"Kalau lo nggak bisa duduk, lo bisa makan sambil berbaring, gue suapin lo," ujar Alex ketika sudah membawa Bryan ke kamarnya. Bryan hanya diam saja tanpa menjawab.Alex kembali ke dapur, ia menyiapkan makan malam untuk Ayah dan dua adiknya."Di daerah mana Bryan di begal Lek?" tanya Ayah Angkasa."Di pemukiman kumuh Pak, emang sarangnya begal disitu," jelas Alex. Ayah Alex manggut-manggut."Terus, dapat apa begal-begal itu dari Bryan?""Begal itu nyita motor sama hape Bryan. Mereka lalu menusuk Bryan sebelum kabur.""Meresahkan sekali begal itu, tapi anehnya warga mggak ada yang berani melaporkan.""Warga nggak wani Pak, malah nanti dia jadi korban, bisa-bisa hari ini lapor, besoknya jadi mayat, ngeri lah."Ayah Alex mendesah pelan, ia menatap kepada dua adik Alex yang tengah rebutan rubik. "Dengerin! Abang Bryan habis di begal, di pemukiman kumuh, kalian nggak boleh berani-berani jalan-jalan ke sana, kalau habis se
"Aku minta maaf atas nama suamiku Bang, walau bagaimana pun, dia ikut andil untuk masalah yang menimpa penjualan Butikmu," ucap Zeliya sebelum mereka masuk ke luar meeting. Mereka hanya bercakap berdua.Arham menggeleng, menolak pernyataan bersalah dari Zeliya. "Nggak ada yang berhak di salahkan, semuanya terjadi begitu tiba-tiba, lagi pula, aku lah yang memilih mereka menjadi modelku. Sudah konsekuensi jika akhirnya penjualan menurun, walau saat jam pertama launching foto produk, banyak orderan yang langsung masuk," jelas pria dengan wajah teduh itu.Mereka pun masuk ke dalam ruang meeting. Rapat di adakan pagi-pagi sekali karena setelah Arham amati hampir semalaman, kurva pembelian dari konsumen terus mengalami penurunan, bahkan yang sebelumnya sudah memesan produknya, membatalkan hanya gara-gara tidak suka dengan modelnya yang terkena skandal. Padahal, tidak ada sangkut pautnya antara produknya yang berkualitas dengan model yang ia gunakan."Wajar, mere
"Z... Zeliya, gimana bisa dia ada disini," lirih Bryan dengan terbata. Matanya bahkan tanpa kedip, melihat wanita bercadar itu menatapnya lekat dengan mata bening yang rasanya sudah lama tidak ia nikmati. Mata itu masih sama, menenangkan."Mau dimandiin istri 'kan? tuh, udah ada istrimu hehe," goda Alex, ia menaruh selang air di bawah kaki Bryan. "Lebih baik, gue tinggal kalian ya, tenang aja, kalian nggak akan terganggu."Bryan menahan tangan Alex, begitu pria itu hendak beranjak. "Lo, bukannya tadi dia nggak jadi kesini?" tanya Bryan, matanya tetap ke arah Zeliya."Kalau rindu bilang aja, peluk-peluk sana, bahkan mata lo nggak bisa bohong, ck ck." Alex melepaskan cekalan tangan Bryan."Aish, lo bohongin gue hah? dasar laknat," maki Bryan dengan suara kecil. Ia tersenyum samar ke arah Zeliya, menggaruk tengkuknya sendiri yang tidak gatal, percayalah ia belum siap menemui wanita itu, tapi entah mengapa tidak dapat dipungkiri hatinya menghangat."Zeliya!" panggil Alex dengan suara kera
"Zeliya?" panggil Bryan. "Kalau kamu keberatan, aku minta bantuan Alex aja," lanjut Bryan dengan senyum tipis di bibirnya."Aku bisa," cetus Zeliya membuat senyum Bryan bertambah lebar."Ayo masuk," ajak Bryan, ia melangkah lebih dulu ke dalam rumah Alex, di susul oleh Zeliya."Kenapa rumah ini sepi Mas? kemana orang-orangnya?" tanya Zeliya setelah mengucap salam dan yang menjawab hanya suaminya."Ayah Alex ada urusan ke luar, dua adik Alex sekolah dan Alex, entah kemana pria itu," sahut Bryan, ia celingukan. "Lex! lo dimana?" teriaknya, namun tidak ada yang menyahut."Ayo, masuk ke kamar, ini disediakan khusus buatku, Alex tidur di ruang tamu setelah aku ke sini," jelas Bryan."Hah? kamu tega membiarkan dia tidur di ruang tamu Mas? dia 'kan pemilik rumah ini," kaget Zeliya."Dia maunya begitu, paling kalau ke dinginan ya masuk ke kamar Bapaknya," terang Bryan, ia mengambil celana di dalam lemari begitupula baju, semuanya milik
