Edric Goldwin Louis, pria tampan blasteran Amerika – Indo yang kini bertugas untuk menggantikan ayahnya, Dominic Ethan Louis, menjadi CEO di perusahaan yang bergerak di industri pulp and paper ternama, yaitu PT. Inti Global Paper. Dominic, di usianya yang sudah menginjak tujuh puluh, lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan berlibur bersama istri cantik yang terpaut dua puluh tahun di bawahnya, Chalondra Chalya Ellordi. Perusahaan resmi menjadi tanggung jawab Edric yang kala itu baru saja mengginjakkan kakinya di usia tiga puluh. Dominic kini hanya bertugas mengawasi dan menjadi penasehat umum di perusahaan yang menjadi peninggalan almarhum ayahnya, Marcus Louis.
Edric, prince charming yang kini menjadi idola para kaum hawa di berbagai generasi. Tidak perduli dia adalah seorang playboy yang gemar berganti pasangan, auranya tetap bersinar di mata banyak perempuan. Bahkan tidak sedikit yang bangga pernah menjadi teman satu malam putera sulung Dominic Ethan Louis tersebut.
Namun hingga detik ini, belum ada satu wanita pun yang berhasil merebut hati sang cassanova. Entah perempuan tipe bagaimana yang dia cari, tidak ada yang tau. Rekan one night stand-nya tidak sedikit yang berasal dari kalangan atas. Cantik, tajir, single, semuanya ada. Dominic sampai kewalahan melihat berita-berita miring yang sering muncul akibat ulah puteranya. Berkali-kali pria tua itu harus turun tangan mencabut artikel yang berisi gosip tentang skandal Edric.
Sepak terjang kisah romansa Edric tentu saja tidak mempengaruhi produktifitasnya dalam bekerja. Kinerjanya tetap oke dan patut diacungi jempol. Dia selalu bisa diandalkan dalam menangani semua situasi yang terjadi di dalam perusahaan. Setidaknya, itulah yang membuat Dominic masih memberi toleransi perihal tabiat buruknya yang suka bermain perempuan.
Seperti sepanjang hari ini, Edric dan asistennya kembali disibukkan oleh jadwal yang cukup padat. Ada dua meeting dan satu seminar yang harus mereka hadiri, yang membuat keduanya mobile dari satu tempat ke tempat lain. Kemacetan jalan raya sedikit mengganggu dan menurunkan mood. Untungnya Edric sangat tau apa yang harus dia lakukan saat situasi sedang macet begini.
“Meeting selanjutnya jam dua siang, Pak. Setengah jam lagi.” Hendry mengingatkan seperti lupa mereka sedang terjebak macet.
“So? What should we do, Hen? Kalau saja kita bisa terbang,” celetuk Edric santai sambil fokus pada layar enam setengah inci dimana dia sedang mengoperasikan sebuah game online.
“Apa saya perlu memberi tahu sekretaris Bapak untuk mengatur ulang jadwalnya?”
“No no no. Saya yakin kita bisa sampai tepat waktu,” jawab Edric lagi, masih sama santainya. Dia tidak suka mengotak-atik jadwal meeting. Baginya itu akan menurunkan nilai kita di mata klien ataupun calon klien.
Hendry akhirnya mengangguk tanda sepakat. Berdasarkan angka hitungan mundur yang ada di bawah lampu merah, seharusnya mereka akan terbebas dari jebakan ini sekitar dua menit lagi. Hendry sudah siap dengan kaki yang berada di atas pedal gas-nya. Kebetulan juga mereka berada tepat di bagian depan. Setelah ini selesai, pria itu sudah berencana untuk melarikan mobilnya secepat mungkin.
Tapi kenyataan yang terjadi sama sekali di luar dugaan. Saat lampu merah di barisan mereka baru saja berganti menjadi hijau dan Hendry sudah menginjak gas sekuat tenaga, sebuah motor matic dari sayap kanan tiba-tiba melintas di detik terakhir lampu hijau di sana berganti menjadi merah. Sebuah kecelakaan pun tidak dapat dihindari. Sepeda motor itu terjatuh tepat di depan mobil Edric.
“Shit!” Edric mengumpat tanpa sadar. Dia sudah latah ingin membuka pintu mobil, namun dia mengingat kalau dia adalah putera Dominic Ethan Louis.
