"Iya nih, Bapak sama Ibu gimana sih, di sini 'kan ga ada kebun, mau nyambit rumput di mana? masa iya order lewat go food," sahut Mas Lutfi tak kalah bingung."Lah, gimana ini, Pak?" Ibu mertua melirik suaminya yang nampak garuk-garuk kepala.Lelaki tua yang mengenakan kopiah hitam itu diam tak bicara, mungkin ia juga bingung harus gimana."Gini aja, suruh orang di kampung ambil rumput yang banyak, terus rumput itu diangkut ke sini, ga apa-apa biar aku yang bayar sewa orang dan mobilnya," sahut Mas Lutfi."Nah gitu saja udah ya, Pak, dari pada bingung." Ibu bicara.Akhirnya ada solusi juga untuk masalah kambing ini. Gudang belakang rumah disulap menjadi kandang kambing yang sebentar lagi akan di sembelih itu."Mas, ga kebayang kotoran kambing itu nanti kaya apa, siapa yang mau bersihin?" bisikku saat menyaksikan gudang dibereskan oleh bapak dan ART kami."Itu kita pikirin nanti yang penting kambing ini punya tempat tinggal dulu, kasihan kalau tidur di luar tar masuk angin, susah ngerok
"Ya mau ngasih atuh, Pak Besan. Kalau pamer mungkin kambingnya ga bakal disimpen di gudang, udah saya arak keliling pasar sambil woro-woro," sela ibu mertua dengan nada sedikit jengkel.Bapak tiriku memang nyebelin, bilang saja iri."Ah suami saya ini cuma becanda kok, Bu Besan, iya 'kan, Pak? dia cuma kagum sama kambingnya yang gemuk dan besar." Emak masih saja membela."Ya sudah, Ris, ayo kita ke dalam anakmu takut nangis lama-lama di gendong Laila," cetus ibu mertua mengajakku masuk ke dalam.Kulihat wajah emak berubah sedikit pias, ia pasti tak enak karena suaminya sudah menyindir besannya, kasihan sekali emak ini punya suami mulutnya seperti admin tukang gosip.Hari berikutnya Sabrina yang datang ke rumah, ia membawa kado berukuran kotak, tapi tak sebesar yang diberikan Kirana kemarin.Saat ibu mertua ke luar Sabrina sudah mesem-mesem dan sedikit terkejut, mungkin ia tahu kalau calon mertua tak jadi itu ada di sini."Kamu ... kok ada di sini?" tanya ibu mertua, mungkin ia tak asi
"Ngomongin apa sih kok Bu Besan gitu amat ketawanya?" Emak tiba-tiba datang bawa sepiring pisang goreng."Ini ngomongin KB cungkir, Bu." Mertuaku ketawa lagi, sedangkan aku dan Mas Lutfi salah tingkah."Oalah, Bu Besan masih pake KB itu?" Emak mulai kepo."Bukan saya, tapi mereka." Mertua menujukku dan Mas Lutfi.Akhirnya dua wanita yang pernah melahirkan kami itu terbahak-bahak sambil melahap pisang goreng."Kamu bingung ya, Ris, KB cungkir gimana? ... itu loh kalau kata anak zaman sekarang dikatakan KB cabut singkong." Emak menjelaskan lalu mereka tertawa lagi.Dasar, ternyata otak nenek-nenek lebih mesum dari anak muda. "Tapi dibicarain dulu sama Nak Lutfi mau atau tidaknya, jangan sampai suamimu cemberut nantinya," sahut emak masih ketawa.Aku lebih memilih masuk ke dalam kamar, kalau terus di sana mungkin bisa makin ngeres otakku ini, mana puasa empat puluh hari, hihi.Pintu kamar sedikit terbuka aku langsung masuk tanpa suara, kulihat di dalam ada bapak, sedang mengamati lemari
