Suasanya ini, membuat jantung Liana berdegup kencang. Ia tidak tau harus menghindar atau diam dan menerima. Namun, kini ia terus memperhatikan bibir Reno dengan terus berandai-andai.
Ctuak …
“Aduh, sakit,” geram Liana ketika Reno menjitak kepalanya.
“Hayo, kamu pasti berpikir yang tidak-tidak, kan,” ejek Reno sambil tertawa kemudian kembali ke tempat duduknya.
“Astaga, aku, aku tidak berpikiran aneh,” elak Liana memalingkan wajah memerahnya.
***
Sesampainya di rumah, keadaan mulai terasa aneh. Reno merasa bingung karena tidak biasanya penjaga rumah tidak berada di pos. Tidak biasanya, pintu rumahnya tertutup rapat. Bahkan ada banyak mobil, namun tak ada orang sama sekali. Ia mulai panik.
Apalagi kaca depan rumahnya tampak pecah dan banyak serpihan kaca yang berceceran di lantai. Ia mengira bahwa telah terjadi sebuah perampokan di rumahnya. Reno bergegas masuk ke dalam rumah dengan keringat yang sudah membasahi keningnya.
Alhasil, saat pintu rumah di buka, semuanya terlihat gelap. Begitupun Liana yang tak bisa melihat apapun, bahkan untuk melihat Reno.
Selamat Ulang Tahun Kami Ucapkan, Selamat Panjang Umur Kita kan Doakan …
Suara teriakan orang yang ramai membuat Reno terkejut dan meloncat. Ada banyak orang, mama dan papa Liana pun ada.
“Siapa yang ulang tahun?” tanya Reno kebingungan, sembari memperhatikan banyak orang bersorak untuknya.
“Ya, kamu dong, masa aku,” balas Liana cekikikan memperhatikan Reno yang kebingungan.
“Selamat ulang tahun, sayang,” ucap mama dan papa Reno sembari memeluknya.
“Reno bahkan melupakan hari kelahiran Reno sendiri Ma, Pa. Terima kasih, berkat Mama dan Papa, Reno bisa seperti sekarang. Berkat doa dan restu Mama dan Papa,” kata Reno dengan air mata yang tak mampu terbendung lagi, sehingga membasahi pipinya.
“Sudah jangan menangis, ada Liana nih kok menangis,” canda papa Reno, sembari menunjuk ke arahku.
“Om bisa saja,” balas Liana tersenyum melihat kelakuan Reno.
Seusai kue di potong, ada sesi foto bersama. Liana tidak mau ketinggalan jika ada sesi ini. Banyak gaya yang Liana dan Reno peragakan sehingga memori card kameranya hampir penuh.
Liana melihat orang tuanya sedang mengobrol bersama orang tua Reno. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. “Mungkin itu urusan orang tua,” gumam Liana sembari menggelengkan kepala.
“Dasar cengeng,” ejek Liana mendekati Reno, yang berusaha menyembunyikan air matanya.
“Aku bukan cengeng, air matanya yang otomatis keluar,” elak Reno dengan pipi merah merona.
“Masa, ulang tahun sendiri lupa,” ucap Liana mencubit hidung Reno yang semakin memerah.
“Yang penting, masih ingat kamu terus kan Li,” gurau Reno mencubit pipi Liana kemudian tersenyum bak bunga yang baru mekar.
Reno menggandeng Liana dan mengajaknya ke balkon atas. Kemudian, memberikan sebuah kotak kado kepada Liana. Saat dibuka, kotak itu berisi liontin yang berbentuk anak panah.
“Terima kasih Liana,” ucap Reno memasangkan kalung itu di leher Liana.
“Untuk apa?” tanya Liana memandangi wajah Reno, yang semakin mendekat.
“Karena, kamu sudah mau menerimaku, sebagai sahabat,” jawab Reno tersenyum, kemudian mengelus lembut rambut Liana.
Liana pun tersenyum manis. Pukul 20.20, mereka menatap bintang dengan saksama. Liana memang suka memandangi langit. Ia sangat sederhana, melihat gemerlap bintang yang semburat di langit malam, itu sudah membuatnya tersenyum sedu.
“Aaa …,” keluh Liana tampak kesakitan.
Liana merasa kesakitan pada bagian kepalanya. Ia memegang kepalanya dengan erat, sesekali menggeleng-gelengkannya, lalu ia pingsan. Reno segera menggendongnya ke bawah dan berteriak, “Mama papa, Liana pingsan,” teriak Reno.
