Home / Romansa / Hijrah yang Tak Kau Hargai / Bab 42 Pembatalan Cerai

Share

Bab 42 Pembatalan Cerai

Author: Alshrye
last update Last Updated: 2024-02-11 17:07:32

Aku tak habis pikir. Mas Hakim bisa setega itu. Semalaman aku menangis. Tak hentinya aku mengeluarkan air mata. Mas Hakim tak merasa iba padaku. Pikiran jahat seperti apa yang membuat ia seperti ini. Rasanya aku ingin menghilang. Tak ingin lagi aku ada disini.

Seharian aku tak makan. Hari ini pun aku hanya di rumah. Minggu ini kantor tutup.

Kemudian aku berjalan. Hendak pergi untuk mandi. Namun, tiba-tiba pandanganku kabur. Aku tak sanggup berjalan. Badanku terasa lemah. Nafasku sesak pula. Begitu sakit kurasakan hingga terlalu dalam. Mataku terbuka, aku melihat mas Hakim berada di depanku. Tanpa sadar, aku sudah terbaring di kasur.

"Mas.."

"Kamu pingsan tadi. Jangan nambah banyak penyakit. Uangku tak cukup buat berobat. Bayangkan pengeluaran kita sudah banyak. Belum lagi bayar sewa rumah." Hardik Mas Hakim.

"Mas takut jika aku sakit? Namun yang kau khawatirkan hanyalah uang. Bukan sebaliknya kesehatanku?"

"Sudahlah. Kamu tak usah banyak bicara. Aku tak mau kamu pingsan lagi sepert
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 43 Mas Hakim Tak Ingin Privat Lagi

    Semua kisah ini menjadi hikmah dalam hidupku. Ujian yang datang kuarungi dengan sabar. Hingga tiba waktunya aku dapat bahagia. Mungkinkah selama ini suamiku ingin punya keturunan. Sampai ia bisa berbuat buruk kemarin. Aku tetap sabar apapun itu Kenyataannya. "Kamu butuh makan apa?" Tanya Mas Hakim. Aku terdiam sejenak. Hanya melongo mendengar ia bertanya. Tak biasanya mas Hakim menanyakan ini. Bahkan jarang, itulah sebabnya aku heran. "Butuh makan, maksudnya Mas?" Tanyaku kembali."Kamu mau makan apa?""Aku lagi kepingin makan yang asem, Mas.""Asem? Rujak maksudnya?""Ya.""Kalau bisa kamu jangan makan yang pedas. Tak baik buat kandunganmu. Kamu harus jaga kandunganmu. Jangan sampai keguguran lagi. Ingat, kandunganmu itu lemah.""Ya, Mas.""Kamu jangan capek-capek dulu. Harus istirahat total di rumah!""Istirahat total?""Ya.""Bagaimana kerjaanku, Mas?""Oh iya. Kamu bisa minta cuti gak?""Gak bisa kayaknya. Aku kan masih baru.""Kalau aku kasih pilihan. Kamu mau fokus dengan ka

    Last Updated : 2024-02-17
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 44 Kembali Terluka

    Akhirnya aku menjalani hari seperti biasa. Sudah beberapa hari ini aku tak masuk kerja. Mas Hakim pulang malam. Namun, kepulangannya tak setiap malam lagi. Ia benar-benar menepati janjinya . Kini ia banyak meluangkan waktunya. Tak seperti dulu lagi. Soal pekerjaanku, aku hanya bisa pasrah. Aku memberi alasan sakit pada pimpinan. Kurasa takkan lama disana. Firasatku pekerjaan ini takkan bertahan. Mas Hakim telah mengekangku untuk bekerja disana. Mas Hakim pulang larut malam. Tak biasanya gelagatnya seperti orang bingung. Apa karena ia kelelahan. Ia telah membantuku selama ini. Beberapa tugas rumah yang berat, mas Hakim melakukannya. Kadang aku tak tega dengannya. "Mas baru pulang?""Ya."Aku melihat mas Hakim langsung mengambil handuk. Tampaknya ia hendak mandi. "Mas mau mandi?""Ya gerah.""Sudah hampir jam 9 malam. Mas mau kumasakkan air hangat untuk mandi?""Biar aku saja. Kamu istirahat. Jangan kecapekan atau banyak pikiran!""Ya."Rasanya sulit, saat ini masih mengganjal pikira