“Turun, Hen!”
Hendry lantas turun dan segera menghampiri motor yang mereka tabrak. Sial! Pengemudinya perempuan dan dia pingsan!! Hendry sedikit gugup karena sejumlah pengendara motor lain ikut berhenti. Tidak ingin membuat keputusan sendiri, dia memilih untuk kembali ke mobil dan memberi tahu Edric untuk meminta saran.
“Bawa dia ke dalam sini. Kita akan bertanggung jawab. Suruh anak buahmu untuk mengurus motornya!”
“Siap!”
Dibantu pengendara lain, Hendry lalu memasukkan wanita itu ke dalam mobil. Edric dengan cekatan memakai rayban dan masker saat dia memberi perintah itu kepada Hendry. Dia tidak ingin dikenali oleh siapa pun. Setelah pintu ditutup, Hendry mengurus sepeda motor yang sudah berpindah tempat ke tepi jalan. Untungnya tidak ada orang jahat di sini. Hendry menitipkan sepeda motor di pos polisi. Anak buahnya akan segera datang untuk mengurus benda tersebut.
Perjalanan menuju rumah sakit terdekat menjadi sangat mencekam karena gadis itu tidur di pangkuan Edric. Khawatir dia akan bangun dan membuat kekacauan lagi. Edric mengamati wajah itu dengan sekasama. Cantik. Polos tanpa sentuhan make up. Hidungnya mancung, alisnya tidak terlalu tebal. Bulu matanya lentik. Bibirnya tipis. Edric menduga gadis ini masih muda. Body-nya terbilang oke untuk gadis seusianya.
Ck! Sempat-sempatnya memuji tubuh perempuan yang sedang pingsan! Rutuk Edric dalam hati. Seharusnya dia memikirkan meeting yang sudah menunggunya di kantor.
Untungnya ketakutan mereka sama sekali tidak terjadi. Gadis itu tak kunjung siuman. Setibanya di rumah sakit, Hendry langsung membawa gadis itu ke ruang IGD agar segera ditindak. Edric sendiri memilih untuk mengurus administrasi. Setelah selesai, dia memerintahkan Hendry untuk berjaga di sana dan dia sendiri langsung berangkat ke kantor.
Waktu berlalu dengan cepat. Sore harinya, sang asisten sudah kembali ke kantor. Edric yang baru saja selesai meeting menyuruhnya untuk segera masuk ke dalam ruangan.
“Pak, tadi gadis itu sudah siuman.”
“Sudah pasti, Hen. Kalau belum, kau tidak mungkin ada di sini. Jadi, apa dia mengatakan sesuatu? Seperti sebuah tuntutan?"
“Tidak, Pak. Dia tidak banyak bicara. Sepertinya dia juga sedang terburu-buru. Kami hanya mengobrol sebentar sebelum saya mengantarkan dia sampai ke parkiran. Motor yang sudah diantar ke rumah sakit masih berfungsi dengan baik,” lanjut Hendry.
“Kamu … tidak membuka identitas kita kepadanya ‘kan?”
“Tidak, Pak. Data bapak di kasir juga aman.”
“Oke. baguslah,” lega Edric. Identitas mereka memang tidak boleh terungkap. Mereka tidak tau siapa gadis itu. Meskipun tadi wajahnya seperti orang baik-baik, tapi semuanya bisa terjadi. Bisa saja ‘kan dia seorang penulis berita di situs online? Bisa rusak nama Inti Global kalau dia membuat berita yang tidak-tidak.
“Tapi, Pak, sepertinya dia tidak sedang baik-baik saja,” ucap Hendry melanjutkan lagi. Masih urung menyudahi laporannya kepada Edric.
“Maksudnya apa, Hen?”
“Tadi, saat dia masih belum sadar, ponselnya yang sedang berada di dalam tas berbunyi terus menerus. Karena takut itu sesuatu yang penting, saya mengambil benda tersebut dan melihat ada belasan panggilan tak terjawab dari sebuah rumah sakit X. Saya sangat yakin itu telepon yang sangat penting. Sehingga, saat ada panggilan selanjutnya, saya memutuskan untuk menjawab saja. Dari percakapan saya dengan pihak rumah sakit tersebut, saya diberi tahu bahwa ibu gadis itu sedang berada dalam ICU dan sedang menunggu untuk ditangani. Rumah sakit belum menindak karena belum ada kejelasan biaya. Sepertinya, tadi siang gadis itu sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk menyelesaikan administrasinya. Tapi … dia malah terlibat kecelakaan dengan kita.”
