Masih terbesit harapan, jika kelak dinding antara aku dan Sultan akan hilang. Kabut gelap dalam rumah tangga kami musnah diterpa badai kasih sayang. Kenyataan tidak semudah yang kubayangkan. Kabut itu muncul dan menghilang semaunya. Membuat harapanku terombang-ambing tiada arah. Bahkan pelabuhan sakinah, mawaddah, warohmah itu tak jua nampak.
Setelah kurang lebih dua bulan aku melihatnya berjibaku dengan ayat-ayat-Nya, kini ia kembali lagi seperti dulu. Lupa pada-Nya. Al qur’an ia tinggalkan, tak pernah lagi shalat jama’ah dan kembali mesra dengan ponselnya. Yang membuatku makin merana, benda berwarna hitam itu pun ia kunci lagi. Aku menghela nafas.
Duhai Sang Penjaga Hati, sudikah kiranya Kau mendengarkan keluh kesahku. Aku tahu Engkau punya banyak urusan. Tapi, aku hanya punya Engkau. Siapakah yang bisa membantuku kecuali Engkau. Aku memang hanya berbelit pada prasangkaku. Tapi aku tahu ini datang dari-Mu.
Setiap detik yang kulalui terselip rasa curiga, aku lelah Tuhan. Berilah petunjuk yang terang benderang. Apakah yang sedang menimpa rumah tanggaku ini. Makhluk apakah yang tengah merasuki suamiku hingga ia tak ingat pada-Mu. Aku sudah siap jika harus menelan kegetiran takdir. Tampakkanlah segala yang harus aku tahu. Agar aku tak lagi gamang.
Andai aku memiliki cermin ajaib aku tak ingin bertanya siapakah wanita yang paling cantik di dunia. Itu pertanyaan konyol. Cukup beritahu aku siapa yang ada di hati suamiku. Akukah? Atau orang lain? Atau malah tiada siapa pun di hatinya kecuali dirinya sendiri? Hingga kini aku tidak merasa ada di dalam sanubarinya. Segala kebaikan yang ia lakukan adalah karena ia suamiku, bukan karena ia mencintaiku. Hambar. Kutatap wajah putraku Adnan, dia seperti Sultan. Semakin lama semakin seperti ayahnya. Orang bilang bayi akan merasakan apa yang dirasakan ibunya. Tapi, semoga Adnan tidak merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Dia adalah pelitaku. Dalam gelapnya masa yang kini aku alami. Wajahnya meneduhkan lara, mengangkat segala kegundahan yang menerpa.
***
Apa kau tau rasanya hidup dengan setengah napas? Yaitu ketika belahan jiwamu sedang melayang bersama awan hitam. Hubungan yang terjalin hanya seperti rutinitas. Tiada ikatan batin. Itu yang kurasakan, entah bagaimana dengan Sultan. Yang pasti aku sudah bertekad untuk menyelidiki keanehan ini. Yakin untuk siap menghadapi apa pun yang kan kutemui nanti. Bismillahirrohmaanirrohiim. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Sebuah kalimat yang mengawali ummul kitab. Dibaca setiap kali akan membaca ayat-ayat Al Qur’an mana pun kecuali Surat At Taubah. Maknanya dalam. Mengharap keberkahan dari setiap yang kita lakukan. Terlebih lagi menunjukkan bahwa kita tidak akan menyebut nama siapa pun selain Allah untuk memperoleh kebaikan dan meminta pertolongan hanya dari-Nya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah berujar, kasih dan sayang-Nya sebenarnya terlihat dalam diri manusia, yaitu antar sesama. Selain itu juga tampak dari cara Allah memberi kemudahan pada diri kita. Misalnya dengan menurunkan hujan setelah panas, panen setelah paceklik, dan lainnya. Kasih sayang Allahlah yang paling sempurna sebab takarannya utuh bagi siapa pun.
Doaku kali ini memiliki satu tujuan agar Allah menghilangkan gundah yang ada di relung hati. Membuka tabir yang menutupi pandangan mata selama ini.
