"Seru loh, Mas, naik yuk temenin aku." Aku merajuk ingin naik roller coaster Battlestar Galactica. Roller coaster dengan trek paling panjang, ribet, seru dan menjadi ikon USS. Banyak jalur melingkar dan titik jungkir balik yang bikin muka pengunjung seketika pucat.Sedangkan Mas Lutfi belum naik aja udah terlihat pucat, gimana kalau naik, bisa-bisa jadi mayat, hihi."Engga ah, Yang, Mas takut jantungan, mending kita nonton aja sama William, ia ga boy?" Mas Lutfi menggandeng bocah berkulit putih itu."Hahaha, Uncle takut ya naik itu." William mengejek."Bukan takut tapi Om malu, udah kita nonton aja ya." Mas Lutfi menjawab, dasar Cemen!Waktunya makan siang, usai salat Dzuhur Lasmi ngajak aku dan Mas Lutfi makan di sekitar studio."Las, kamu yakin makanan di sini halal?" tanya Mas Lutfi, benar juga apa katanya, kenapa aku main makan aja bukan tanya-tanya dulu, ah dasar!"Halal kok, A, mana mungkin kupilih makanan yang haram untuk kalian."Aku lega Lasmi jawab begitu, akhirnya kulanjut
"Tapi ini menyangkut anak kami, Teh. Teteh 'kan udah tahu soal Rafka. Tolong beri kami kesempatan bicara ya." Begitu katanya."A Ufi itu ayahnya Rafka, tolonglah Teteh jangan egois." Dia bicara lagi.Enak sekali dia bicara, tak memikirkan perasaanku seperti apa."Loudspeaker aja, Yang." Mas Lutfi menyahut.Aku pun menuruti perintahnya."Sabrina, mau ngomong apa ayo bicara saja, kalau bicara berdua aku ga bisa, kasihan istriku takut sakit hati," ucap Mas Lutfi.Hatiku terenyuh, segitunya ia menjaga perasaanku, kalau begini apa alasan aku cemburu? sudah jelas ia sayang padaku. "Begini, Fi. Rafka sakit DBD, dia dirawat di rumah sakit. Sementara kamu cuma ngasih tiga juta, Rafka ga punya BPJS, aku bingung, Fi. Kamu bisa 'kan tolong aku," pinta Sabrina.Nada bicaranya terdengar santai, malah aku yang emosi. Memang sih dia anak Mas Lutfi tapi dalam hati ada rasa tak rela saat suamiku ngasih uang padanya, gimana kalau perempuan itu ngada-ngada?"Ayahmu yang kaya raya itu 'kan ada? masa ngan
Keesokan harinya kami diajak jalan-jalan lagi sama Lasmi, tapi Mas Lutfi menolak katanya tak enak karena ditraktir terus sama keponakannya itu.Hari ini adalah hari terakhir kami di sini, rencananya besok akan pulang ke Indonesia karena pabrik Mas Lutfi akan mengeluarkan produk baru."Sebentar banget sih liburannya, baru tiga hari loh, diundur aja seminggu lagi," kata Lasmi saat aku memberitahukan besok akan pulang.William pun nampak sedih, karena sejak kami di sini bocah kecil itu selalu bermain dengan Mas Lutfi, mungkin ia merasa kehilangan kalau ditinggalkan."Ada urusan pekerjaan, Las. Nanti ya kami ke sini lagi," sahut Mas Lutfi."Iya sih sekarang 'kan Aa udah jadi bos ya, pasti sibuk dan banyak kerjaan." Lasmi nampak murung "Bagaimana kalau kalian pergi ke mall saja beli oleh-oleh buat saudara di Indonesia." Lucas suaminya Lasmi menyahut."Ah ide bagus itu, Honey. Gimana, A, kita belanja ya nanti siang."Kami saling lirik sebentar, tak enak sebenarnya ditraktir terus, sekarang