Seketika mama dan papa Liana mendengar teriakan tersebut. Papa Liana langsung merebutnya dari gendongan Reno, dan segera membawanya ke rumah sakit. Reno ingin ikut, tapi mama Liana melarangnya, karena saat ini acara ulang tahun Reno masih berlangsung.
Mama Liana sangat cemas, melihat kondisi putri semata wayang mereka yang terbaring lemah. Sesampainya di rumah sakit, orang tua Liana menemui dokter di ruangannya, yang tidak lain adalah teman papa Liana. Mereka merasa sangat ketakutan karena tanda pada Liana, sangat terlihat akhir-akhir ini.
“Bagaimana keadaan anakku?” tanya papa memegang kedua pundak dokter bagus.
“Liana tidak apa-apa, hanya saja …,” henti Dokter Bagus, memutus ucapannya.
“Hanya saja apa dok?” tanya Mama panik dengan tangan bergetar.
Saat ini, orang tua Liana terus berdoa, agar anak mereka bisa segera sadar. Namun, ada kenyataan yang harus mereka terima. Kenyataan itu, adalah hal yang paling mereka khawatirkan, selama ini.“Liana mengalami proses pertumbuhan, yang lebih pesat daripada kakaknya. Tanpa sadar, saat ia merasa sakit pada bagian belakang kepalanya. IQ Liana akan berkontraksi dan membuat seluruh sel otaknya sangat aktif, mungkin perlahan IQ nya akan mengalami kenaikan, jika otak itu terlalu aktif bergerak, Liana akan mengalami sakit yang luar biasa dan mungkin kondisinya akan kritis,” jawab dokter Bagus menatap kedua orang tua Liana, kemudian melepas kaca matanya.“Tidak boleh, itu tak boleh terjadi pada putri kami,” teriak mama ketakutan, dengan tubuh gemetar.Ingatan itu, tiba-tiba muncul di ingatan mama Liana. Saat anak sulung mereka, mengalami kejadian serupa. Namun, saat itu, mereka hanya menganggapnya sebagai s
“Liana sudah siuman, ini mama bawakan susu putih,” ucap ama berjalan menuju ranjang Liana. Sontak Liana terkejut, dan menyembunyikan telunjuknya di bawah selimut.Setelah kondisi Liana membaik, ia diperbolehkan untuk pulang, karena esok, ia harus tetap sekolah. Sesampainya dirumah, mama membawakan susu hangat dan nasi goreng untuk Liana. Seusai makan, ia pergi untuk membersihkan diri dan beranjak tidur.***Kukuruyukkkkkk …Suara ayam jago berkokok, suaranya yang merdu membuat Liana bangun dari dunia mimpinya. Ia bersiap untuk berangkat kesekolah. Tanpa disangka, Aji sudah menunggunya sejak tadi di ruang tamu. Karena mendapat kabar jika Liana sakit, ia menjadi sangat gelisah.“Astaga, kenapa kamu disini?” tanya Liana terkejut, hamper saya ia melompat melihat Aji duduk dengan santai di kursi ruang tamunya.“Selamat pagi
Ruangan kubus berukuran 6 x 4 meter, menjadi tempat terbaik Liana mencurahkan isi hatinya. Beberapa hari ini, ia tak membalas chat dari Aji. Bahkan saat Aji ke rumah, Liana menolak untuk bertemu, orang tua Liana merasa khawatir akan sikapnya itu.Namun, bukan itu yang mengganggu pikiran Liana. Mimpi itu, ya, mereka terus berdatangan. Itu yang membuat Liana terus khawatir.“Liana, kamu sedang apa?” tanya papa, berjalan menuju Liana.“Sedang menghafalkan presentasi event, Pa,” jawab Liana membalikkan badan, kemudian tersenyum.“Kemarin saat Aji main ke rumah, kenapa kamu mengurung diri di kamar?” tanya mama, mengelus rambut Liana.Liana pun hanya terdiam.“Liana kan anak yang tangguh, apapun bisa diselesaikan. Benarkan,” saran papa dengan tersenyum.“Benar, Pa. Liana diancam oleh teman k
“Woah, apa semua ini?” tanya Liana dengan mulut terbuka, karena takjub melihat layer itu. Ia kemudian menekan beberapa tombol, dan layer itu memunculkan beberapa foto seorang pria.Namun, saat akan menekan informasi pribadi, yang tertera di layer. Aji memanggil namanya, dan layer itu hilang entah kemana.“Liana, sedang apa kamu disitu? Aku mencarimu. Apakah sudah meneukan buku, yang ingin kamu beli?” tanya Aji menghampiri Liana, yang terlihat kebingungan.“Oh iya, sudah, ini aku membeli novel. Lalu kamu beli apa?” tanya Liana mengalihkan pembicaraan, kemudian memperlihatkan novel yang akan ia beli.“Aku membeli ini,” jawab Aji, dengan percaya diri menunjukkan buku itu.“Resep Kuliner? Wah, spertinya kamu akan bersiap menjadi ayah rumah tangga yang baik,“ canda Liana, tertawa geli ketika melihat wajah Aji kian memerah.
