika El memang terbukti putranya, maka Arnold akan mengambil anak laki-laki itu? “Oh, Sofia! Tidak mungkin! Kalau memang kau berpikir seperti itu, itu hal yang mustahil. Aku tidak akan mengambil El dirimu, atau berniat