Tiada yang bisa membantu selain Yang Maha Bisa.
Kumandang suara azan menggema di langit. Sultan masih mendengkur di balik selimut. Kubangunkan perlahan dengan menyentuh kakinya. Ia hanya menggeliat. Kugoyangkan lebih kencang, ia pun membuka mata lalu membalikkan tubuhnya. Kali ini kucubit jemari kakinya. Seperti biasa wajahnya penuh murka. Aku tidak peduli, yang penting dia segera bangun. Aku menunggunya untuk shalat.
Harapanku sudah turun drastis, tak lagi ingin ia shalat berjamaah di masjid. Melihatnya shalat saja sudah menjadi anugerah yang sulit.
“Duluan aja, aku mau buang air.”
Sudah kuhapal kalimat itu. Selama setahun ini ia selalu seperti itu. Shalat subuhnya pun akan semakin lambat, pukul 5.45. Aku tak mungkin menunggunya selama itu bukan? Seorang wanita yang sudah menjadi istri selalu sibuk dengan urusan dapur. Setelah salat subuh yang hari ini justru baru terlaksana pukul 6.30, ia mulai menyiapkan kepeluannya sendiri. Membuat minuman pagi, biasanya teh atau kopi. Dia tak suka minuman buatanku, terlalu manis. Lebih suka buatannya sendiri.
***
Hari ini libur, ia tidak bekerja. Tapi sibuk dengan usaha yang sedang ia kembangkan. Sultan membuat bisnis otlet makanan ringan khas Kota Batu di taman Panderman Hill. Hasilnya memang belum banyak, tapi dilihat dari peluangnya akan menjanjikan. Setiap hari, ia pergi pagi-pagi untuk membuka otlet. Setelah itu, pulang untuk mandi dan bermain dengan Adnan sebentar lalu pergi lagi ke otlet. Ia yakin akan mampu membuka resto suatu hari nanti.
Ponselnya ditinggal di rumah. Benda keramat itu sedang diisi daya. Baiklah, ini saatnya untuk penyelidikan. Aku menghirup nafas. Kurasakan suhu tubuh menjadi dingin. Jemari pun gemetar menyentuh layar kaca. Tadi, aku sempat mengintip passwordnya ketika memijat punggung Sultan.
“Kode anda salah, coba lagi.”
Rupanya Sultan tahu aku melihat dia membuka kode ponselnya. Kucoba lagi. Sultan pelupa, kodenya tidak akan jauh berbeda dengan yang sudah ia pasang sebelumnya.
“Tap.”
Berhasil. “Alhamdulillah,” ucapku lirih.
Adnan mendekat, ia merangkak memegangi pakaianku. Bayi laki-laki berusia satu tahun lebih itu memanggil seperti ingin meminta bantuan. Mainannya yang terjepit di bawah kolong meja. Aku tidak menghiraukan panggilannya. Sibuk dengan benda rahasia milik Sultan. Kubuka pesannya, catatan panggilan, WA, BBM, hingga F******k. Peluh mengalir saat menelusuri perlahan satu persatu.
“Innalillahiwainnilahirojiuun.”
Mataku berkaca-kaca. Hatiku seperti dihujam besi panas. Benarkah apa yang kulihat ini? Galerinya berisi penuh dengan gambar-gambar tanpa busana. Foto-foto dirinya sendiri dengan bagian pribadi yang jelas terpampang. Tak hanya puluhan, ada ratusan foto tanpa benang sehelai pun. Kuberanikan diri terus menyelami benda persegi panjang itu. Lebih jauh pada percapakan yang ada di Messenger, layanan pesan singkat dari F******k.
“Astaghfirullah, laa hawlawalaa quwaata illa billah.”