"Ayah ingin mengucapkan terima kasih langsung sama Aa, sekaligus minta maaf katanya, Aa bisa 'kan ke sini temui kami?" tanya Sabrina.Aku melirik suami tajam, awas saja jika mengiyakan."Duh aku sibuk, Sab. Istriku juga lagi hamil muda kasihan kalau harus dibawa pulang ke kampung, jalannya jelek. Bilang sama ayahmu aku sudah maafkan," jawab Mas LutfiBibirku mengembang, kagum sekali padanya. Ia bisa menjaga perasaanku sekaligus membuat Sabrina sadar akan posisinya."Oh istri Aa lagi hamil ya." Sabrina terdengar tak suka."Iya lagi hamil, dia ga bisa melakukan perjalanan jauh-jauh, kasihan nanti kecapekan."Hidungku mau melayang mendengar Mas Lutfi bicara begitu."Tapi Ayah ingin ketemu sama Aa langsung, gimana kalau kami saja yang datang ke sana?" tanya Sabrina.Ah gila, nekat juga dia ternyata. Bilang aja mau ketemu suamiku, pake bawa-bawa bapaknya lagi, bisa jadi bibit pelakor ini."Aku takut umur ayah ga panjang, sebelum meninggal ia ingin ketemu Aa, mau minta maaf karena sudah men
"Ya saya sih pasrah aja, ibu-ibu. Kalau suami kita direbut pelakor, ikhlaskan aja buat apa lelaki bej4t dipertahankan, suatu saat bej4tnya bakal kumat lagi," sahutku, bibir ini gatal sekali kalau ga bicara.Kirana bibirnya cemberut, emang dia saja yang bisa menyindir, aku juga bisa kali.Acara arisan dimulai, Alhamdulillah aku yang dapat. Uang sebesar lima puluh juta berpindah ke tanganku, aku bingung mau diapakan uang ini."Selamat ya, Mbak, Risti. Baru aja pulang liburan sekarang dapat arisan beruntung banget Mbak ini." Mbak Seli memuji."Alhamdulillah, Mbak Seli, saya akan belanjakan uangnya buat peralatan bayi, mungkin ini rezeki si kecil." aku mengelus perut yang masih rata."Duh aku juga jadi pengen hami lagi nih, kayanya asyik ya hamil Mbak Risti ga mabok," sahut Bu Sisca dia panasan juga orangnya.Aku liburan ke Singapura dia mau juga ke sana, aku hamil dia pun ikutan mau hamil, ada-ada saja."Ayo dong, Mbak, bikin lagi mumpung masih muda genjot terus," sahutku bersemangat.Ka
(POV HANIF)"Ini semua gara-gara kamu tahu! Jaga kandungan aja ga becus!" Aku marah-marah di hadapan Kirana yang sedang kesakitan akibat keguguran. Bagaimana aku tak marah hilangnya bayi yang ia kandung karena ulahnya sendiri."Ini udah takdir, kok kamu nyalahin aku." Kirana melawan, itulah yang buat aku eneg sama dia.Sudah jelas ia terpeleset di dapur karena jingkrak-jingkrakan entah kenapa, ia tak menyadari ada minyak goreng tumpah dari atas dan mengalir ke bawah, lalu terinjak olehnya dan terpleset hingga dari selangk*ngannya keluar darah."Aku tuh udah lama pengen punya anak, kamu tahu itu. Dan sekarang kita udah mau punya kamu malah membunuhnya." Aku geram sekali."Bisa jadi Kirana keguguran itu karena terkena mata jahat, Hanif. Lihat aja akun sosmed istrimu itu, penuh poto-poto hasil USG," ibuku menyela.Aku pusing selama ini sudah capek mengalah terus. Di saat aku ingin punya anak dia malah di KB, setelah lepas KB dan langsung hamil malah keguguran.Kemudian aku teringat Ris
"Ini urusan kerjaan, kamu mana ngerti, udah sana tidur lagi," jawabku, padahal aku sedang telponan dengan seseorang."Oh ya sudah, di dalem aja nelponnya, di luar dingin anginnya gede." Setelah itu Kirana masuk lagi kamarnya.Aku lanjut telponan hingga larut malam, bahkan hingga vidio call dengannya. Kami ngobrol dan saling melempar canda, kalau bicara dengan dia rasanya nyaman sekali beda kalau sama Kirana.Dia adalah Seli, tetangga yang terhalang beberapa rumah, pertama kami berkenalan yaitu saat ia menjadi mediator di perusahaan tempatnya bekerja. Waktu itu perusahaannya ngajak kerja sama dengan perusahaanku.Sejak saat itu kami saling bertukar nomor Wa dan sering curhat masalah pribadi, hingga akhirnya hubungan kami sudah jalan sejauh ini. Jujur aku tak bisa lepas dari dirinya.Karena hubungan ini sudah menjadi candu aku pun selalu menyempatkan waktu untuk bertemu, misal jika pulang kerja, atau akhir pekan itu pun jika bisa lolos izin dari Kirana.Entah sampai kapan kami seperti i