Emak nampak menunduk kasihan sekali, aku tahu yang ada di pikirannya saat ini, kalau cerai dengan bapak pasti takut diusir dari rumah, sedangkan tanah yang di atasnya dibangun rumah itu milik Emak, ujung-ujung pasti dikuasai bapa semua."Kamu yakin? emang Lutfi ngijinin?" tanya Emak penuh harap "Yakin, Mak, makanya aku ngomong, soal Mas Lutfi itu ga masalah, kalau dia ga mau terima Emak maka jangan harap mau jadi suamiku dan ayah dari anakku."Emak langsung diam dijawab begitu."Terima kasih ya, Emak pikir-pikir, agar perceraian itu tidak berdampak negatif ke depannya, kamu tahu sendiri bapak tirimu itu kaya apa," bisik Emak.Ya aku tahu, dia suka main dukun kalau sakit hati terhadap orang, dahulu saja ia berkelahi dengan ketua RT di kampung, satu Minggu kemudian Pak RT masuk rumah sakit, satu bulan sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal.Bisa dikatakan Emak menikahi bapak seperti membeli kucing dalam karung, di masa pendekatan terlihat alim, tapi saat sudah menikah baru ketahuan bo
"Bapak minjam uang?" tanyaku di kamar."Iya, tiga puluh juta katanya.""Terus?" tanyaku menatap tak sabar "Mas akan kasih tapi nanti selesai aqiqah, kenapa?"Aku mencebikkan mulut, kesal rasanya keinginan kakek tua itu dengan mudah dikabulkan Mas Lutfi."Ini untuk buka usaha, Yang, kok kamu cemberut gitu, jangan pelit dong, mereka orang tua kita." Mas Lutfi membujuk."Kamu yakin Bapak bisa membayarnya?" tanyaku menatap sinis."Gini Yang, kalau kita meminjamkan uang kepada orang misal selama satu tahun belum di kembalikan, nah setiap hari dalam setahun itu kita punya pahala sedekah senilai uang yang kita pinjamkan.""Misal Mas ngasih minjamkan tiga puluh juta ke bapak, dan setahun baru lunas, nah dalam jangka setahun kemarin setiap harinya kita mendapatkan pahala sedekah senilai tiga puluh juta perharinya.""Ingat akhirat, Yang, jangan mengedepankan nafsu. Andai bapak zalim pun yang rugi dia sendiri."Kalau sudah ceramah menyangkut akhirat aku tak bisa berkutik lagi."Ya sudah kalau
bab 35.B HuMas Lutfi diam sambil berfikir."Bayangin, Mas, setiap aku transfer uang ke Emak, pasti diambil semua sama Bapak.""Dan satu lagi, Emak selalu minta maaf kalau Bapak atau Ririn buat salah, aku tuh kasihan.""Sebagai anak kita hanya bisa mendukung, Yang, jangan nyuruh-nyuruh cerai, biarkan dia sendiri yang buat keputusan ya." Begitu katanya."Tapi aku kasihan.""Syuuut udah, yang harus dikasihani itu Mas, udah empat puluh hari lebih puasa, emang kamu ga kasihan," bisiknya menggoda."Ih apaan sih!" Aku mendorong tubuhnya dengan keras."Masa ga ngerti." Ia mencolek daguku."Nanti ya tunggu sampai siap, sekarang belum masih takut.""Hih dosa loh." Mas Lutfi menunjuk wajahku.Dasar tak sabaran!Keesokan harinya ada tamu tak diundang, Mas Lutfi sampai menunda keberangkatannya menuju tempat kerja demi tamu itu.Dia adalah ayah Sabrina yang dahulu pernah menolak dan menghina Mas Lutfi habis-habisan, Sabrina juga ikut menemani ayahnya ke rumah kami."Sehat, Nak?""Alhamdulillah, Ba
Sabrina datang sambil menggandeng bocah lelaki yang tingginya kira-kira hampir sama dengan pinggangku.Rambutnya lurus dan cepak, kulitnya sawo matang seperti suamiku, dan aku terkejut saat anak itu sudah masuk ke dalam, dari bentuk wajahnya ia begitu mirip dengan Mas Lutfi.Mataku sampai tak berkedip menatapnya, bocah itu berdiri ketakutan melihat kami yang masih asing baginya."Rafka, itu Papa asli kamu." Sabrina menunjuk suamiku."Sini, Nak. Ini Papa." Mas Lutfi merentangkan tangan ingin memeluk anak itu.Namun, Rafka seperti ketakutan ia masih diam tak bergerak satu Senti pun, malah menggenggam erat tangan Sabrina.Mas Lutfi berdiri lalu maju beberapa langkah, jongkok menyeimbangkan tubuh di hadapan anaknya itu. sambil menangis Mas Lutfi memeluk Rafka.Namun, anak itu justru berontak dan bersembunyi di balik tubuh ibunya, menatap Mas Lutfi ketakutan. "Itu, Papa, Nak. Papa kamu," ujar Sabrina sambil mengelus rambut putranya.Bocah yang berwajah oval itu masih saja mengkerut ketaku