Walau sensasi aneh kembali ia rasakan dari sentuhan tangan dingin itu, tapi Zeliya merasakan sesuatu hal yang tidak tereskpresikan. Hatinya berbunga-bunga. "Berubah itu, tidak bisa karena manusia Mas, kalau kamu berubah hanya gara-gara seseorang, tidak akan bertahan lama. Bukan aku tidak mendukung hijrah seseorang karena orang lain, hanya saja, aku memperingatkan sedari awal, jika niat hati masih karena orang lain, maka coba ubahlah menjadi semata karena Allah, ikhlas berubah, karena merasa kita hamba Allah, yang tugasnya beribadah dan taat padanya." Zeliya memastikan jika pria di depannya ini meluruskan niat, jangan sampai hanya karena seseorang atau manusia semata.Bryan menggeleng, semakin meremas jemari istrinya, meyakinkan wanita di depannya, bahwa ia benar-benar ingin berubah. "Kamu tau Zeliya. Bagaimana aku menyadari suatu hal? bagaimana aku bisa teringat bahwa ada dimensi lain dari dunia ini, bahwa aku hanyalah manusia yang butuh terhadap Tuhan?"Zeliya hanya diam, menyimak d
Mobil Lucinta sampai di depan gerbang PH, ternyata disana sudah bejibun para wartawan, memotret berkali-kali, ada yang meneriaki nama Bryan, Selena, hingga mengetuk-ngetuk kaca mobil."Lo liat Bry! lo udah kaya artis aja, padahal baru jadi model kemarin sore," komentar Lucinta sambil mengendarai roda empatnya dengan hati-hati. Tiga satpam langsung mengawal mereka."Dia Bryan Davidson!" teriak salah satu wartawan. "Buka! buka kacanya! kami perlu penjelasan!" lanjutnya seperti orang gila. Lucinta hanya menggeleng-gelengkan kepala, netizen Indonesia mulai mengalami peningkatan agresifitas dalam mencari informasi."Pasti aku sudah terkenal di Indonesia, aku tebak, sampai di daerah pedalaman Kalimantan pun, bisa-bisa, orang tau namaku," timpal Bryan tertawa getir. "Kalau karir modelku hancur setelah ini, adakah panggung buatku, untuk jadi artis Cinta?" tanya Bryan.Lucinta menoleh ke arah modelnya yang tampan itu, lalu tertawa. "Tentu, keselamatan bagimu wahai
"Karena hari ini perpisahan antara gue dan lo, ya sudahlah, gue anter lo ke konter hape," ucap Lucinta, setelah Bryan memintanya mengantar ke toko penjualan ponsel.Setelah memilih benda pipih yang diinginkan, Bryan langsung meminta nomor ponsel istrinya pada Lucinta. "Minta nomor istri gue," ujar Bryan."Lah lah, lo nggak hafal nomor dia?" kesal Lucinta. Bryan menjotos pelan bahu Lucinta."Kalau gue cinta, emang harus ya selalu hafal tentang dia? ckck, gue bahkan nggak tau ukuran baju dalamnya.""Hah?" Lucinta menganga mendengar penutuan Bryan. "Eh jangan bilang lo nggak pernah... anu?" tanya Lucinta sembari menempelkan kedua tangannya di depan wajah.Bryan melirik kesal, "nggak usah di bahas! lo pergi duluan aja, gue mau ke kampus setelah ini," usir Bryan, membuat Lucinta mendengus kesal."Dasar nggak tau diri, nggak tau terimakasih pula," gerutunya yang masih di dengar oleh Bryan."Lo boleh main kapan-kapan ke rumah gue, jangan lup
"Kita ke pasar tradisional dulu ya Mas?" tanya Zeliya, ia ingat bahwa bahan-bahan makanan mungkin sudah habis di rumah. Apalagi, ia beberapa hari tidak ke sana. Bryan mengangguk."Pak, ke pasar tradisional ya Pak," ucap Bryan pada supir.Mobil taksi itu berhenti tepat di depan pasar tradisional. Orang-orang berlalu lalang dengan berbagai kegiatan masing-masing yang menyibukkan. Ada sopir angkot yang terlihat berusaha menarik pelanggan, sambil sesekali menyeka keringat, ada ibu-ibu yang terlihat kerepotan membawa barang belanjaan, ada para pedagang yang sibuk melayani pembeli, hingga suara anak menangis yang minta di belikan sesuatu oleh Ibunya yang menambah berisik suasana pasar siang ini."Kamu mau kemana Mas? nggak tunggu disini aja?" tanya Zeliya saat suaminya malah ikut turun. Matanya menatap ke arah perut Bryan yang bisa jadi masih sakit."Aku ikut kamu, tenang aja, aku bisa di andalkan kok," ujar Bryan dengan percaya diri dan senyum lebar. Zeliya hanya menggeleng melihat kelakua