    Last Updated : 2024-02-19
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 45 Mengadu Kepada Ayah

    Aku merasa tak bisa melanjutkan hubungan ini. Hampir setiap hari muncul keinginanku untuk berpisah. Namun, aku harus memikirkannya lagi. Masih ada hati yang harus aku jaga. Keluargaku bisa malu jika aku pisah. Sebelum itu, aku harus minta saran dari orang tuaku. Ayahku, dialah yang akan kutanyakan. Tentang bagaimana nasibku ini. Siang ini saat tak ada mas Hakim, aku berniat menelpon ayahku. Niatku ingin menceritakan semua padanya. Aku harus minta nasehat darinya. Akan tetapi, aku masih belum siap mengungkapkan keinginan bercerai. Keluargaku akan malu. Bila semua orang tahu aku akan bercerai. Apalagi kondisiku tengah mengandung. Aku semakin curiga dengan mas Hakim. Ia seperti memiliki hubungan dengan murid privatnya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam.""Ayah. Bagaimana kabarnya sekarang?""Alhamdulillah baik-baik saja. Kamu bagaimana disana?""Alhamdulillah. Walau keadaan apapun, tetap aku jalani Ayah.""Kenapa jawabanmu seolah meragukan?""Aku tak kenapa.""Ada yang kamu tutupi se

    Last Updated : 2024-02-28
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 46 Sikapnya Berubah-ubah

    "Awas kalau aku tahu kamu telepon ayahmu lagi. Mulai sekarang, kamu harus izin padaku. Beri tahu aku, bila kamu mau telepon ayahmu.""Kenapa aku harus kasih tahu dulu? Jika ada hal yang mendadak. Lalu kamu tak menjawabnya bagaimana? Apa aku masih bisa telepon dalam keadaan darurat. Jika darurat, aku lantas tak minta izin dulu kan?"Mas Hakim langsung memukul meja. Ia mendobraknya dengan sangat keras. Sehingga aku tak kuat mendengarnya. Jantungku serasa berdetak kencang. Jangan sampai karena ini, kondisi kandunganku terbawa. Aku tak mau kehilangan calon anakku lagi. "Mas, aku minta tolong. Jaga perasaanku. Aku sedang hamil. Aku minta selama hamil saja. Tidak terlalu lama. Setelah aku hamil, silahkan marahi aku sesuka hatimu.""Kamu ini bicara apa sih? Sebaliknya kalau kamu sayang dengan janin yang ada dalam kandunganmu, tak lantas kau bersikap emosional. Kamu seharusnya menjaga hatimu. Aku tidak mau lagi anakku kamu bunuh lagi. Awas saja kalau janinmu bermasalah lagi!""Astaghfirullah

    Last Updated : 2024-03-04
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 47 Menghubungi Ayah Berujung Buruk

    Setiap hari aku menerima perlakuannya. Mas Hakim yang kadang baik. Kadang bersikap kasar pula. Aku tak ingin banyak menuntutnya. Sebaliknya aku sadar. Sebagai istri masih belum sempurna. Namun, aku berusaha agar bisa menjadi istri yang baik.Saat menghadapi sikap kasarnya, ada keinginanku menghubungi ayahku. Sangat terbatas sekali keinginanku untuk menghubunginya. Akhirnya itu hanya menjadi hasratku saja. Keinginanku kini kian terpendam. Sampai aku tak mampu menahannya. Hampir setiap hari aku menangis. Terkadang aku rindu pada ayahku. Namun, seolah menelepon saja jadi mimpiku. Setiap aku sedih, ingin rasanya menelepon ayahku. Tapi jika aku izin terlebih dahulu, mas Hakim pasti menanyakan alasannya. Aku tahu, inilah alasannya memintaku izin terlebih dahulu. Supaya dia tahu masalah yang kuceritakan pada ayah. Entah mengapa aku sangat ingin menghubungi ayahku. Jika kutelepon, aku akan berdosa. Maka kuputuskan untuk minta izin padanya. Kukatakan saja bila aku sedang rindu pada ayahku. "Ma