"Mas kamu ngerasa ga sih dimanfaatkan sama Sabrina dan bapaknya?" tanyaku saat mereka sudah pergi.Mas Lutfi malah diam, mungkin ia pun merasa begitu tapi tak berani katakan ya."Coba bayangin, dulu dia hina kamu 'kan? ga hanya itu dengan kejam bapaknya Sabrina juga memisahkan kamu sama Rafka, lah sekarang datang-datang minta pertanggung jawaban kamu," sahutku lagi.Bibir ini gatal sekali kalau tak bicara begitu, aku tak ingin Mas Lutfi dijadikan sapi perah oleh Sabrina dan bapaknya, karena dari gelagat pun aku sudah curiga kalau bapak Sabrina menginginkan sesuatu dari Mas Lutfi."Entahlah, Yang, Mas sebenarnya ngerasa begitu tapi bagaimana lagi Rafka itu anak biologisku walaupun tak benasab padaku." Ia terlihat murung."Mungkin ini yang namanya resiko perzinahan, Yang, korbannya Rafka.""Dan yang egois itu Keluarga Sabrina, harusnya dulu mereka restui kalian nikah bukan menikahkan Sabrina sama orang lain." Aku mencebikkan mulut."Kok gitu sih ngomongnya, jodoh Mas itu 'kan kamu bukan
Menjelang sore kami pulang kembali ke Jakarta hingga matahari tenggelam barulah kami bisa menginjakan kaki di rumah bercampur lelah."Mbak Ris, Ibu pulang ya. Itu di luar kayanya ada tamu," ucap asistenku, ia terbiasa pulang sore dan berangkat pagi."Oh suruh masuk aja.""Biar Emak yang bawain barang-barang ke dalam sekalian mau istirahat." Emak mengangkat paper bag dan beberapa kantong kresek, oleh-oleh dari Teh Naya dan sebagiannya kubeli di perjalanan tadi.Yang datang ternyata Sabrina bersama Rafka, aku menghela napas jangan sampai ia membuat tubuhku semakin lelah.Wanita itu tersenyum. "Assalamualaikum.""Wa'alaikumus'salam," jawabku dan Mas Lutfi serentak.Ia duduk di sofa bersebrangan denganku dan Mas Lutfi."Kayaknya kalian lagi pada capek ya, sebelumnya mohon maaf aku udah ganggu waktu istirahat kalian," ucap Sabrina.Wajah cantik dan segar itu menatap kami satu persatu, bodohnya aku selalu saja tersimpan cemburu ketika ia memandang suamiku."Ga apa-apa, santai aja. Rafka kan
"Oh, jadi kamu istri keduanya ya?" tanyaku sambil maju satu langkah.Kulihat Bapak tampak khawatir memandang kami bertiga."Maksudnya?" tanya wanita itu terkejut."Dia ini ibu saya, istri pertamanya lelaki ini, fix selama ini Emak dibohongi sama Bapak, ada untungnya juga ya kita kemari." Aku menyeringai sinis.Wanita yang terlihat lebih muda dari emak itu nampak terkejut, sejurus kemudian matanya mulai berkaca-kaca, lalu menatap bapak penuh kecewa"Jadi ... jadi Akang punya istri selain aku?" tanya wanita itu dengan mata berkaca-kaca.Bibir bapak bergetar, tubuhnya terlihat sangat kurus dengan wajah yang semakin menua."Halimah, Akang bisa jelaskan," ucap Bapak sambil berusaha meraih tangannya."Akang udah bohong! Selama sepuluh tahun Akang bohongi aku! Keterlaluan!" Wanita itu berteriak.Sontak saja pasien yang lain saling melirik, karena ini kamar nomor dua, jadinya satu ruangan ditempati oleh beberapa orang."Maaf, Halimah, Maaf," ucap bapak dengan suara bergetar.Aku maju lagi sat