Hening. Edric memandang Hendry tanpa berkedip. Tidak berani berspekulasi bahwa maksud sang anak buah adalah, jika terjadi sesuatu kepada ibu gadis itu, maka mereka adalah penyebabnya. Mereka lah yang membuang waktu gadis tersebut sehingga berdampak terhadap penanganan ibunya.
“Tapi, saat dia siuman tadi, apa dia mengatakan sesuatu?”
Hendry menggeleng. “Dia langsung bergegegas untuk pergi. Dia juga tidak sempat mengecek isi tasnya.”
Lagi-lagi diam. Sepertinya isi pikiran mereka sama, tapi terlalu enggan untuk mengutarakannya. Takut dugaan mereka justru akan menjadi kenyataan.
“Ya sudah. Semoga ibunya masih sempat ditangani. Saya masih ada pekerjaan, kamu masih ingin melaporkan sesuatu?” Edric memutuskan pikiran buruk itu secepatnya. Memilih untuk berprasangka baik saja.
*****Selang dua bulan kemudian, gadis itu malah muncul di Inti Global dengan sebuah map cokelat dalam genggamannya. Edric yang masih sangat mengingat wajah itu tidak bisa berbohong bahwa dia terkejut. Gadis itu duduk di salah satu kursi calon karyawan magang yang akan ditempatkan di berbagai divisi.“Kau mengenalnya?” Edric sengaja keluar dari ruangan dan bebicara dengan Hendry yang selalu stand by di luar. Menunjuk ke dalam ruangan lewat celah transparan berbentuk kotak yang ada di daun pintu.“Iya, Pak. Dia gadis yang waktu itu.”“Bagaimana dia bisa ada di sini?” tanya Edric penasaran. Gadis itu tidak membuntuti mereka ‘kan? Dia tidak berencana ingin balas dendam ‘kan?“Sepertinya dia mengajukan lamaran untuk magang di perusahaan kita dan kebetulan lolos sampai ke tahap ini. Apakah anda ingin saya mengurusnya?” tanya Hendry antusias, seperti mengerti kekhawatiran Edric.
Rencana Edric meloloskan Zura demi mengetahui kabar ibu dari gadis itu akhirnya membuahkan hasil. Zura sengaja ditugaskan menjadi helper sekretaris Edric yang sedang berbadan dua, yang mobilitasnya sudah sangat terbatas. Alhasil intensitas pertemuan mereka cukup tinggi. Ingat ‘kan Edric sudah menyingkirkan Hendry untuk sementara? Sang asisten hanya bisa ke kantor jika Edric yang meminta. Hanya dalam waktu dua minggu, Edric sudah berhasil mengorek informasi tentang ibu Zura dari gadis itu sendiri.Ketakutan Edric ternyata benar. Hari itu, Zura memang sedang sangat buru-buru karena harus segera membayar deposit rumah sakit. Kalau tidak, ibunya yang sedang mengalami pendarahan di otak, tidak akan ditangani sama sekali. Saat itu Zura baru saja selesai menguras semua uang tabungan miliknya dan uang pensiun sang ibu yang ada di rekening.Namun, kecelakaan itu membuat Zura kehilangan banyak waktu. Saat gadis itu masih belum siuman, ibunya sudah terlanjur dipindahk
“Pak, maaf, mengganggu waktunya sebentar ....”Meeting online Edric mendadak diinterupsi oleh sang asisten pribadi, Hendry. Pria itu terpaksa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Kenapa Hendry berani masuk ke dalam ruangannya di saat dia sedang meeting dengan orang penting? Ada hal urgent apa?“Excuse me, Sir. Give me three minutes.” Edric kemudian memberi kode kepada lawan bicaranya di depan layar sambil menonaktifkan fitur microphone-nya sebentar.“Ada apa, Hen? Kamu tau saya sedang meeting.”“Pak, saya baru mendapat kabar kalau nomor ID kemahasiswaan nona Zura sudah tidak aktif.”“What?” Edric berdiri dari kursinya. Refleks. “Maksudnya bagaimana?”“Sepertinya nona Zura sudah berhenti kuliah, Pak.” Hendry menjawab dengan mantap. Namun jantungnya kini berdetak cepat karena sudah memprediksi reaksi sang bos setelah ini. Benar saja. Raut wajah Edr