Tak kupedulikan sesak yang menghimpit ulu hati. Tanganku tak berhenti berguncang. Suhu tubuh turun nyaris belasan derajat. Kisah apa yang ada di hadapanku ini Allah? Percakapan vulgar tanpa batas, tak hanya dengan satu orang. Bahkan mungkin lebih dari sepuluh orang yang bercakap-cakap tentang hal intim. Grup gay! Dunia macam apa ini?
Mataku panas, tapi basah karena tetesan air yang sebenarnya berusaha kutahan. Tulang-tulang menghilang, tubuhku terduduk tanpa penopang. Tertera nama Arjuna. Seperti yang sebelumnya, ini akun jelmaan. Pesan Arjuna kubaca satu persatu. Aku tahu pasti itu siapa. Gambar tanpa pakaian yang ia kirim kebeberapa orang akun adalah foto Sultan.
Perutku mual, seakan ada yang mengaduk-aduk isi di dalamnya. Kepala berkunang-kunang yang membuat gambarnya menjadi kabur. Foto di ponsel mulai berbayang. Kupejamkan mata sekejap lalu membukanya lagi. Meski penglihatanku sudah kembali, kepala terasa berat sekali seperti ditimpa ribuan ton batu. Aku menyesal membuka ponsel ini. Tak ingin melihat kenyataan getir nan pilu yang tak terbayangkan sebelumnya.
“Lelaki binal, murahan sekali pria ini,” desisku geram.
“Buuuuuu.”
Terdengar teriakan Adnan diselingi dengan tangisan melengking. Rupanya ia tak mampu meraih mainannya dan malah terjepit kaki meja. Aku berusaha mengelurakannya dari bawah meja. Mainan yang ingin ia raih, kuambil dengan mudah. Ia masih terisak, mungkin karena kaget. Kupeluk dengan haru. Bukan hanya karena melihatnya yang tengah menangis, tapi juga karena membayangkan betapa menyedihkan nasib anak ini.
***
Adnan tertidur dalam timangan. Sultan masih belum kembali. Aku telah mengetahui apa yang ia sembunyikan dariku selama ini. Dinding kokoh yang menghalangi hubungan kami terlihat. Itulah kenapa ponselnya selalu disembunyikan, diberi password, atau sengaja dibuat mati sebelum tidur. Bukan demi menjaga radiasi yang berbahaya, tapi agar kelakuan busuknya tak terungkap.
Yah, aku yang minta lebih tepatnya lagi memaksa pada Allah untuk mengetahui rahasia ini. Merasa begitu kuat hingga mengatakan kesanggupanku. Tak pernah kusangka dinding penghalang ini begitu kokoh, berlapis semen kelas wahid. Ditambah dengan besi berkualitas tinggi dan baja terbaik sedunia. Pantas aku tak pernah bisa menembusnya. Sayang dinding ini begitu gelap, kelam, berkerak, menjijikkan.
Kulihat wajah Adnan yang serupa dengan Sultan membuatku kesal. Kenapa bayi ini harus mirip dengan pria pendusta itu? Kutinggalkan anak laki-laki berusia lebih dari setahun itu sendiri dalam kamar.
Bulir dari mataku tak berhenti menetes. Impian untuk menjadi keluarga sakinah luluh lantak. Hidup dengan nakhoda yang tidak memiliki peta sama saja dengan membiarkan perahu tersesat di lautan. Tanganku meremat jantung, berharap agar namanya enyah dari sana. Aih, haruskah aku mengeluarkan daging merah itu agar tak lagi merasakan denyut yang sesak. Tapi aku pasti mati.
Tidak! Harusnya dia saja yang mati. Aku meremat kepala. Seakan itu bisa menghilangkan penat yang mendera.
Aku menjerit. Lalu menggigit jari-jari tangan hingga membekas. Penglihatanku mulai buram. Terbesit keinginan memuntahkan cacian ke wajahnya. Atau meludahkan umpatan hingga membuat kulitnya membusuk.