"Mbak, sekarang aku benar-benar merasa di posisimu dulu, ditinggalkan dan dicampakkan. Hanya bedanya aku bersama anakku, ada tanggung jawab besar yang harus kupikul." Lagi-lagi Kirana terisak."Aku udah ngerasain karmanya akibat ngerebut suami orang, kamu benar, Mbak, kalau akhirnya Mas Hanif suatu saat akan direbut juga sama orang lain, sekali lagi aku minta maaf," ujar Kirana dengan suara bergetar."Kirana, aku udah maafin kamu." Tenggorokanku tercekat mendengar suara tangisannya."Terima kasih, terima kasih, Mbak. Aku berharap masa depanku nanti akan bahagia bersama anakku, aku harap karma ini hanya berlaku untukku tidak untuk keturunanku." Kirana bicara lagi."Syukurlah kalau kamu udah menyadari semuanya, aku seneng, Kirana."Hening, aku merasa terharu dengan semua yang terjadi, tak dapat dipungkiri ada rasa puas yang menjalar dalam hati, rasanya semua sakitku di masa lalu telah terbayar lunas."Tapi, kamu tinggal di mana sekarang?" tanyaku, agak khawatir juga karena setahuku oran
"Aku ga ada urusan ya, Rin, dia itu bapak kamu, ya urus lah." Aku berucap sinis.Gantian, karena biasanya dia yang akan bicara ketus seperti itu padaku."Nyebelin! Cepat bilangin ke Emak tentang keadaan bapak, suruh dia pulang urusin suaminya, aku capek tahu nyuciin baju bapak yang bau pesing." Ririn membentak.Aku menahan tawa, akhirnya kena karma juga tuh anak sombong, baru beberapa hari ngurusin bapaknya saja sudah lelah, bagaiman emak yang berpuluh-puluh tahun mengurusnya, tak pernah dihargai lagi."Gugatan ke pengadilan sebentar lagi akan diajukan, Ririn anak manja, jadi bapakmu itu bukan lagi suami emakku, tapi mantan!" tegasku dengan suara pelan."Oh ya, emangnya bapakmu sudah ga kuat jalan ke kamar mandi ya? sampai pipis aja harus di celana?" Aku menahan tawa"Kamu tuh ya bener-bener ngeselin, masa iya nyuruh Emak sendiri bercerai, anak durhaka!" Ririn murka."Bodo amat, dari pada menikah tapi dibuat susah dan ngebatin, ya mending suruh cerai, di rumahku Emak kujadikan ratu, b
Mas Lutfi mangut-mangut sambil terus menenangkan Maryam yang masih merengek."Ya sudah kalau gitu siap-siap, kita akan berangkat sekarang. Ris, motor udah dikasih?" Mas Lutfi melirikku.Aku mengangguk. "Udah Mas.""Oh ya, Mak, ga usah bawa baju banyak-banyak, bawa keperluan Emak yang penting aja, soal pakaian kita bisa beli di Jakarta."Emak mengangguk lalu memintaku untuk ditemani berkemas di kamarnya, ketakutan jelas masih tercipta di wajah tuanya."Temani Emak, Maryam biar sama aku." Kata Mas Lutfi seraya keluar bersama Teh Naya, dari kejauhan kudengar mereka mengobrol.Di dalam kamar Emak melipat baju-baju dan memasukkan beberapa buah perhiasan yang selalu ia sembunyikan dari Ririn dan bapak."Terima kasih ya, Ris, tapi beneran ga apa-apa 'kan kalau Emak tinggal sama kamu?" tanya Emak sambil menatapku.Aku mengangguk serius. "Ga apa-apa, Mak, Mas Lutfi juga menerima dengan senang hati, jangan mikir macem-macem ya." Aku tersenyum yakin."Oh, jadi kamu beneran mau pergi, Heti? mau t
"Nih, Pak, mereka berdua yang udah hasut Emak buat minta cerai sama Bapak, anak macam apa kalian nyuruh orang tua cerai." Ririn si anak songong itu menunjuk wajah kami.Seketika suasana jadi tegang, Mas Lutfi dan Kang Ruswan berhamburan datang mengerumuni kami di dapur."Ada apa ini, Ris?" tanya Mas Lutfi."Heti! Apa bener anak-anak kamu mau kita pisah?" tanya bapak sambil melotot.Heti adalah nama emakku sedangkan nama bapak tiriku yang nyebelin itu Rusdi.Tangan emak dingin dan bergetar, wajahnya menunduk dalam. Lalu kugenggam erat tangan keriput itu dan kuelus punggungnya untuk menenangkan."Jawab, Heti!" tegas bapak dengan mimik wajah menyeramkan.Lelaki tua itu membanting kopiah yang ada di kepalanya ke lantai hingga tubuh emak terguncang ketakutan."Iya," jawabku dengan wajah menantang."Saya ga nanya kamu!" Bapak menunjuk wajahku."Cukup ya selama ini Emakku disiksa batinnya sama kamu! Sekarang tolong ceraikan dia dan tinggalkan rumah ini," cetus kakakku memasang tampang bengi
