Tak ada balasan apa pun lagi dari Batik, membuatku tergempur gelisah. Di satu sisi, ingin menelepon untuk memastikan tapi di sisi yang lain, Tante Ariane sudah memanggil untuk segera turun. Jadi, tanpa berpanjang kata aku mengirimkan pesan terakhir untuk Batik.
[Ya sudah, aku berangkat ya B?]
[Jaga diri kamu baik-baik di sana, ya?]
[Tetap semangat dan pantang menyerah!]
[Life must go on kan, B?]
[Kirimi foto kamu yang sekarang ya, nanti aku juga kirimi foto terbaru aku]
[Soal cincin, konfirmasi ya?]
"Oh Hill, apa kamu sudah siap?" Om Frank menyembulkan kepala dari balik pintu. "Ada yang perlu Om bantu, Hill?
Siapa yang ingin jatuh sakit, Guys?Pasti tidak ada, termasuk aku tapi inilah yang terjadi bahkan sejak pertama kali menginjakkan kaki di Brussel. Diare itu mulai menyerang setelah makan siang yang cukup sadis di hotel. Maksudku, restoran yang ada di hotel. Bagaimana bisa aku menyebutnya dengan makan siang yang cukup sadis?Karena selera makan masih switched off, aku tidak terlalu memperhatikan menu apa yang kupilih. Semacam spaghetti chilli sauce, udang krispi dan kerupuk super pedas. Minumnya orange juice dingin. Selama proses makan semua masih baik-baik saja tapi begitu kembali ke kamar, perut mulai sakit. Mulas, panas dan melilit-lilit.Tante Ariane dan Om Frank langsung be
Siapa sangka, liburan yang awalnya terasa begitu menyenangkan tiba-tiba berubah menjadi sebuah bencana? Tiba-tiba Tante Ariane dan Om Frank melamarku untuk dinikahkan dengan Aldert, anak angkat mereka. Kami sedang berlibur di Brussel waktu itu terjadi, mengacaukan daya kerja otak, jantung dan pernapasanku secara total. Menjajah kebahagiaan yang selama hampir satu bulan kudapatkan di Netherlands, tentu saja. Merubah istilah holiday menjadi broken day.Apakah aku tidak berusaha untuk menolak? Sudah. Mati-matian bahkan, dengan mengerahkan seluruh kekuatan jiwa dan raga. Tapi mereka ditambah dengan Mama justru semakin gigih untuk mengalahkan pendirianku. Oh, sebenarnya aku mengalah---pada akhirnya---karena Batik tak merespon sama sekali ketika aku berterus terang dan meminta pendapatnya."Jadi, gimana ini, B?" tanyaku setenga
"Ha, oh, eh maksud Tante?" antara terkejut, bingung dan takut aku bertanya. Berusaha mencegah kemungkinan terburuk yang akan terjadi dalam hidup ini. Ya Tuhan, berarti benar hari ini mereka akan melamarku? Oh, tadi saat melihat roti tart dan kotak perhiasan itu … Berharap hanyalah setangkai bunga tidur semata-mata tapi kenyataannya? Oh, kadang-kadang aku memang separah itu! Seharusnya aku melarikan diri, bukan? Sejauh mungkin. Lebih baik hilang dan tak ditemukan lagi dari pada seperti ini ceritanya. Alur hitam dalam sebuah drama tanpa naskah. Kalaupun ada, naskah mentah. "Para tetangga sudah menunggu kita?"Sialnya, Tante Ariane justru menyimpulkan sebuah senyuman. Memandangku dengan sorot mata super lembut, menghangatkan. "Ya, para tetangga. Kita mengundang mereka untuk menyaksikan pertunangan kalian. Aldert sudah selesai didandani papanya dan sekarang saatnya Tante mendandani Hill. L
"Saya, emh, Hill permisi ke toilet dulu Om …!" kataku pada Om Frank dengan penuh permohonan di dalam hati. "Sebentar …?"Om Frank mengangguk, bangkit dari tempat duduknya dan mengantarkan aku sampai ke pintu ruang gang. "Bisa sendiri Hill, atau perlu Om panggilan Tante Ariane?"Secepat mungkin aku menggeleng-gelengkan kepala. Berjalan cepat ke luar ruang multi fungsi, berpikir dengan cepat bagaimana cara menghubungi Mama. Ini puncak perjuangan untuk membebaskan diri dari alur cerita gila Ariane-Rumi. Jadi, aku harus menuntaskannya meskipun sudah berada tepat di ujung tanduk. Yeaaah, aku harus mendengar langsung dari Mama mengenai semua kegilaan hidup ini. Harus."Mama, Mama?" aku yakin, saat ini sudah seperti Rose dalam film Titanic saat menem