Detik tiba-tiba melambat, padahal biasanya sangat cepat. Setahun seperti sebulan, sebulan serasa seminggu, seminggu bak sehari, sehari bagai satu jam, dan satu jam hanya sekejap mata. Tapi ini. Menunggu ia pulang satu jam lagi saja terasa bagai setahun. Sultan tak jua kembali. Aku ingin membicarakan temuanku kepadanya. Akan kulihat bagaimana reaksinya.
****
Terimakasih yang sudah mampir. Baca kelanjutan kisah Kay selanjutnya ya....
Tiktok tik tok.Jam dinding bergerak sama seperti kemarin. Detik, menit, jam terasa lebih lama. Ah,bencinya menunggu. Rasa kesemutan menjalar di kaki. Air mata mengering menyisakan pedih mengikis jiwa. Gemetaran pun mulai mereda. Batinku menguat seperti palu baja guna menghantam pendusta. Sejak tadi pikiranku sibuk menyiapkan kata-kata terpedas untuk Sultan. Semoga dia tersayat,seperti aku.Aliran udaraberderu cepat,naik turun tak beraturan. Sumpah serapah bergema ditelinga, entah siapa yang membisikkannya. Sultan jadi buruk sekali. Lebih mengerikandaripada babi hutan yang berkubang dengan kotorannya sendiri. Otakku mendidih. Tanganku menggengam menahan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. Tak tahu bagaimana rupaku kini. Aku bagai iblis yang siap memanah Adam dengan api neraka.Setan pandai sekali menyusup kedalam hati. Ia tampakkan segala keburukan Sultan, bahkan yang sudah lama terlupakan. Dirangkainya menjadi kis
Siapa sebenarnnya dia? Makhluk apa yang aku nikahi ini? Sudut kanan kepalaku berdenyut. Terdengar suara denging yang amat kencang. Sultan duduk di lantai. Ia menundukkan kepala. Perlahan dengan suara parau laki-laki yang kuanggap penipu itu bercerita.Kisah ini, entah bagaimana bisa terjadi. Begitu mengerikan. Kau perlu mendengarnya. Lalu katakan aku harus apa?***Gadis polos nan cantik,tubuhnya mungil tapi tetap mempesona dengan mata yang berbinar. Orang-orang memanggilnya Ema,padahal nama lengkapnya Erma Yunita. Dia baru saja menikah dengan seorang pria yang tak lain anak dari pembantu di rumah ayahnya dulu. Pernikahan yang ditentang oleh ibunya sendiri. Ia bahkan harus menikmati tendangan, tamparan hingga kehilangan sebagian rambutnya akibat ditarik oleh sang ibu.“Ngopo koe malah nikah karo preman loh Em, opo ora ono lelanang kang luwih apik?”Si ibu kesal. Anaknya menikah dengan seorang man
“Wangine...nganggo minyak wangi tho Le?Suara Gareng makin menakutkan. Sultan gemetaran setengah mati. Lelaki ini bau sekali, entah berapa lama ia tak mandi. Kalau dari aroma tubuhnya sepertinya sudah lebih dari satu bulan. Dekil benar penampilannya. Ema segera menarik anaknya yang nampak tak nyaman dipangkuan Gareng. Pria itutersenyum sambil terus memandangi Sultan yang sedang sibuk membantu ibunya.SeminggukemudianGareng datang lagi. Kali ini dia sudah bercukur. Badannya juga wangi, bajunya rapi. Ema terheran-heran melihat rupa Gareng yang baru. Sedang mengincar jandakah pria cungkring ini?Sepertinya tak ada janda atau perawan cantik di sini. Tidak mungkin kalau sudah menikah. Dia pasti sudah berkicau kemana-mana kalauada perempuan dungu yang mau saja dinikahinya.“Rupamu kok lain Mas Gareng? Punya pacar baru?”“Ah, mboten mbak Ema