    Last Updated : 2024-03-06
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 48 Terkekang

    Semua tak dapat kuhindari. Mas Hakim telah membuatku kecewa. Ia tak menaruh rasa iba. Sesekali ia baik, kadang tidak. Aku merasa tak ada artinya mengandung. Ia tak kasihan dengan janin di dalam rahimku. Bagaimanapun ini darah dagingnya pula. Tak ada kepedulian dalam dirinya.Aku merasa sangat terkekang. Ingin sekali pergi dari sini. Namun, aku tak punya daya. Mas Hakim tentu tak mengizinkan. Apalagi dengan kondisi hamil muda, tak semudah itu untuk pergi. Aku mengerti pula keadaanku. Sebab itu aku masih ragu untuk pulang. Ingin kuceritakan pada ayah. Mas Hakim telah mencuci otaknya. Dia buat ayahku hilang kepercayaan padaku. "Kamu kenapa melamun?""Tidak ada apa-apa.""Kapan periksa ke puskesmas?""Hari senin.""Kamu jawabnya kayak gak senang gitu.""Aku biasa aja, Mas.""Biasa aja ngomongmu."Aku terus berpikir. Takut bila benih dalam kandunganku bermasalah. Percuma jika aku makan yang sehat. Vitamin untuk hamil juga kuminum. Namun, psikisku kian buruk. Sementara ibu hamil tak boleh

    Last Updated : 2024-03-10
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 49 Terus Tertekan

    "Apa ini, Mas?""Ini ditanda tangani surat pembatalan talak!"Aku menatap secarik kertas. Kubaca tiap lembarannya. Tempo hari mas Hakim telah menalakku. Walaupun itu talak satu, masih tetap harus diurusi pembatalannya. Kalau bukan karena kehamilanku, mas Hakim belum tentu membatalkannya. Ia berubah sikap. Itu karena aku tengah hamil anaknya. Meskipun sempat ia ragukan, aku bisa meyakinkannya jika ini benih darinya. Lalu aku menandatangani surat itu. Kubaca semua tiap pernyataan Kutarik nafas dan menghela perlahan. Jika aku tak hamil, mungkin kami berada di pengadilan saat ini. Namun, mas Hakim lekas memproses pembatalan talak. "Selanjutnya apa lagi, Mas?""Kau laksanakan saja apa yang kuperintah. Semua ini aku yang urus. Paham?""Ya."Pernyataannya kujawab dengan lirih saja. Rasa enggan aku bicara dengan mas Hakim. Hampir setiap hari aku mendengar mas Hakim menelepon muridnya. Apalagi Cynthia. Bahkan aku sengaja mendengar di depannya. Sikapku seperti ini agar ia tahu aku mendengark

    Last Updated : 2024-03-16
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 50 Kecewaku

    Aku terbangun pagi ini. Lelah yang kurasakan seketika menghilang. Namun, rasa sakit ini masih ada. Kupegang perutku yang terasa nyeri. Aku tak bisa melakukan apapun. Minum obat sembarangan tak mungkin. Kata dokter, ibu hamil tak bisa minum obat biasa. Hanya ada vitamin hamil. Air mataku masih saja keluar. Padahal sudah coba kutahan. Kutatap mas Hakim. Ia masih tertidur saat ini. Aku baru sadar ini hari ahad. Nanti ia masih tetap privat. Tentu saja bersama murid kesayangannya. Siapa lagi kalau bukan Cynthia. Ia tak segan meneleponnya. Sangat mesra terdengar di depanku. Walau ia menyebut nama antara murid dan guru. Akan tetapi kalimatnya tak wajar untuk mereka. "Mas ada yang telepon!"Kudengar ponsel mas Hakim berdering lagi. Kupanggil ia, namun tak ada jawaban. Kucari ia disekitar tak ada. Akhirnya kuputuskan untuk mengangkatnya. Kalau saja ada hal penting dari penelepon tersebut. Saat kulihat, murid mas Hakim yang melakukan panggilan. Dia seorang perempuan. Itu bukan Cynthia. Aku la