"Lepaskan, Aldert!" kataku setengah menjerit. Dia merangkulku dari belakang, menyentuhkan bibir hangat dan basahnya ke tengkukku.Jelas dia semakin gila. Apa lagi? Acara tunangan paksaan sudah selesai digelar. Mama, Tante Ruby, Uta, Eyang Putri dan Budhe juga ikut menyaksikan melalui video call. Sekarang, di jari manis kiriku sudah melingkar cincin kawin dengan huruf A terukir di bagian dalam ulirnya. Begitu juga dengan jari manis kiri Aldert. Melingkar cincin kawin berbentuk bundar polos dengan huruf T terukir di bagian dalam ulirnya. Cincin kawin yang meremukkan seluruh hati ini dengan sempurna. Hebat, dahsyat."Lepaskan aku, Aldert. Jangan kurang ajar kamu, kita belum menikah!" larangku dengan air mata yang mulai berjatuhan di wajah. Jangan tanyakan lagi bagaimana kabar otak, jantung, saraf-saraf dan
"Good morning, every body!" aku memasang wajah super cerah sewaktu tiba di dapur plus ruang makan keluarga. Meskipun jantung, otak, saraf dan peredaran darah sempat konslet tapi aku membulatkan tekad. Ini satu-satunya jalan untuk aku bisa segera pulang ke Indonesia, tanah tumpah darahku. Negeri kaya raya subur makmur di mana ada Batik, cinta sejati. Cinta mati."Hi, Aldert!" atas nama cinta tulus suciku pada Batik aku melemparkan senyum manis padanya, "Nice dream last night?"Alih-alih bahagia atau minimal senang, Aldert justru mendelik. Serius, seakan-akan baru saja aku mengatakan, "Hi, Play Boy atau hi, Buaya Darat Crazy Brengsek Predator ganas, tadi malam kamu mimpi dikeloni Mbak Kunti, ya?"Wah, awal yang sangat bagus bukan, Guys? Tidak sia-sia juga dulu aku
Sambil menyembunyikan senyum dalam hati, aku menyimpan ponsel di kantong bagian depan tas punggung merah kecil tercinta. Mengalihkan pandangan ke Aldert yang masih mengerucutkan bibir. "Sudah sih Aldert, jangan cemberut terus. Nanti gantengnya hilang, lho? Nanti kalau kita pulang jalan-jalan terus mama kamu pangling, gimana?"Aldert melihatku sekilas. "Habis kamu sih Pretty, lagi jalan sama tunangan juga teleponan sama cowok lain."Aku membelalakkan mata. Memasang wajah tersanjung setinggi-tingginya. "Idih, cemburu nih? Hahahaha … Aldert, Aldert. Katanya nggak selevel sama Arnold tapi kok, nisa cemburu gitu, sih?"Si Crazy Brengsek Predator ganas itu diam tak berkutik. Kembali fokus ke tugas menyetir. "Sebentar lagi kita sampai di Amsterdam nih, Pretty. Ka
Amstel. Canal of Amsterdam.Di sinilah kami berada sekarang, menaiki perahu dayung menyusuri aliran kanal yang bersih dan jernih. Aldert terlihat bersemangat mendayung, tentu saja. Mengulum senyum super manis sampai terlihat basah. Setengah mengerikan, setengahnya lagi menenteramkan hati. Eh! Maksudku, minimal tidak ada gejala usil, nakal atau semacamnya di sana."Bagaimana, Pretty Sweety?" pertanyaan Aldert membuatku gelagapan. "Lima puluh meter lagi ada jembatan pemberhentian. Kita akan terus berperahu atau istirahat dulu? Sebentar lagi juga sudah masuk jam makan siang." lanjutnya dengan mata berbinar-binar. Kalau kamu masih ingin berperahu, aku dengan senang hati mendayung atau mau aku ambil foto lagi? Oh, mau aku buatkan video?" tawar Aldert kental dengan nada merayu. "Mumpung masih di atas di perahu kan, kapan lagi?"
"Hill?"Aku tak menjawab panggilan Arnold. Canggung sekali rasanya berada dalam situasi ambigu seperti ini. Rasanya seperti terseret ke dalam sebuah film tanpa naskah. Aku yakin, aktris handal sekalipun akan kelimpungan, tak tahu harus bagaimana?"Hill?" Arnold menggenggam jari-jemari tanganku dan anehnya aku tak menolak. Padahal seharusnya seluruh rasa sakit dalam diri, mendorongku untuk menampiknya, bukan? Menampar, memukuli atau menendang. Aneh, aku memang aneh. Padahal sama sekali tidak minum wine lho. Tidak pernah. "I am very sorry for …?" Arnold mengusap-usap perutku dan entah bagaimana aku merasa nyaman.
Tidak tahu mengapa hari ini galau berat, Guys. Sampai-sampai aku menelepon Miss Kirana dan menceritakan semuanya dengan jujur, terbuka seperti biasa. Mulai dari pertemuan dengan Pak Verrel yang tak pernah kedua sebelumnya, sampai Arnold yang mangkir datang tadi pagi.Yeaaah!Dia tak mengirimkan breakfast tetapi tidak masalah. Toh, sudah menyediakan banyak persediaan makanan. Roti tawar, selai---coklat, kacang, strawberry---messes, butter, dan daging untuk isian. Roti tawarnya saja dua pack.Kalau aku mau memasak juga sudah ada bayam, jagung manis, brokoli, tomat, wortel, ayam tanpa tulang, bakso dan sosis. Nugget ayam sayur juga ada. Tadi aku sudah memeriksa lemari pendingin. Beras pun ada, lima kilo gram.