Hutang keluarga menumpuk. Bisnis jual beli senjata rakitan ayahSultannyaris terbongkar aparat. Beruntung sudah ditutup. Pak Nanang kini membuka jasa memperbaiki alat elektronikapa sajadi pasar. Penghasilannya tentu jauh dari yang diharapkan. Mobil satu-satunya harus dijual. Warung ibunya juga sudah lama tak beroperasi. Maklum,banyak tetangga yang tidak suka ada penjual minuman keras di daerah mereka.Siapa lagi yang harus membantu perekonomian keluarga,jika bukan Sultan. Widya sudah menikah dan sibuk dengan kembang kempis keuangan keluarganya sendiri yang juga masih seumur jagung. Sedangkan Rara, dia bahkan belum lulus kuliah. Jadilah Sultan yang pontang-panting mencari uang untuk membayar hutang. Pekerjaannya sebagai guru tataboga SMK tentu tidak banyak membantu.Berani sekali Ema,mencari hutangan kepada rentenir untuk membayar hutang cicilan yang lain. Akibatnya, bukan mempermudah keadaan
“Sekarang kamu sudah tahu semuanya Kay,” ucapSultan sambil menatap kosong ke arah langit-langit kamar.Adnan sudah tidur. Aku diam. Mencoba menerka apa yang tengah kualami. Mimpi burukkah? Pernahkan kau merasa seperti berada di dunia lain lalu mencoba tidur dan ingin kembali bangun di duniamu? Tidak! Ternyata inilah duniaku sekarang. Sebuah fase kelam yang entah kapan kan bercahaya. Bahkan untuk berharap pun aku tidak berani.Suara azan memecah suasana. Mengalun lembut menembus kehati. Baru kali ini suara itubegitu membuatku terenyuh. Panggilan Tuhan itu, kenapa baru kusadari sekarang?Air wudu membasuh wajah,dinginnya meresap hingga kedalam pori-pori. Ketika wudu,dosa-dosa kita akan luntur bersama air. Baik sekali Allah bukan? Sesungguhnya bukan air yang membersihkan dosa,tapi ketaatan kita terhadap Allah .Aku harus kuat seperti air,entah apa yang ada dihadapannya
Terdengar suara printerbekerja dipagi hari.“Pagi-pagi udah sibuk sama printer.”“Aku mau mengundurkan diri dari kantor. Ingin punya lebih banyak waktu bersamamu.”Entah kenapa jawaban Sultan membuatku tersenyum. Mudah-mudahan dia benar-benar berubah. Ia tampak sibuk dengan pekerjaannya. Aku melangkah ke dapur bermaksud memasak. Ternyata,dimeja sudah tersedia sarapan. Aromanya menggoda.Aku memang lapar, seharian kemarin nafsu makan hilang.“Aku sudah masak, kamu makan duluan aja. Aku mau ke kantor dulu pagi ini sambil belanja keperluan resto. Aku udah kenyang minum teh sama sedikit roti tadi.”“Kamu gak mau sarapan bareng sama aku?”“Aku buru-buru Sayang, Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam.”Sayang? Sudah lama sekali aku tidak mendengar panggilan itu. Hari ini Sultan begitumani
Lebih dari setahun berlalu. Usia Adnan juga sudah menyentuhtiga tahun. Ia lucu dan manis. Sultan seperti yang kukira, kebiasaan baiknya beribadah hanya ritual semata. Tak ada ruh di dalamnya. Aku muak melihatnya yang selalu kesiangan salatsubuh.Jika dibangunkan,dia akan bilang “nanti sebentar lagi.” Ia juga sering melambatkan salat isya atau mungkin tidak shalat. Padahal, salat yang paling berat bagi orang munafik adalah salat subuh.Kupilih untuk menyibukkan diri dibutik. Akhir-akhir ini pesanan gaun muslimah semakin meningkat. Aku dan Nirmala sampai kewalahan melayani pesanan yang datang. Mereka tak hanya membeli baju yang sudah tersedia, tapi juga minta dibuatkan gaun pesta yangtidak terkesan glamour.Yah, sebaik-baik pakaian tentu pakaian takwa, yang menutup aurat, tidak ketat, tidak transparan, dan tidak mencolok. Intinya tidak menarik perhatian.Nirmala sampai berkali-kali pulang