    Last Updated : 2024-03-19

Latest chapter

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 59 Setelah Lahiran

    Kurasakan ada sayatan yang menyentuh. Sekujur tubuhku seakan menggigil hingga aku sulit bicara. Mungkin ini pengaruh dari operasi. Keadaan di ruang operasi begitu dingin. Dokter pun memintaku untuk relax. Tak lama berselang, kudengar suara tangisan bayi. Bayiku mungkin telah lahir. "Bu, ini bayinya laki-laki." Disini aku masih terbaring. Kutatap bayiku tepat berada di sampingku. Seorang perawat yang menghantarkannya. Bayiku membuka matanya. Ketika didekatkan padaku, ia tak menangis. Ia tersenyum padaku. "Selamat yah, Bu Tazkiyah." "Ya." Dokter memberi ucapan selamat padaku. Aku bahagia anakku telah lahir. Lalu perawat membawa bayiku. Aku masih belum pulih dari bius dan operasi. Sementara bayiku dibawa perawat. Mungkin akan diperlihatkan pada mas Hakim juga. Aku mendengar tangisannya dari kejauhan. Setelah bayiku dibawa keluar ruang operasi. Kemudian setelah selesai operasi, aku keluar dari ruangan. Perawat mengiringiku keluar. "Ayo pindahkan. Loh suaminya mana? Ibu ini

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 58 Menjelang Persalinan

    Akhirnya tiba hari saat aku selesai mengajukan resign. Saat di kantor, aku memasang muka tak enak pada rekan kerjaku. Ketika bertemu mereka, wajahku langsung memerah. Aku merasa malu. Baru kerja satu bulan, aku harus berhenti. Tentu pula dengan alasan hamil. Aku bertemu pula dengan Ilmi. Sangat tersipu malu aku saat bertemu dia. Rasanya tak habis pikir harus berhenti secepat ini. Bahkan aku sendiri malu dengan diriku sendiri. Semua ini untuk menuruti suamiku. "Mbak Tazkiyah." "Eh, Ilmi!" "Kemana saja, Mbak? Sejak aku mencarimu sampai ke rumah." "Maafkan aku Ilmi. Ini permintaan suamiku. Aku juga sedang hamil." Ilmi menatap ke arah perutku. Entah mengapa risih saat ia mengarah menatap ke perutku. Lantas aku hendak pergi dari pandangannya. "Sudah, ya. Mbak mau menghadap pimpinan dulu. Jujur, gak enak rasanya berhenti kerja secepat ini." "Ya, Mbak." Aku pun meninggalkan Ilmi. Kemudian mengarah ke ruangan pimpinan perusahaan. Setelah beberapa menit aku hendak pulang. Ta

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 57 Keinginan Setelah Melahirkan

    Malam itu, mas Hakim tak hentinya memperingatkanku. Tingkahnya seolah tak segan mengajakku berdebat. Ia menganggap ku selalu melawan bicaranya. Namun ia tak hentinya mengajakku berdebat. Sementara ia yang selalu memancing pertengkaran. Ia terus memperingatkanku untuk tak ikut campur urusan pekerjaan. Ia terus berdalih. Akan tetapi aku minta janji darinya. Aku ingin dia mengosongkan waktu sehari untukku. "Baik, aku akan mengosongkan waktu sehari. Asal kamu jangan terus membuat masalah. Aku tadi sangat malu dengan murid dan orang tua mereka." "Maaf. Aku hanya meminta kepastian darimu, Mas. Aku hanya punya kamu disini. Setelah Allah, tak ada perantara selain kamu." "Kamu juga jangan gampang terbawa suasana. Menurutmu masih ada Tuhan untukmu kan? Maka buktikanlah, jangan bisanya minta tolong aku terus. Mandiri sana, aku juga mau kerja!" "Aku hanya minta waktu sehari saja. Kosongkanlah waktu untukku." "Aku bisa memberikannya asal kau menurutiku. Lagian aku juga pulang ke rumah