"Setiap orang punya takdir, Ris, dan mungkin ini udah takdir Emak. Dengan melihat kalian sama suami kalian hidup bahagia aja Emak udah bahagia," jawab Emak sambil menyeka air mata."Kata siapa aku bahagia?!" Kupandangi wajah Emak dengan kubangan air mata."Aku ga bahagia kalau lihat ibu sendiri disakiti setiap harinya, harus kerja keras kerja di sawah milik orang, sementara aku setiap hari hidup enak dan nyaman, Emak pikir aku bahagia?!" Kupukul dada dengan linangan air mata.Akhirnya tangis kami bertiga pecah kami sama-sama menangis di ruangan sempit dan banyak perabotan lusuh ini.Kami saling merangkul dan menguatkan satu sama lain, dari sini aku menilai jika emakku ini memang sudah rapuh, hati dan dan juga jiwanya."Emak harus kaya gimana, Risti? Emak juga udah ga tahan, tapi kalau minta cerai Emak takut disantet." Emak sesenggukan hingga tubuh kurusnya tergoncang.Aku menyentuh pundak Emak yang hanya tinggal tulang, menatap yakin kalau semua akan baik-baik saja."Ga usah takut kit
"Alaah, si Ririn sama bapaknya sebelas dua belas, bisanya bikin Emak repot, kamu harus tahu ya penghasil warung itu semua dimakan oleh bapak dan si Ririn, sedangkan emak, buat beli kebutuhannya tetap harus kerja di kebun dan di sawah."Tanganku mengepal erat mendengar hal itu, dasar tua Bangka licik, kukira warung itu akan membuat emakku sejahtera, nyatanya ia tetap saja kesusahan."Teteh ga bohong 'kan?" ucapku dengan nada jengkel."Engga, Risti, ngapain bohong. Rumahku ini berdekatan, pastinya aku tahu apapun yang terjadi sama Emak," jawab Teh Risti masih berbisik pula."Kita harus buat emak sama lelaki tua itu pisah, Teh, aku ga rela Emak disakiti." Aku emosi bukan main."Sudah sering Teteh bilang gitu tapi Emaknya aja yang belum siap, katanya takut nyusahin anak kalau jadi janda, lah punya suami aja susah." Teh Naya geleng-geleng kepala."Modal warung itu 'kan dapet pinjem dari suami kamu, coba sekarang tagih, aku yakin lelaki tua itu ga bakal mau balikin, pasti ada aja alasannya
bab 40.B hd"Enak aja dipikir aku ini bangke tikus." Aku mendelik kesal lalu meninggalkannya.Malam hari aku dan Mas Lutfi diskusi, rencananya motor yang selalu aku gunakan ingin disedekahkan, tapi pada siapa? aku ingin orang itu orang yang tepat."Gimana kalau dari keluarga kamu aja, misal Teh Naya, motornya itu udah sering mogok 'kan?" ujar Mas Lutfi.Betul juga, kalau di keluarganya semua pada mapan, punya usaha dan ada pula yang bekerja di sebuah perusahaan besar seperti Laila."Betul juga ide kamu, Mas, kira-kira kapan kita ke kampung ya, kamu atur jadwal deh.""Emm, sekarang-sekarang juga ga masalah sih kalau aku, tapi fisik kamu kuat ga? ke kampung itu perjalanan lama dan jalannya jelek, emang kuat? 'kan abis lahiran," ujar Mas Lutfi lagi."Kuat lah, 'kan naik mobil bagus." Aku menarik turunkan sebelah alis."Masa? berarti itu juga bakal kuat dong ga takut lagi." Mas Lutfi menggodaku.Pasti ujung-ujungnya ke sana."Itu apaan?!" Aku melotot."Itu ntar malem," jawabnya sambil mes