Hari ini pesanan Angela,tunangan Mr. Lucas,seharusnya sudah selesai. Terakhir kemarin tinggal memasang payet. Dua gaun selesai dalam waktu kurang dari dua bulan. Untunglah. Kukira akan meleset dari waktu yang ditentukan. Sampai dibutik,Ayana menatapku dengan wajah yang cemas. Ayana,pegawai baru yang menemani Nirmala, menggigit bibir,matanya memerah.“Kenapa Wajahmu begitu,Na?”“Mbak Kay maaf banget ya. Gaun Bu Angela agak tersayat,tadi jatuh terus kesangkut sama tanaman hias yang disampingnya”“Hah? Astaghfirullah. Rusaknya parah gak? Apa kita harus ngulang bikin lagi. Aduh,aku dah bilang besok bisa diambil lagi.”Gaun berwarna merah itu rusaknya cukup mengerikan. Bisa diperbaiki sebenarnya,hanya saja akan merubah modelnya. Dan kalau diambil besok berarti aku harus menyelesaikannya malam ini. Segera kuhubungi Bude Larsih supaya menjemput Adnan dan mengant
Mentari pagi bersinar cerah, musim semi memberi kehangatan di pagi hari menyapa hati yang dingin karena rindu. Udara segar berhembus mengisi paru-paru dengan energi baru. Sejak hari masih gelap, orang-orang sudah berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Munchen memang kota yang sibuk, penduduknya berjalan lebih cepat dua kali lipat dari pada orang-orang di kota Batu.Esok pernikahan Alvin dan Nirmala akan dilangsungkan. Ayana sedang menemani calon pengantin putri itu ke salon hari ini. Aku yang memaksa Nirmala. Dia harus melakukan perawatan terbaik agar besok terlihat cerah. Meski cantik Mala sama sekali tak paham tentang perawatan. Aku masih lebih baik darinya.Alvin berdiri menatap keramaian kota melalui balkon. Hanya dalam hitungan jam dia akan punya istri lagi. Dari sini kita bisa melihat halaman rumah Alvin yang amat luas. Konsep pernikahan ini nantinya pesta kebun. Panitia pesta sedang menghias berbagai sudut halaman dengan ornamen-ornamen ala aristokrat
Harusnya, hidup memberikan kebahagiaan setelah kita terkubur dalam luka. Nyatanya, takdir terlalu rumit untuk ditebak. Aku baru tahu, apa yang dialami Sultan setelah kembali dari menemui pembunuh Adnan. Sebuah cerita yang mengikis sanubari. Mataku tak sanggup menekan air yang tumpah sendiri mendengar kisah darinya.***“Rasakan pembalasanku Sultan. Anakmu mati sama seperti anak-anakku. Aku puas. Maaf, kau pasti kecewa.”Dodi tertawa di hadapan Sultan. Mereka hanya terpisah dengan meja kayu yang berwana cokelat tua. Mata Sultan menatap Dodi dengan kebencian. Giginya berbunyi gemerutuk menahan amarah. Setan apa yang ada di hadapannya ini?“Kau marah? Aku sudah minta tolong padamu. Tapi apa yang kau katakan. Atasi masalahku sendiri, begitu kan?”Tak tahan lagi. Tangan Sultan meninju wajah Dodi tepat mengenai pipi. Tak puas ia menambah pukulan pada dagu pria bertubuh tegap itu. Dodi terjengkang dari kursi. Petugas kepolisi