“Apa aku sudah gila?” tanya Liana, kemudian tertawa.“Maaf Liana, ini sudah menjadi bagian dari takdir.”“Takdir? Apa ini takdirku!” teriak Liana, melemparkan semua benda yang ada dihadapannya.“Semua yang telah terjadi, biarlah terjadi. Itulah kehendak Tuhan.”“Tuhan? Dimana aku bisa bertemu dengan ‘Tuhan’, aku ingin memarahinya.” gumam Liana lirih, dengan tatapan kosong kemudian duduk dan bersandar.***Liana bergegas mencari buku, yang ia pinjam di perpustakaan sekolah beberapa hari yang lalu. Mungkin ini adalah pertama kali Liana, memperjuangkan sesuatu. Tentu, ia sangat menantikan pertemuan itu.Ia duduk di depan jendela kamar, dengan beberapa peralatan yang ia kumpulkan. Dengan cepat, ia merancang sebuah bulpoin batik yang dipesan khusus, menjadi
3 jam sejak Liana masuk ruang ICU, tidak ada tanda-tanda ia akan siuman. Kondisi Liana berada dalam masa-masa sulitnya. Pendarahan yang terjadi membuat energinya melemah.“I’m sorry… I’m sorry,” ucap Aji, menahan tangis.Reno segera menghubungi Mama dan Papa Liana tentang kondisi putrinya.“Semua ini karnamu!” bentak Reno menatap Aji marah.“Aku tak melakukan apa-apa,” jawab Aji menatap Reno, dengan mata berkaca-kaca.“Pergilah Aji, Liana kini tak lagi membutuhkanmu. Pergilah,” perintah Reno, kemudian meninggalkan Aji.Aji berlari meninggalkan ruangan itu. Dengan rasa bersalah ia menangis sejadi-jadinya dan membenturkan kepalanya ke dinding berkali-kali. Dokter Bagus segera mengecek persediaan darah, di bank darah rumah sakit.Tapi ternyata, hasilnya nihil. Dokter
… I got all deeper need to tune down I look around me, and sweet life, it’s dark in the night but you’re getting’me, getting’me throught the night…Lagu yang dinyanyikan Jessie J. dengan judul Flashlight, merupakan kesukaan Liana, untuk memulai suatu pagi dengan senyuman.Pagi ini, adalah pagi pertama Liana bersekolah, setelah tubuhnya pulih. Ia tampak lebih ceria, dari hari-hari sebelumnya. Kini, orang tuanya merestui seluruh cita-cita Liana, dan mendukung berbagai penelitihan yang ia lakukan.***Ketika jam istirahat, Salma dan Ratih datang menghampiri Liana. Salma dan Ratih membawa sebuah kotak kado, dan memberikannya kepada Liana. Saat ia membukanya, ada sebuah liontin dan anting mawar yang indah.“Sangat cantik dan bersinar.” Ucap Liana sambil tersenyum. Salma dan Ratih tertawa geli, begitupun dengan Aji yang sedang mengintipnya.
“Liana tolong bantu Mama, nak,” teriak mama dari dapur.“Iya, tunggu sebentar,” jawab Liana tersadar dari lamunan.Ia mencoba untuk melupakan pikirannya itu, kemudian bergegas ke dapur untuk menemui mama. Mama sedang membuat berbagai macam makanan, kegemaran papa dan Liana.Ada bolu, bubur kacang hijau, rendang, bebek goreng, dan masih banyak lagi. Selagi memasak, mama dan Liana banyak bercerita satu sama lain.***Sore ini, Liana akan pergi ke yayasan milik papa dan mamanya untuk rekaman. Liana, akan menyanyikan lagu You Are The Reason saat rekaman. Salma pergi menemaninya, karena hobi mereka sama yaitu bernyanyi.There goes my heart beating ‘cause you are the reason’. Lagu yang dibawakan Liana dan Salma. Setelah selesai rekaman, Liana pergi ke perpustakaan yayasan yang bisa dibilang isinya cukup lengkap.