Pencarian akan Zura ternyata menjadi sebuah misi yang membuat produktifitas Edric di perusahaan menjadi sedikit terganggu. Dia dan Hendry sibuk mendatangi rumah orang-orang yang dianggap mengenal dan dikenal Zura di masa lalu. Mereka ke rumah orang tua Zura yang dulu dan juga ke apartemen yang diberikan Edric untuknya. Keluar masuk sana sini namun tidak ada yang bisa memberikan petunjuk yang berarti.Edric malahan semakin dibuat bingung dengan adanya saksi yang mengatakan bahwa sebelum Zura meninggalkan apartemen, gadis itu sering membawa laki-laki masuk ke dalam apatemennya. Tak pelak perasaan Edric bagai dihantam batu seberat 1 ton. Apakah Zura berselingkuh?Dan saat pertanyaan konyol itu muncul dalam benaknya, Edric seketika tersenyum miring. Selingkuh? Bukankah Edric sendiri yang menyudahi hubungan mereka?*****Bulan berganti tahun. Edric tetap menjalani kehidupannya yang sedikit banyak sangat terpengaruh atas keperg
Dubai … dua hari kemudian. Edric dan Calvin sudah tiba di apartemen yang menjadi peninggalan buyut mereka, Louis. Dulu, apartemen yang berada di kawasan Marina Dubai itu dihadiahkan Louis kepada sang cucu sebagai hadiah pernikahan, yaitu Dominic. Sempat ingin menolak, namun akhirnya Dominic menerima pemberian mahal ini. Siapa sangka, sepertinya sang kakek memang sudah mempersiapkan semuanya, karena beberapa bulan kemudian, Dominic dan Brandon berhasil menandatangani sebuah kerja sama bisnis dengan salah seorang pengusaha berdarah Indonesia di Dubai. Jadi, apartemen ini benar-benar bermanfaat setiap kali mereka ada kunjungan ke sini. “Brother, sudah selesai belum? Jangan sampai tuan Radesh menunggu kita.” Calvin yang baru saja selesai mandi dan beberes terdengar memanggil Edric yang berada di kamar utama. Sesaat kemudian orang yang dipanggil keluar dengan penampilan yang sudah rapi, layaknya akan bertemu dengan rekan bisnis. “Hahhh, seharusnya kita tid
Zura … Taniskha … Wijaya. Mengapa Edric tidak bisa merasakan apa pun saat mendengar nama gadis itu? Hatinya seperti sudah kebas dihantam rasa rindu dan kesepian. Lagian, benarkah ini Zura yang pernah dia kenal? Mereka seperti dua orang yang berbeda. Zura yang Edric kenal adalah gadis berusia dua puluh tahun, anak kuliah yang lugu dan polos. Sementara, Zura yang ini dari penampilannya saja sudah berbeda. Dia begitu elegan dengan balutan blazernya. Hanya melihat sekilas saja Edric tahu betul, setelan kantor itu berasal dari brand ternama dan mahal. Belum lagi riasan wajah serta tatanan rambut yang membuat wanita itu terlihat jauh lebih dewasa dari usianya yang seharusnya. Bukankah seharusnya dia baru dua puluh lima tahun? What’s going on here? Apa yang telah terjadi? Apa yang sudah dia lewatkan? Edric masih terpaku di tempatnya sambil tidak berhenti menatap wanita itu. “Brother!” Calvin menyikut lengannya. Alhasil itu membuat Radesh tertawa kecil. Edric sendiri
“Brother!” Seruan Calvin serta sikutan sang sepupu di lengannya membuat kesadaran Edric kembali. Pria berkulit putih itu tersentak kecil dan langsung salah tingkah menyadari sekarang Zura dan Radesh sedang melihat ke arahnya.“Kau ingin menambahkan sesuatu?” ujar Calvin lagi, kini dengan anda yang sudah merendah. Sebenarnya, tanpa bertanya pun, Calvin tau Edric akan mengatakan tidak. Dia sangat tau jika sang sepupu tidak fokus dengan rapat mereka sejak tadi. Seandainya bisa, Calvin ingin sekali mengguyur kepala Edric dengan air es yang ada di dalam gelasnya demi mengembalikan kesadaran laki-laki itu.“Ah, tidak. Tidak ada.” Edric menjawab sambil tersenyum tipis. Kan? Dugaan Calvin benar.“Jadi Pak Edric sepakat ya dengan usulan Ibu Zura tadi?” Berbeda dengan Radesh yang sepertinya masih ingin memastikan Edric benar-benar memahami isi meeting mereka. Siapa juga yang tidak sadar jika sedari tadi pria itu seperti terp