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 56 Hasrat yang Keliru

    "Suami saya selalu sibuk. Kamu tidak tahu saja." "Sudahlah. Apa-apaan sih, Kiah? Muridku datang kesini niatnya tulus mau bertemu denganmu." Tiba-tiba saja mas Hakim memotong pembicaraanku. Tampak sekali di raut wajahnya. Ia merasa sangat khawatir. Takut bila aku salah bicara. "Aku juga tanya baik-baik, Mas. Gak apa kan? Maaf yah murid-murid pak Hakim. Ibu hanya mau tanya saja. Maklum, keadaan Ibu sedang hamil. Jadi butuh support dari suami. Sangat butuh sekali ia ada di samping saya. Gak setiap hari kok." Saat aku bicara, ada orang tua murid hendak mengutarakan pendapatnya. Mungkin ia mau menjernihkan obrolan kami. "Saya orang tuanya, Bu. Sebagai orang tua, saya maklum. Benar, Pak Hakim. Kondisi Bu Tazkiyah ini harus diperhatikan. Perempuan hamil itu rentan dengan fisik dan batinnya. Kalau bisa dikurangi dulu mengajarnya. Luangkanlah banyak waktu untuk mengurusi istri Bapak." Alhamdulillah. Ibu ini mengerti juga. Memang sesama perempuan bisa mengerti. Saling pernah mengala

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 55 Saat Bertemu Kembali dengannya

    Rasa cemburuku ini meradang. Hingga aku coba menyadarkan diriku sendiri. Kuseka diriku dengan air wudhu. Bismillah, aku menyucikan diriku dari segala dosa. Kusucikan hingga dalam hatiku. Berharap imanku bisa kuperbaiki. Terus menahan diri dari perbuatan suamiku sendiri. Aku berharap ia segera mendapatkan hidayah. Muncul niat dalam hati ini. Ingin kutuntaskan semua. Namun sebesar apapun rencanaku, tak mampu menahan rencana Allah. Dia lah Maha Besar. Maha Mengetahui dari segala yang ada di dunia dan akhirat. Kendatipun aku masih tetap berusaha mencari perantaranya. Akankah bisa aku bicara langsung dengan perempuan itu? Mas Hakim pasti menolakku untuk bertemu dengannya. Namun, masih bisa kuputar siasat untuk bertemu dengannya. Aku masih mencari alasan yang tepat. "Mas gak ngajar?""Ngajar?""Biasanya privat.""Gak. Hari ini aku libur.""Tumben.""Untuk apa juga kamu tanyakan itu. Bukankah kamu sering sibuk. Bahkan hampir melarangku mengajar privat. Bawakanmu cemburuan terus. Dikit-dik

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 54 Periksa Kandungan

    Kujalani hari ini. Tak ingin kubayangkan pahitnya. Terasa sulit harus kulalui. Benakku berkata tak ingin lagi. Jangan seperti kemarin lagi. Harapanku tak ingin kandunganku bermasalah lagi. "Duh.."Tanganku gemetaran sambil memegangi perutku. Terasa amat keram. Aku takut masalah ini berdampak dengan kandunganku nantinya. Ingin memanggil mas Hakim. Namun aku segan. Ia membuatku takut. Berat rasanya menceritakan keadaanku. Sudah biasa aku menerima jawaban darinya. Tentu itu sangat menyakitkan. Jika kucoba beritahukan, ia pasti marah besar. Selanjutnya akan banyak kesalahanku yang dicecar olehnya. Namun, perut ini masih kian sakit. Terasa amat perih. Aku menangis, tak ingin terjadi hal buruk pada janinku. "Duh..""Kamu ini kenapa?""Perutku sakit, Mas.""Mangkanya. Aku kan sudah bilang, jangan banyak pikiran. Kamu stres terus!""Aku sudah coba lawan. Tapi tetap saja tak bisa kutolak. Mungkin aku sudah kecewa.""Maksudmu apa?""Ada rasa kecewa saja. Namun tak ingin kuperpanjang.""Itu k