“Ya Allah Mbak Kay, cepetan dikit dong!” Seru Ayana.Dia mulai kesal sejak tadi aku tidak juga selesai mengepak barang-barang yang akan kubawa ke Jerman. Gadis ini sewot sekali, padahal penerbangan masih dua jam lagi. Nampaknya ia terlalu antusias. Aku maklum, ini pertama kalinya kami terbang keluar negeri. Gratis pula. Semua akomodasi sudah dibayar oleh Alvin.“Masih lama kan berangkatnya. Santai aja kali.”“Ih, Mbak Kay kita kan mau belanja oleh-oleh untuk Nirmala. Dia udah enam bulan sekolah di negeri yang gak ada Susu KUD atau Ketan Legendaris.”Ya tentu saja. Jangankan Jerman, rumah ibu di Klaten juga tidak menjual pemanja lidah itu. Ayana bersungut-sungut karena aku nampak tak bersemangat. Akhirnya dia sendiri yang pergi ke alun-alun kota membeli segala oleh-oleh. Aku duduk diam menunggu kendaraan online. Harusnya ini menyenangkan, ini perjalanan yang diimpikan banyak orang. Dulu semangatku menggebu, ketika kabar
Sultan meraih tanganku, aku masih enggan menatapnya. Sejak masalah ini terungkap, aku sudah terlanjur memasang tameng untuk mengacuhkannya. Tapi kini, rasa itu berbalik. Aku merasa tak ingin kehilangan dirinya.“Lihat aku, sebelum kujatuhkan talak. Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?”Kepala ini terasa berat hanya sekadar untuk melihat wajahnya. Sungguh, aku tak tahu bagaimana ekspresinya saat ini. Tanpa mendengar persetujuan dariku ia tetap memelukku erat, sambil terguncang. Wajahnya ia tenggelamkan di bahuku yang membuatnya harus terbungkuk.Aku balas memeluknya, dengan air mata yang sama derasnya. Lama sekali kami saling melepaskan kerinduan. Terkadang rindu bukan hanya karena kita berjauhan, tapi saat kita selalu dekat namun jiwa kita yang saling menjauh.Dia menatapku lekat-lekat. Aku bisa melihat ada harapan, tapi tertahan karena keputusasaan yang lebih menyeruak. Tangannya menyentuh wajahku. Aku tak kuat mengeluarkan sepatah
Selama ini, tidak ada orang yang bermasalah dengan orang lain. Setahuku, dia bersikap baik kepada siapa saja. Terlepas tentang pengkhianatannya terhadapku. Ungkapan tentang siapa Dodi, membuat jantungku tertusuk. Lukanya masih belum sembuh. Cerita ini memperparah sakitnya. Luka jiwa yang akan selalu melekat dalam ingatan.***“Tan, bisa gak lo ke sini? Gue butuh bantuan lo. Istri gue tahu tentang dunia itu. Dia marah banget Tan?”Sebuah suara menghubungi Sultan yang tengah sibuk mempersiapkan makanan bagi pengunjung restonya. Siang ini ramai benar. Semua kursi penuh, bahkan beberapa orang harus menunggu di luar pintu untuk bisa menempati kursi mana yang baru ditinggalkan pengunjung. Pembicaraan ini sepertinya serius, Sultan beringsut mundur ke dalam ruangan pribadinya.“Terus gue harus apa? Nemuin istri lo berlutut minta maaf. Buat apa?”“Setidaknya lo ke sini, istri gue kabur entah ke mana Tan. Gue bingung,” jaw
Malam kian larut. Tidak ada satu orang pun yang beranjak tidur. Wajah-wajah tegang berkumpul di ruang keluarga. Televisi menyala terang menampilkan acara penuh gurau. Tidak ada muatan pendidikan atau nasihat sama sekali. Hanya canda tawa yang tidak lucu.Duduk di sana ibu, ibu mertua, Bapak dan Bapak mertua. Mbak Widya masih di sini bersama suaminya berbincang entah apa. Rara tenggelam dengan musik jaz yang ia dengarkan sendiri. Aku duduk membaca novel karangan ibu. Tak lama terdengar suara pintu diketuk dan seseorang mengucapkan salam. Jam 11 malam, mungkin itu Sultan.Benar. Sultan masuk dengan lunglai. Matanya menatap lantai berwarna merah bata yang licin mengkilap. Semua orang mengamatinya dengan arti yang berbeda. Bapak mertuaku berdiri mendekatinya. Tangannya langsung menghantam pipi kanan Sultan. Bunyinya bak petir. Tak cukup sekali, ada empat kali tamparan bahkan akan terus berlanjut jika saja Mas Salman tidak segera melerai. Ibu dan ibu mertua masing-mas