Arnold datang pagi-pagi sekali dan bukan hanya breakfast yang dia bawa melainkan TV, VCD dan beberapa kaset film. Semuanya baru. Katanya dia sengaja membelikan semua itu untukku, supaya tidak terlalu kesepian atau jenuh.Gombal!Katakan saja supaya aku tidak sempat berpikir untuk pergi ke luar rumah. Iya kan, Guys? Ingin tertawa tetapi takut tersedak dosa. Memangnya aku anak kecil yang polos?"To evening, I will bring you some story book." katanya lagi penuh percaya diri. "You still like reading book, don't you?"Aku mengangguk. "I do. Thanks."
"Hai, Hill!" kupikir Arnold akan mengingkari janji tapi ternyata tidak.Dia datang dengan membawa makan malam---kalkun panggang, nasi dan salad---juga satu kantong besar persediaan makanan dan minuman. Awalnya aku merasa baik-baik saja melihat semua itu. Terkesan baik, bertanggung jawab tetapi melihat gesture jahatnya, radar dalam diriku bekerja ekstra, memindai pengkhianatan."Hai, Arnold!" aku berusaha untuk tetap bersikap tenang saat menyapanya kembali. "You haven't bring me so many stocks of food and drink. I hold your promise in a long my life that you will here twice in a day. In the morning for sending me any breakfast dan in the evening for sending me any dinner."Arnold terlihat terkesiap, jadi aku me
Dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, aku memerangi si Bastard. "No, big no! Pokoknya aku nggak mau pergi. Kamu harus bisa menerima kami di sini, Arnold. This is your baby dan kamu harus bertanggung jawab. Jangan jadi laki-laki pengecut, Arnold!"Keledai saja tak mau terjatuh untuk yang ke dua kalinya, bukan? Takkan kubiarkan diri ini mengulangi kebodohan dan kesalahan yang sama. Aku wajib kuat dalam hal ini, sampai si Bastard mau menerima Adek Bayi. Setelah itu aku akan bebas, merdeka.Arnold terdesak. Terdiam. Jadi, aku melanjutkan, "You must know Arnold, there is not a man in the world touch me … Only you and that was very fierce! Kamu nggak akan bisa menhindar sekarang, Arnold. Hahahaha, jangan kamu pikir aku akan
"Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?"Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit."Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?"Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan."Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?"Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n
"Ehem!" Pak Verrel berdeham menarik perhatian. "Kalau ditanya tapi nggak menjawab itu nggak sopan lho, Hill. Bisa jadi dosa juga."Eh?"Saya kan, bertanya karena perhatian sama kamu." blak-blakan Pak Verrel mengakui. "Ya, sebagai mantan karyawan, sih. Hehe. Sebagai sama-sama penumpang pesawat kelas bisnis jurusan Cengkareng - Schiphol. Mana seat kita bersebelahan lagi, kan? Tapi kalau kamu nggak suka saya perhatikan, ya nggak apa-apa."Aduh, apa yang harus aku katakan?"Saya, emh, sebenarnya …." kenyataan pahit membuatku tak mampu menyelesaikan kata-kata, tentu saja. Hanya mampu menggedikkan bahu, mati-mat
Mata Uta membulat besar. Mulutnya menganga sempurna seolah-olah aku baru saja mengatakan kalau aku akan pindah ke bulan dan takkan pernah berpijak di bumi lagi. "Nggak, nggak. Aduh … Sekali-kali jangan gila kenapa sih, Hill? Kali ini saja lah, please? Mana mungkin kamu ke sana? Emh, maksudku kamu kan nggak punya family di sana? Kemarin juga kan, ke sananya karena diundang Tante Ariane? Aduh Hill, percaya deh sama aku … Itu tuh, bahaya banget. Bahaya kuadrat."Aku tertawa cekikikan. "Yang gila tuh, siapa? Aku nggak gila kok Ta, hanya ingin finish the problem. Apa aku salah? Hanya di sana aku bisa finish the problem. Kamu tahu kan, Ta?"Uta meng
"Nggak Budhe, Hill nggak mau ketemu sama Mama!" aku berkeras. Memandang tajam dan dalam. Menunduk, membendung tangis. "Mama jahat, jahat. Hill jadi begini karena Mama. Papa meninggal juga karena Mama. Semua karena Mama." perlahan-lahan namun pasti aku mengangkat wajah, memandang dengan pandangan yang sama seperti tadi.Dua minggu sudah aku di rumah Bantul dan tidak menyangka sama sekali kalau ternyata Mama akan datang menjenguk. Lebih tidak menyangka lagi, dia tak sendiri melainkan bersama Tante Ariane dan Om Frank. Maksudnya? Ya ampun! Apa mereka masih belum sadar juga kalau merekalah sumber luka batinku? Sebenarnya mereka itu bodoh atau bagaimana, sih?"Budhe …?" antara sadar dan tidak, aku memanggilnya.Budhe tersenyum prihatin, sedih.