(POV KIRANA)"Loh hape siapa ini, Mas? ini 'kan bukan hapemu?" tanyaku sambil mengangkat hape berbalut softcase pink itu setinggi wajah."Oh iya itu ponsel rekan bisnis Mas, jadi gini tadi Mas meeting sama moderator dari perusahaan yang kerja sama sama perusahaan kita, nah karena Mas pulangnya buru-buru jadi salah ambil."Kutelisik wajah Mas Hanif, firasatku ia berbohong tapi raut wajahnya mengatakan tidak, apa hanya ini prasangka buruk saja?Ponsel di genggamanku berbunyi lagi."Ini yang punyanya pasti nyari, sini Mas angkat." Mas Hanif merampas secara pelan ponsel itu dari tanganku."Iya, Bu. Ini ada sama ya, mohon maaf ya.""Baik, Bu, baik.""Yuk, malem.""Iya bener, ponsel Mas ada sama dia. Mas mandi dulu ya," ujarnya lalu melenggang dari hadapanku.Aku duduk sambil mengingat-ingat ponsel milik siapa yang tadi itu, perasaan aku pernah melihat tapi lupa di mana?"Mas, yang punya ponsel itu siapa namanya?" tanyaku saat kami hendak tidur."Rekan bisnis, Mas, Kirana." Mas Hanif menjaw
Menjelang sore kami pulang kembali ke Jakarta hingga matahari tenggelam barulah kami bisa menginjakan kaki di rumah bercampur lelah."Mbak Ris, Ibu pulang ya. Itu di luar kayanya ada tamu," ucap asistenku, ia terbiasa pulang sore dan berangkat pagi."Oh suruh masuk aja.""Biar Emak yang bawain barang-barang ke dalam sekalian mau istirahat." Emak mengangkat paper bag dan beberapa kantong kresek, oleh-oleh dari Teh Naya dan sebagiannya kubeli di perjalanan tadi.Yang datang ternyata Sabrina bersama Rafka, aku menghela napas jangan sampai ia membuat tubuhku semakin lelah.Wanita itu tersenyum. "Assalamualaikum.""Wa'alaikumus'salam," jawabku dan Mas Lutfi serentak.Ia duduk di sofa bersebrangan denganku dan Mas Lutfi."Kayaknya kalian lagi pada capek ya, sebelumnya mohon maaf aku udah ganggu waktu istirahat kalian," ucap Sabrina.Wajah cantik dan segar itu menatap kami satu persatu, bodohnya aku selalu saja tersimpan cemburu ketika ia memandang suamiku."Ga apa-apa, santai aja. Rafka kan
"Oh, jadi kamu istri keduanya ya?" tanyaku sambil maju satu langkah.Kulihat Bapak tampak khawatir memandang kami bertiga."Maksudnya?" tanya wanita itu terkejut."Dia ini ibu saya, istri pertamanya lelaki ini, fix selama ini Emak dibohongi sama Bapak, ada untungnya juga ya kita kemari." Aku menyeringai sinis.Wanita yang terlihat lebih muda dari emak itu nampak terkejut, sejurus kemudian matanya mulai berkaca-kaca, lalu menatap bapak penuh kecewa"Jadi ... jadi Akang punya istri selain aku?" tanya wanita itu dengan mata berkaca-kaca.Bibir bapak bergetar, tubuhnya terlihat sangat kurus dengan wajah yang semakin menua."Halimah, Akang bisa jelaskan," ucap Bapak sambil berusaha meraih tangannya."Akang udah bohong! Selama sepuluh tahun Akang bohongi aku! Keterlaluan!" Wanita itu berteriak.Sontak saja pasien yang lain saling melirik, karena ini kamar nomor dua, jadinya satu ruangan ditempati oleh beberapa orang."Maaf, Halimah, Maaf," ucap bapak dengan suara bergetar.Aku maju lagi sat