Salma kemudian mencabut sebuah kabel agar video itu berhenti, sebelum Liana melakukan hal yang tidak bisa dicegah. Semua orang terdiam dan terus memperhatikan Liana.“Aku akan membunuhnya,” ucap Liana kemudian mengaktifkan senjata andalan yang pernah ia siapkan bersama Panji, selama ada di bumi.Melihat itu, Sofi memeluk Liana dan berusaha menenangkannya. Sofi tahu, bahwa alat itu bahkan bisa menembak mati seekor godzila dengan sekali tembakan. Alat itu, dibuat khusus dan hanya Liana yang bisa memakainya.“Ada apa denganmu? Mereka hanya memancingmu Liana. Tidak mungkin, Aji dan Panji dalam kondisi itu,” jelas Sofi terus memeluk Liana.“Apa kakak tuli? Kak Panji jelas-jelas memanggil kakak, dan kini kakak memintaku untuk mengabaikannya? Apa kakak waras,” tanya Liana.Liana melontarkan pertanyaan itu sembari melepaskan pelukan Sofi. Ia berusaha menyembunyikan
Alat buatan Liana telah selesai. Alat berkilau yang ia kerjakan selama 13 jam non stop itu, akan menjadi salah satu komponen terpenting dalam sejarah penyelamatan planet ini.“Astaga, kenapa alat ini bisa berkilau?” tanya Ratih.“Ini adalah sebuah trik,” jawab Liana kemudian membawa alat itu dan pergi ke pusat teknologi kota.Salma dan Ratih bergegas mengikuti Liana. Mereka sadar bahwa saat ini, pilihan hidup mereka hanyalah membantu Liana dan kembali ke bumi bersama Aji dan Panji.***Proses evakuasi kota masih terus dilakukan. Semua penduduk diberi alat pelindung diri yang sudah dirancang khusus, untuk melindungi diri jika kota ini berhasil di ambil alih.“Tenanglah, Ana. Mereka berusaha memprovokasimu,” ucap Sofi terus memantau keadaan di luar sana.Sembari terus memantau lapisan keamanan, Ana mengaktifkan semua perlin
Semua orang berkumpul di kediaman utama, termasuk Ana dan penjaga kota. Setelah bedebat dengan kakaknya, Liana terkejut mendengar sirine diikuti dengan sensor merah yang menyala dimana-mana.“Apa yang terjadi?” tanya Ratih terkejut sembari menggenggam tangan Salma.“Mereka datang!” teriak salah seorang penjaga yang tergesa-gesa masuk ke kediaman utama.“Situasi darurat, amankan kota!” perintah kepala penjaga kota kemudian berlari keluar.Tanpa mengatakan sepatah kata, Ana berlari keluar dan segera menuju ke pusat teknologi. Entah apa yang akan terjadi, Sofi menarik tangan Liana dan melarangnya untuk ikut campur.“Liana dengarkan aku,” perintah Sofi sembari memegang tangan Liana.“Apa yang kakak lakukan? Kita harus mengikuti Ana,” tanya Liana terkejut ketika Sofi menghentikan langkahnya.“Tidak! Kamu tidak boleh ikut campur. Ka-k
Tiba-tiba suara larangan terdengar. Suara yang tidak asing bagi Liana, namun ia sendiri tidak tahu suara siapa itu. Liana terus memegang liontinnya erat-erat. Berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi. Namun…“Pergilah Liana. Lari… cepat….” Teriakan larangan itu kembali mengusik Liana.Tanpa tahu apa arti dari suara itu, Liana dengan cepat mengaktifkan VEBU dan pergi meninggalkan tempat itu. Rasa berat hati meninggalkan tempat yang ia cari seharian penuh untuk menjawab tanda tanya di otaknya.***Sesampainya di kediaman utama, Liana terkejut beberapa penjaga beserta Ana memenuhi kediamannya. Terlihat pula Ratih dan Salma dengan raut wajah khawatir, sekaligus marah tanpa Liana tau apa penyebabnya.“Mengapa semuanya berkumpul di sini?” tanya Liana begitu sampai dan melihat semua orang.Tidak seorang pun membuka bibir mereka untuk