Calvin menghela napas lega saat melihat Edric akhirnya muncul dari lift VIP yang baru saja terbuka. Pria itu nyaris kehabisan bahan obrolan dengan Radesh. Namun dia tidak mendapati Zura berjalan bersama Ed. Calvin langsung memahami jika percakapan mereka tidak berjalan dengan baik.“Maaf membuat Pak Radesh menunggu lama.” Edric menghampiri mereka sambil menyampaikan permintaan maafnya.“Tidak apa-apa, Pak Edric. Saya dan Pak Calvin juga sedang asik mengobrol.” Radesh menyahut dengan ramah. “Ah, Ibu Zura-nya ke mana?”“Sedang ke toilet dulu, Pak. Mungkin sebentar lagi akan turun.” Edric hanya mengarang. Hanya kebetulan karena Zura juga tidak ada di sini. Besar kemungkinan gadis itu singgah ke toilet untuk memperbaiki penampilannya.“Ohh,” gumam Radesh. “Ah ya, Pak Edric, tadi saya dan Pak Calvin sudah merencanakan dinner bersama, entah besok malam atau lusa. Semoga Pak Edric tidak keberatan.
Pernikahan Edric dan Zura adalah salah satu perhelatan akbar di kalangan para pebisnis di tahun ini. Resepsi mereka sampai diliput oleh banyak awak media baik dari tv swasta maupun tv milik pemerintah. Kisruh yang terjadi antara keluarga Edric dan Zura, yang sempat mencuat di hadapan publik membuat hadirin bertanya-tanya bagaimana semuanya bisa berakhir di pelaminan seperti ini. Dan tentu saja tidak ada yang perlu dijelaskan karena tidak semua orang perlu mengetahui apa yang terjadi di antara Edric dan juga Zura.Acara resepsi berlangsung cukup lama. Semua orang berbahagia, terutama keluarga Louis dan juga Ellordi. Acara ini juga bagaikan sebuah reuni untuk semua rekan-rekan bisnis Chris, Dominic dan juga Brandon. Chalondra dan juga Janice tak kalah heboh dengan istri-istri pejabat yang mereka kenal. Embun tak kalah menjadi sorotan. Sejak acara pemberkatan hingga resepsi, dia selalu berada di antara kedua orang tuanya. Bahkan Edric ikut memasangkan cicin kecil di jari manis Embun set
Satu bulan berlalu dengan begitu cepat. Heidy sibuk bukan main. Tiada hari tanpa pergi ke sana-sini. Bukan hanya Heidy, keluarga calon pengantin juga tidak kalah sibuk. Sibuk jahit baju untuk seragam di hari H nanti. Satu minggu terakhir, undangan sudah ready dan siap untuk dibagikan. Semua orang berpencar untuk mengantar semampunya. Entah kenapa, semakin tinggi status sosial kalian, semakin kurang pantas jika mengundang hanya lewat panggilan telepon. Dominic dan Chalondra berkeliling ke rumah-rumah maupun ke kantor-kantor rekan bisnis Inti Global. Berbagi dengan Zac dan Zoey. Sedangkan Edric dan Zura, menyebarkan undangan ke teman-teman sejawat yang masih stay di Jakarta.“Oh My God. Ternyata ngurus nikahan akan sampai secapek ini.” Zac bergumam setelah mereka masuk ke dalam mobil lagi. Keduanya baru saja mengantar undangan untuk salah seorang investor. “Padahal bukan nikahan sendiri. Gimana kalau nikahan sendiri?” timpal Zoey.“Hm-m. Udah siap belum?”“Udah.” Zoey menjawab dengan
Dominic dan Chalondra menyambut rencana baik Edric untuk segera menikah dengan Zura. Memang itulah yang harus mereka lakukan sekarang. Apalagi sudah tidak ada alasan untuk menunda. “Kalau bisa secepatnya aja, Ed. Setelah itu kalian tinggal di sini.” Chalondra memberi saran. Mereka sedang sarapan pagi seperti biasa.“Kenapa harus tinggal di sini?” Edric langsung fokus pada ucapan Cha yang terakhir.“Memangnya kamu mau ninggalin mama, Ed?”Edric langsung tidak bisa berkata-kata. Diliriknya Zura yang menikmati sup ikannya dalam diam.“Percaya deh, mama bukan ibu-ibu resek yang bakal ngatur ini itu. Cukup mama atur papa kalian aja. Nggak usah takut kalau kalian tinggal di sini, kalian akan kehilangan privasi. Rumah ini terlalu besar untuk kita-kita saja. Lagian, mama sudah nyaman ada Embun di rumah. Kalau kalian pindah, rumah bakal balik sepi lagi.” Selera makan Cha sepertinya langsung hilang hanya membayangkan Embun akan meninggalkan rumah.“Udah, jangan bikin anak-anak mikir dulu, Cha.