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 53 Tak dihargai

    Mas Hakim sama sekali tak peduli yang kurasakan. Ia malah menuduhku yang tak benar. Rasanya mustahil bila aku berhubungan dengan Ilmi. Apalagi Ilmi adalah mantan Cynthia. Sudah pasti Ilmi yang ada hati padanya. "Hey kamu jangan melamun saja!""Apa Mas?""Matikan Televisinya kalau tidak ditonton lagi. Ini malah cuci piring. Aku capek tahu gak cari uang!""Tolong matikan sekalian, Mas.""Disuruh malah nyuruh. Jadi istri itu ngerti kalau dikasih tahu. Ini malah gak mau nurut!""Bukan gak mau. Mas maunya langsung dimatikan kan? Tanganku basah lagi cuci piring.""Kalau dikasih tahu bantah terus!""Aku hanya menjelaskan Mas. Biar Mas tahu kenapa aku tak bisa turuti sekarang. Kecuali kalau Mas mau tunggu aku selesai.""Ah dasar kamu ngelawan terus. Mana mau nurut.""Maksud Mas?""Apa?"Aku terdiam. Jujur, tak ingin kuulangi lagi. Bila kuteruskan, mas Hakim akan bertambah marah. Biarlah kutahan dan pendam saja. Tak sanggup rasanya bila begini. "Kumatikan ya, Mas!""Tak usah, biar aku saja!"

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 52 Aku yang Kecewa

    Beberapa hari ini, aku tak menelepon ayah lagi. Ibu tiriku terlalu sering mengganggu kami. Hingga aku tak dapat bicara banyak padanya. Ibu tiriku seolah ingin tahu yang kami bicarakan.Saat ini aku tak ada kegiatan. Teramat bosan rasanya. Jika tak ada yang dilakukan, ternyata lelah juga. Lelah menunggu waktu berganti. Andai aku masih kerja, mungkin takkan jenuh. Aku masih bisa menyibukkan diri. Di tempatku bekerja, tak begitu membuat kecapekan. Kondisiku yang tengah hamil ini, takkan membuat begitu lelah. "Tazkiyah!"Tiba-tiba mas Hakim mengagetkanku dengan suaranya. Jujur aku sangat terkejut. Tak habis pikir ia lakukan ini lagi. Ia tak henti membuatku takut "A-ada apa?""Coba kamu lihat keluar sana!""Ada apa sih, Mas?""Ternyata kamu belum berubah juga ya!""Maksudmu apa? Aku tak mengerti yang kau ucapkan.""Sana, kau lihat sendiri keluar!"Aku menjadi bimbang. Sebenarnya apa yang terjadi? Mas Hakim sangat marah. Ia memicingkan matanya. Tubuhku gemetaran, aku takut. Ada apa lagi i

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 51 Ibu Tiriku Marah

    Esoknya mbak Rumaisya telah pulang ke rumahnya. Kemarin ia menemaniku di rumah ini. Sudah dua hari mas Hakim tidak pulang. Aku telah menghubungi ponselnya. Namun tak aktif juga. Sengaja aku bilang pada mbak Rumaisya, mas Hakim pulang hari ini. Terpaksa aku berbohong, tak ingin merepotkan mbak Rumaisya. Ia sudah banyak menolongku. Anaknya juga ingin sekolah. Bila ia disini lebih lama lagi, akan kerepotan. Rasa lelah kutahan. Biarlah aku sendiri disini. Jika mas Hakim tak pulang lagi, mungkin besok aku harus periksa sendiri kandungan. Aku rencana besok akan ke puskesmas. Vitamin hamilku juga telah habis. Jadi aku tak dapat menunda lagi kesana.Ada rasa keinginanku menelepon ayah. Tapi, aku harus minta izin terlebih dahulu. Sementara mas Hakim tak kunjung pulang. Tak lama berselang, aku melihat ada suara motor. Aku yakin itu bunyi motor mas Hakim. Lalu, aku melihat keluar jendela. Benar saja, mas Hakim telah pulang. Aku sedikit sumringah. Namun, hatiku masih menyimpan kesedihan karena ia

DMCA.com Protection Status