“Adnan, ayo Nak! Cepet! Sarapan, terus pakai sepatu kita berangkat sekolah sebentar lagi!”Kubuka pintu kamar Adnan. Ia tidak ada, mungkin sudah turun ke bawah untuk makan. Aku terus menyebut nama Adnan sambil berlari-lari kecil menuruni anak tangga.“Adnan.”Semua orang di hadapan meja makan menoleh. Ibu, Bapak, ibu dan Bapak mertua, Rara, Mbak Widya, Mas Salman. Mereka menatapku dengan sendu. Jantungku seperti berhenti berdetak. Baru kusadari Adnan tidak mungkin ada di ruang makan, dapur, taman, atau sekolah. Aku jatuh terduduk menutup wajah dengan kedua tangan agar tak nampak air mata yang menetes.Suasana ruang makan hening, hanya terdengar sesekali bunyi air yang diteguk. Tak ada yang bisa makan dengan lahap. Kepergian Adnan yang terlampau tiba-tiba membuat ruang kosong dalam di jiwa. Masing-masing sibuk dengan pikiran dan hanya menatap makanan dengan hampa.“Kalau terus begini sepertinya Adnan akan menyiram
“Adnan ketemu,” suara berat Alvin seperti cahaya yang membuyarkan kegelapan hari ini. Setelah berjam-jam akhirnya terdengar juga kabar yang lebih terang. Adnan ditemukan.“Di mana anakku,” tanya Sultan.“Di rumah sakit. Ayo!”Alvin mengajakku, tapi Sultan sedang menggenggam erat tanganku.“Aku ikut Mas Sultan aja.”“Ya sudah aku bawa mobil kamu. Kalian ikuti aku.”Apa yang sebenarnya telah terjadi? Adnan ada di rumah sakit, artinya dia mengalami hal buruk. Pikiranku kacau sekali. Bayangan-bayangan perkataan tadi pagi terngiang terus mengisi kepalaku bergantian. Perjalanan ke rumah sakit yang hanya sekitar satu jam terasa seperti bertahun-tahun. Ulu hatiku nyeri membayangkan wajah Adnan yang entah seperti apa sekarang.Sampai di rumah sakit Alvin berjalan cepat. Kami tiba di sebuah ruangan di mana seorang anak kecil tengah terbaring lemah. Kepalanya diperban. Seluruh tub
Pagi ini Adnan sibuk dengan peralatan sekolah barunya. Tak terasa dia sudah memasuki Sekolah Dasar. Adnan tumbuh begitu cepat. Dia makin tampan, banyak tetangga yang mendadak suka berfoto dengan Adnan sembari memamerkannya di media sosial. Sejak masih TK, Adnan bahkan sering mendapat hadiah dari teman-teman bermainnya. Dia seperti selebriti kecil di sekolah barunya.“Ibu, Adnan sayang sama Ibu. Ibu Jangan sering nangis ya!”Alisku berkerut. Memang, selama ini Adnan sering melihatku menangis dalam do’a. Kadang tak terasa bulir-bulir perih menetes tanpa sebab. Adnanlah yang selalu ada dan menghibur hati yang sudah tidak berbentuk lagi. Putraku ini kini sudah berusia 7 tahun. Ia berpikir dewasa. Mungkin karena terlalu sering bercakap-cakap dengan Pak Haryono.“Adnan tidak suka melihat Ibu menangis?”“Menangis tidak apa-apa ibu. Kata Kakek menangis akan membuat hati seorang perempuan lega. Tapi, nanti Adnan tidak bisa lagi