"Mbak, sekarang aku benar-benar merasa di posisimu dulu, ditinggalkan dan dicampakkan. Hanya bedanya aku bersama anakku, ada tanggung jawab besar yang harus kupikul." Lagi-lagi Kirana terisak."Aku udah ngerasain karmanya akibat ngerebut suami orang, kamu benar, Mbak, kalau akhirnya Mas Hanif suatu saat akan direbut juga sama orang lain, sekali lagi aku minta maaf," ujar Kirana dengan suara bergetar."Kirana, aku udah maafin kamu." Tenggorokanku tercekat mendengar suara tangisannya."Terima kasih, terima kasih, Mbak. Aku berharap masa depanku nanti akan bahagia bersama anakku, aku harap karma ini hanya berlaku untukku tidak untuk keturunanku." Kirana bicara lagi."Syukurlah kalau kamu udah menyadari semuanya, aku seneng, Kirana."Hening, aku merasa terharu dengan semua yang terjadi, tak dapat dipungkiri ada rasa puas yang menjalar dalam hati, rasanya semua sakitku di masa lalu telah terbayar lunas."Tapi, kamu tinggal di mana sekarang?" tanyaku, agak khawatir juga karena setahuku oran
"Aku ga ada urusan ya, Rin, dia itu bapak kamu, ya urus lah." Aku berucap sinis.Gantian, karena biasanya dia yang akan bicara ketus seperti itu padaku."Nyebelin! Cepat bilangin ke Emak tentang keadaan bapak, suruh dia pulang urusin suaminya, aku capek tahu nyuciin baju bapak yang bau pesing." Ririn membentak.Aku menahan tawa, akhirnya kena karma juga tuh anak sombong, baru beberapa hari ngurusin bapaknya saja sudah lelah, bagaiman emak yang berpuluh-puluh tahun mengurusnya, tak pernah dihargai lagi."Gugatan ke pengadilan sebentar lagi akan diajukan, Ririn anak manja, jadi bapakmu itu bukan lagi suami emakku, tapi mantan!" tegasku dengan suara pelan."Oh ya, emangnya bapakmu sudah ga kuat jalan ke kamar mandi ya? sampai pipis aja harus di celana?" Aku menahan tawa"Kamu tuh ya bener-bener ngeselin, masa iya nyuruh Emak sendiri bercerai, anak durhaka!" Ririn murka."Bodo amat, dari pada menikah tapi dibuat susah dan ngebatin, ya mending suruh cerai, di rumahku Emak kujadikan ratu, b
Mas Lutfi mangut-mangut sambil terus menenangkan Maryam yang masih merengek."Ya sudah kalau gitu siap-siap, kita akan berangkat sekarang. Ris, motor udah dikasih?" Mas Lutfi melirikku.Aku mengangguk. "Udah Mas.""Oh ya, Mak, ga usah bawa baju banyak-banyak, bawa keperluan Emak yang penting aja, soal pakaian kita bisa beli di Jakarta."Emak mengangguk lalu memintaku untuk ditemani berkemas di kamarnya, ketakutan jelas masih tercipta di wajah tuanya."Temani Emak, Maryam biar sama aku." Kata Mas Lutfi seraya keluar bersama Teh Naya, dari kejauhan kudengar mereka mengobrol.Di dalam kamar Emak melipat baju-baju dan memasukkan beberapa buah perhiasan yang selalu ia sembunyikan dari Ririn dan bapak."Terima kasih ya, Ris, tapi beneran ga apa-apa 'kan kalau Emak tinggal sama kamu?" tanya Emak sambil menatapku.Aku mengangguk serius. "Ga apa-apa, Mak, Mas Lutfi juga menerima dengan senang hati, jangan mikir macem-macem ya." Aku tersenyum yakin."Oh, jadi kamu beneran mau pergi, Heti? mau t
"Nih, Pak, mereka berdua yang udah hasut Emak buat minta cerai sama Bapak, anak macam apa kalian nyuruh orang tua cerai." Ririn si anak songong itu menunjuk wajah kami.Seketika suasana jadi tegang, Mas Lutfi dan Kang Ruswan berhamburan datang mengerumuni kami di dapur."Ada apa ini, Ris?" tanya Mas Lutfi."Heti! Apa bener anak-anak kamu mau kita pisah?" tanya bapak sambil melotot.Heti adalah nama emakku sedangkan nama bapak tiriku yang nyebelin itu Rusdi.Tangan emak dingin dan bergetar, wajahnya menunduk dalam. Lalu kugenggam erat tangan keriput itu dan kuelus punggungnya untuk menenangkan."Jawab, Heti!" tegas bapak dengan mimik wajah menyeramkan.Lelaki tua itu membanting kopiah yang ada di kepalanya ke lantai hingga tubuh emak terguncang ketakutan."Iya," jawabku dengan wajah menantang."Saya ga nanya kamu!" Bapak menunjuk wajahku."Cukup ya selama ini Emakku disiksa batinnya sama kamu! Sekarang tolong ceraikan dia dan tinggalkan rumah ini," cetus kakakku memasang tampang bengi