Zura kembali ke kamar dan mendapati kedua belahan jiwanya sedang bermain di dalam kamar. Dominic dan Chalondra sudah menyerah untuk memisahkan mereka bertiga, karena pada akhirnya Edric akan selalu berakhir di kamar tamu, dimana Zoey dan Embun berada. Pagi harinya mereka tetap bergelung di dalam selimut layakya pasangan suami istri. “Sayang? Kamu dari mana?” Edric langsung menyadari kedatangannya.“Dari kamar kak Zoey.” Zura ikut naik ke atas kasur. Embun langsung melompat ingin memeluknya.“Anak mama belum tidur? Tadi katanya mau tidur sama papa?” tanya Zura dengan nada penuh kelembutan. Oh iya, sejak peristiwa itu, mereka melatih Embun untuk memanggil Edric dengan sebutan papa. Bukan om lagi. Dan sepertinya Embun sudah terbiasa sekarang. Bagaimana tidak? Edric memberinya pengertian dengan cara yang aneh bin ajaib.‘Pokoknya papa itu adalah laki-laki yang tidur dengan mama’. Simple dan Embun langsung mengerti, karena memang yang dia perhatikan setiap malam adalah mamanya tidur denga
Malam berlalu, Edric sama sekali tidak bisa tidur. Dia menjaga Embun yang sedang terlelap dan juga menunggu Zura terjaga. Yang lain jadinya memilih tidur di kamar ini juga. Ada yang tidur di sofa, ada yang menambah bed. Setelah percakapan mendalam tentang status Zoey, semuanya merasa lega karena ‘kembaran’ Zac itu sama sekali tidak berniat untuk meninggalkan rumah. Juga banyak air mata yang berjatuhan karena rasa haru setelah semuanya terungkap. Kini semua orang tidur dengan pulas. Kini masalah yang tersisa adalah Morgan dan Radesh. Mereka akan memikirkannya setelah kembali ke kota besok.Zura Taniskha Wijaya … wanita yang selalu ada dalam hati Edric. Dulu, sekarang dan sampai mereka menua nanti. Tak sekalipun Edric merasa cintanya luntur. Bahkan saat mereka terpisah selama empat tahun lamanya, atau saat Edric tau Zura akan mengkhianatinya, dia tetap mencintai wanita ini. Edric tau Zura adalah wanita sederhana dengan hati yang lembut, yang tidak mungkin bisa membencinya. Kini mereka
Ruang operasi terbuka dan sejumlah perawat mendorong hospital bad keluar. Edric, Zac dan Zoey langsung menghampiri dengan setengah berlari. Terutama Edric, langsung mengambil posisi di sisi kasur Zura karena ingin melihat wajah sang wanita itu. Pucat, jelas. Dan Zura masih dalam pengaruh obat bius. Dia masih belum siuman. Edric sangat tau itu karena dia pun mengalaminya kemarin lusa.“Gimana hasilnya, Dok?” Dia bertanya kepada Dokter sambil berjalan.“Operasi berjalan dengan baik, Pak. Mari ikut saya ke ruangan sebentar.”Edric mengangguk. Kemudian memberi kode kepada Zac dan Zoey agar mengikuti perawat sampai ke kemar Zura. Edric sudah memesan kamar persis di sebelah ruangan Embun. Hanya untuk malam ini saja, karena besok mereka akan pindah ke Cakrawala.Pembicaraan dengan dokter terbilang sebentar. Dua puluh menit setelahnya, Edric sudah kembali ke ruangan. Over all, operasi Zura berjalan dengan lancar dan tidak ada kendala yang terlalu berarti. Setelah ini Zura akan siuman, setelah