Mendengar perkataan kakaknya, Liana pun mencatat semua yang ia dengar. Sofi tidak lagi mengigau, atau terbangun sedikitpun. Namun, ucapannya itu, jelas membuat Liana merasa sangat penasaran.“Apa yang baru saja diucapkan kak Sofi? Mungkinkah, ingatan itu adalah kejadian yang tidak diketahui oleh siapapun, saat kak Sofi menghilang,” tanya Liana kepada dirinya sembari merapikan selimut Sofi.***Hari sudah berganti. Matahari di atas daratan mungkin sudah terbit saat ini. Tinggal di kota bawah tanah dengan waktu yang sama dengan daratan, membuat semua orang melupakan kenyataan bahwa mereka sudah hidup cukup lama di bawah sana.Dengan sinar matahari yang diserap langsung dari atas, mereka kerap kali tidak sadar bahwa saat ini tengah menjalani kehidupan di dalam bumi.“Selamat pagi,” sapa Ratih sembari membawa sepotong roti.“Apakah kak Sofi masih tertidur?&rdqu
“Mama akan melindungimu, jadi jangan bersuara.” Satu kalimat yang membungkam Sofi selama 5 tahun pertama dia tinggal di planet ini.Selama itulah, dia tidak berkomunikasi dengan siapapun. Bahkan, Sofi kerap kali menangis ketika mendengar bunyi benda keras yang berjatuhan.Kedua orang tua Ana berusaha untuk merawatnya seperti putri mereka sendiri. Namun, apadaya jika seorang anak terus merindukan kasih saying orang tua kandung mereka.“Saat itu, aku sedang menunggu,” ucap Sofi singkat.“Apa yang sebenarnya kakak tunggu?” tanya Liana semakin penasaran.“Mama,” jawab Sofi kemudian meneteskan air mata.Liana kemudian menggenggam kedua tangan Sofi erat. Ia sadar bahwa tidak seharusnya bertanya hal itu, karena akan membuat kakaknya semakin sedih. Namun, Liana ingin Sofi berbagih kesedihan itu dengannya.“Mama berkata,
Semua orang meletakkan pandangannya kepada Sofi. Siapa sangka, jika gadis kecil yang penuh dengan tatapan trauma itu adalah dirinya. Melihat diri kecilnya yang meringkuk di balik pohon, Sofi mengalihkan pandangannya dan mulai mengatur napas.“Apakah semua ini? Mengapa gadis kecil itu adalah kakak?” tanya Liana terkejut dengan raut wajah tidak percaya.Keinginan untuk terus bungkam membuat Sofi bergelinang air mata. “Tidak.” Kata yang saat ini membungkam bibir merah muda itu. Namun, sampai kapan derita itu akan dia tanggung seorang diri.“Itu aku, sekaligus keadaan pertama kaliku ketika menginjakkan kaki di planet ini,” jawab Sofi sembari mentup kedua matanya dengan telapak tangan.“Oh… apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Salma menahan air matanya ketika melihat gadis kecil yang tak lain adalah Sofi.“Saat itu Jack bahkan menghancurkan rumah kami.
Mereka masih berada di ruangan yang sama, sejak terakhir kali tersadar bahwa ada sesuatu yang menanti. Terperosok masuk ke dalam tanah, bahkan tidak terpikirkan oleh mereka.Sekarang, Liana telah menemui sosok yang dipanggil sebagai “Liana” di universe ini. Mereka saling memandang satu sama lain. Begitu juga dengan Salma dan Ratih, raut wajah terkejut itu membuat siapapun ingin tahu apa arti dari semua yang terjadi hingga detik ini.“Hai, aku Liana,” sapa Liana dari universe ke 4.Liana masih terdiam, tidak berucap apapun dan terus memandang gadis seusianya itu. Kali ini, suasana canggung mulai mengusik semua orang yang ada di ruangan itu, termasuk Sofi.“Canggung sekali, tidak ku sangka akan serumit ini,” gumam Sofi kemudian mendekati kedua Liana itu.Kali ini, Liana mulai maju satu langkah ke depan, untuk memastikan apa yang ia lihat bukan ha
Semua mata terbelalak, melihat puing-puing itu berceceran tanpa arah di angkasa. Untuk menghindari benturan akibat puing-puing tersebut, Sofi mengaktifkan fungsi pengaman pesawatnya.Fungsi aktif…“Kita harus segera mendarat. Akan lebih berbahaya jika benda-benda tanpa tujuan itu menabrak pesawat ini,” ucap Sofi kemudian menarik kemudi pesawat itu.“Sungguh membuatku penasaram,” celetuk Salma, terus memperhatikan keluar pesawat.Lagi-lagi, pesawat itu melesat layaknya pancaran kilat. Mereka tiba di daratan planet tempat seseorang yang Liana cari. Perlahan Liana melepaskan sabuk pengaman dan mengenakan semua alat keamanan yang sudah disiapkan sebelumnya. Begitupun dengan Salma, Ratih, san Sofi.“Huftt… aku merasa bahwa jantungku, tidak baik-baik saja,” keluh Ratih sembari mengelus dadanya dengan raut wajah khawatir.“Kita b