"Setiap orang punya takdir, Ris, dan mungkin ini udah takdir Emak. Dengan melihat kalian sama suami kalian hidup bahagia aja Emak udah bahagia," jawab Emak sambil menyeka air mata."Kata siapa aku bahagia?!" Kupandangi wajah Emak dengan kubangan air mata."Aku ga bahagia kalau lihat ibu sendiri disakiti setiap harinya, harus kerja keras kerja di sawah milik orang, sementara aku setiap hari hidup enak dan nyaman, Emak pikir aku bahagia?!" Kupukul dada dengan linangan air mata.Akhirnya tangis kami bertiga pecah kami sama-sama menangis di ruangan sempit dan banyak perabotan lusuh ini.Kami saling merangkul dan menguatkan satu sama lain, dari sini aku menilai jika emakku ini memang sudah rapuh, hati dan dan juga jiwanya."Emak harus kaya gimana, Risti? Emak juga udah ga tahan, tapi kalau minta cerai Emak takut disantet." Emak sesenggukan hingga tubuh kurusnya tergoncang.Aku menyentuh pundak Emak yang hanya tinggal tulang, menatap yakin kalau semua akan baik-baik saja."Ga usah takut kit
"Alaah, si Ririn sama bapaknya sebelas dua belas, bisanya bikin Emak repot, kamu harus tahu ya penghasil warung itu semua dimakan oleh bapak dan si Ririn, sedangkan emak, buat beli kebutuhannya tetap harus kerja di kebun dan di sawah."Tanganku mengepal erat mendengar hal itu, dasar tua Bangka licik, kukira warung itu akan membuat emakku sejahtera, nyatanya ia tetap saja kesusahan."Teteh ga bohong 'kan?" ucapku dengan nada jengkel."Engga, Risti, ngapain bohong. Rumahku ini berdekatan, pastinya aku tahu apapun yang terjadi sama Emak," jawab Teh Risti masih berbisik pula."Kita harus buat emak sama lelaki tua itu pisah, Teh, aku ga rela Emak disakiti." Aku emosi bukan main."Sudah sering Teteh bilang gitu tapi Emaknya aja yang belum siap, katanya takut nyusahin anak kalau jadi janda, lah punya suami aja susah." Teh Naya geleng-geleng kepala."Modal warung itu 'kan dapet pinjem dari suami kamu, coba sekarang tagih, aku yakin lelaki tua itu ga bakal mau balikin, pasti ada aja alasannya
bab 40.B hd"Enak aja dipikir aku ini bangke tikus." Aku mendelik kesal lalu meninggalkannya.Malam hari aku dan Mas Lutfi diskusi, rencananya motor yang selalu aku gunakan ingin disedekahkan, tapi pada siapa? aku ingin orang itu orang yang tepat."Gimana kalau dari keluarga kamu aja, misal Teh Naya, motornya itu udah sering mogok 'kan?" ujar Mas Lutfi.Betul juga, kalau di keluarganya semua pada mapan, punya usaha dan ada pula yang bekerja di sebuah perusahaan besar seperti Laila."Betul juga ide kamu, Mas, kira-kira kapan kita ke kampung ya, kamu atur jadwal deh.""Emm, sekarang-sekarang juga ga masalah sih kalau aku, tapi fisik kamu kuat ga? ke kampung itu perjalanan lama dan jalannya jelek, emang kuat? 'kan abis lahiran," ujar Mas Lutfi lagi."Kuat lah, 'kan naik mobil bagus." Aku menarik turunkan sebelah alis."Masa? berarti itu juga bakal kuat dong ga takut lagi." Mas Lutfi menggodaku.Pasti ujung-ujungnya ke sana."Itu apaan?!" Aku melotot."Itu ntar malem," jawabnya sambil mes