Setengah jam kemudian, Edric keluar dari kamar Embun, menuju ruang lantai dimana ruang operasi berada. Posisinya sudah digantikan dengan sang ayah yang tadi menyusul ke atas bersama Chris dan Amber yang baru saja datang. Zac dan Zoey masih menunggu dengan setia, dengan perasaan yang harap-harap cemas.."Jo, kau bisa ke atas kalau ingin istirahat. Biar kami berdua yang menunggu di sini." Edric menyarankan, melihat Zoey yang sepertinya sedikit mengantuk."Nggak kok, Kak. Aku masih sanggup."Edric dan Zac saling bertukar pandang. Akhirnya mereka sama-sama mengangguk. Pada akhirnya, ketiga kakak beradik itu duduk berjejer di kursi yang ada di sana."Jadi ... Zura adalah adikmu?" Edric berucap dengan hati-hati. Bertanya kepada Zoey yang duduk di tengah-tengah dia dan Zac."Hm. So funny. Sejak bertemu dengan dia, aku sama sekali tidak punya firasat apapun."Edric menyentuh jemari adiknya yang ada di atas paha perempuan itu dan meremasnya dengan pelan. "Tapi kau tetaplah adikku, saudara kem
Zac dan Zoey kini duduk berdampingan di depan ruang operasi dimana Zura sedang ditangani oleh tim medis rumah sakit. Sedangkan Chalondra, dia menemani Embun yang juga sudah diperiksa oleh dokter dan diberi obat untuk menghilangkan efek obat tidur yang terdeteksi di dalam tubuhnya.Chalondra menggenggam tangan Embun yang kecil. Sudah dua puluh menit dia duduk di sana tanpa bergeser sedikitpun. Tanpa berpaling dari wajah Embun yang pucat. Hatinya teriris melihat sejak siang Embun hanya tidur karena dicekoki obat dengan dosis tinggi oleh kakeknya sendiri. Sungguh keterlaluan. Chalondra rasa-rasanya ingin mencabik wajah dan tubuh Morgan serta Radesh karena sudah mengotori raga anak kecil yang tidak berdosa seperti Embun.Tidak hanya itu, Chalondra juga merasakan kepedihan mengingat semua ini terjadi menimpa keluarga kecil puteranya, Edric. Sepasang anak muda yang hanya ingin mempersatukan cinta, namun harus mengalami banyak ujian seperti ini. Hingga nyaris meregang nyawa. Padahal niat Edr
“Don’t cross your line, Chris. Aku tidak punya urusan denganmu.” Morgan memberi peringatan karena sepertinya Chris tidak main-main ingin membongkar semua rahasianya. Sial sekali! Dari mana Chris tau tentang semua ini?“Kau lupa sudah menghancurkan Eco Paper? Kau juga sedang cari masalah denganku, Morgan.” Chris tetap tenang meski Morgan memberinya ultimatum untuk tidak ikut campur. Morgan ini harus diberi pelajaran.Morgan menahan rahangnya kuat-kuat. Si tua bangka itu sepertinya tidak main-main. Morgan harus menarik ulur dulu. Dia jelas akan kalah kalau Chris sudah turun tangan. Dia dan Dominic adalah founder Eco Paper. Sudah pasti mereka akan membuat ini lebih ramai dari kemarin. Dia menarik napas kuat-kuat sambil tidak melepaskan sorot matanya dari Chris. “Mari kita pergi.” Dia memberi aba-aba kepada Radesh dan puluhan anak buahnya yang berdiri mengelilingi ruangan. Sepertinya, kali ini dia memang harus mundur. Tapi Dominic tentu saja tidak mengijinkannya. Langkah pertama Morgan